Sabtu, 07 Januari 2017

Problematika Pembelajaran IPS dalam Perspektif Paolo Freire

Problem pembelajaran IPS yang selama ini menjadi titik sentral yang sering diangkat dalam suatu penelitian dan tulisan adalah: “bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses.”[1] Oleh karena itu peserta didik menganggap pembelajaran IPS adalah pembelajaran yang tidak terlalu rumit, kelas dua bahkan tidak terlalu dipentingkan. Padahal Aziz mengatakan di dalam buku Rudy Gunawan:
Dalam pembelajaran IPS proses itu amat penting. Dalam pembelajaran IPS, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengetahuan, pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan demokratis, termasuk mempraktekkan berpikir dan memecahkan masalah.[2]

Pernyataan di atas begitu relevan dengan fakta yang ada di lapangan, peneliti sendiri yang basisnya juga sebagai guru ilmu sosial menyaksiskan betul betapa ironinya keadaan suasana dan kultur kelas ketika memasuki jam pembelajaran IPS. Seperti model pembelajaran konservatif yang tetap dipertahankan dari model ceramah dan penugasan pada peserta didik. Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang besifat hapalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan “kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.
Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, terutama hanya menekankan pada informasi, fakta, dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang diarahkan pada proses berfikir dan kurang diarahkan pada pembelajaran bermakna dan berfungsi bagi kehidupannya, maka pembelajaran IPS tidak akan mampu membantu peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan masa yang akan datang. Oleh karena itu sudah semestinya pembelajaran IPS masa kini dan ke depan mengikuti berbagai perkembangan yang tejadi di dunia secara global.[3] Sampai saat ini pendidikan IPS dianggap membosankan, membingungkan, tidak menarik, serta tidak menemukan relevansi di lapangan jika dikaitkan dengan teori dan praktek.
Ambiguitas itu lahir akibat kajian IPS melingkupi tentang kehidupan manusia dan lingkungannya, faktanya manusia serta lingkungannya merupakan sesuatu subjek individu yang unik dan berbeda satu sama lain. Jadi kepastian dalam pendidikan IPS itu sendiri adalah ketidakpastian, tentu saja perbedaan pandangan manusia dalam menyikapi berbagai masalah yang dihadapinya termasuk para pengamat. Kondisi tersebut ditambah dengan model pembelajaran yang konservatif, tidak menarik dan membosankan. Seperti yang disampaikan oleh Fout:
Banyak penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa nilai studi sosial siswa sangat rendah di antara mata pelajaran lain, bahkan mereka cenderung merasa bosan terhadap pembelajaran studi sosial dengan metode ceramah. Materi dalam pembelajaran IPS banyak yang tidak menghubungkan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, terlalu terpaku kepada pedoman atau buku teks yang umumnya diseragamkan atau kurang mengakomodasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat atau daerah tertentu.[4]

Oleh karena itu penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan solusi dan harapan bagi pembelajaran IPS di sekolah menengah dalam menghadapi globalisasi yang semakin masif. Namun perlu disampaikan juga ada beberapa guru yang misalkan ia terbuka terhadap perkembangan pendidikan serta bersifat humanistik justru mereka orang yang teralienasi dalam sistem pendidikan yang konvensional. Seperti pengalaman penulis di lapangan, di mana beberapa guru tidak merespon positif metode pembelajaran penulis dalam menyampaikan materi kepada peserta didik. Seperti penayangan film pembelajaran, penulisan teks soal yang sifatnya C4 atau menganalisa dan strategi pembelajaran lainnya.
Penulis berharap persoalan tersebut tidak menjadikan minat guru yang kreatif untuk kehilangan minat dalam mengembangkan strategi dan model pembelajaran IPS tapi semakin tertantang dalam mendobrak dinding-dinding kekonservatifan dalam sistem pendidikan konvensional. Reformasi pendidikan di awali dengan keotonomian guru dalam mendidik peserta didiknya ke arah yang lebih baik.

Seperti yang sudah disinggung dalam di atas, hilangnya minat serta keringnya pembelajaran IPS adalah “mati gaya”nya guru dalam mengaplikasikan materi IPS di kelas. Penulis menekankan guru sebagai problem fundamental dalam pembelajaran IPS. Seperti contohnya dalam pembelajaran IPS yang menggunakan pendekatan tradisional, “di mana guru di dalam kelas menggunakan metode mengajar yang relatif tetap (monoton) setiap kali mengajar IPS, guru terkesan lebih aktif daripada siswa”.[1] Kecenderungan kasus tersebut berdampak pada kegiatan belajar yang membosankan sehingga hasil belajar siswa kurang luas dan mendalam malahan cenderung verbalistis. Di era keterbukaan informasi dewasa ini pembelajaran IPS diharapkan memiliki peranan penting dalam mencetak produk-produk yang memiliki “kemampuan berpikir kreatif (creative thinking), berpikir secara kritis (critical thinking), kemampuan memecahkan masalah (problem solving), dan kemampuan mengambil keputusan (decision making)”.[2]
Pembelajaran IPS yang cenderung naratif dan monoton begitu membosankan bagi para siswa sehingga menimbulkan kesan bahwa pembelajaran IPS hanya semata mendengarkan guru yang sedang menyampaikan materi dan mengerjakan tugas-tugas. Konsep demikian apa yang disebut oleh Paulo Freire sebagai konsep ‘gaya bank’[3] di mana hubungan antara guru dan murid di semua tingkatan, di dalam maupun di luar sekolah mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar di dalamnya. Guru sebagai subyek yang bercerita dan obyeknya yang patuh adalah murid, isi pelajaran yang tentunya menyangkut nilai-nilai dan realitas menjadi amat kering tanpa ada refleksi atau studi kasus dalam konteks isu-isu kontemporer maupun isu-isu kontroversial untuk dijadikan sebagai bahan materi.
Kultur pendidikan seperti demikian yang dianggap Freire sebagai ‘penyakit’,  guru membicarakan realitas seolah-olah sesuatu yang statis, terpisah satu sama lain dan bisa diramalkan. Freire menambahkan:
Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan bercerita ini, karena itu adalah kemerduan kata-kata, bukan kekuatan pengubahnya. ‘empat kali empat sama dengan enambelas, ibukota Para adalah Balem.’ Murid-murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan ini tanpa memahami apa arti sesungguhnya empat kali empat, atau tanpa menyadari makna sesungguhnya dari kata ‘ibukota’ dalam ungkapan ‘ibukota Para adalah Balem’, yakni, apa arti Balem bagi Para dan apa arti Para bagi Brazil.[4]

Relasi antara guru dan murid yang seperti demikian sering ditemukan dalam kelas-kelas IPS, oleh karena itu pembelajaran IPS menjadi sebuah kegiatan ‘menabung’. Di mana para murid adalah celengan dan guru dianalogikan sebagai penabungnya. Yang terjadi bukan lagi proses komunikasi melainkan guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Dari konsep gaya bank inilah guru terindikasi menjadi otoriter di dalam kelas, anti kritik dan bersifat menindas. Karena pada hakikatnya pendidikan gaya bank: “merupakan suatu anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.”[5]
Persoalan tersebut merupakan hal yang tidak asing jika kita temui di lapangan saat ini, di mana kurikulum 2013 suatu sistem yang mendobrak kultur ‘gaya bank’nya Freire masih jauh dari harapan, malahan dalam pelaksanaannya guru masih menggunakan model-model tradisional. Ditambah tantangan global yang terus memberikan pengaruh secara positif dan negatif, di era globalisasi seperti saat ini dibutuhkan suatu kualitas sumber daya manusia yang cakap dan memiliki integritas dalam menjawab tantangan tersebut. Guru harus mampu memprakarsai dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia demi kemajuan bangsa. Pendidikan demokratis perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas untuk dijadikan suatu model pembelajaran IPS. Sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Beane dan Michael W. Apple memberikan suatu penjelasan untuk pengembangan dalam upaya membangun sekolah demokratis seperti berikut:
1.      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2.      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3.      Menyampaikan kritis sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah
4.      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan public
5.      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6.      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia
7.      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.[6]
Esensi teori Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, bahwa sekolah demokratis dapat terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau oleh semua stakeholder sekolah, jadi semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh. Sekolah demokratis juga harus dikembangkan dengan sikap trust, yaitu orang tua percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju idealitas yang diinginkan, selanjutnya yang paling substansial kepala sekolah juga harus percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan program-program tersebut.
Kemudian sekolah demokratis harus menekankan terhadap hak-hak asasi manusia, seperti kesejahteraan para guru dan semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus menjadi perhatian serius, manajemen harus dilakukan secara terbuka khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah public harus dikelola secara transparan, sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Jika dielaborasi dengan teorinya Beane dan Apple di atas, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan nilai-nilai serta kultur demokrasi di dalam kelas. Sekaligus mengajak peserta didik untuk mampu dan ‘melek’ konsep demokrasi itu sendiri. Guru harus memprakarsai konsep dasar demokrasi di dalam kelas seperti memberikan perhatian yang sama pada seluruh siswa tanpa membedakan antara si pintar dengan yang belum pintar, tidak membedakan si rajin dengan yang tidak rajin. Semuanya harus memperoleh perlakuan dan perhatian yang sama, meskipun dengan pendekatan yang berbeda-beda. Pola-pola seperti ini yang diungkapkan oleh Dede Rosyada: “sebagai pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolahnya.”[7]
Prof. Dr. Nana Supriatna, M.Ed dalam diskusi panel yang penulis hadiri mengatakan bahwa:
Dalam merayakan demokrasi di sekolah, guru harus benar-benar objektif dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik. Contoh ketika sedang melakukan kegiatan diskusi di dalam kelas, guru jangan hanya menilai peserta didik yang hanya aktif berbicara, namun memberikan penilaian juga bagi peserta didik yang diam/mendengarkan. Karena pada hakikatnya demokrasi adalah menghargai, dalam konteks ini guru harus menilai diamnya peserta didik adalah bagian dari menghargai  pendapat orang lain, dengan cara diam dan mendengarkan peserta didik yang lain sedang berbicara.[8]

Pernyataan Prof Nana Supriatna sangat relevan dengan problem proses pembelajaran IPS di dalam kelas. Guru cenderung memperhatikan peserta didik yang mendominasi, namun tidak memberi suatu reward bagi peserta didik yang menghargai pendapat temannya dengan cara diam. Tetapi perlu di garis bawahi guru juga harus mengajak peserta didiknya agar ikut berpartisipasi dalam jalannya diskusi.
Sebenarnya kurikulum 2004 sudah mengantisipasi fenomena setidaknya sepuluh tahun ke depan dalam menghadapi globalisasi, namun problem fundamental di Indonesia kurikulum hanya merupakan suatu dokumen dan ide bukan dalam bentuk implementasi atau proses. Ditambah profesionalitas guru untuk melaksanakan kurikulum masih jauh dari harapan, seperti yang ditulis oleh Rudy Gunawan:
a.       Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar seperti cooperative learning, inquiry. Problem solving atau dengan menggunakan pendekatan perspektif global misalnya.
b.      Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagaian besar sekolah, ikut mempengaruhi proses belajar mengajar IPS
c.       Karena itu (point 1 dan 2), proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil secara faktual saja, dan tidak mendapat hasil proses
d.      Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakikat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
e.       Sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap untuk mengadaptasi atau mengadopsi budaya dan peradaban asing yang mulai merambah secara global, karena berbenturan dengan nilai-nilai tradisi ataupun agama.[9]

Dalam kurikulum 2013 itu sendiri tuntutan untuk mencetak sumber daya yang produktif untuk menjawab tantangan global juga didesain dalam strategi, dan proses pembelajaran di dalam kelas. Selain itu jumlah penduduk usia produktif yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 menjadi tantangan besar agar SDM usia produktif ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.



Tabel Perkembangan Pola Pikir dalam Kurikulum 2013[10]
Pola Pembelajaran

Kurikulum 2004 dan 2006
Kurikulum 2013
Berpusat pada guru
berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama
Satu arah (interaksi guru-peserta didik)
Interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya)
Pasif
Aktif mencari (diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains)
Sendiri
Berbasis tim (kelompok)
Alat tunggal
Alat multimedia
Berbasis massal
Kebutuhan pelanggan (memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik)
Ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline)
Ilmu pengetahuan jamak
Pasif
Kritis

Tabel di atas jelas menggambarkan dua pendekatan kurikulum 2004 dan 2006 dengan kurikulum 2013 yang sangat berbeda. Di mana kurikulum 2013 lebih menekankan pada peran aktif siswa di dalam kelas dan guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan dalam proses pembelajaran. Jika dikorelasikan dengan problem yang terjadi dalam pembelajaran IPS kurikulum 2013 adalah merupakan suatu solusi untuk memecahkan masalah dalam proses pembelajaran. Misalkan guru mampu mengelaborasi materi-materi ajarnya dengan melakukan studi kasus yang terjadi di luar sekolah (lingkungan peserta didik, isu-isu kontemporer dan isu kontroversial). Salah satu pendekatan cooperative learning tersebut mampu menumbuhkan nalar, imajinasi serta mengajak peserta didik terlibat dalam memecahkan masalah yang terjadi.



[1] Ibid., hlm. 58.
[2] Huriah Rachmah. 2014. Pengembangan Profesi Pendidikan IPS. Bandung: Alfabeta, hlm. 138.
[3] Lihat BAB II Pendidikan gaya bank sebagai alat penindasan, Paulo Freire. 1985.  Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, hlm. 49.
[4] Ibid., hlm. 50.
[5] Ibid., hlm. 51.
[6] Dede Rosyada. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana, hlm. 16.
[7] Ibid., hlm. 18.
[8] Diskusi panel yang diselenggarakan di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Penulis turut hadir dalam kegiatan akademik studi banding pada 11 November 2016.
[9] Rudy Gunawan, Op. Cit, hlm. 92.
[10] Rudy Gunawan. 2014. Pengembangan Kompetensi Guru IPS. Bandung: Alfabeta, hlm. 4.




[1] Lihat Rudy Gunawan dalam Pendidikan IPS: Filosofi, Konsep, dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta. Hlm, 88.
[2] Ibid.
[3] Jurnal yang diposting tanpa tahun oleh Hasni Staf Pengajar Universitas Negeri Makasar.
[4] Rudy Gunawan.  Op. Cit, hlm 108-109.

Senin, 12 Desember 2016

Based on True Story








Terpaksa harus ku tulis karena ini menyangkut persoalan2 yg sering kita tak sadari, bahkan sadar dengan pasif kita menerimanya. Kerja dan bekerja mungkin punya definisi yg relatif, namun secara pragmatis kerja dan bekerja adalah tuntutan etis yg didorong oleh unsur2 prestisius. Lalu pertanyaan itu muncul, untuk apa kita bekerja? untuk siapa kita bekerja? dan manfaat apa jika bekerja? Pertanyaan itu mungkin terjawab oleh kejadian di sekolah siang ini..

Kebetulan hari ini adalah hari terakhir kegiatan MOS atau sekarang sebutannya PLS (Penganalan Lingkungan Sekolah). Tentu yg tertinggal dari kegiatan tersebut adalah SAMPAH. Kelas kotor, bangku dan meja tak rapih, papan tulis serta perlengkapan tetek bengek berserakan di kelas-kelas. Tentu saja ini mengundang rasa tidak nyaman bagi wakasek, terutama wakasek sarana dan prasana si ibu anuuuuu, atau anak2 biasa manggil misss anuuuuuu. Lalu ia coba koordinasi pada timnya via sms, kalo dia nyebutnya 'Tim Buser' yg terdiri dari beberapa anggota kebersihan di sekolah untuk membantu kelas2 yg kotor dan kumuh tadi.

Beberapa menit kemudian balasan sms itu datang dari salah satu anggota 'Tim Buser'nya si ibu anuuuu, balesannya berisi 'haduh saya lagi capek bu, lagian kok kerjaan ga beres-beres sih!' Degggg si ibu membaca sms itu, saya lihat betapa kecewanya si ibu wakasek mendapat balasan sms dari bawahannya, lalu ia laporkan isi sms tsb ke ruang guru2.. sontakpun komentar2 sinis saling bergantian dari satu mulut ke mulut lain, dari satu kepala ke kepala lain. Saya pun pertama dengar sontak tertawa lepas, lalu dengan pikiran lain saya ingat apa yg dikatakan literatur2 tradisional marxis

Bahwa cara produksi (mode of production) menentukan pembagian kerja yg dianggap kriteria utama pembagian masyarakat ke dalam kelas2 ekonomi dan sosial yg nantinya akan mencipatakan 'konflik kelas'. Tentu sang pemilik alat produksi memanfaatkan dan mengeksploitasi 'nilai lebih' dari kelas bawah (proletar).

Sadar akan hal itu si alat produksi (proletar) bekerja bukan lagi suatu jawaban untuk hidup jadi lebih baik, bahkan menjadi suatu 'keterasingan' dan menciptakan kontradiksi2 terhadap sistem yg berlaku, hanya revolusilah yg bisa menggantikan sistem tersebut dengan propaganda melalui tindakan seperti idenya bakunin.

Saya menilai dalam konteks keterasingan individu pasti menjadi sangat revolusioner, bahkan seorang petugas kebersihan sekolahpun ia menyatakan kemerdekaannya lewat teks sms yg membuat atasnya seperti dikangkangi. Jadi bekerjalah untuk merdeka dan bekerjalah untuk kemerdekaan orang lain. (Rabu 20 Juli 2016)

Merawat Akal Sehat Publik





Apa yg kamu lihat dari gambar di atas? Pernah kamu berfikir gambar di atas merupakan suatu implikasi pemberontakan merujuk pada simbol organisasi tertentu? Kalo begitu betapa hinanya kamu yg telah mengkhianati bahkan memperkosa nalar dan akal sehat sendiri.

Akal sehat publik terus dieskploitasi oleh isu2 yg masif, entah itu di grup wa atau sekedar tongkrongan warung kopi. Frekuensinya cukup relatif, ada yg sampai rusaknya komunikasi karena beda persepsi, ada juga yg sebatas mukadimah untuk menghangatkan meja diskusi. Tapi yg perlu dicatat seberapa jauh nalar kita dalam menanggapi isu tersebut, apakah hanya sebatas copy paste dari grup wa sebelah lalu mengesharenya ke grup yg lain tanpa diinterpretasikan ulang?

Dampaknya terlihat jelas kelakuan kita dalam bergaul di sosmed lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari2. Matinya minat baca dan tumbuhnya minat berkomentar yg mengekor. Bahkan palu arit masih disimbolisasikan sebagai kejahatan dan pemberontakan, palu itu simbolnya kuli kontrak, dan arit itu milik petani.

Jadi jika kamu besok liat kuli yg sedang nancepin paku pake palu di pondasi rumah yg sedang dibangun apakah kamu anggap ia pemberontak? Atau jika km liat petani yg sedang memangkas rumput2 liar di ladangnya dgn arit apakah kamu anggap ia sebagai hantu2 komunis? Pernah kamu berfikir sampe ke sana? Apakah kita hanya bangsa yg gandrung terhadap simbol2 yg tentu sifatnya abstrak? Dan yg abstrak itu lah penuh dengan pemaknaan, jadi sangat perlu di otak mu itu punya seni untuk memahami. Dan jika besok km menemukan uang pecahan 100rb ada simbol palu aritnya jangan dibakar atau km sobek2, kasih saja yg memerlukan atau kasih saja ke saya😀😀.. salam

Catatan Kuliah




Sabtu lalu kuliah dengan Prof Munir Mulkhan, beliau memberikan tulisan2nya yg dimuat oleh Kompas dan Jawa Pos pada kamis 1 Desember 2016.

Manusia Pembelajar

Dalam tulisan ini prof munir menempatkan posisi beliau sebagai akademisi dan cendikiawan yg tdk puas melihat sistem pendidikan yg involutif dan indoktrinatif, ia menyebutnya 'ketiadaan jangkar nilai' sebagai problem fundamental dalam pendidikan nasional, terutama pendidikan islam. Ia merujuk pada tokoh Islam abad ke 12 Al Ghazali yg merupakan prototipe dari kemunduran keintelktualan islam dalam perkembangan selanjutnya. Ghazali lebih menekankan hal2 yg transendensi, menjunjung nilai2 mistik serta mengutamakan kehidupan akhirat dan kecanduan menatap serta bertemu allah swt.

Al ghazali menolak filsafat paripatetik yunani (plato, aristoteles, plotinus) dan menganggap haram bagi mereka yg mengharapkan akhirat (Rochiati, 2015: 33) dengan menolak reason Ghazali telah mereduksi potensi manusia yg utuh. Ia menganggap manusia hanya berorientasi pada agama/tauhid/keyakinan (empiris) namun tidak melihat potensi rasio dan nalar (rasionalis). Oleh sebab itu Prof Munir mengatakan gejala yg lebih masif berlangsung di lingkungan pendidikan islam yg cenderung menempatkan kreativitas sebagai semacam "dosa" yg harus dihindari.

Tan Keno Kinoyo Ngopo

Tulisan kedua dr prof munir yg coba saya intepretasi, beliau menempatkan posisinya sebagai cendekiawan yg mulai resah dengan problem isu2 keagamaan hari ini. Ia memilih diksi jawa agar terlihat seorang cendekia yg tdk tendensius. Tuhan sebagai Tan keno kinoyo ngopo (tidak bisa digambarkan seperti apa) namun hari ini kecenderungan umat memiliki tafsiran masing2 atas keyakianannya, sehingga ada proses pemutlakan dan jika ada sesuatu pandangan lain dianggap sesat bahkan kafir. Saya teringat Terry Eagleton dalam "On Evil" bahwa yg transendensi itu bukan lagi vertikal (langit-bumi) namun sudah menjadi horizontal (membumi). Jadi apa yg dikatakan seorang Nietzsche bahwa tuhan telah mati itu yg saya yakini memang benar, sebab yg membunuh tuhan itu sendiri adalah umat yg sedang kecanduan.

Salam.. 12 Desember 2016

Selasa, 08 November 2016

Kapitalisme dan Penindasan Terhadap Perempuan

APAKAH kajian feminisme di abad Milenium masih memeluk, menoleh atau sekadar melirik pada teori Marxis? Kajian feminisme di abad Mile-nium cenderung untuk membaca-ulang kanon (teori besar, metanaratif) masa lalu dengan pisau analisis interseksionalitas. Apa yang dimaksud in-terseksionalitas berangkat dari asumsi bahwa segala sesuatu berinterseksi dengan berbagai macam hal: contohnya konsep mengenai “perempuan” dan “laki-laki” merupakan interseksi dari seks, keetnisan, ras, kelas, gen-der, kenasionalan, keruangan (spaciality), waktu, bahasa, wacana, budaya, dan banyak macam lainnya. Konsep “perempuan” dan “laki-laki” pun da-pat merupakan kategori sosiologis, ekonomis, politis maupun episteme, dan bahkan sebagai diskursus yang tercipta dalam ujaran maupun teks. Analisis interseksional itu tumbuh dalam era pascastrukturalis dan pasca-modernis yang dewasa ini membangkitkan pembacaan-ulang para feminis terhadap kanon masa lalu dari posisi kontemporer.

Teori Marx sebagai kanon dalam genre filsafat modern tak luput dari pem-bacaan-ulang para feminis –terutama sejak dekade 1970an-- ketika para feminis mencari penjelasan atas ketertindasan perempuan (pada awal abad 20 disebut women’s question). Pengguna teori Marx pada era 1970an dan awal dekade 1980an cukup meluas tak hanya dari kalangan feminis sosialis dan Marxis, melainkan juga dari feminisme radikal. Stevi Jackson[1] mencatat, sejak gerakan perempuan muncul dalam perkembangan ge-rakan kiri radikal di sekitar masa itu, ada banyak feminis yang menoleh –atau setidaknya bersimpati—dengan teori Marx dan Marxisme. Daya tarik Marxisme yang utama karena menawarkan analisa mengenai penindasan sebagai sesuatu yang sistematis dan menyatu dalam struktur masyarakat serta tentang teori perubahan sosial (revolusi) yang men-janjikan kesetaraan.

SEJAK berakhirnya Uni Soviet dan blok sosialis, kapitalisme telah mengin-tensifkan kekuasaannya di seluruh dunia, memperlancar proses peru-bahan ekonomi melalui intensifikasi dan kian memperjelas hubungan antara nasib rakyat di negara-negara kapitalis maju dan rakyat di nega-ra-negara lainnya di dunia. Dalam konteks sejarah seperti ini, kembali pada pengujian mengenai relevansi Marx bagi feminisme adalah masuk akal—meskipun kepercayaan akademik yang sedang tumbuh meyatakan sudah tidak begitu relevan—karena, sepanjang kapitalisme tetap menja-di corak produksi yang dominan, maka mustahil untuk dapat memahami kekuatan-kekuatan yang menindas perempuan dan yang membentuk hu-bungan antara laki-laki dan perempuan secara utuh tanpa meletakkan dasar analisisnya pada teori Marx.

Seperti ilmu-ilmu sosial, pemikiran para feminis gelombang kedua mem-bangun sebuah dialog besar dengan Marx; namun bukan dengan Marx yang sebenarnya, melainkan dengan “Marx yang palsu/straw Marx”, yang menyaring tentang kegagalan-kegagalannya (sebagai contoh, kegagalan menteorikan kelahiran anak, tenaga kerja perempuan, penindasan ter-hadap perempuan), determinisme dan reduksionisme (seperti misal-nya reduksionisme kelas, determinisme ekonomi, materialisme vulgar), pengabaian terhadap “agensi”, “kategori-kategori yang tidak mempeduli-kan jenis kelamin”, dan “misoginis”. Kekuatan intelektual dan vitalitas Marx tidak hilang, sebagaimana ditun-jukkan dalam sejarah panjangnya. Bahkan sarjana yang menolaknya pun harus bergulat dengan tantangan-tantangan yang ia ajukan, sedemikian banyak sehingga teori-teori mereka dibentuk oleh proses yang mene-gasikannya. Sebagai contoh, penolakan feminis awal atas “determinisme ekonomi” Marx telah menyebabkan munculnya teori-teori ahistoris me-ngenai patriarki yang mencari asal dari dominasi laki-laki di luar corak produksi.2 Teori-teori feminis yang terbaru (berakar pada penolakan post-strukturalis atas Marxisme) secara paradoks, berubah menjadi determinisme diskursus dalam usaha mereka untuk menolak apa yang dituduhkan sebagai “determisme ekonomi” dan “reduksionisme kelas” ala Marx.[2] Dekonstruksi “perempuan” sebagai sebuah kategori analisis, berfokus pada gender “yang dikonstruksikan secara diskursif”, seksuali-tas, tubuh, dan banyak perbedaan di antara perempuan tampaknya telah memisahkan hubungan antara teori-teori Marx, teori feminis, dan pem-bebasan perempuan. Sebagaimana dinyatakan oleh Epstein, “teori fem-inis telah datang untuk memaknai feminis post-strukturalisme” dan ini memerlukan pengadopsian prinsip-prinsip (sebagai contoh, anti esensi-alisme, konstruktivisme sosial, reduksi kenyataan sosial menjadi diskur-sus, relativisme, penolakan teori-teori di tingkat makro, yang disebut sebagai “metanaratif”) anti-tesis terhadap pembangunan analisis sosial dan strategi-strategi politik yang berguna untuk semua gerakan sosial, termasuk pembebasan perempuan. Seruan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk pembebasan mengandaikan kenyataan material dari keadaan buruk mereka dan validitas klaim mereka, konsep di luar cakupan teori-teori dimana semuanya adalah relatif dan dikonstruksi-kan secara diskursif.

Sama pentingnya sebagai penghalang bagi perkembangan feminisme Marxis adalah kepercayaan, yang menyebarluas di kalangan sarjana Marxis, mahasiswa dan akademisi secara umum, bahwa ketika teori-te-ori Marx mungkin penting bagi studi ekonomi politik, negara, ideologi, kelas sosial dan aspek-aspek lainnya dari masyarakat kapitalis, tetapi kontribusinya terhadap feminisme sangat kecil. Di luar kesadaran bahwa adalah penting untuk menjelaskan cara-cara kapitalisme, sebagai tam-bahan pada patriarki, atau pada sistem dominasi laki-laki, menyumbang pada penindasan terhadap perempuan. Setiap pertimbangan terhadap penindasan perempuan membawa pe-mikiran kepada sebuah variasi dari fenomena psikologi, ekonomi, so-sial, dan politik yang memengaruhi kehidupan perempuan: dari mulai perkosaan, incest, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual, stereotip sosial, upah yang rendah dan segregasi pekerjaan berdasarkan gender, diskriminasi dalam pendidikan dan institusi-institusi pekerjaan, pembagian kerja secara seksual, kerja domestik dan kontradiksi antara tuntutan domestik dan kerja, isu-isu reproduktif dan perjuangan bagi penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk reproduksi, kurang terwakilinya perempuan dalam politik formal dan peran kepemimpinan publik serta, tak dapat dipungkiri, patriarki.

Untuk memahami hal-hal penentu dari kapitalisme dalam penindasan terhadap perempuan, adalah sangat penting untuk mengikuti metodo-logi Marx; yakni pemahaman dialektikalnya tentang abstraksi, kritiknya dalam mencari apa yang asli di dalam isolasi dari dan sebelum analisis dari struktur sejarah yang spesifik, serta relasi pokok fenomena di bawah pertimbangan yang hati-hati, konsepnya mengenai sejarah dan dialektika secara umum dan khusus. Dalam satu-satunya pernyataan metodologisnya yang eksplisit, Marx berpendapat bahwa aspek-aspek dari kenyataan sosial yang terlihat bagi kita merupakan hal yang paling konkret dan jelas, titik awal investigasi kita ialah, bagaimanapun, paling sedikit informatif karena mereka meng-andaikan kemungkinan kondisi sejarah ganda yang tidak bisa digeng-gam tanpa analisis teori dan sejarah lebih lanjut (Marx, 1970, 205). Kita mencapai pengetahuan ketika kita bergerak maju dari “konsep-konsep konkret yang imajiner” (seperti perempuan, laki-laki, keluarga, tempat penintipan anak, dll) ke “konsep-konsep yang semakin sederhana” atau abstraksi, berarti parsial, aspek satu sisi dari fenomena yang kompleks seperti, contohnya, kerja domestik, pembagian kerja secara seksual, dan gender.

Kita menjadi sadar akan ketidakadilan antara laki-laki dan pe-rempuan melalui bentuk-bentuknya yang dapat dilihat secara langsung: ketidaksetaraan upah, ketidaksetaraan pendidikan dan kesempatan-ke-sempatan; kekerasan dalam rumah tangga, tanggung jawab utama pe-rempuan untuk mengurus anak dan pekerjaan di rumah, dan sebagain-ya. Feminis, kebanyakan bekerja dengan seperangkat teori ilmu-ilmu sosial, menghasilkan “abstraksi sederhana;” seperti pembagian kerja secara seksual, stratifikasi seksual dan gender, patriarki, sistem seks dan gender, pertukaran perempuan, dan sebagainya. Pertanyaan femi-nis, mengapa perempuan ditindas “sebagai perempuan”?—perempuan menjadi sebuah abstraksi yang tidak hanya mengabaikan heterogenitas populasi yang dideskripsikan, tapi juga gagal untuk menginterogasi kon-disi-kondisi yang terjadi dimana perempuan akan mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai perempuan ketimbang dalam pengertian kelas, asal kebangsaan, atau identitas-identitas yang mungkin lainnya—ber-sama dengan penolakan politik Marxisme yang dituduh sarat dengan reduksionisme kelas dan ekonomisme, menghasilkan jawaban yang ahistoris; seperti, ketidaksetaraan biologis dalam prokreasi (melahir-kan) (Firestone, 1971); pertukaran perempuan milik para lelaki (Rubin, 1975, 157–210); keputusan lelaki untuk mengontrol reproduksi dalam rangka untuk menindas perempuan (Eisenstein, 1979); perawatan anak (Chodorow, 1978), dan patriarki atau hasrat lelaki untuk mengontrol dan mengambil keuntungan dari pelayanan kerja domestik perempuan (Hartmann, 1981).

Konsep bahwa di bawah kapitalisme corak produksi menentukan corak reproduksi dan, konsekuensinya, hubungan-hubungan tak setara yang dapat diamati antara laki-laki dan perempuan adalah bukan sebuah ben-tuk “ekonomisme” atau “reduksionisme kelas”, tapi pengenalan jaringan yang kompleks dari dampak-dampak di tingkat makro atas hubungan-hu-bungan laki-laki-perempuan, dari sebuah corak produksi yang didorong oleh akumulasi kapital ketimbang oleh tujuan untuk memuaskan kebu-tuhan rakyat. Untuk mengatakan sebaliknya, mempostulatkan “interaksi yang bersifat mutual” di antara organisasi produksi dan organisasi repro-duksi, atau memberikan keutamaan pada yang terakhir, berarti mengabai-kan signifikansi teoritis dari berlimpahnya bukti yang ada yang mendoku-mentasikan subordinasi reproduksi atas produksi kapitalis. Produksi menentukan reproduksi karena hal itu membentuk kondisi-kon-disi material dari kemungkinan yang secara relatif dekat dengan batas-an-batasan struktural; ini mengimplikasikan bahwa beberapa bentuk dari corak reproduksi secara struktural dieksklusikan, sementara beberapa bentuk lainnya adalah lebih mungkin ketimbang yang lainnya. Contoh-nya, ketika secara logis dimungkinkan untuk mengatur rumah tangga guna menggabungkan sumber daya, hidup bersama dan membesarkan anak-anak secara kolektif, maka adalah sulit, jika bukan tidak mung-kin, untuk mempertahankan bentuk-bentuk alternatif seperti itu dalam sebuah corak sosial dan organisasi resmi yang bertumpu pada kepemilikan pribadi dan tanggung jawab individual. Pengaturan hidup secara komunal atau kolektif, konsekuensinya, ditakdirkan menjadi pengecualian daripada sebagai aturan, dan secara substansial tidak menantang tata sosial karena orang, ketika menghendaki untuk berbagi masakan dan pengurusan anak, tidak seperti ketika mereka membagi asset-aset ekonomi mereka.

Konsekuensi dari hubungan-hubungan deter-minasi dan subordinasi ini, yang membuat reproduksi bersifat kontingen pada lika-liku dari proses akumulasi, dan menciptakan masalah yang sulit dikontrol dan penderitaan yang dahsyat di kalangan mayoritas propor-si dari populasi. Contohnya, di kalangan orang-orang miskin, seks dan prokreasi berjalan, tapi reproduksi tenaga kerja (yang membutuhkan re-produksi keterampilan dan kerja sosial) tidak didanai atau hanya didanai di tingkat yang sangat minimum. Konsekuensinya pertumbuhan, dalam semua masyarakat kapitalis, proporsi keluarga-keluarga dan populasi yang dipimpin oleh perempuan dieksklusikan dari partisipasi tenaga kerja baik di masa kini dan masa depan. Subordinasi reproduksi atas produksi be-rarti bahwa pemuasan kebutuhan orang-orang dan generasi masa depan pekerja bergantung pada naik dan turunnya siklus bisnis dan keputusan bisnis yang ditujukan untuk maksimalisasi keuntungan. Kemunculan ne-gara kesejahteraan dalam bentuknya yang beragam: kemiskinan, pengang-guran, perbedaan kelas dalam tingkat kesuburan, kelahiran dan kerentan-an penyakit; perjuangan tanpa akhir mengenai upah, dll. Terdapat bebe-rapa cara dimana subordinasi reproduksi untuk penciptaan keuntungan berlangsung terang-terangan. Ketika subordinasi reproduksi oleh produksi adalah gambaran dari corak produksi kapitalis dan karenanya menjadi hal yang umum atau biasa bagi semua masyarakat kapitalis, maka manifestasinya yang dapat diamati akan sangat beragam tergantung pada kondisi-kondisi sejarah dan ling-kungan serta lokasinya dalam dunia ekonomi kapitalis. Sebagai contoh, perkembangan yang cepat dari kota kecil di negara-negara yang kurang berkembang memiliki pasangannya dalam proyek-proyek perumahan bagi orang miskin di negara yang lebih makmur; akar dari apa yang disebut se-bagai “feminisasi kemiskinan” adalah ketika hubungan produksi kapitalis secara sistematis menolak akses untuk membayar pekerja dengan baik pada proporsi yang substansial dari dari populasi yang tidak memiliki har-ta apapun, laki-laki dan perempuan, sehingga kemampuan mereka untuk mereproduksi diri mereka sendiri dan generasi mendatang secara serius dilemahkan dan subordinasinya dilanggengkan dengan sendirinya. Dari sudut pandang ini, kemiskinan perempuan adalah salah satu aspek dari fenomena yang lebih luas: eksklusi (peminggiran) proporsi populasi mis-kin yang sedang bertumbuh, laki-laki dan perempuan, terhadap akses atas kondisi-kondisi minimum yang dibutuhkan bagi reproduksi mereka.

Dalam batasan yang dipaksakan oleh akumulasi kapital, kemudian, pekerja laki-laki memiliki satu sumber utama bagi kelangsungan hidup ekonomi —upah atau gaji tenaga kerja—sedangkan pekerja perempuan memiliki, selain pekerjaan yang dibayar, pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar. Perubahan akumulasi kapital menentukan kondisi bagi pembentukan ke-luarga di kalangan mereka yang tidak berpunya, dan, pada saat yang sama, terus menerus menggerogotinya, sehingga serikat buruh yang stabil men-jadi semakin tak terjangkau atau tidak stabil untuk sektor-sektor kelas pekerja yang lebih rentan. Tapi “keluarga” dalam berbagai bentuk saat ini hanya, untuk menggunakan terminologi Marx, sebuah “imajinasi kon-kret”; “benar-benar konkret” atau “totalitas yang terdiri dari banyak hu-bungan dan determinasi” adalah organisasi kapitalis dari reproduksi sosial dan menghasilkan perubahan jaringan dari hubungan sosial dalam mana reproduksi sosial menjadi mungkin pada waktu tertentu untuk tingkatan yang berbeda dalam populasi yang tak memiliki alat-alat produksi. Subordinasi reproduksi atas produksi tidak hanya menstrukturkan keti-daksetaraan gender sebagai sebuah aspek di tingkat makro dari formasi sosial kapitalis; melainkan juga memengaruhi keberadaan dan praktik masyarakat dan, karenanya kesadaran mereka. Hubungan-hubungan ini membentuk kondisi-kondisi bagi efektivitas ideologi-ideologi dan prak-tik-praktik pra-kapitalis dan kapitalis mengenai gender, seksualitas, dll, sebagaimana kemunculan bagi yang baru. Untuk membuat titik yang ber-beda, kehadiran elemen-elemen pra-kapitalis dalam budaya dan ideologi pada setiap formasi sosial yang ada, bukanlah sebuah indikator mengenai meluasnya ketidaksetaraan gender sebagai fenomena transhistoris (lin-tas sejarah), atau contoh sederhana dari “daya hidup” pra-kapitalis. Se-baliknya, itu adalah bukti keberadaan kondisi--kondidi material kapitalis yang memungkinkan efektifitas perilaku yang dipandu oleh unsur-unsur budaya dan ideologi tersebut. Ketika kondisi material berubah, perilaku masyarakat serta kesetiaan mereka kepada pandangan tradisional tentang gender, seksualitas, ukuran keluarga, dan sebagainya juga berubah. Se-bagaimana perubahan sosial yang selalu tidak merata, dan beberapa sek-tor dalam masyarakat lebih terpengaruh daripada yang lain, perjuangan ideologi dan perpecahan di dalam gerakan sosial adalah hasil yang tidak dapat dihindari, seperti yang dicontohkan oleh perpecahan di masa lalu dan saat ini di antara perempuan dan teoritisi feminis, dan ambivalensi yang dirasakan banyak perempuan menuju feminisme hari ini.







[2] Stevi Jackson, “Feminist Social Theory”, dalam Stevi Jackson dan Jacky Jones (ed), Contemporary Feminist Theory, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998)

Ebook Indoprogress (Penindasan Terhadap Perempuan)



Minggu, 02 Agustus 2015

Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah


Ilustrasi LKIP_Pemberontakan PKI 1926-27  dalam Dua Teks Sejarah_02
DALAM historiografi nasional yang resmi dan dominan sejak masa Orde Baru, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada akhir 1926 – awal 1927 memang disebut-sebut, tetapi dengan proporsi yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan bab tentang Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 30 September 1965. Dalam nalar struktur naratif historiografi resmi, hal ini bisa dipahami dengan mudah: yang dihadapi PKI pada 1948 dan 1965 adalah pemerintah Republik Indonesia sendiri, maka apa yang dilakukan PKI itu secara gampang(an) bisa dilabeli sebagai tindakan makar atau pengkhianatan sehingga PKI layak bahkan wajib dihancurkan dan dipandang sebagai musuh bangsa. Sementara itu, terhadap apa yang dilakukan PKI pada 1926-27, institusi yang bertanggung jawab dalam memproduksi wacana sejarah resmi agaknya mengalami kesulitan untuk membingkai dan memaknainya. Sebab, yang ditantang PKI adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Padahal, dalam wacana sejarah resmi yang nasionalistis, lebih tepatnya nasionalisme anti-kolonial, siapa pun yang pernah berani melawan atau memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, apa pun motifnya, dengan mudah dilabeli sebagai pahlawan. Di sini agaknya historiografi resmi dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah: melabeli para tokoh PKI dalam Pemberontakan 1926-27 sebagai pahlawan jelas akan mengurangi bahkan membalik gambaran tentang mereka sebagai pengkhianat. Akan tetapi, menyamaratakan apa yang PKI lakukan pada 1926-27 dengan apa yang mereka lakukan pada 1948 dan 1965 jelas merupakan suatu bentuk anakronisme sejarah—menempatkan suatu peristiwa sejarah dalam bingkai waktu yang berbeda. Lalu bagaimana historiografi resmi nasional memaknai peristiwa tersebut? Dan bagaimana pula historiografi resmi PKI memaknainya? Teks-teks resmi PKI yang belakangan muncul kembali, antara lain berkat kebebasan berekspresi sebagai salah satu buah Reformasi dan kemajuan teknologi informasi yang pesat, memungkinkan naskah lama diterbitkan-ulang dan disebarkan dengan mudah, entah secara digital atau cetak.
Esai ini berupaya memahami bagaimana peristiwa sejarah yang sama-sama dinamai “Pemberontakan” PKI 1926-27 dimaknai dalam dua teks sejarah resmi yang berbeda, yakni teks sejarah keluaran Pusat Sejarah TNI AD dan teks sejarah terbitan Lembaga Sejarah PKI. Teks yang disebut terdahulu merujuk pada buku Komunisme di Indonesia: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913 – 1948), Jilid I, (Jakarta: Pusat Sejarah TNI AD, 2009); sedangkan teks yang disebut belakangan merujuk pada buku Busjarie Latif [Lembaga Sejarah PKI],Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920 – 1945], (Bandung: Penerbit Ultimus, 2014). Bukan maksud esai ini untuk menimbang teks mana yang lebih benar dan objektif—dalam aliran-aliran pemikiran mutakhir apa yang “benar dan objektif” tak hanya disangsikan, tetapi juga digugat—tetapi memahami bagaimana nalar politik turut membentuk,  jika bukan mendikte, penulisan sejarah.

II

Buku pertama merupakan revisi atas Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, diterbitkan oleh penerbit yang sama, yakni Pusat Sejarah TNI AD. Tidak dijelaskan kenapa kata “Bahaya Laten” dihapus, dan cukup ditulis “Komunisme di Indonesia”.  Dugaan saya, tim penulis—yang diketuai oleh sejarawan Saleh As’ad Djamhari—tidak ingin buku ini terkesan tendensius (Lagi pula, frasa “Bahaya Laten” adalah khas Orde Baru, yang pada masa pasca-Reformasi 1998 ditolak oleh sebagian masyarakat). Alih-alih, mungkin mereka ingin buku ini dipandang sebagai teks sejarah yang objektif-ilmiah, sehingga diharapkan akan otoritatif. Dalam Penutup pada Jilid V, tim penulis antara lain mengatakan:
Buku ini ditulis untuk memberikan informasi tentang bahaya laten komunisme dan gerakan komunis serta mengingatkan kepada seluruh golongan masyarakat khususnya bangsa Indonesia umumnya, agar tidak   lengah dan tidak meremehkan terhadap komunisme dan gerakannya. Kelengahan sekecil apapun bisa memberikan peluang bagi ideologi dan gerakannya. Gerakan komunis pun sudah pasti memanfaatkan era globalisasi ini, dengan menawarkan ide-ide dan melontarkan isu demokratisasi, keterbukaan, hak-hak azasi,    keadilan dan kesenjangan kepada masyarakat dalam  rangka mematangkan kondisi untuk manifes (muncul) kembali. (Jilid V, hlm. 233)

Buku Komunisme di Indonesia ini diterbitkan dalam lima jilid dan disusun secara kronologis. Judul jilid I sebagaimana disebutkan di atas; sedangkan jilid II berjudul Komunisme di Indonesia: Penumpasan Pemberontakan PKI (1948); jilid III, Komunisme di Indonesia: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI (1950 – 1959); jilid IV, Komunisme di Indonesia: Pemberontakan G.30 S/PKI dan Penumpasannya (1960 – 1965); jilid V,  Komunisme di Indonesia: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya (1965 – 1981).
Dari judul semua jilid tersebut, kecuali jilid I dan III, kata “penumpasan” selalu hadir. Artinya, fokusnya lebih pada bagaimana “penumpasan” terhadap segala tindakan PKI itu dilakukan. Siapa “penumpasnya” tidak lain adalah militer, lebih khusus lagi Angkatan Darat. Dengan kata lain, buku ini memang tidak lebih daripada narasi heroik TNI AD dalam “menumpas” [si]apa yang dianggap musuh utama dalam sejarah politik modern Indonesia, yakni PKI. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemberontakan PKI 1926-27 itu dipandang oleh TNI AD—suatu momen sejarah ketika Republik Indonesia, apalagi TNI AD, belum ada.
Buku Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920 – 1965]  [selanjutnya ditulis Manuskrip] semula merupakan naskah yang dipersiapkan oleh Lembaga Sejarah PKI  untuk menyambut hari ulang tahun PKI yang ke-45 pada 23 Mei 1965. Akan tetapi, hingga hari ulang tahun itu tiba, yang dirayakan secara-besar-besaran, sampai peristiwa 30 September 1965 terjadi, naskah itu belum terbit juga. Yang jelas, naskah itu sempat beredar di tangan para anggota Lembaga Sejarah PKI pada awal Mei 1965, sebagaimana dituturkan Koesalah Soebagjo Toer dalam salah satu Kata Pengantar buku ini (Jumlah anggota Lembaga Sejarah PKI adalah 35 orang). Perihal nasib naskah itu hingga akhirnya terbit menjadi buku pada 2014, Sumaun Utomo (91), mantan Sekretaris Lembaga Sejarah PKI, secara ringkas menulis dalam salah satu pengantar buku tersebut:
Manuskrip ini setelah selesai ditulis oleh almarhum Kawan Busjarie Latif, “hilang” ditelan Prahara 1965. Tetapi tanpa disangka ia ikut terbang mengelilingi dunia menyelamatkan diri dan akhirnya setelah empat puluh tujuh tahun menjelajahi dunia, terbang melayang kembali ke tangan saya. (hlm. x – xi)

Keterangan ringkas ini sangat masuk akal, karena—sebagaimana diketahui—segala dokumen, risalah, dan publikasi dari dan yang terkait dengan PKI beserta ormas-ormasnya niscaya disita atau dirampas oleh aparat keamanan ketika terjadi penangkapan besar-besaran terhadap para anggota dan simpatisan PKI dan organisasi-organisasionderbouw-nya pada 1965-1966. Dalam konteks penulisan sejarah politik nasional, terbitnya manuskrip ini menjadi penting setidak-tidaknya untuk melihat bagaimana PKI menuliskan sejarahnya sendiri, bukan sebagaimana dituliskan oleh pihak yang telah menghancurkannya. Asas “fairness” dalam penulisan sejarah, layaknya prinsip “dua sisi cerita” dalam jurnalistik, pun terjaga.

III

Komunisme di Indonesia banyak mengacu pada karya akademik yang otoritatif tentang kiprah PKI pada awal kemunculannya hingga meletusnya pemberontakan 1926-27, yakni buku Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism, dan Justus M. van der Kroef, The Communist Party of Indonesia. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Komunisme di Indonesia relatif berjarak dalam mendeskripsikan sebab-sebab dan proses jalannya pemberontakan. Meskipun tidak begitu terperinci, dinamika internal di dalam tubuh kepengurusan PKI sejak Kongres 1924 di Kotagede, Yogyakarta, hingga munculnya apa yang disebut Putusan Prambanan pada Desember 1925, yang mencetuskan ide untuk melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada Juni 1926, dipaparkan dengan baik. Akan tetapi bagaimana pemberontakan itu akhirnya menemui kegagalan dan bagaimana ribuan tokoh dan aktivis PKI ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digul, pendeknya bagaimana PKI dihancurkan, di dalam buku ini hampir-hampir tidak disinggung. Alih-alih, buku ini memberikan semacam kesimpulan perihal dampak kegagalan pemberontakan PKI tersebut terhadap gerakan politik nasional pada masa itu seperti berikut ini:
Kegagalan pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI pada 1926/27 ini mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional. Pengawasan terhadap semua aktivitas partai-partai politik lebih diperketat. Ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan. Nasib perjuangan pergerakan nasional  mengalami masa yang paling suram. Di sini kita melihat bahwa PKI hanya berjuang untuk mencapai tujuan politiknya sendiri, yaitu merebut kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan komunis. Agitasi dan slogan-slogan revolusi yang menyesatkan dan menipu, menelan korban putra-putri Indonesia yang masih  buta politik. (Komunisme di Indonesia, Jilid I, hlm. 37)

Di lain pihak, di dalam Manuskrip proses terjadinya pemberontakan 1926-27 berikut sebab-sebab serta konteks sosial-politik makro maupun mikro yang melatarbelakanginya dan berbagai akibatnya, baik bagi PKI sendiri maupun gerakan politik nasional pada masa itu, dipaparkan dengan sangat terperinci. Dengan mengacu pada sumber-sumber sezaman seperti suratkabar yang berbahasa Melayu maupun Belanda, serta buku karya seorang sarjana Belanda yang bersimpati pada perjuangan kaum kiri di Indonesia, yakni J. Th. Petrus Bloemberger, De Communistische Beweging in Nederlands Indie, jalannya pemberontakan yang dimulai di Batavia pada 12 November 1926, yang kemudian menyebar ke kota-kota lain di Jawa, dan kemudian pada Januari 1927 merembet ke Sumatera hingga akhirnya ditumpas oleh pemerintah kolonial Hinda Belanda pada akhir Maret 1927, dideskripsikan secara detail. Gambaran tentang bagaimana para pelaku pemberontakan melancarkan aksi-aksi mereka dari satu tempat ke tempat lain dalam kurun waktu sekitar lima bulan dari November 1926 hingga Maret 1927 itu dihadirkan secara terperinci. Sebagai contohnya adalah nukilan berikut ini:

Priangan Tengah. Rakyat sudah siap melakukan serbuan pada jam  9.30 malam, yaitu mulai menyerang pos polisi di Nacik. Seorang agen polisi yang mencoba memberikan perlawanan terhadap kaum pemberontak mendapat luka-luka. Pada malam itu kaum pemberontak membongkar rel kereta api  Rancaekek untuk mencegah lalu lintas kereta api yang mengangkut serdadu [Belanda – tambahan penulis]. Di Batujajar, kaum pemberontak juga menyerbu rumah kepala desa yang kejam, dan membakar  rumahnya. Demikian  juga terjadi di Cimahi. Jembatan yang menghubungkan jalan dari Garut ke Bandung dirusak, juga jembatan di Cilis. (Manuskrip, hlm. 122).

Dalam penulisan sejarah, penggambaran secara terperinci bukan semata-mata terkait masalah ketersediaan sumber, tetapi juga perkara perhatian (interest) dan kepedulian (concern) terhadap peristiwa yang ditulis. DalamKomunisme di Indonesia (Jilid I), pemberontakan PKI 1926-27 hanya dideskripsikan dalam 5 halaman (hlm. 32 – 37), dan langsung tersodorkan kesimpulan sebagaimana dikutip di atas. Ini pertanda bahwa para tim penulis barangkali gamang ketika harus menghadirkan-kembali peristiwa itu, karena, sebagaimana saya katakan di atas, mereka dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah: tidak mungkin memaknai para pemberontak itu sebagai martir dan pahlawan, tetapi juga tidak bisa menyamaratakan mereka begitu saja dengan apa yang mereka pandang telah diperbuat kaum komunis pada 1948 dan 1965. Sebagai perbandingan, dalam buku Jilid II, Peristiwa Madiun 1948 dideskripsikan mulai dari halaman 1 hingga 169, di mana dideskripsikan latar belakang kejadian, jalannya pemberontakan itu sendiri, dan, tentu saja, operasi-operasi militer dalam menumpas pemberontakan tersebut. Dengan struktur naratif yang sama, hal serupa juga terjadi pada penggambaran Peristiwa 30 September 1965, yang mengisi sepanjang buku Jilid IV (halaman 7 – 321).
Dalam Manuskrip,  penggambaran pemberontakan PKI 1926-27 yang begitu rinci itu  tidak lepas dari tujuan pokok PKI menjelang ulang tahunnya yang ke-45, yaitu ingin mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut. Hal ini tampak dalam bagian “Kesimpulan Pengalaman dari Pemberontakan”, yang antara lain tertulis:
Pemberontakan  nasional 26 adalah pemberontakan tanpa persatuan nasional dan berbasiskan   persekutuan buruh dan tani. Kesalahan pokok PKI pada masa kanak-kanak ini ialah telah menjadi  mangsa dari semboyan “kekiri-kirian”, tidak berusaha keras untuk menjelaskan keadaan, mau memecahkan semua soal dengan satu kali pukul, seperti melikuidasi feodalisme, melepaskan diri dari Belanda, menghancurkan semua kaum imperialis, menggulingkan pemerintah reaksioner, melikuidasi kaum tani kaya, melikuidasi kaum borjuis nasional. Akibat semuanya ini ialah: bahwa kelas musuh semakin bersatu dengan menarik ke pihaknya, golongan-golongan yang semestinya bisa dijadikan sekutu partai.

Kesalahan pokok ini tidak berarti bahwa PKI sama sekali tidak mengadakan kontak-kontak dan kerjasama dengan golongan dan elemen-elemen non-komunis. Kenyataan menunjukkan bahwa pimpinan PKI waktu itu pun sudah mengerti perlunya persatuan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana pimpinan PKI yang memimpin serikat buruh selalu mengusahakan kerja sama dengan serikat buruh yang dipimpin oleh kaum reformis dari elemen nasionalis, seperti Surjopranoto dan lain-lain (…) Tetapi kerja sama yang telah dilakukan belum berdasarkan pada pengertian Marxis-Leninis tentang watak masyarakat Indonesia, tentang watak revolusi dan kekuatan pendorongnya (…) Karena itu mereka tidak dapat menciptakan program politik  yang jelas untuk menggalang front persatuan nasional. Kesimpulan dari semuanya ini ialah, bahwa pimpinan PKI belum mampu memadukan prinsip umum Marxisme – Leninisme dengan praktik revolusi Indonesia…. (Manuskrip, hlm. 161 – 162).

Tampak bahwa spiritnya adalah ingin melakukan tindakan korektif, tidak mengulang kesalahan yang sama, yakni penyakit “kekiri-kirian”. Kendati demikian, di dalam Manuskrip para pemimpin PKI generasi awal yang telah berani mencetuskan “pemberontakan nasional bersenjata yang pertama melawan imperialisme” (hlm. 158) tetap dipandang sebagai
(…) pahlawan-pahlawan terhormat yang melawan imperialisme. Walaupun gagal, tapi mereka dapat diberi sebutan seperti yang diberikan oleh Marx kepada pemberontak-pemberontak Komune Paris 1871: (…)’Mereka adalah malaikat-malaikat yang menyerbu langit’. (Manuskrip, hlm. 165).

Penghargaan yang begitu tinggi terhadap langkah-langkah heroik para tokoh PKI generasi awal, meskipun gagal, tidak lepas dari upaya PKI yang ingin menegaskan posisinya yang tak terpisahkan dalam sejarah pergerakan nasional: “Satunya Sejarah PKI dengan Sejarah Pergerakan Nasional”,
(…) mengenal sejarah PKI tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional yang umum, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini mempunyai dasar obyektif, karena ia terbentuk berdasarkan perkembangan khusus masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat kolonial dan semi-feodal. (Manuskrip, hlm. 451)

IV

Tampak bahwa ada pemaknaan atas pemberontakan PKI 1926-7 yang tidak hanya berbeda, tetapi juga bertolak belakang dalam kedua teks sejarah ini. Tentu saja hal ini tidak mengejutkan. Akan tetapi yang menarik di sini adalah bagaimana nalar politik turut membentuk—jika bukan mendikte—penulisan sejarah, berikut implikasinya pada metode sejarah itu sendiri. Bagaimana pemaknaan yang kontras itu mesti harus kita pahami tentu tidak bisa kita lepaskan dari konteks produksi teks sejarah itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, sejak masa Orde Baru berdiri militer Indonesia telah menempatkan PKI dan komunisme sebagai musuh bangsa, musuh negara, dan musuh Pancasila. PKI. Komunisme telah ditempatkan sebagai si “Liyan” yang harus terus-menerus diwaspadai, kendati telah dibubarkan dan dihancurkan pada 1965 – 66. Dalih yang selalu didengungkan adalah bahwa komunisme itu benda asing, “yang tidak cocok dengan adat dan budaya bangsa Indonesia”. Lebih dari itu, ia adalah benda “asing” yang selalu ingin mengubah setiap masyarakat di mana pun menjadi seperti mereka. Dalam bab “Pendahuluan” Komunisme di Indonesia Jilid I (hlm. 1) ditulis:
Sebagaimana telah dicatat oleh sejarah, setiap penganut komunisme adalah pembawa misi yang permanen, yaitu membentuk negara komunis dan masyarakat komunis. Misi ini dijabarkan dalam berbagai bentuk aksi, baik yang bersifat terbuka maupun yang bersifat tertutup, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing tempat, daerah, atau negara yang disebutkan sebagai tahap perjuangan.

Dari kacamata pandang itu bisa kita pahami mengapa pemberontakan PKI 1926-27 tetap dihadirkan dalam teks sejarah keluaran TNI dan historiografi nasional resmi, yakni tidak lain untuk meyakinkan diri mereka sekaligus khalayak umum bahwa PKI dan gerakan komunis itu memang “dari sananya” bersifat memberontak, merongrong, konfrontatif, sampai cita-cita membentuk negara komunis terwujud. Maka, secara tersirat dari keyakinan itu, gerakan komunis tidak akan mungkin berkolaborasi dengan gerakan-gerakan beraliran ideologi lain kecuali hanya sebagai taktik sementara.
Karena cara pandang itu telah terbentuk sebagai pra-anggapan (presumption), maka buku Komunisme di Indonesiapun menyimpulkan bahwa gagalnya pemberontakan PKI 1926-27 “mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional”, di mana antara lain “ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan”. Kesimpulan ini jelas manipulatif, karena faktanya, sebagaimana dicatat sejarawan John Ingleson, penghancuran dan pelarangan PKI, “kemudian meninggalkan suatu vakum politik yang terjadi pada saat yang sangat tepat untuk sekelompok aktivis politik yang selama beberapa tahun telah merencanakan sebuah gerakan nasionalis baru, yang didasarkan pada Islam atau Komunisme. Hancurnya PKI memberi kesempatan untuk mewujudkan rencana tersebut. Selama 7 tahun berikut [baca: 1927 – 1934—tambahan penulis], kelompok nasionalis yang baru ini berikhtiar mengembangkan kesadaran politik pada kalangan yang lebih luas….”[1]
Di lain pihak, Manuskrip yang ditulis pada saat PKI sangat dekat dengan Presiden Sukarno jelas tidak lepas dari hasrat PKI untuk menunjukkan dirinya sebagai partai yang berada di garda depan dalam mengusung Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), yang waktu itu menjadi ideologi  resmi pemerintah. Barangkali dalam konteks inilahManuskrip mendesakkan pandangan “Satunya Sejarah PKI dengan Sejarah Pergerakan Nasional”, pandangan yang ditopang oleh sebuah “manipulasi” sejarah, yakni ketika di dalam buku ini ditulis—sebagaimana dikutip di atas—“bagaimana pimpinan PKI yang memimpin serikat buruh selalu mengusahakan kerja sama dengan serikat buruh yang dipimpin oleh kaum reformis dari elemen nasionalis, seperti Surjopranoto dan lain-lain”. Memang tidak keliru jika dikatakan “mengusahakan kerja sama”, tetapi yang tidak dikatakan di situ adalah bahwa “usaha kerja sama” itu sebenarnya tidak pernah terwujud. Sebab, yang terjadi adalah rivalitas dan perebutan siapa atau kelompok mana yang mesti memimpin, serta cara atau metode gerakan mana yang mesti dipakai. Hasilnya adalah bahwa pemogokan buruh pabrik gula yang berpusat di Yogyakarta, yang dipimpin Surjopranoto, dan pemogokan buruh tram dan kereta api yang berpusat di Semarang, yang dipimpin Semaun,  berjalan sendiri-sendiri; dan kedua aksi pemogokan pada Mei – Juni 1920 itu pun gagal.  Buntutnya adalah polemik berkepanjangan untuk saling menyalahkan.[2]
Walaupun di atas telah saya katakan bahwa saya tidak ingin membandingkan kedua teks sejarah ini untuk menimbang mana yang lebih ”objektif”, dari paparan di atas tampak bahwa proses manipulasi sejarah dalam kedua teks ini berbeda. Dalam Komunisme di Indonesia, penghancuran PKI oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang meninggalkan kevakuman pimpinan dalam gerakan politik nasional digambarkan sebagai situasi di mana semua gerakan politik, termasuk yang non-komunis, harus ikut menanggung getahnya, yakni menghadapi represi politik dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan dalam Manuskrip, yang dikatakan hanya separuh kebenaran, yakni “mengusahakan kerja sama”. Bahwa kerja sama itu tidak terwujud, bahkan yang terjadi adalah rivalitas sehingga ketika dua-duanya gagal dalam aksi pemogokan dan kemudian muncul upaya saling menyalahkan, tidak dikatakan. Dalam Komunisme di Indonesia, manipulasi itu berwujud pembalikan fakta; sedangkan dalamManuskrip, manipulasi itu berupa penyembunyian fakta. Bukan tugas saya untuk mengatakan mana yang lebih ber-“dosa”. Yang jelas keduanya adalah konsekuensi logis ketika sejarah ditulis dengan berangkat dari sejumlah pra-anggapan yang tak lepas dari kepentingan politis-ideologis tertentu.
______
Sumber Harian Indoprogress
[1]  Lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 – 1934, Jakarta: LP3ES, 1983; hlm. vii. Yang dimaksud dengan para aktivis gerakan nasionalis baru pasca kegagalan pemberontakan PKI ini misalnya antara lain Sukarno, Hatta, Sjahrir, Sartono, Sukiman, dsb.
[2]  Lihat Budiawan, Anak Bangsawan Bertukar Jalan: Biografi R.M. Suryopranoto, Yogyakarta: LkiS, 2006; hlm. 97-156.