Problem
pembelajaran IPS yang selama ini menjadi titik sentral yang sering diangkat
dalam suatu penelitian dan tulisan adalah: “bahwa pembelajaran IPS di sekolah
selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar
target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses.”[1]
Oleh karena itu peserta didik menganggap pembelajaran IPS adalah pembelajaran
yang tidak terlalu rumit, kelas dua bahkan tidak terlalu dipentingkan. Padahal
Aziz mengatakan di dalam buku Rudy Gunawan:
Dalam
pembelajaran IPS proses itu amat penting. Dalam pembelajaran IPS, peserta didik
diharapkan dapat memperoleh pengetahuan, pengalaman-pengalaman dalam
menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan demokratis, termasuk mempraktekkan
berpikir dan memecahkan masalah.[2]
Pernyataan di atas
begitu relevan dengan fakta yang ada di lapangan, peneliti sendiri yang
basisnya juga sebagai guru ilmu sosial menyaksiskan betul betapa ironinya
keadaan suasana dan kultur kelas ketika memasuki jam pembelajaran IPS. Seperti
model pembelajaran konservatif yang tetap dipertahankan dari model ceramah dan
penugasan pada peserta didik. Pembelajaran IPS di sekolah juga belum
berupaya melaksanakan dan membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis,
sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam
berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam pembelajaran IPS lebih
menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang besifat hapalan
belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan “kegagalan”
pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.
Jika
pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, terutama hanya menekankan pada
informasi, fakta, dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang
diarahkan pada proses berfikir dan kurang diarahkan pada pembelajaran bermakna
dan berfungsi bagi kehidupannya, maka pembelajaran IPS tidak akan mampu
membantu peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam
kehidupan masa yang akan datang. Oleh karena itu sudah semestinya pembelajaran
IPS masa kini dan ke depan mengikuti berbagai perkembangan yang tejadi di dunia
secara global.[3]
Sampai saat ini pendidikan IPS dianggap membosankan, membingungkan, tidak
menarik, serta tidak menemukan relevansi di lapangan jika dikaitkan dengan
teori dan praktek.
Ambiguitas
itu lahir akibat kajian IPS melingkupi tentang kehidupan manusia dan
lingkungannya, faktanya manusia serta lingkungannya merupakan sesuatu subjek
individu yang unik dan berbeda satu sama lain. Jadi kepastian dalam pendidikan
IPS itu sendiri adalah ketidakpastian, tentu saja perbedaan pandangan manusia
dalam menyikapi berbagai masalah yang dihadapinya termasuk para pengamat.
Kondisi tersebut ditambah dengan model pembelajaran yang konservatif, tidak
menarik dan membosankan. Seperti yang disampaikan oleh Fout:
Banyak penelitian yang dilakukan, menunjukkan
bahwa nilai studi sosial siswa sangat rendah di antara mata pelajaran lain,
bahkan mereka cenderung merasa bosan terhadap pembelajaran studi sosial dengan
metode ceramah. Materi dalam pembelajaran IPS banyak yang tidak menghubungkan
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, terlalu terpaku kepada pedoman atau
buku teks yang umumnya diseragamkan atau kurang mengakomodasi berbagai masalah
yang dihadapi oleh masyarakat atau daerah tertentu.[4]
Oleh
karena itu penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan solusi dan harapan
bagi pembelajaran IPS di sekolah menengah dalam menghadapi globalisasi yang
semakin masif. Namun perlu disampaikan juga ada beberapa guru yang misalkan ia
terbuka terhadap perkembangan pendidikan serta bersifat humanistik justru
mereka orang yang teralienasi dalam sistem pendidikan yang konvensional.
Seperti pengalaman penulis di lapangan, di mana beberapa guru tidak merespon
positif metode pembelajaran penulis dalam menyampaikan materi kepada peserta
didik. Seperti penayangan film pembelajaran, penulisan teks soal yang sifatnya
C4 atau menganalisa dan strategi pembelajaran lainnya.
Penulis
berharap persoalan tersebut tidak menjadikan minat guru yang kreatif untuk
kehilangan minat dalam mengembangkan strategi dan model pembelajaran IPS tapi
semakin tertantang dalam mendobrak dinding-dinding kekonservatifan dalam sistem
pendidikan konvensional. Reformasi pendidikan di awali dengan keotonomian guru
dalam mendidik peserta didiknya ke arah yang lebih baik.
Seperti yang sudah
disinggung dalam di atas, hilangnya minat serta keringnya pembelajaran IPS adalah
“mati gaya”nya guru dalam mengaplikasikan materi IPS di kelas. Penulis
menekankan guru sebagai problem fundamental dalam pembelajaran IPS. Seperti
contohnya dalam pembelajaran IPS yang menggunakan pendekatan tradisional, “di
mana guru di dalam kelas menggunakan metode mengajar yang relatif tetap
(monoton) setiap kali mengajar IPS, guru terkesan lebih aktif daripada siswa”.[1]
Kecenderungan kasus tersebut berdampak pada kegiatan belajar yang membosankan
sehingga hasil belajar siswa kurang luas dan mendalam malahan cenderung
verbalistis. Di era keterbukaan informasi dewasa ini pembelajaran IPS
diharapkan memiliki peranan penting dalam mencetak produk-produk yang memiliki
“kemampuan berpikir kreatif (creative
thinking), berpikir secara kritis (critical
thinking), kemampuan memecahkan masalah (problem solving), dan kemampuan mengambil keputusan (decision making)”.[2]
Pembelajaran IPS yang
cenderung naratif dan monoton begitu membosankan bagi para siswa sehingga
menimbulkan kesan bahwa pembelajaran IPS hanya semata mendengarkan guru yang
sedang menyampaikan materi dan mengerjakan tugas-tugas. Konsep demikian apa
yang disebut oleh Paulo Freire sebagai konsep ‘gaya bank’[3] di
mana hubungan antara guru dan murid di semua tingkatan, di dalam maupun di luar
sekolah mengungkapkan watak bercerita (narrative)
yang mendasar di dalamnya. Guru sebagai subyek yang bercerita dan obyeknya yang
patuh adalah murid, isi pelajaran yang tentunya menyangkut nilai-nilai dan
realitas menjadi amat kering tanpa ada refleksi atau studi kasus dalam konteks
isu-isu kontemporer maupun isu-isu kontroversial untuk dijadikan sebagai bahan
materi.
Kultur pendidikan seperti
demikian yang dianggap Freire sebagai ‘penyakit’, guru membicarakan realitas seolah-olah
sesuatu yang statis, terpisah satu sama lain dan bisa diramalkan. Freire
menambahkan:
Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan
bercerita ini, karena itu adalah kemerduan kata-kata, bukan kekuatan
pengubahnya. ‘empat kali empat sama dengan enambelas, ibukota Para adalah
Balem.’ Murid-murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan ini
tanpa memahami apa arti sesungguhnya empat kali empat, atau tanpa menyadari
makna sesungguhnya dari kata ‘ibukota’ dalam ungkapan ‘ibukota Para adalah
Balem’, yakni, apa arti Balem bagi Para dan apa arti Para bagi Brazil.[4]
Relasi antara guru dan
murid yang seperti demikian sering ditemukan dalam kelas-kelas IPS, oleh karena
itu pembelajaran IPS menjadi sebuah kegiatan ‘menabung’. Di mana para murid
adalah celengan dan guru dianalogikan sebagai penabungnya. Yang terjadi bukan
lagi proses komunikasi melainkan guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan
mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para
murid. Dari konsep gaya bank inilah guru terindikasi menjadi otoriter di dalam
kelas, anti kritik dan bersifat menindas. Karena pada hakikatnya pendidikan
gaya bank: “merupakan suatu anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap
dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan
apa-apa, menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari
ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai
proses pencarian.”[5]
Persoalan tersebut
merupakan hal yang tidak asing jika kita temui di lapangan saat ini, di mana
kurikulum 2013 suatu sistem yang mendobrak kultur ‘gaya bank’nya Freire masih
jauh dari harapan, malahan dalam pelaksanaannya guru masih menggunakan
model-model tradisional. Ditambah tantangan global yang terus memberikan
pengaruh secara positif dan negatif, di era globalisasi seperti saat ini
dibutuhkan suatu kualitas sumber daya manusia yang cakap dan memiliki
integritas dalam menjawab tantangan tersebut. Guru harus mampu memprakarsai
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia demi kemajuan bangsa.
Pendidikan demokratis perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas
untuk dijadikan suatu model pembelajaran IPS. Sekolah demokratis adalah membawa
semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Beane dan Michael W. Apple
memberikan suatu penjelasan untuk pengembangan dalam upaya membangun sekolah
demokratis seperti berikut:
1. Keterbukaan saluran ide dan
gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2. Memberikan kepercayaan
kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk
menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3. Menyampaikan kritis sebagai
hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide,
problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah
4. Memperlihatkan kepedulian
terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan public
5. Ada kepedulian terhadap
harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6. Pemahaman bahwa demokrasi
yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga
demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup
manusia
7. Terdapat sebuah institusi
yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.[6]
Esensi teori Beane dan
Michael W. Apple di atas adalah, bahwa sekolah demokratis dapat terwujud jika
semua informasi penting dapat dijangkau oleh semua stakeholder sekolah, jadi semua unsur tersebut memahami arah
pengembangan sekolah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah
yang sedang dan akan ditempuh. Sekolah demokratis juga harus dikembangkan
dengan sikap trust, yaitu orang tua
percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju
idealitas yang diinginkan, selanjutnya yang paling substansial kepala sekolah
juga harus percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya
serta mengorganisir pelaksanaan program-program tersebut.
Kemudian sekolah demokratis
harus menekankan terhadap hak-hak asasi manusia, seperti kesejahteraan para
guru dan semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus menjadi perhatian
serius, manajemen harus dilakukan secara terbuka khususnya dalam aspek-aspek
yang termasuk wilayah public harus dikelola secara transparan, sehingga semua
ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Jika dielaborasi dengan
teorinya Beane dan Apple di atas, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan
nilai-nilai serta kultur demokrasi di dalam kelas. Sekaligus mengajak peserta
didik untuk mampu dan ‘melek’ konsep demokrasi itu sendiri. Guru harus
memprakarsai konsep dasar demokrasi di dalam kelas seperti memberikan perhatian
yang sama pada seluruh siswa tanpa membedakan antara si pintar dengan yang
belum pintar, tidak membedakan si rajin dengan yang tidak rajin. Semuanya harus
memperoleh perlakuan dan perhatian yang sama, meskipun dengan pendekatan yang
berbeda-beda. Pola-pola seperti ini yang diungkapkan oleh Dede Rosyada:
“sebagai pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian seimbang
terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam
sekolahnya.”[7]
Prof. Dr. Nana Supriatna,
M.Ed dalam diskusi panel yang penulis hadiri mengatakan bahwa:
Dalam merayakan demokrasi di sekolah, guru
harus benar-benar objektif dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik.
Contoh ketika sedang melakukan kegiatan diskusi di dalam kelas, guru jangan
hanya menilai peserta didik yang hanya aktif berbicara, namun memberikan
penilaian juga bagi peserta didik yang diam/mendengarkan. Karena pada
hakikatnya demokrasi adalah menghargai, dalam konteks ini guru harus menilai
diamnya peserta didik adalah bagian dari menghargai pendapat orang lain, dengan cara diam dan
mendengarkan peserta didik yang lain sedang berbicara.[8]
Pernyataan Prof Nana
Supriatna sangat relevan dengan problem proses pembelajaran IPS di dalam kelas.
Guru cenderung memperhatikan peserta didik yang mendominasi, namun tidak
memberi suatu reward bagi peserta
didik yang menghargai pendapat temannya dengan cara diam. Tetapi perlu di garis
bawahi guru juga harus mengajak peserta didiknya agar ikut berpartisipasi dalam
jalannya diskusi.
Sebenarnya kurikulum 2004
sudah mengantisipasi fenomena setidaknya sepuluh tahun ke depan dalam
menghadapi globalisasi, namun problem fundamental di Indonesia kurikulum hanya
merupakan suatu dokumen dan ide bukan dalam bentuk implementasi atau proses. Ditambah
profesionalitas guru untuk melaksanakan kurikulum masih jauh dari harapan,
seperti yang ditulis oleh Rudy Gunawan:
a. Sebagian besar guru IPS
belum terampil menggunakan beberapa model mengajar seperti cooperative learning, inquiry. Problem solving atau dengan
menggunakan pendekatan perspektif global misalnya.
b. Ketersediaan alat dan bahan
belajar di sebagaian besar sekolah, ikut mempengaruhi proses belajar mengajar
IPS
c. Karena itu (point 1 dan 2),
proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran
konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil secara faktual
saja, dan tidak mendapat hasil proses
d. Dalam hal implementasi atau
proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk
penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga
menyebabkan mereka masih belum memahami hakikat kurikulum baru ini sebagaimana
mestinya.
e. Sebagian besar masyarakat
Indonesia belum siap untuk mengadaptasi atau mengadopsi budaya dan peradaban
asing yang mulai merambah secara global, karena berbenturan dengan nilai-nilai
tradisi ataupun agama.[9]
Dalam
kurikulum 2013 itu sendiri tuntutan untuk mencetak sumber daya yang produktif
untuk menjawab tantangan global juga didesain dalam strategi, dan proses
pembelajaran di dalam kelas. Selain itu jumlah penduduk usia produktif yang
akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 menjadi tantangan besar agar SDM
usia produktif ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi
dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.
Tabel Perkembangan Pola
Pikir dalam Kurikulum 2013[10]
Pola Pembelajaran
|
|
Kurikulum
2004 dan 2006
|
Kurikulum
2013
|
Berpusat pada guru
|
berpusat pada peserta didik. Peserta didik
harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki
kompetensi yang sama
|
Satu arah (interaksi guru-peserta didik)
|
Interaktif (interaktif guru-peserta
didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya)
|
Pasif
|
Aktif mencari (diperkuat dengan model
pembelajaran pendekatan sains)
|
Sendiri
|
Berbasis tim (kelompok)
|
Alat tunggal
|
Alat multimedia
|
Berbasis massal
|
Kebutuhan pelanggan (memperkuat
pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik)
|
Ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline)
|
Ilmu pengetahuan jamak
|
Pasif
|
Kritis
|
Tabel
di atas jelas menggambarkan dua pendekatan kurikulum 2004 dan 2006 dengan
kurikulum 2013 yang sangat berbeda. Di mana kurikulum 2013 lebih menekankan
pada peran aktif siswa di dalam kelas dan guru bukan satu-satunya sumber
pengetahuan dalam proses pembelajaran. Jika dikorelasikan dengan problem yang
terjadi dalam pembelajaran IPS kurikulum 2013 adalah merupakan suatu solusi
untuk memecahkan masalah dalam proses pembelajaran. Misalkan guru mampu
mengelaborasi materi-materi ajarnya dengan melakukan studi kasus yang terjadi
di luar sekolah (lingkungan peserta didik, isu-isu kontemporer dan isu kontroversial).
Salah satu pendekatan cooperative
learning tersebut mampu menumbuhkan nalar, imajinasi serta mengajak peserta
didik terlibat dalam memecahkan masalah yang terjadi.
[1] Ibid., hlm. 58.
[2] Huriah Rachmah. 2014. Pengembangan Profesi Pendidikan IPS.
Bandung: Alfabeta, hlm. 138.
[3] Lihat BAB II Pendidikan gaya
bank sebagai alat penindasan, Paulo Freire. 1985. Pendidikan
Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, hlm. 49.
[4] Ibid., hlm. 50.
[6] Dede Rosyada. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah
Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta:
Kencana, hlm. 16.
[7] Ibid., hlm. 18.
[8] Diskusi panel yang
diselenggarakan di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung. Penulis turut hadir dalam kegiatan akademik studi banding pada 11
November 2016.
[9] Rudy Gunawan, Op. Cit, hlm. 92.
[10] Rudy Gunawan. 2014. Pengembangan Kompetensi Guru IPS.
Bandung: Alfabeta, hlm. 4.