Rabu, 04 September 2013

Supersemar, Sisi Gelap Sejarah Yang Belum Terungkap

Pendahuluan :
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor. Namun ternyata sampai saat ini pun belum terungkap sisi gelap sejarah Supersemar.
Keluarnya Supersemar
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba.
Kontroversi seputar Supersemar.
  1. Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
  2. Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
  3. Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
  4. Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
  5. Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
  6. Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.

sumber rujukan : id.wikipedia.org
disalin ulang      : www.komunitassain.blogspot.com

Selasa, 09 Juli 2013

SOE HOK GIE dan Gunung Semeru


SOE HOK GIE: Kenangan Kepada Seorang Demonstran

Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak Gunung Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
“Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,” lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. “Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru … perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,” begitu bunyi naskah buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.


Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan‘ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa Naik Gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.
Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.
Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69.
Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing. Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Monyet Tua Yang Dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: “… Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ….”
Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata “sakti” filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.” (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik … dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.
Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!

Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis: … Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.


Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, “Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”
Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa.” Demikian tulis Maxwell. Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folk song (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.
Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras yang berbicara tentang kemerdekaaan Dan demokrasi dan bercita-cita menggulingkan tiran aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan dictator dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi. kawan-kawan kuberikan padamu cintaku dan maukah kau berjabat tangan selalu dalam hidup ini?

Sumber:
  • Soe Hok Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta Dan Cinta Di Alam Bangsanya

Sabtu, 29 Juni 2013

Politik Apartheid di Afrika Selatan

Daerah Afrika selatan selain tanhnya subur dan juga memilki hasil penambangan emas. Daerah itu pada awalnya dikuasai oleh bangsa Portugis, tetapi sejak abad ke-7 diambil alih oleh bangsa Belanda.Sejak itu daerah Afrika selatan menjadi daerah koloni Belanda dan banyak orang-orang Belanda yang datang dan menetap di daerah itu.Pada tahun 1812, Orang-orang Inggris juga datang juga datang ke daerah Afrika Selatandan mendesak orang-orang Belanda (Boer).Setelah terjadi perang hebat (perang boer), bangsa Belanda mengalami kekalahan, sehingga Afrika selatan dibagi menjadi 2 bagian yaitu Afrika selatan bagian utara diduduki oleh bangsa boer dan Afrika Selatan bagian selatan diduduki oleh Inggris.Di bagian selatan Inggris mendirikan negara Natal dan Cape Town, sedangkan di bagian selatan berdiri 2 buah negara yaitu Oranye Vrijstaat dan Transvaal.

A. PERKEMBANGAN MASALAH POLITIK APARTHEID DI AFRIKA SELATAN
Pada tahun 1910 Perang Boer kedua berakhir dan Inggris berhasil mempersatukan wilah Afrika Selatan dalam satu Uni Afrika Selatan menjadi republik denagn presidennya Hendrik Verwoed. Verwoed yang berhasil membuat kebijakan untuk memisahkan mayoritas orang kulit putih dan mayoritas kulit hitam justru malah menimbulkan diskriminasi antara keduanya. Sebelum dilaksanakan Politik Apartheid sebenarnya telah lama dilakukan hal-hal yang merupakan gejala Apartheid, antara lain :

1. Native Land Act (Undang-undang Pertanahan Pribumi) tahun 1913 yang melarang kulit hitam membeli tanah di luar daerah yang sudah disediakan bagi mereka.
2. Undang-undang Imoraitas tahun 1927 yang melarang terjadinya perkawinan campuran antara kulit putih dengan kulit hitam atau kulit berwarna lainnya.

Pengganti Verwoed adalah Pieter Botha pada tahun 1976 ia mengumumkan bahwa homeland-homeland yang dibentuk dimaksudkan untuk menjadi negara bagian yang otonom. Namun siapa pun dapat memahami dengan mudah bahwa Politik Apartheid yang mengadakan pemisah pembangunan daerah-daerah pemukiman dimaksud untuk memecah belah persatuan dan kesatuan Afrika Selatan, sekaligus mengamankan pemerintahan minoritas bangsa kulit putih di daerah itu.
south africa map
Gambar : Peta Afrika Selatan


Orang-orang kulit hitam yang semula tidak mengerti bahwa kebijakan pemerintahannya, lambat laun mengerti bahwa tujuan sebenarnya adalah diskriminasi rasial (perbedaan warna kulit). Oleh karena itu mereka bangkit mengadakan perlawanan, tetapi pemerintaha Pieter Botha dengan kejam menumpas setiap perlawanan yang terjadi. Banyak tokoh-tokoh kulit hitam yang dijebloskan dalam penjara, seperti tokoh kharismatik Nelson Mandela yang terpaksa mendekam dalam penjara selama 27 tahun. Selain perlawanan bersenjata, usaha-usaha mengakhiri Politik Apartheid juga dilakukan melalui perjuangan politik. Partai-partai yang terkenal antara lain Partai Konggres (ANC) pimpinan Nelson Mandela dan Inkatha Freedom Party pimpinan Mongosuthu Buthulesi. Salah seorang tokoh pergerakan Afrika Selatan yang juga sangat terkenal adalah Uskup Agung Desmond Tutu.

Perjuangan rakyat Afrika Selatan yang tidak mengenal lelah akhir membawa hasil. Timbulnya gejala-gejala ras diskriminasi orang-orang Belanda dari kaum kristen Kalvanis yang pertama datang ke Afrika Selatan telah memandang penduduk pribumi kulit hitam dengan pandangan yang rendah. Penduduk pribumi dianggap sebagai bangsa yang biadab, primitif dan dianggap sebagai keturunan putra-putra Ham (anak kedua Nabi Nuh) yang dikutuk oleh Tuhan untuk jadi budak. Pandangan itu yang menyebabkan terjadinya perbudakan atas bangsa kulit hitam oleh penduduk kulit putih.

Perbudakan di Afrika Selatan mengikuti usaha cari keuntungan yang besar dengan dibukanya tambang-tambang intan dan emas. Dengan berlakunya sistem perbudakan, maka memudahkan diperoleh pekerja-pekerja yang amat murah. Tempat tinggal mereka tidak boleh berbaur dengan tempat kulit putih.Daerah untuk kulit hitam disediakan khusus yang jauh terpisah dan berpagar rapat. Untuk keluar masuk pemukiman diwajibkan mempunyai surat pas. Dengan sistem itu, maka penguasaan atas persediaan tenaga kerja akan terjamin.

Sampai pada abad ke-19 pemukiman kulit hitam masih bercampur dengan daerah kulit putih, tapi pada permulaan abad ke-20 mereka digiring ke daerah pinggiran. Penduduk peranakan dan keturunan India juga termasuk bangsa yang diusir dari kota.Sebuah perkampungan kulit hitam yang besar ialah perkampungan Soweto di sekitar Johannesrburg. Sejauh mata memandang yang tampak hanya kompleks pemukiman yang amat luas dengan rumah-rumah primitif yang kotor. Demikian pandang Kennedy, senator Amerika Serikat yang mengunjungi Afrika Selatan. Rumah-rumah itu tidak disediakan pemerintahan dengan cuma-cuma, tetapi ditarik sewa yang amat tinggi, sementara upah para buruh amat rendah.

Pada tahun 1913 penguasa kulit putih mengeluarkan undang-undang pertanahan pribumi (Native Land Act) yang melarang kulit hitam membeli tanah di luar daerah yang telah disediakan untuk mereka. Pada tahun 1927 dikeluarkan kembali undang-undang Imoralitas yang melarang hubungan seks antara kulit putih dan kulit hitam. Perkawinan campuran antara kulit putih dan kulit hitam atau kulit berwarna lainnya dilarang keras.

Politik Apartheid dirancang oleh Hendrik Verwoed. Apartheid menurut bahasa resmi Afrika Selatan adalah Aparte Ontwikkeling artinya perkembangan yang terpisah.
Memperhatikan makna dari arti Apartheid itu kedengarannya baik yaitu tiap golongan masyarakat, baik golongan kulit putih maupun golongan kulit hitam harus sama-sama berkembang. Tapi perkembangan itu didasarkan pada tingkatan sosial dalam masyarakat yang pada prakteknya menjurus pada pemisahan warna kulit dan terjadinya penistaan dari kaum penguasa kulit putih terhadap rakyat kulit hitam.

gambar hendrik verwoerd
Gambar : Hendrik Verwoerd


Verwoed menyusun rencana pembentukan homeland, yang disebut juga Batustan. Homeland dilaksanakan dengan diadakannya pembagian kembali Afrika Selatan berdasarkan wilayah kesukuan. Tiap orang kulit hitam Afrika Selatan diharuskan menjadi warga negara salah satu homeland atas dasar tempat lahirnya. Untuk memantapkan proyek homeland dikeluarkan bantuan biaya untuk perangsang termasuk perangsang untuk pemasukan modal dari luar untuk homeland. Kemajuan-kemajuan kecil tampak dari proyek itu. Perkembangan Politik Apartheid di Afrika Selatan, Partai Nasional memenangkan pemilihan umum dengan program Politik Apartheid. Kontak antara ras yang dapat membahayakan kemurnian ras dibatasi.

Segregasi atau pemisahan dan perkembangan terpisah tidak hanya berlaku untuk golongan rasial yang penting, tetapi juga untuk kelompok-kelompok yang lebih kecil.Kemenangan Partai Nasional bukan suatu kebetulan, melainkan merupakan hasil situasi Afrika Selatan itu sendiri. Setelah berkuasa, Partai Nasional bergerak secara sistematis untuk memperkuat kedudukannya dalam parlemen dan memperluas kedudukannya di luar parlemen. Dalam rangka hak-hak politik golongan kulit hitam, golongan kulit berwarna Asia yang telah terbatas dikurangi dan lambat laun dihapus. Di antara hak-hak itu adalah sebagai berikut :
1. Pada tahun 1951 dikeluarkan Bantu Authorities Act yang menghapuskan DPR Pribumi dan sebagai gantinya ditetapkan pembentukan pemerintahan suku.
2. Orang kulit hitam tidak boleh tinggal di daerah perkotaan kulit putih selama lebih dari 72 jam.

3. Pada tahun 1945 dikeluarkan Native Land Act yang melarang orang kulit hitam memiliki atau membeli tanah di daerah perkotaan.

4. Segregasi pendidikan dilaksanakan dengan Bantu Educationa Act pada tahun 1953.

Dia antara proyek Bantustan yang dianggap berhasil di Afrika Selatan adalah pemberian kemerdekaan kepada Transkei pada tanggal 26 Oktober 1976. Kemerdekaan ini disambut baik oleh rakyat dan pemerintah Transkei, tetapi mendapat tanggapan negatif dari negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat dan Inggris.


B. PERGERAKAN POLITIK AFRIKA SELATAN DALAM MENENTANG POLITIK APARTHEID
Setelah partai nasional berkuasa di Afrika Selatan secara sistematis dilembagakan dan dituangkan dalam undang-undang sehingga orang kulit putih menguasai rakyat pribumi dan secara berangsur-angsur merampok dan mengurangi hak-haknya. Orang kulit hitam menolak klaim kulit putih bahwa secara kodrat orang kulit putih memiliki keunggulan dan hak untuk memimpin. Dengan adanya orang-orang kulit hitam menerima pendidikan Barat maka mereka mulai mengambil langkah-langkah membentuk gerakan politik. South Afrika Native National Conference dan APO mengirimkan delegasinya ke London untuk mengajukan protes, tetapi gagal. Sebagai reaksi, lahirlah South African National (SANC) pada tahun 1912 kemudian namanya diubah menjadi ANC (African National Congress). Sasarannya terbatas pada usaha agar golongan elit Afrika Selatan diterima secara sosial dan politik dalam masyarakat yang dikuasai oleh orang kulit putih. Perjuangan mereka untuk mencapai sasaran adalah lewat jalan konstitusional.

anc
Gambar : African National Congress


Perjuangan ANC berubah setelah pemerintah Afrika Selatan mengeluarkan National Land Act yang isinya :”orang kulit hitam dilarang membeli tanah atau hidup di wilayah orang kulit putih sebagai penyewa atau penggarap bagi hasil”. Pada tahun 1919 – 1920, ANC melancarkan kampanye menentang peraturan-peraturan kewajiban orang kulit hitam membawa pas. ANC mengalami kemunduran setelah pemerintah Afrika Selatan mengambil tindakan keras dan tegas. Untuk sementara peranannya diambil alih oleh ICU (Industrial and Commercial Union) yang didirikan pada tahun 1919. ANC memperluas keanggotaannya dan akhirnya berkembang menjadi organisasi massa.

Pada tahun 1952, orang kulit hitam, kulit berwarna serta sejumlah orang kulit putih melancarkan suatu perlawanan pasif. Situasi seperti ini terjadi pada tahun 1970 dan kejadian serupa sering terjadi dalam perjuangan tanpa kekerasan yang dilakukan oleh ANC. Pada tahun 1955, kelompok-kelompok yang menentang Politik Apartheid mengadakan pertemuan di Capetown untuk menggariskan dasar-dasar bagi Afrika Selatan yang demokratis dan non rasial. Pada tahun 1956 sebanyak 156 orang pemimpin ditangkap karena dituduh berkomplot akan menggulingkan pemerintah. Proses ini terjadi berlarut-larut hingga akhirnya mereka dibebaskan pada tahun 1961. Sementara ANC kehilangan pemimpin-pemimpinnya, sejumlah anggotanya memisahkan diri dan mendirikan Pan Africanist Congress (PAC). Pada tahun 1960 PAC melancarkan kampanye anti kebijakan pemerintah. Dalam peristiwa itu sebanyak 69 orang tewas ditembak oleh polisi di Sharpeville. Gerakan ANC dan PAC akhirnya dilarang setelah peristiwa itu.

Pembantaian di Sharpeville dan adanya larangan organisasi-organisasi politik di kalangan orang kulit hitam merupakan titik balik dalam sejarah pembebasan Afrika Selatan. Akhirnya diputuskan bahwa dengan jalan damai tidak bisa maka ditempuh jalan kekerasan. Pada tahun 1961 – 1962, aktivis orang kulit hitam mendirikan organisasi Umkhonto We Sizwe dan Poso dengan mengadakan sabotase terhadap milik orang kulit putih. Menjelang akhir tahun 1973, pemimpin-pemimpin Bantustan mengadakan pertemuan untuk membentuk federasi negeri-negeri Bantu dan mengutuk diskriminasi rasial di Afrika Selatan.

Pada tahun 1974, para pemuka federasi mengadakan pertemuan dengan PM Vorster. Pada pertemuan itu, PM Vorster maupun federasi akan meminta tambahan wilayah bagi negara Bantu. PM Vorster menolak usulan agar diselenggarakan suatu konvensi multirasial guna menyusun suatu konstitusi baru dan dia tidak akan mengikutsertakan orang kulit hitam dalam kekuasaan negara. Tekanan-tekanan semakin meningkat sejak bulan Juni 1976 ketika ±10.000 pelajar melancarkan demontrasi protes di Soweto yang berkembang menjadi huru hara di kota-kota orang kulit hitam dekat Johanessburg dan Pretoria. Ratusan orang tewas dan lebih seribu orang mengalami luka-luka. Terbunuhnya Steve Biko pimpinan Black Consciousness dalam tahanan merupakan puncak tekanan pemerintah Afrika Selatan.

Pada tanggal 1 April 1960 Dewan Keamanan PBB (DK) berseru kepada Afrika Selatan agar mengambil tindakan untuk mewujudkan harmoni rasialatas dasar persamaan dan melepaskan kebijaksanaan-kebijaksanaan Apartheid dan diskriminasi rasial. Pada tanggal 7 Agustus 1963 DK mengulangi seruannya sambil menghimbau kepada semua negara agar menghentikan penjualan senjata dan perlengkapan militer kepada Afrika Selatan. Pada tanggal 4 Desember 1963, DK mengutuk sikap acuh tak acuh pemerintah Afrika Selatan dan mengulangi kembali seruannya kepada semua negara agar menggunakan embargo senjata.

Sehubungan dengan jatuhnya banyak korban ketika pasukan Afrika Selatan melepaskan tembakan terhadap demonstran yang menentang diskriminasi sosial (16 Juni 1976) pada tanggal 14 Juni 1976 DK mengutuk keras pemerintah Afrika Selatan. Mereka mengatakan bahwa Apartheid adalah suatu kejahatan, mengganggu perdamaian dan keamanan international serta mengakui sahnya perjuangan rakyat Afrika Selatan dalam melenyapkan Apartheid.

Sikap negara barat yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban martabat semua orang tidak setuju dengan diskriminasi rasial dan Politik Apartheid di Afrika Selatan, tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu karena mempunyai banyak kepentingan. Mereka hanya mendukung resolusi-resolusi anti Apartheid. Kepentingan negara-negara Barat terhadap Afrika Selatan antara lain sebagai berikut :
• Afrika Selatan merupakan salah satu sumber utama bahan mentah yang dibutuhkan oleh industri dan kehidupan negara-negara tersebut.
• Letak geografis Afrika Selatan mempunyai arti penting bagi strategi global negara-negara Barat, khususnya USA.

• Afrika Selatan menguasai jalur pelayaran Tanjung Harapan yang merupakan urat nadi mereka.

• Suplai minyak dan bahan-bahan mentah vital diangkut lewat jalur tersebut.


B. PERAN NELSON MANDELA DALAM PENGHAPUSAN RASIALISME
Kemenangan Mandela adalah salah seorang dari banyak tokoh pejuang politik Afrika Selatan yang sempat menyaksikan dan merasakan puncak dari perjuangannya yakni pembebasan kaum kulit hitam Afrika Selatan dari penindasan kaum kulit putih. Kemenangannya dalam pemilihan demokratis dan miltirasial pertama kali sepanjang 340 tahun sejarah Afrika Selatan pada bulan Mei 1994 membawa perubahan besar bagi negeri itu. Nama Nelson Mandela mulai menanjak ketika ia terpilih menjadi Sekjen ANC (African National Congress) pada tahun 1948 dan pada tahun 1952 menjadi Presiden Liga Pemuda. Sejak itu Mandela lebih banyak memainkan peranannya secara rahasia. Pada tahun 1961 sebagai Sekretariss Jenderal ANC, Mandela mengomandokan pemogokan selama tiga hari 29 – 31 Mei 1961. seruan pemogokan itu ditanggapi oleh pemerintah Apartheid sebagai suatu pelanggaran serius.

foto nelson mandela
Gambar : Nelson Mandela


Pada bulan Desember 1962, ia dijatuhi 5 tahun penjara, dengan tuduhan meninggalkan negara secara ilegal. Mandela menjalani hukumannya di penjara Pretoria. Tidak beberapa lama tokoh-tokoh ANC lainnya juga ditangkap di markas ANC. Pada saat itu disita pula sejumlah dokumen rahasia, menyangkut ANC dan Tombak Bangsa. Mereka yang ditangkap yaitu Walter Sisulu, Govan Mbeki, Raymond Mhlaba, Ahmed Akthrada, Dennis Golberg dan Lionel Bernstein. Mandela bersama-sama dengan keenam rekannya diperiksa dengan tuduhan melakukan sabotase bersengkongkol untuk menumbangkan pemerintah dan membantu unsur asing menyerang Afrika Selatan. Mereka akhirnya divonis dengan hukuman seumur hidup pada tanggal 12 Juni 1964 dan harus mendekam dalam penjara di Pulai Roben Cape Town. Pada tahun 1982 Mandela dipindahkan lagi ke penjara Pollsmor juga masih daerah Cape Town.

Selama di penjara itulah kampanye pembebasannya dilancarkan, baik di Afrikan Selatan sendiri maupun di luar Afrika Selatan. Aksi protes dan kampanye pembebasan Mandela semakin berkobar sejak tahun 1982, bahkan pada tahun 1988 ulang tahun ke-70 Nelson Mandela dirayakan oleh bangsa kulit hitam Afrika Selatan dengan menggelar konser musik selama 120 jam non stop dan disiarkan ke-50 negara. Akibat kampanye pembebasan tokoh ANC ini, makin banyak negara yang menekan pemerintah Apartheid Afrika Selatan baik secara politik maupun ekonomi.

Kampanye pembebasan itu membuat Mandela menjadi tokoh tahanan politik paling populer di dunia. Akibat tekanan yang bertubi-tubi pada bulan Juli 1989 Botha bertemu dengan presiden F.W. de Klerk pengganti Botha. Dari pertemuan-pertemuan itu pada bulan Februari 1990, de Klerk mengumumkan di depan parlemen bahwa pemerintahannya akan mencabut larangan bagi ANC, Partai Komunis Afrika Selatan (SACP) dan Pan Africanist Congress (PAC) menyusul diakhirinya Politik Apartheid. Pada kesempatan itu de Klerk juga mengisyaratkan bahwa Mandela akan segera dibebaskan. Pembebasan tokoh kharismatik Afrika Selatan ini kemudian dilaksanakan sesuai dengan janjinya. Pada tanggal 11 Februari 1990 dari penjara Victor Verster, Mandela dibebaskan. Pembebasan itu sangat menarik perhatian dunia dan disambut oleh ratusan wartawan baik dari dalam maupun luar negeri.


Nelson Mandela mendeskripsikan apartheid sebagai “kaum yang terlalu memilah siapa yang miskin dan siapa yang kaya... siapa yang hidup dalam kemewahan dan siapa yang hidup dalam kekumuhan... siapa yang layak mendapatkan makanan, pakaian dan pelayanan kesehatan... dan siapa yang layak hidup dan siapa yang harus mati.”
Apartheid adalah sistem diskriminasi dan pemisahan rasis yang berkuasa di Afrika Selatan dari tahun 1948 hingga akhirnya dihapuskan di awal 1990-an.  Dengan mengembangkan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam selama bertahun-tahun, National Party atau Partai Nasional menerapkan apartheid sebagai model untuk memisahkan pembangunan bagi berbagai ras yang berbeda, meski pada kenyataannya kebijakan tersebut hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang kulit putih.  Kebijakan tersebut mengklasifikasikan masyarakat sebagai orang kulit putih, Bantu (kulit hitam), kulit berwarna (ras campuran), atau Asia.  Manifestasi kebijakan ini termasuk tidak memiliki hak pilih, pemisahan areal permukiman dan sekolah, pas khusus untuk bepergian dalam negeri untuk orang kulit hitam, dan kendali sistem peradilan yang dipegang oleh orang kulit putih.

Sebagai bagian dari usahanya untuk menghapuskan praktik ini selama beberapa dekade, PBB pada tahun 1973 mengesahkan Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Hukuman terhadap Apartheid, yang diratifikasi oleh 101 Negara.  Konvensi ini menyatakan apartheid sebagai suatu pelanggaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara individual.  Konvensi ini juga mendeskripsikan apartheid sebagai sebuah rangkaian “tindakan tanpa perikemanusiaan yang dilakukan untuk membangun dan mempertahankan dominasi kelompok ras tertentu terhadap kelompok ras lainnya dan secara sistematis melakukan penindasan terhadap mereka.” Hal ini termasuk pengabaian hak terhadap kehidupan dan kemerdekaan, perusakan kondisi hidup dengan tujuan untuk menghancurkan kelompok tertentu, tindakan legislatif untuk mencegah partisipasi kelompok tersebut dalam kehidupan kebangsaan, pembagian populasi berdasarkan kelompok ras, dan eksploitasi terhadap buruh dari kelompok tertentu. Konvensi tersebut juga menyatakan apartheid sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.


Konvensi Jenewa mewajibkan Negara untuk memberlakukan kebijakan antidiskriminasi dalam melayani orang yang sakit dan terluka, kapal yang tenggelam dan terdampar, gerilyawan dan masyarakat sipil yang tertangkap dalam kekuasaan rezim tertentu ataupun situasi konflik tertentu.  Apartheid juga disebut sebagai kejahatan perang dalam sengketa internasional menurut Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa. Protokol I mendaftarkan berbagai pelanggaran serius seperti apartheid “dan praktik-praktik tidak berperikemanusiaan dan biadab lainnya yang melakukan penindasan terhadap martabat seseorang, berdasarkan diskriminasi ras,” meskipun hal ini hanya bisa ditanggapi secara serius dalam konflik bersenjata internasional.  Penggolongan apartheid sebagai pelanggaran serius berdasarkan kampanye internasional untuk mengisolasi Afrika Selatan dan mendapatkan tentangan dari sejumlah Negara Barat dengan alasan kasus tersebut tidak berhubungan dengan konflik bersenjata.  Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mencatat bahwa daftar berbagai pelanggaran serius ini tidak memperluas skala pelanggaran perang secara signifikan karena banyak pelanggaran paling buruk yang dilakukan politik apartheid dapat digolongkan sebagai pelanggaran perang bila dilakukan dalam konflik bersenjata.  Namun beberapa tindakan yang mungkin sebelumnya bukan merupakan pelanggaran (walaupun mungkin tidak sesuai hukum) dengan jelas dapat digolongkan sebagai tindakan politik apartheid—misalnya  dengan memilah-milah tawanan perang atupun masyarakat sipil berdasarkan rasnya.

Usaha terkini yang dilakukan untuk mengkriminalisasikan apartheid dilakukan dalam konteks rancangan peraturan mengenai pelanggaran internasional Komisi Hukum Internasional PBB tahun 1996, yang menggolongkan suatu tindakan yang disebut sebagai “diskriminasi yang terorganisir” sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang merupakan versi turunan dari politik apartheid; dan Statuta Roma tentang Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) juga menggolongkan apartheid sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan mendeskripsikan praktik tersebut sebagai tindakan biadab “yang dilakukan dalam konteks penindasan dan dominasi secara sistematis dan terorganisir oleh rezim sebuah kelompok ras tertentu terhadap kelompok ras lainnya... dengan tujuan mempertahankan rezim tersebut.”

Meski Konvensi Apartheid (dan sekarang ICC) tidak didefinisikan secara geografis, negara-negara dan LSM jarang sekali menyebut sistem politik yang berlaku selain di Afrika Selatan sebagai sistem politik apartheid.  Kelompok-kelompok ras seperti suku Kurdi, orang Tamil, Sudan Selatan atau kelompok-kelompok ras lainnya telah sejak lama mengalami perlakuan diskriminasi secara sistematis yang mungkin sesuai dengan definisi apartheid, meski mungkin praktik-praktik perangkap hukum seperti yang berlaku di Afrika Selatan tidak terjadi pada mereka.  Namun istilah ini mungkin belum dikemukakan oleh para korban maupun pengacara mereka, karena tidak diragukan lagi istilah ini memang masih dihubungkan dengan situasi politik yang terjadi di Afrika Selatan.   Jadi, kemungkinan bahwa seseorang mendapat hukuman secara domestik maupun internasional akibat praktik politik apartheid dalam waktu dekat ini kelihatannya akan sangat kecil.

Bentuk2 politik apartheid
Afrika selatan, dimana angka kulit hitam adalah 7 berbanding satu dengan kulit putih, telah menjadikan diskriminasi rasial sebagai undang-undang. Sistem apartheid membuat putih, hitam, imigran india, kulit berwarna tinggal dalam kelompok yang terpisah. Kartu identitas negara memperlihatkan mereka milik kelompok yang mana Pemisahan dilakukan di dalam bis, kereta api, gereja, restoran, wartel, rumah sakit dan dan kuburan. Perkahwinan campuran dilarang. Seorang berkulit hitam tidak bisa bekerja di kawasan orang kulit putih maupun bekerja di bidang intelektual atau bidang saintifik. Kerja-kerja buruh diperuntukkan untuk kulit hitam. Sedikit yang memperhatikan bahawa setengah juta berada di penjara! Jaksa berkulit putih memimpin kasus-kasus yang melibatkan orang berkulit hitam.
seorang gadis berkulit hitam, yang dilahirkan dirumah orang kulit putih. Menurut undang-undang Afrika Selatan, ia hanya dibenarkan untuk tinggal dirumah bapanya sebagai budak, atau tinggal di kawasan kulit hitam  Johannesburg. Sang ayah memilih untuk pindah rumah ke sebuah tanah tempat anak perempuannya itu bisa hidup bersama ibu dan bapanya, sebagaimana seharusnya, dari pada harus tunduk kepada undang-undang yang tidak berperikemanusiaan itu.
Manifestasi kebijakan ini termasuk tidak memiliki hak pilih, pemisahan areal permukiman dan sekolah, pas khusus untuk bepergian dalam negeri untuk orang kulit hitam, dan kendali sistem peradilan yang dipegang oleh orang kulit putih.

Rezim Apartheid Resmi Dibubarkan
30 Juni tahun 1991, masa kekuasaan rezim rasialisme Apartheid di Afrika Selatan secara resmi berakhir. Rezim Apartheid mulai berkuasa sejak tahun 1948  dan secara opresif memberlakukan hukum rasialis yang menghapuskan sebagian hak asasi warga non-kulit putih. Rezim ini juga melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan penahanan  terhadap oposan-oposan politiknya. Akhirnya, akibat perlawanan di dalam  negeri dan tekanan dunia internasional, kekuasaan rezim ini berakhir pada tahun 1991. Pada tahun 1993 UU baru Afsel yang mengakui persamaan hak warga kulit putih dan kulit hitam disahkan. Pada tahun 1994, diadakan pemilu kepresidenan dan pejuang kulit hitam Nelson Mandela berhasil menang dan diangkat sebagai presiden. 


Sumber:
  • http://pendidikan4sejarah.blogspot.com
  • http://indonesiadalamsejarah.blogspot.com


Sabtu, 15 Juni 2013

Sistem Demokrasi Indonesia Yang Tengah Mencari Bentuknya: Orde Baru




BAB I
PENDAHULUAN
I.          Latar Belakang
Struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500% selama tahun itu. Diduga, harga beras pada akhir tahun 1965 naik sebesar 900% setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965 menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal ketiga tahun itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal keempat. Di kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa, kaum komunis maupun yang antikomunis percaya akan cerita-cerita tentang sedang di persiapkannya regu-regu pembunuhan dan sedang disusunnya daftar calon-calon korbannya. Ramalan-ramalan, pertanda-pertanda, dan tindak kekerasan merajalela. Sejak akhir bulan September, dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di Jakarta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 5 Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 27 September, Yani akhirnya mengumumkan bahwa angkatan darat menentang pembentukan “angkatan kelima” atau nasakominasasi militer dalam artian struktural.
Pada tanggal 30 September malam -1 Oktober 1965, ketegangan-ketegangan meletus karena terjadinya percobaan kudeta di Jakarta yang kacau sekali perencanaannya. Apa yang terjadi pada malam itu dari hari-hari berikutnya lumayan jelas. Akan tetapi, masih terus terjadi perbedaan pendapat yang rumit dan kadang-kadang tajam sekali mengenai siapa yang mendalangi kejadian-kejadian tersebut dan muslihat-muslihat yang ada di belakangnya. Rumitnya situasi politik, hubungan-hubungan, persahabatan-persahabatan, dan perasaan-perasaan benci yang memertalikan sebagian besar pelaku utamanya satu sama lain, serta sifat yang mencurigakan dari sebagian besar bukti, membuat kebenaran yang sepenuhnya tidak akan pernah diketahui. Tampaknya, mustahil bahwa hanya ada satu dalang yang mengendalikan semua peristiwa itu, dan tafsiran–tafsiran yang berusaha memisahkan hal itu semata-mata ke PKI, angkatan darat, Sukarno, atau Soeharto harus diwaspadai.
Pada tanggal 1 Oktober tepat sesudah pukul tujuh, pemberontak mengumumkan melalui radio bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk melindungi Sukarno dari kudeta yang direncanakan oleh suatu dewan yang terdiri atas jenderal-jenderal Jakarta yang korup dan menikmati penghasilan tinggi yang menjadi kaki tangan Badan Intilijen Pusat Amerika (CIA).



II.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana awal terbentuknya Orde Baru ?
2.    Bagaimana stabilisasi ekonomi yang di rencanakan oleh pemerintah ?
3.    Bagaimana REPELITA yang dijalankan Soeharto ?
4.    Bagaimana politik luar negeri di Indonesia ?


III.     Tujuan Masalah
Untuk mengetahui masa depan politik Indonesia dan masalah-masalah yang ada dalam masa pemerintahan Soeharto dengan terbentuknya Orde Baru.



























BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pada Masa Orde Baru 1966-1998

Pemerintahan Orde Baru lahir setelah runtuhnya orde lama. Penyebab yang melatar belakangi runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru adalah keadaan keamanan dalam negri yang tidak kondusif pada masa orde lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dari kancah sebagai akibat percobaan kup “Gerakan 30 September” timbullah suatu wawasan baru yang menyusup masyarakat luas. Wawasan ini bukanlah sesuatu yang radikal menyimpang dari jiwa kehidupan  sebelumnya. Intinya kenyakinan, bahwa saling memperlihatkan tenggang rasa dan dan menunjukkan kegotong-royongan adalah cara hidup bangsa Indonesia yang sejati, dan bahwa setiap ideology asing bertentangan dengan pancasila dianggap sebagai suatu ancaman terhadap cara hidup bangsa Indonesia.

Persiapan Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September
Setelah penyusupan kader-kader PKI ke dalam tubuh aparatur Negara, termasuk ABRI, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan mencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, maka PKI mulai melakukan kegiatan yang disebutnya sebagai tahap ofensif revolusioner.
1.      Sabotase, Aksi Sepihak, dan Aksi Teror
Upaya PKI untuk menciptakan suasana revolusioner, selain dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik yang menghebat, juga melalui kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak, dan aksi terror.
a)         Tindakan Sabotase terhadap Transportasi Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan oleh kaum komunis terhadap sarana-sarana vital Pemerintahan mulai terlihat sejak bulan januari 1964. Pada tanggal 11 Januari 1964 rangkaian kereta api rute selatan melanggar sinyal dan langsung menabrak rangkaian gerbong yang berhenti di stasiun tersebut.

b)            Aksi-aksi sepihak BTI (barisan tani Indonesia)
Setelah kegiatan HUT ke 44 PKI yang diadakan di Semarang, jawa tengah pada tanggal 23 Mei 1964, ketua CC PKI D.N. Aidit disertai 58 tokoh PKI, termasuk di dalamnya anggota himpunan sarjana Indonesia yang berafiliasi dengan PKI, mengadakan gerakan “turun ke bawah” yang sekaligus melakukan penelitian.

c)         Aksi-Aksi Teror
Aksi Pengganyangan terhadap Manifes Kebudayaan oleh PKI
Pada tanggal 17 Agustus 1963, 22 sastrawan dan cendekiawan non komunis mencetuskan Manifes Kebudayaan yang oleh PI disingkat “Manikebu”. Manifest kebudayaan tersebut dimaksudkan sebagai wadah budayawan yang ingin memumikan kegiatan-kegiatan budaya dari pengaruh politik
PKI menggulingkan pemerintah yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh sebab itu tidak heran sama sekali, bahwa Partai Komunis Indonesia mecanangkan doktrin-doktrin klasik komunis, seperti tidak dapat dielakkan lagi perjuangan diantar kelas masyarakat , agama adalah candu di masyarakat, dan keharusan penumbangan secara kekerasan sebuah pemerintahan komunis non komunis sekarang, dianggap sebagai sebuah ideology asing bertentangan dengan pancasila. Perbedaan pendapat ini tidaklah bersifat teori saja, melainkan mengakibatkan perbedaan sikap politik terhadap PKI pada masa setelah percobaan kup tanggal 1 oktober 1965. Presiden Soekarno ingin mempertahahankan PKI sekuat tenaga.
Sikap terhadap PKI sudah tentu bukanlah satu-satunya aspek wawasan baru tersbut. Namun dalam hubungan dengan kisah percobaan kup “Gerakan 30 September” yang didalangi oleh PKI, sikap tersebut merupakan aspek paling relevan dan oleh karena itu dicatat sebagai pokok paling menonjol dalam politik setelah 1 Oktober 1965.Wawasan baru ini di Indonesia disebut Orde Baru. Ditinjau dari sudut sejarah, wawasan ini mendapat dorongan dari kejadian-kejadian pada tanggal 1 Oktober 1965. Oleh karena itu sangat tepatlah untuk mengakhiri kisah percobaan kup “Gerakan #0 September” dengan lahirnya Orde Baru tersebut.
Menjelang berakhirnya tahun 1965 operasi militer penumpasan terhadap pemberontakan G30 S/PKI dapat dikatakan sudah berakhir. Akan tetapi, penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Sukarno. Pada tanggal 25 Oktober 1965, para mahasiswa di Jakarta membentuk organisasi federasi yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, GMNI, SEMMI, SOMAL, PELMASI, dan Mapantjas, yang di sponsori oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dr. Syarif Thayeb. Federasi itu merupakan satu kesatuan aksi dengan target utama penumpasan Gerakan 30 September (PKI), yang diberi nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Dengan parahnya krisis ekonomi, kesejahteraan rakyat jauh merosot, antara laju inflasi yang mencapai 650%. Dalam suasana demikian, pada tanggal 13 desember 1965 pemerintah mengumumkan kebijakan baru di bidang ekonomi. Menyadari betapa gawatnya keadaan ekonomi, pemerintah membentuk dua panitia ad hoc. Tugasnya adalah menyelidiki lebih menyeluruh pengaruh kenaikan harga dan tarif barang-barang dan jasa. Pada tanggal 31 Desember 1965 Badan Koordinasi Kesatuan Aksi dan Front Pancasila menandatangani naskah deklarasi mendukung Pancasila, yang pokok isisnya adalah penanggalan persatuan antara dwitunggal yang terdiri dari rakyat dan ABRI dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni, serta menolak usaha pembelaan G 30 S/PKI dalam bentuk apapun.
Kebijakan pemimpin negara dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan di dalam negeri dipandang oleh rakyat sebagai suatu kebijakan yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Karena ketidakpuasan masyarakat oleh kebijakan pemerintah, maka terjadilah demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar. Dengan dipelopori KAMI dimulailah aksi demonstrasi mahasiswa Universitas Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966, yang melanda hampir seluruh jalan di ibu kota selama kurang lebih 60 hari. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) kepada pemerintah sebagai berikut :
1.    Bubarkan PKI.
2.    Retool Kabinet Dwikora.
3.    Turunkan harga/perbaikan ekonomi.[1]

Setelah terjadi Tritura, maka muncullah Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk mengatasi krisis politik yang semakin memuncak, Sukarno memanggil front pancasila, ASu-PNI, dan partindo pada pertemuan 10 maret 1966. Sebelum pertemuan dilangsungkan, front pancasila sudah membulatkan tekad akan kompak menghadapi pendukung Sukarno. Pada tanggal 11 maret 1966 kabinet mengadakan sidang paripurna. Sidang bertujuan mencari jalan keluar dari krisis yang memuncak. Sidang di boikot oleh para demonstran dengan melakukan pengempisan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju istana.
Menurut Soeharto, gerakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan pembubaran PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya, Presiden Sukarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto bersedia diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tertinggi yang akan berangkat ke Bogor itu mengacu kepada kesanggupan itu.
Langkah kedua, tindakan yang diambil berdasarkan SP 11 Maret adalah dikeluarkannya keputusan Presiden no. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan G 30 S/PKI atau memperlihatkan iktikad tidak baik dalam rangka penyelesaian masalah itu. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah, Suharto mengangkat lima orang menteri kordinator (menko) ad interim yang bersama-sama menjadi Presidium Kabinet.[2]
Setelah kejadian-kejadian 1965 sampai Maret 1966, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Indonesia sedang berbalik arah, yaitu ideologi kiri ke kanan yang pragmatis, menurut arah yang menjadi terkenal sebagai “Orde Baru”  Indonesia di bawah pimpinan Soeharto. Tetapi Sukarno masih ada hingga tahun berikutnya sebagai Presiden Tituler. Demi alasan keamanan, pemerintah mengasingkannya dengan membatasi Sukarno dalam dua istananya.[3] Orde Baru terbentuk dengan dukungan yang sangat besar dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu.
 Ada beragam pendapat dari para pengamat dalam dan luar negeri, bahwa sayap kanan yang pro dengan kepemimpinan Soeharto yang telah mampu membasmi PKI dan mengadopsi kebijakan yang pro-Barat. Sebaliknya, sayap kiri yang tidak suka dengan kedua kebijakan tersebut. Di antara para pengamat yang kurang memihak, terdapat banyak pengamat yang di samping memuji prestasi pemerintahan Soeharto dalam menyeimbangkan ekonomi, juga mengutuk catatan buruk hak asasi manusia dan korupsi pemerintahan tersebut.
Orde Baru juga berjanji akan membangun ekonomi nasional dan meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru memang mampu membangun ekonomi nasional, tetapi tidak mampu meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik, namun juga menindas. Orde Baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan legitimasi, tetapi hanya lewat cara-cara yang dikendalikan dengan cermat. Sebagian besar pembangunan ekonomi nasional bergantung pada perusahaan asing dan hanya terjadi pertumbuhan kecil pada industri pribumi. [4]
Pada awal Maret 1967,  sidang istimewa MPRS selama lima hari, yang di pimpin Jenderal Nasution, menerima laporan resmi dari komite bentukan MPRS mengenai peranan Sukarno dalam peristiwa Gestapu. Dengan suara bulat, Sukarno dilepaskan dari semua kekuasaannya, dan Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden. Dengan demikian berakhirlah masa delapan belas bulan dualisme dalam pemerintahan.
Ketika Soeharto memegang tampuk pemerintahan dalam bulan Maret 1966, ia mempunyai modal kuat : tumpuan kekuatan militer yang bertambah kokoh, nasihat yang masuk akal dari Adam Malik mengenai persoalan luar negeri, dan kebijakan-kebijakan kelompok kecil para ahli ekonomi yang cemerlang, yang kebanyakan diantara mereka menerima pendidikan di Universitas Kalifornia, sehingga terkenal dengan sebutan “Mafia Berkeley”.[5]

Stabilisasi Ekonomi
Pada awal Orde Baru program pemerintah (Kabinet Ampera) diarahkan untuk usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama berupa usaha memberantas inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi sekitar 650% setahun mengharuskan pemerintah memprioritaskan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Stabilitas berarti pengendalian inflasi, supaya harga-harga tidak melonjak terus secara cepat, sedangkan rehabilitasi meliputi secara fisik prasarana, rehabilitasi ekspor, serta rehabilitasi alat-alat produksi yang banyak mengalami kerusakan. Dengan rehabilitasi bukan berarti pemerintah membuat jalan-jalan baru, tetapi memperbaiki jalan yang sudah ada dan memanfaatkan sepenuhnya pabrik yang sudah ada. Dalam tahun 1950 ekspor Indonesia di luar minyak bumi sekitar 500 juta dolar sampai 1 miliar dolar. Ekspor tahun 1966 kurang dari 500 juta dolar tanpa minyak bumi. Adanya kemerosotan ekspor terus-menerus memerlukan rehabilitasi mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor.
Indonesia mempunyai hutang ke luar negeri sekitar 2,3 miliar dolar. Pemerintah wajib membayarnya kembali di dalam tahun 1967, ditambah dengan tunggakan-tunggakan dari tahun-tahun sebelumnya, jumlahnya diperkirakan sekitar 500 juta dolar.
MPRS menyatakan perlu diadakannya landasan-landasan baru, dapat dilakukan dengan cara stabilisasi dan rehabilitasi. Ketetapan No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak tahun 1955. Ketetapan ini terdiri dari 10 bab dan 71 pasal sebagai berikut ?
1.    Landasan dan prinsip kebijaksanaan ekonomi, keuangan, dan pembangunan;
2.    Kebijakan ekonomi;
3.    Skala prioritas nasional;
4.    Peran pemerintah;
5.    Peran koperasi;
6.    Peran swasta nasional;
7.    Kebijakan pembiayaan;
8.    Hubungan ekonomi luar neger;
9.    Prasyarat;
10.                   Penutup.

Dengan ketetapan ini MPRS menggariskan bahwa pemerintah harus mengadakan pembaruan landasan ekonomi, yaitu dari ekonomi terpimpin ke demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi menurut Widjojo Nitisastro berarti produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan dan penilikan anggota masyarakat. Ekonomi disusun atas dasar kekluargaan, tidak ada pertentangan kelas.
MPRS menydari bahwa kemerosotan ekonomi yang berlarut-larut itu disebabkan oleh :
a.    Tidak adanya pengawasan yang efektif dari DPR terhadap kebijakan ekonomi;
b.    Kepentingan ekonomi dikalahkan oleh kepentingan politik;
c.    Pemikiran ekonomi yang rasional untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dikesampingkan.

Selanjutnya MPRS menggariskan tiga macam program yang harus diselesaikan oleh pemerintah secara bertahap, yaitu :
a.    Program penyelamatan;
b.    Program stabilisasi dan rehabilitasi;
c.    Program pembangunan.

Pemerintah menetapkan bahwa penentuan harga barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan negara diserahkan sepenuhnya pertanggungjawabannya kepada pimpinan perusahaan negara dengan beberapa pengecualian, diantaranya minyak bumi dan listrik. Kebijakan-kebijakan itu bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
Guna membulatkan usaha stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta mempersiapkan landasan pembangunan, pemerintah mengesahkan RUU APBN 1968 menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 1967. Undang-Undang APBN ini disahkan sebelum tahun anggaran dimulai. Pada tahun-tahun sebelumnya digunakan sistem deficit spending  dan penerimaan dan pengeluaran negara, sedangkan APBN 1967 digunakan prinsip anggaran berimbang (balanced budget), bahwa besarnya belanja negara berimbang dengan besarnya pendapatan negara.
Dengan APBN tersebut pemerintah menga,bil kebijakan agar hasil penerimaan pemerintah digunakan untuk belanja rutin pemerintah, sedangkan bantuan luar negeri digunakan untuk belanja pembangunan.[6]

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
a)    Pola Dasar Pembangunan Nasional dan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang
Pembangunan adalah proses perubahan yang terus-menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju tujuan yang ingin dicapai. Dalam pembangunan nasional Indonesia, tujuan yang ingin dicapai adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila.
Tujuan pembangunan nasional Indonesia, yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur, tidak mungkin diwujudkan dalam waktu yang singkat, sebaliknya, harus dilakukan dalam jangka waktu panjang dan melalui beberapa tahapan. Dalam pola dasar pembangunan nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

b)   Repelita I dan Pelaksanaannya
Repelita tahap pertama dimulai pada tanggal 1 April 1969 setelah berhasilnya usaha-usaha stabilitas di bidang politik dan ekonomi yang dilancarkan sejak Oktober 1966. Tujuan Repelita I ialah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya, sedangkan sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, peluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pembangunan dalam Replita tahap pertama diarahkan kepada tiga bidang yang strategis, yakni pertanian, industry, dan pertambangan, serta prasarana. Pertumbuhan salah satu bidang berkaitan dan memengaruhi bidang lainnya. Dari pertumbuhan bidang-bidang tersebut muncul kebutuhan akan tenaga kerja dan tenaga ahli. Dalam Replita tahap pertama juga dilaksanakan program keluarga berencana (KB) karena ketika itu ekonomi Indonesia masih sangat lemah dan penduduk yang terlalu banyak sehingga pendapatan per kapita penduduk tidak mencukupi dan hal itu akan mengganggu stabilitas ekonomi dan dapat pula mengganggu stabilitas keamanan.

c)    Repelita II dan Pelaksanaannya
Repelita II dimulai pada tanggal 1 April 1974. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam Repelita I merupakan titik tolak bagi pelaksanaan Repelita II. Sasaran utama Repelita II ialah tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang bertambah baik lagi pula terbeli oleh masyarakat umumnya dan tersedianya bahan-bahan perumahan dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan , terutama kepentingan rakyat banyak. Untuk mencapai sasaran tersebut, produksi sector pertanian harus meningkat sekit 4,6% setahun, sector indsutri sekitar 13%, pertambangan 10,1%, perhubungan 10%, bangunan sekitar 9,2%, dan sector lain-lainnya sekitar 7,7%.
Dalam pembangunan ekonomi Indonesia terdapat tiga sector yang harus dikembangkan, yakni sector Negara, swasta, dan sector koperasi. Selama Repelita II telah berhasil membangun 70.000 rumah inti dan rumah sederhana yang dikoordinasikan oleh perusahaan umum pembangunan perumahan nasional (Perumnas). Di bidang pendidikan, Repelita II juga berhasil melampaui target yang sudah ditentukan, baik dalam hal pembangunan gedung-gedung sekolah baru, rehabilitasi, pengangkatan guru, penyediaan buku-buku pelajaran, maupun dalam hal peningkatan mutu pendidikan.

d)   Repelita III dan Pelaksanaannya
Repelita III dimulai 1 April 1979 dan akan berakhir pada 31 Maret 1984. Seperti Repelita I dan II, pembangunan dalam Repelita III berdasarkan pada trilogy pembangunan dengan tekanan pada segi pemerataan. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat erat kaitannya dengan masalah produksi pangan.
Selama Repelita III, kesempatan kerja akan diperluas antara lain melalui proyek padat karya guna baru dengan sasaran utama meperluas kesempatan kerja produktif dalam pembangunan atau rehabilitasi sarana ekonomi. Usaha perbaikan kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan pemberantasan penyakit menular, penyakit masyarakat, peningkatan gizi, dan peningkatan sanitasi lingkungan.
Dengan pembangunan nasional yang dirancang secara terpadu dan selalu dipantau perkembangan implementasi serta memperhatikan para pesaing dari Negara lain, Indonesia dituntut siap melakukan penyesuaian-penyesuaian kebijakan ekonomi agar efisiensi ekonomi dapat ditingkatkan.[7]




Politik Luar Negeri Republik Indonesia
a)    Pelaksanaan Politik Bebas Aktif
Dalam bidang politik luar negeri, penyelewengan terhadap politik bebas-aktif telah terjadi dengan dicetuskannya Manifesto Politik Republik Indonesia.  Untuk menghindari terulangnya kembali pengalaman pahit masa lampau itu, tugas dan kewajiban politik luar negeri orde baru adalah mengoreksi semua penyelewengan pada masa demokrasi terpimpin.
Sesuai dengan kepentingan nasional, politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak pada salah satu blok ideology yang ada. Sejak tahun 1967, pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif telah diterapkan secara konkret dalam menanggapi masalah-masalah internasional yang timbul, seperti masalah Vietnam, Timur Tengah, dan lain-lain. Sebagai Negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan bantuan keuangan dari luar negeri untuk menunkang pembiayaan pembangunannya, khususnya di bidang ekonomi.

b)   Kerja Sama Regional : ASEAN
Menjelang berakhirnya konfrontasi pada tahun 1966, pemimoin bangsa Asia Tenggara makin merasakan perlunya membentuk suatu kerja sama regional untuk memperkuat kedudukan dan kestabilan sosial-ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Bergabungnya Indonesia dengan ASEAN tidak berarti telah menyelewengkan kebijakan politik bebas dan aktif. ASEAN bukan merupakan suatu pakta militer seperti SEATO. Dengan berdirinya ASEAN diharapkan Negara-negara anggotanya dapat membentuk suatu pandangan politik yang sama atau setidaknya parallel dalam menanggapi persoalan-persoalan di dalam maupun di luar negeri, tanpa mengingatkan diri dalam suatu pakta militer.

c)    Memelihara Keamanan dan Stabilitas Asia Tenggara
Bersamaan dengan usaha stabilitas di dalam negeri, pemerintah Indonesia juga berusaha mengisi politik luar negerinya. Politik bebas dan aktif telah diisi dengan politik bertetangga baik, hidup berdampingan secara damai, dan bekerja sama saling menguntungkan dengan Negara-negara tetangga. Kondisis keamanan, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi menjadikan Indonesia semakin percaya diri dalam kiprahnya di dunia internasional.
Untuk melaksanakan partisipasinya dalam ICCS itu, Indonesia sejak januari 1973 hingga april 1975 telah mengirimkan tiga kali misi perdamaian secara bergatian. Dalam melaksanakan tugasnya, ICCS mengalami banyak kesulitan karena dalam persetujuan Paris mengenai perdamaian di Vietnam itu banyak terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan.
Untuk memperluas daerah netral di Asia Tenggara, Indonesia dan India pada bulan april 1973 menyeruhkan dihapuskannya campur tangan Negara-negara besar itu di samudera hindia. Hilangnya permusuhan antara Negara-negara besar itu akan memberikan keamanan dan stabilitasi di kawasan Asia Tenggara. Inisiatif internasional Indonesia paling menonjol di kawasan Asia Tenggara saat ASEAN menghadapi masalah diplomasi regional besar pertamanya, yaitu penduduk Vietnam atas Kamboja pada akhir 1978.[8]

d)   Hubungan Amerika Serikat – Indonesia, 1965-1991
Hubungan AS-Indonesia pada Masa Pemerintahan Lyndon Johnson (1965-1968)
Sewaktu G-30S/PKI melakukan percobaan kupnya di Indonesia, presiden Johnson sedang menghadapi perang di Vietnam dan perlawanan terhadap komunisme di Asia dibawah pimpinan Cina, sehingga munculnya perkembangan anti komunisme di Indonesia sebagai Negara yang beraliansi dengan Beijing dan mempunyai PKI yang pengaruh politiknya sangat kuat di dalam negeri, tentu diterima dengan tangan terbuka.
Bantuan pertama AS memang dibidang rehabilitasi ekonomi yang sedang parah, terutama situasi pangan dan kehancuran moneter dengan inflasi lebih kurang 660% pada tahun 1966. Bantuan itu antara lain berupa “food for work” di Jawa Tengah dan penundaan hutang-hutang luar negeri yang di pelopori AS melalui pertemuan-pertemuan di Paris dan Tokyo, lalu kemudian dilanjutkan dengan IGGI. Maka sejak semula memang dirasakan bahwa hubungan bilateral AS-Indonesia ditangani oleh orang-rang yang professional dank arena itu hubungan AS-Indonesia dapat dilakukan secara “tepat”.
Hal itu dibantu oleh kenyataan bahwa hubungan Indonesia-AS bukanlah hubungan antar sekutu, karena pada setiap waktu Indonesia selalu menunjukkan prinsip-prinsip “non-aligned”-nya terhadap AS, meskipun pada masa orde baru Indonesia menunjukkan sikap bersahabat dan bukan bermusuhan seperti pada masa orde lama.[9]

Krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli 1997 merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia seperti Malaysia, Filipina dan Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp 2.500/US $ terus mengalami kemerosotan hingga 9%.
Presiden Soeharto meminta bantuan kepada IMF berjumlah US $43 miliar. Perjanjiannya di lakukan pada bulan Oktober 1997, memaksa pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan kebijakan. Di antaranya, penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta, namun usaha ini tidak membawa suatu pemecahan masalah.
Bank Indonesia yang telah melakukan intervensi agresif guna mendongkrak nilai rupiah, mengakui lembaga tersebut tidak mampu membendung rupiah yang terus merosot. Pada bulan Oktober 1997 nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp 4.000/US $, pada bulan Januari 1998 rupiah terus melemah hingga level sekitar Rp 17.000/US $. Kondisi ini berdampak pada hancurnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan modern di Indonesia yang menyebabkan terjadinya PHK secara besar-besaran.






















BAB III
PENUTUP
I.          Kesimpulan
Pada masa Orde Baru Soeharto merencanakan Pembangunan Lima Tahun, yang tujuannya adalah agar terciptanya masyarakat adil dan makmur, tidak mungkin diwujudkan dalam waktu yang singkat, sebaliknya, harus dilakukan dalam jangka waktu panjang dan melalui beberapa tahapan. Dalam pola dasar pembangunan nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Tetapi karena perencanaan tersebut, negara mempunyai hutang yang banyak kepada negara asing, yang menyebabkan pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis moneter yang sangat parah. Oleh sebab itu, Soeharto lengser dari kepresidenan.
















DAFTAR PUSTAKA
Ø  Poesponegoro, Marwati D, Notosusanto Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik, Jakarta, Balai Pustaka 2010.
Ø  Bandoro, Bantarto. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru, Jakarta, Centre for Strategic and International Studies 1994.
Ø  Sekretariat Negara Republik Indonesia. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta 1994.
Ø  M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Serambi 2008.
Ø  Green, Marshall. Dari Sukarno Ke Soeharto, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Ø  Notosusanto, Nugroho, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI Di Indonesia, Jakarta, Intermasa, 1990.



[1] Marwati Djoened Pusponegoro, Sejarah Indonesia ModernVI, 2010, hlm. 543
[2] Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit., 2010, hlm. 548
[3] Marshall Green, Dari Sukarno Ke Soeharto, hlm. 99
[4] M.C. Ricklefs , Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, hlm. 587
[5] Ibid., hlm. 99
[6] Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit, hlm. 565
[7] Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit., hlm. 574
[8]  Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit., hlm. 610
[9] Bantarto Bandoro, Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru, 1994, hlm. 15