Rabu, 26 November 2014

Islam, Maaf dan PKI

MENGAPA kalangan Islam menolak usul Gus Dur untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV/66? Mengapa mereka menyesalkan pemintaan maaf Gus Dur kepada PKI? Ketika komunisme sudah bangkrut di tingkat dunia, dan di dalam negeri PKI dan yang terkait dengannya betul-betul menjadi political outcast, mengapa kaum muslim di negeri ini masih keras penentangannya terhadap komunisme?

Apakah ini mencerminkan sukses rezim Orde Baru menanamkan dan menyebarkan komunisto-fobia? Tentu saja itu ada pegaruhnya.  Namun kekhawatiran dan sikap anti yang cenderung eksesif terhadap komunisme pada umat Islam ini tidak hanya digerakkan oleh pengaruh luar semacam kampanye stigmatisasi komunisme oleh rezim Soeharto.

Sesungguhnya ada faktor lain yang secara genuine melekat dalam ingatan kolektif umat yang justru lebih berperan mengawetkan kekhawatiran dan antipati itu. Dua hal setidaknya bisa disebut di sini: kenangan traumatis terhadap situasi social dan politik era Demokrasi Terpimpin, dan pandangan stereotipikal terhadap komunisme itu sendiri.

Kita tahu bahwa ketika PKI berkibar di era Demokrasi Terpimpin, kalangan Islam (juga Kristen, Katolik, dan nasionalis) gentar. Ini bukan saja karena PKI dibayangkan sebagai kekuatan politik yang solid dengan puluhan juta pendukung, melainkan juga karena politik saat itu memang mengarah pada pertarungan zero-sum game: "kita atau mereka.” Maklum, suasana revolusioner yang ditiup kencang membikin politik benar-benar mengamalkan apa yang oleh Sukarno disebut machtsvorming dan machtsaanwending, penggalangan dan penggunaan kekuasaan, suatu politik massa.

Selain itu, kompetisi dan konfrontasi partai-partai tidak disalurkan lewat pemilu karena hampir semuanya bergantung dan memusat pada Sukarno. Akibatnya, ketidakpastian tentang bagaimana nanti kalau tidak ada Sukarno merayap ke seluruh negeri. Sementara itu, di desa-desa, adanya landreform sepihak dari PKI memicu konflik tajam, bukan dalam skema vertikal antara petani dan tuan tanah, melainkan horizontal antara petani santri yang NU dan petani abangan yang PKI. Dalam situasi semacam itulah ketakutan umat Islam melihat kejayaan PKI saat itu bisa dimaklumi.

Apalagi, di kalangan Islam, PKI mengidap stereotip sebagai kelompok yang berpolitik tanpa moralitas karena dasarnya adalah ateisme. Politik PKI dianggap identik dengan "tujuan menghalalkan cara": mereka bisa menyusup ke mana-mana dan memanfaatkan kemiskinan buruh dan tani untuk tujuan kekuasaan. Selagi belum berkuasa, mereka bisa saja menerima demokrasi. Tapi, begitu berkuasa, pasti akan totaliter.

Kini sejarah telah berubah. Tapi kegentaran dan stereotip tersebut tetap, malah dibekukan. Sampai sekarang. Bagaimana gejala semacam ini bisa dijelaskan?
Argumen kalangan Islam bahwa sikap mereka melawan PKI adalah demi membela diri dalam suasana "kita atau mereka” dan “membunuh atau dibunuh” mungkin berlaku di zaman Demokrasi Terpimpin. Tapi, pasca-G30S, pembelaan diri semacam itu terbukti  kebablasan, karena ternyata situasi semacam itu sebenarnya tidak ada lagi. Fakta bahwa PKI mudah sekali rontok menunjukkan bahwa kesolidan dan kebesaran PKI yang menggentarkan itu hanya mitos. Mereka hanya bergantung pada Sukarno dan, tidak seperti tentara, mereka tak bersenjata. Di samping itu, G30S itu sendiri masih diselimuti misteri. Kalaupun pelakunya memang PKI, apakah itu berarti semua anggotadan simpatisan partai itu boleh dihabisi?

Di sinilah letak kesalahan argumen "membela diri" dan "menghabisi sampai ke akar-akarnya" yang mendasari pembunuhan besar-besaran terhadap PKI. Kegentaran telah tergelincir menjadi kesewenang-wenangan. Keadilan ditutupi oleh kebencian. Apalagi kalau diingat bahwa saat itu Soeharto dan tentara ikut mendukung dan mengambil keuntungan dari pembunuhan tersebut.

Selain itu, melestarikan stereotip bahwa komunisme ateis dan niscaya berpolitik dengan "tujuan menghalalkan cara" adalah tindakan menyederhanakan. Dalam sejarah, kita mengenal Haji Misbach dari Surakarta dan Datuk Batuah dari Padang yang Islam sekaligus komunis. Pelajarilah marxisme, maka akan ketahuan bahwa perhatian utamanya bukanlah  justru terhadap agama, melainkan soal pembelaan terhadap yang tertindas dalam kapitalisme. Adapun perihal "tujuan menghalalkan cara," itu tak lain hanya Machiavelisme belaka yang tidak khas tabiat komunis, tapi juga bisa dilakukan oleh siapa pun.

Pada titik ini, permohonan maaf Gus Dur kepada PKI haruslah dilihat sebagai ikhtiar untuk keluar dari perangkap kekhawatiran yang dasarnya hanyalah masa lalu yang mandek dan stereotip yang menyederhanakan. Dengan sikapnya itu, Gus Dur seolah ingin menegaskan bahwa kesalahan masa lalu, yakni niat membela diri yang ternyata berbuah kesewenangan, harus tetap diingat dan diungkapkan apa adanya, agar tidak terulang lagi di kemudian hari. Dan jangan dikira pengakuan salah semacam ini tanpa dibarengi rasa sakit.

Yang perlu ditegaskan di sini, permohonan maaf Gus Dur ini tidak dengan sendirinya menaruh PKI dalam posisi tidak salah. Menjadi korban tidak lantas menjadikannya suci. PKI juga mesti mengakui kesalahannya dalam memberi andil menciptakan situasi totalitarian era Demokrasi Terpimpin, situasi yang dalam istilah Lenin berarti "siapa yang tidak bersama kita berarti melawan kita." Dengan dalih revolusi, PKI mendukung saja ketika rezim Sukarno melarang sejumlah partai dan memenjarakan sejumlah tokoh yang saat itu dianggap anti PKI. Andil semacam inilah yang menjadi bahan bakar antikomunisme.

Kalau setiap pihak mengakui kesalahan, bukan hanya rekonsiliasi yang tercapai, melainkan juga penyembuhan luka sejarah yang tertanam di bawah sadar bangsa ini. Dan setelah itu, bab baru kehidupan bangsa ini bisa dimulai dengan sikap adil, tanpa beban trauma sejarah yang ditekan atau dimanipulasi.

Dalam kerangka sikap adil inilah hendaknya kita menempatkan usul penghapusan Tap MPRS XXV/66 dan permintaan maaf Gus Dur terhadap PKI. Di sini ada baiknya kita menyimak anjuran Surah Al-Ma'idah ayat 8: "Janganlah kebencianmu pada satu kaum menjadikan kamu bersikap tidak adil (terhadap mereka)."

Minggu, 06 Juli 2014

Hubungan Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial lainnya



Selain mempunyai ilmu Bantu dalam keilmuaannya, sejarah juga menjalin hubungan dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama sesama ilmu sosial. Dalam hubungan ini yang terjadi adalah hubungan yang saling membutuhkan, disinilah letak perbedaanya dengan konsep ilmu Bantu sejarah, dimana sejarah yang lebih dominant dalam mebutuhkan bantuan guna mengungkap suatu permasalahan, lebih tepatnya kita dapat menyebutnya dengan kombinasi dari dua ilmu sosial.
Perkembangan Ilmu Sejarah pasca perang dunia II menunjukkan kecenderungan kuat untuk mempergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian Sejarah. Dasar pemikirannya adalah bahwa :pertama, sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks dalam peristiwa Sejarah.
Kedua, pendekatan multidimensional yang bertumpu pada penggunaan konsep dan teori ilmu sosial paling tepat untuk memahami gejala atau masalah yang kompleks itu. Ketiga, dengan bantuan teori-teori sosial , yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor ( inflasi,pendapatan nasional,pengangguran, dan sebagainya),maka pernyataan – pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Keempat, teori-teori dalam ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dalam kenyataan sosio-historis. Karena itu, teori-teori tersebut dapat digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Bila teori-teori sosial itu diandalkan dan dipercaya, maka dengan menggunakan teori-teori itu pengkajian sejarah juga dapat diandalkan seperti halya ilmu-ilmu sosial yang terbukti kesahihan studinya. Dengan cara ini,pengkajian sejarah yang dihasilkan tidak lagi dominan dengan subjektifitas,yang sering dialamatkan kepadanya.
Kelima, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang “apa” , “siapa” , “kapan” , “dimana” , dan “ bagaimana”, tetapi juga ingin melacak  pelbagai struktur masyarakat ( sosiologi ), Pola kelakuan ( antropologi ) dan sebagainya. Studi yang menggunakan pendekatan ini akan melahirkan karya sejarah yang semakin antropologis (anthropological history) dan sejarah yang sosiologis ( sosiologycal history ).
Meskipun penggunaan ilmu-ilmu sosial sangat penting, namun terdapat pula kalangan yang justru sebaliknya atau kontra dengan cara berpikir semacam itu. Keberatan mereka juga didasarkan pada beberapa pemikiran.Pertama, bahan sumber sejarah sering tidak lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial. Kedua,sering pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong kekayaan historis, karena ia hanya menaruh minat pada segi-segi tertentu dari masa silam yang dapat dikaji dengan bantuan ilmu-ilmu soial. Alhasil, masa silam tidak dapat dipaparkan seutuhnya. Ketiga, pengkajian tradisional lebih mampu menampilkan suatu pemandangan mengenai masa silam daripada suatu pendekatan sosio-ekonomis yang hanya membeberkan angka-angka statistik. Dalam konteks ini maka pendekatan hermeneutika memang lebih berhasil melukiskan wajah masa lalu. Keempat,pendekatan terhadap masa silam yang menggunakan teori-teori ilmu sosial hanya dapat digunakan sejauh dapat diandalkan. Kesahihan teori-teori sosial sering disanksikan. Sebab ia sering berpangkal pada pandangan-pandangan hidup, ideologi-ideologi politik atau modern yang sedang berlaku.
Terlepas dari pro dan kontra pengkajian sejarah menggunakan teori-teori ilmu sosial, namun patut direnungkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini hampir sudah sulit dibedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. Pendekatan interdisipliner kini sangat dominan mewarnai wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah sebagai salah satu bidang ilmu tidak seharusnya menarik diri dari fenomena itu, melainkan harus mampu bermain ditengahnya , sehingga tidak dianggap himpunan pengetahuan masa lalu semata, tanpa bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan kehidupan manusia, sebagaimana visi sebuah ilmu pengetahuan.
Mengacu pada pemikiran tersebut , selanjutnya dikemukakan beberapa ilmu sosial dalam persinggungannya dengan studi sejarah. Lima disiplin yang dijelaskan yaitu; ilmu Politik, antropologi , sosiologi ,ekonomi , dan psikologi.

a.        Hubungan Sejarah dengan Ilmu Politik
 Ilmu politik dalam perkembangannya sangat dibantu oleh sejarah dan Filsafat, Dua kajian ini turut mengembangkan kajian ilmu politik baik dari segi pencarian konsepsi fundamental maupun penelusuran titik-titik penemuan data dan fakta dan masa-masa sebelumnya. Dalam buku pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah Sartono menuliskan “Politik adalah sejarah masa kini dan sejarah adalah politik masa lampau. Sejarah identik dengan politik, sejauh keduanya menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para aktor dalam interaksi dan peranannya dalam usaha memperoleh apa, kapan dan bagaimana.
b.        Hubungan Sejarah dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi dan sejarah itu sama-sama termasuk kedalam ilmu sosial, yaitu ilmu yang membahas interaksi manusia dan lingkungannya. itulah kenapa di SMP, pelajaran ekonomi dan sejarah itu digabung. karena berasal dari rumpun ilmu yang sama, terkadang materinya pun berkaitan bahkan terkadang tumpang-tindih. Misalnya, pada materi perdagangan internasional, di sejarah juga  ada. di sejarah disebutkan bahwa bangsa eropa pergi ke indonesia utk mencari rempah-rempah.Dengan belajar dari masa lalu (sejarah) kita juga dapat belajar supaya perekonomian dapat lebih baik.
Banyak Kebijakan pemerintah kolonial di masa lalu yang dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Misalnya, untuk memahami sejarah perdagangan rempah-rempah di Nusantara pada abad ke XVI sampai abad XVIII,maka tidak dapat dipisahkan dari peran kongsi dagang Hindia Belanda Timur yakni VOC  ( Verenigde Oost Indische Compagnie).
c.         Hubungan Sejarah dengan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan aspek-aspek dinamis yang ada didalamnya, secara tidak langsung kita dapat menemukan bahwa objek kajian antara sosiologi dan sejarah tidak jauh berbeda, namun sejarah membatasinya dengan konsep ruang dan waktu. Sebagai sesama ilmu sosial yang kajiannya tidak jauh berbeda maka tidak sulit kita menemukan hubungan-hubungan keilmuan antara sejarah dan sosiologi Pada beberapa dasawarsa terakhir ini banyak sekali hasil-hasil penelitian sosiologi berupa studi sosiologis yang memfokuskan studinya pada gejala-gejala sosial yang terjadi dimasa lampau(supardan, 2008:325), dengan memasukkan konsep ruang tadi maka dapat kita lihat bahwa kajian tersebut jelas menggunakan beberapa konsep dari sejarah untuk menjelaskan studi tersebut. Karya-karya sepertiPemberontakan Petani Kaya yang ditulis oleh Tilly, Perubahan Sosial Masa Revolusi Industri di Inggris Karya Smelzer, serta Asal Mula Sistem Totalitier dan Demokrasi karya Barrington Moore. Karya-karya tersebut sering disebut Sejarah Sosilogi.(Kartodirdjo dalam Supardan, 2008: 325)
Sejarawan juga terkadang melakukan pendekatan sosilogis dalam melakukan penlitian, bahkan pada bias dikatakan mulai terdapat kecendrungan penulisan sejarah, dari yang bersifat konvensioanl dan naratif kepada penulisan sejarah dengan kompleksitas tinggi, dimana sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya saling berketergantungan dalam melakukan sebuah pembahasan masalah.
d.        Hubungan Sejarah dengan Antropologi
Antropologi sebagai salah satu dari ilmu sosial memiliki kaitan dan sumbangan kepada ilmu sejarah begitu juga sebaliknya. Dalam penulisan sejarah, sejarawan tidak jarang menggunakan teori dan konsep ilmu sosial lain, termasuk antropologi. Sejarawan banyak meminjam konsep antropologi diantaranya ialah, simbol, sistem kepercayaan, folklore, tradisi besar, tradisi kecil, enkulturasi, inkulturasi, primitif, dan agraris.Sementara itu, sumbangan Ilmu sejarah terhadap antropologi adalah, sejarah sebagai kritik, permasalahan sejarah, dan pendekatan sejarah.
Titik temu antara Antropologi budaya dan sejarah sangatlah jelas. Keduanya mempelajari tentang manusia. Bila sejarah menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat pada masa lampau, maka gambaran itu juga mencakup unsur-unsur kebudayaannya . unsur-unsur itu antara lain, kepercayaan, mata pencaharian, dan teknologi. Hasil rekonstruksi yang memadukan antara sejarah dan antropologi menghasilkan karya sejarah kebudayaan.
e.         Hubungan Sejarah dengan Psikologi
Ilmu Psikologi sangat berkaitan dengan mental dan kejiwaan manusia. Manusia yang menjadi objek kajian sejarah tidak hanya sekedar dijelaskan mengenai tindakan yang dilakukan dan apa yang ditimbulkan dari tindakan itu?mengapa seseorang melakukan tindakan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan kondisi kejiwaan yang bersangkutan. Kondisi itu dapat disebabkan oleh rangsangan dari luar atau lingkungannya, dapat pula dari dalam dirinya sendiri. Penggunaan psikologi dalam sejarah, melahirkan fokus kajian sejarah mentalitas.







  Kegunaan Sejarah Untuk Ilmu-Ilmu Sosial
Kegunaannya yaitu:
1.      Sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial
Contohnya:  Buku the religion of chinayang ditulis oleh Max Weber, Buku Kal Wittfogel, oriental despotism, yang berisi teori tentang hydraulic society.
2.      Permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu sosial
Contohnya:  Soedjito Sosrodihardjo menulis tentang struktur masyarakat Jawa,  Buku Barrington Moore, Jr.,Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World.
3.      Pendekatan sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronis
Contohnya:  Buku Clifford Geertz, yang berjudul Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia dan The Social History of an Indonesian Town

 Kegunaan Ilmu-Ilmu Sosial Untuk Sejarah
Pengaruh ilmu sosial pada sejarah dapat kita golongkan ke dalam 4 macam yaitu:
        Penggunaan ilmu sosial dalam sejarah itu bervariasi.  Variasi itu ialah
1.      Yang menolak sama sekali
2.      Yang menggunakan secara implisit
3.      Yang menggunakan secara eksplisit
4.      Yang campuran dan kekaburan batas
Yang menolak sama sekali penggunaan ilmu-ilmu sosial berpendapat:
1.      Karena penggunaan ilmu sosial akan berarti hilangnya jati diri sejarah sebagai ilmu yang diakui keberadaannya, jadi sejarah cukup dengan common sense (akal sehat, nalar umum, akal sehari-hari) dan penggunaan dokumen secara kritis.
2.      Karena penggunaan ilmu-ilmu sosial hanya akan menjadikan sejarah sebagai ilmu yang tertutup secara akademis dan personal.  Secara akademis, tanpa ilmu sosial, sejarah bersifat multidisipliner sedangkan dengan ilmu sosial, sejarah akan kehilangan sifat kemandiriannya sebagai the ultimate interdisciplinarian.  Secara personal, sejarah akan punya peristilahan teknis dan ini tidak menguntungkan.
        Adapun penggunaan ilmu-ilmu sosial meliputi:
1.      Konsep
Bahasa Latin conceptus berarti gagasan atau ide.  Sadar atau tidak, sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu sosial.
2.      Teori
Bahasa Yunani theoria berarti, diantaranya, “kaidah yang mendasari gejala, yang sudah melalui verifikasi”; ini berbeda dengan hipotesis.  Teori-teori dalam ilmu sosial banyak digunakan oleh sejarawan untuk membantu mengungkap sejarah.
3.      Permasalahan
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu sosial yang dapat diangkat menjadi topik-topik penelitian sejarah.
4.      Pendekatan
Pendekatan ilmu sosial digunakan oleh semua tulisan sejarah yang melibatkan penelitian suatu gejala sejarah dengan jangka yang relative panjang (aspek diakronis) dan yang melibatkan penelitian aspek ekonomi, masyarakat, atau politik (aspek sinkronis).



DAFTAR PUSTAKA

Angkersmit,F.R. 1987 . Refleksi tentang sejarah : pendapat-pendapat modern tentang filsafat sejarah.( terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Madjid,M. Saleh dan Abd. Rahman Hamid.2008. Pengantar Ilmu Sejarah. Makassar : Rayhan Intermedia.
Kuntowijoyo . 2005 . Pengantar Ilmu Sejarah .Yogyakarta: Bentang Pustaka

Agama Sebagai Komoditas Politik: Persoalan Etika dan Moral



Politik Penggunaan agama sebagai salah satu alat berpolitik masih marak terjadi sekarang ini. Bukan hanya oleh lembaga-lembaga yang memiliki orientasi kegiatan keagamaan, namun juga oleh individu-individu, baik yang memang berada dalam lembaga keagamaan ataupun individu pemeluk agama. Terkadang, persoalan ini malah justru sering menyulut konflik di antara para pemeluk agama ataupun lembaga-lembaga keagamaan tertentu dan ahhirnya eskalasinya membesar dan menjadi konflik sosial. Persoalan isu agama ini, ketika digunakan oleh seorang individu dalam konteks kegiatan politiknya, memang tidaklah melanggar hukum. Namun begitu, persoalan etika dan moral menjadi muncul dalam hal ini, terkait pada moral dan integritas yang bersangkutan, apalagi individu tersebut memang bergerak di ranah kehidupan sosial masyarakat dan politik. Apalagi yang kerap terjadi adalah inkonsistensi perbuatan yang dilakukan individu dengan pernyataan dan pemahaman keagamaan yang ditunjukkannya pada publik. Di sinilah persoalan etika dan moral tersebut muncul dan menjadi salah satu hal yang mendegradasi ideologi keagamaan dalam politik, baik secara individual maupun secara komunal, partai politik misalnya.
Menjadikan agama sebagai tunggangan politik merupakan praktek politik yang tidak santun. Ia tidak sesuai dengan ajaran agama. Memang, seolah-lah itu adalah benar dan islami. Tapi pada dasarnya adalah merendahkan kesucian nilai-nilai ketuhanan, nilai spiritualitas dan moralitas agama, ia menenggelamkan agama dalam arus kepentingan praktis-pragmatis yang bersifat sementara dan sesaat. Simbol-simbol agama, tokoh agama, dan kegiatan keagamaan tidak jarang diperalat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini akan sering tampak dan intensitasnya semakin meningkat saat momen-momen hajatan politik seperti pemilu, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah. Tidak usah dalam hajatan besar, pada hajatan-hajatan politik kecil tertentu pun terkadang hal tersebut kerap kali terjadi. Misalnya dengan melakukan beberapa ritual agama tertentu sebelum terjadi sebuah proses kontestasi politik. Ataupun misalnya mencitrakan diri sebagai pemeluk agama tertentu, namun sebetulnya jiwa dan hatinya lebih kuat menganut agama yang lain. Ini menjadi persoalan karena menyangkut kredibilitas dan etika moral si individu tersebut.
Fenomena tentang agama di Indonesia yang kerap kali digunakan sebagai alat untuk mencari suara terbanyak dalam mencari suara sebanyak-banyaknya, memang bertujuan untuk merebut legitimasi kekuasaan dan politik yang lebih kuat. Secara hermeunitis pun sudah jelas tersirat bahwa agama itu berarti teratur. Dari arti tersebut tentunya agama ini telah menjadi sebuah alat yang mengatur wilayah-wilayah tertentu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika agama ini dijadikan alat politik tentunya sifat yang sebenarnya ada dalam agama itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Agama hanya menjadi sebuah simbol yang bisa menarik sebanyak-banyaknya suara pemilih. Ketika seorang petinggi politik misalnya ingin menggunakan sebuah simbol agama mayoritas yang ada di Indonesia, kemungkinan besarnya dia betujuan untuk mendapat dukungan banyak dari penganut agama tersebut. Persoalan besar akan timbul ketika individu tersebut tidak secara konsisten melaksanakan ajaran-ajaran agama yang digunakannya tersebut dan malah menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama tersebut. Di sisi inilah seharusnya para penggiat kegiatan sosial dan politik bisa diuji, apakah memang mereka mau memegang konsep etis dan moral dalam melakukan kegiatannya di ranah sosial dan politik tersebut, serta bertingkah laku secara konsisten dengan pernyataan-pernyataan dan apa yang ditunjukkan olehnya ke publik selama ini, baik dalam hal nilai-nilai yang diperjuangkannya maupun nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Sehingga politik dengan dasar etika dan moral yang universal bisa terus terpelihara dan tidak terdegradasi sebagai nilai perjuangan sosial dan politik, hanya karena para pelakunya tidak konsisten memegang nilai-nilai tersebut. Konsistensi antara perbuatan dan tingkah laku dengan nilai moral dan etis yang dinyatakan telah dipegang teguh, harus menjadi acuan mereka dalam melakukan semua tindakan dan kegiatan mereka dalam berpolitik maupun segala macam kegiatan sosial sehari-hari. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai agama dan universal yang menjadi ukuran etis seseorang dalam berpolitik dan kehidupan sosialnya tidak terdegradasi menjadi komoditas politik semata yang justru memicu penolakan dari masyarakat untuk juga memegang teguh nilai dan etika tersebut sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sosial dan peradabannya.

Sabtu, 21 Juni 2014

Sosialisme Hari Ini dan Esok

Sosialisme Islam
Sosok Ali Syari’ati di Tengah Perggulatan Ideologis Antara Islam dan Marxisme
Hingga detik ini khasanah keilmuan masih cenderung menempatkan polarisasi ekstrim antara agama di satu titik dengan Marxisme di titik lain. Agama dan Marxisme dipandang sebagai dua kekuatan yang kontradiktif dan cenderung bertolak belakang secara diametral. Marxisme dikutuk karena telah menolak eksistensi agama, lebih keras lagi agama menyatakan Marxisme adalah doktrin sesat yang tidak perlu diikuti. Realitas tersebut didasari bahwa Marxisme mengangkat salah satu dogma yang menunjukan sikap religio-phobia dan antipasti terhadap keyakinan pada sifat-sifat metafisik dan non-materi.
Memang secara factual agama dan Marxisme adalah satu hal yang kontradikstif. Akan tetapi jika analisis terhadap Marxisme tidak berhenti pada diskursu tentang agama untuk kemudian dielaborasi lebih jauh, Marxisme mengandung seperangkat pandangan komprehensif tentang filsafat, ekonomi dan politik. Di tempat yang bersebrangan, agama sendiri tidak semata-mata doktrin tunggal yang berbicara panjang seputar theism dan hubungan manusia dengan tuhan an sich. Agama pun memberikan nilai-nilai dasar sebagai pijakan manusia untuk memaknai kehidupan serta membangun hubungan social dan kemasyarakatan. Artinya agama dalam konteks vertical merupakan doktrin moral yang meniscayakan kepercayaan tuhan sebagai causa prima dan penerimaan atas aspek-aspek metafisik-nonmateri sebagai perwujudannya. Kemudian dalam konteks horizontal ia hadir membawa pesan-pesan nilai demi menggapai cita-cita tinggi manusia untuk menciptakan harmoni kehidupan bersama.
Karakteristik Sosialisme Islam
Analisis sejarah islam menunjukkan bahwa islam sendiri muncul sebagai agama revolusioner dan sejak itu pula telah bekerja sebagai suatu gerakan revolusioner yang berkesinambungan. Hubungan egaliter antara kelompok masyarakat yang terbagi menjadi suku-suku terbangun setelah kehadiran islam di jazirah Arab. Dalam ungkapan yang berbeda karakter sosialistik dalam islam dapat dinisbatkan pada upaya perwujudan nilai-nilai perjuangan pemusnahan penindasan bagi orang-orang miskin dan tertindas serta persamaan hak dan kewajiban antara seluruh masyarakat.
Islam dan Tanggungjawab Sosial
Sebagaimana kapitalisme, Islam secara normal mengakui kebebasan berusaha dengan lembagai kepemilikian pribadi, system pemasaran dan keuntungan. Akan tetapi ia berbeda dengan system kapitalis karena hak milik dalam islam bukan seluruhnya baik secara esensi maupun materi milik pribadi. Ada sebagian hak orang lain yang harus diberikan sebagai manifestasi tanggung jawab social, system tersebut dikenal dalam islam sebagai mekanisme zakat, infaq dan sedekah.
Ajaran rukun islam sejumlah lima adalah dasar bangunan islam yang keseluruhannya merupakan konstruksi terpadu dalam meletakkan landasan sosialistik islam. Syahadat menyatakan ketundukan manusia hanya kepada tuhan dengan menisbikan segala bentuk kekuasaan dan otoritas selainnya. Salat sebagai tiang islam mendidik manusia untuk menghadap seiring dalam satu gerak alam yang tersentral kearah rumah tuhan, ka’bah. Salat juga mengajarkan manusia sebuah kebersamaan dalam persaudaraan, kedudukan yang sejajar dengan alas yang sama, cara peribadatan yang sama, dan derajat yang sama dirumah tuhan. Zakat sebagai manifestasi penyucian harta, adalah wujud kepedulian terhadap sesame dengan menyisihkan sebagai harta untuk kaum lemah dan kekurangan, kehadiran zakat merupakan saran islam yang paling dasar untuk melembagakan keprihatinan terhadap nasib orang lain, dengan zakat kaum muslimin mengemban kewajiban kolektif untuk mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata bagi seluruh masyarakat. Puasa adalah bentuk empati yang ditunjukkan kepada kaum lemah dan miskin untuk ikut merasakan kepedihan diatas penderitaan dalam segala pengekangan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasariah manusia. Haji sebuah prosesi peribadatan terakbar bagi kaum muslimin sedunia ke rumahnya, haji adalah cerminan persaudaraan seluruh umat muslim sejagad, ekspresi persamaan derajat antara manusia dengan manusia yang lain dibelahan bumi mana pun.
Sosilisme Islam Dalam Pandangan Ali Syari’ati
Memahami pemikiran Syari’ati membutuhkan sudut pandang luas dan analisis komprehensif yang disesuaikan dengan konteks dimana dan kapan dirinya berada, dalam kondisi social politik seperti apa ia dibesarkan. Analisis terhadap karakteristik pemikirannya akan mengantarkan kepada suatu garis besar bahwa produk pemikiran Syari’ati telah berhasil mengkonstruksi suatu pendekatan sosialistik dalam memahami Islam, yang demikian ia dapat golongkan ke dalam pencetus salah satu mazhab teori Sosialisme Islam.
Misi Pembebasan Islam
Dalam konteks pemahamannya terhadap Islam, Islam yang dimaksudkan Syariati berbeda dengan Islam yang secara umum dipahami ketika itu. Kondisi masyarakat dibawah rezim otoritarianisme Syah telah menggiring mereka kepada pendangkalan makna Islam hanya sekedar aktivitas ritual dan fiqh yang tidak menjangkau wilayah politik, terlebih masalah social masyarakat. Dalam analisis Syariati Islam telah membuktikan dirinya bahwa ia memilih suatu filsafat sejarah yang bersifat ilmiah dan didasarkan atas kesatuan, determinisme ilmiah umum, dan optimism humanistis dan historis yang positif, didasarkan atas pandangan tentang kemenangan tak terelakan dari golongan lemah dan tertindas.
Islam Tidak Mengenal Kelas
Islam menuntut terciptanya sebuah masyarakat berkeadilan, sebuah gerakan kebangkitan yang menentang penindasan, pemerasan dan diskriminasi sehingga mereka mendapatkan masyarakat yang “sama rata”, masyarakat yang membebaskan dirinya dari tirani, ketidakadilan dan kebohongan. Syariati berpendapat bahwa system islam lebih dinamis daripada system dunia yang lain. Terminology islam memperlihatkan tujuan yang progresif, secara kritis ia membedakan sumber-sumber terminology islam yang dihadapkan dengan barat.

Sosialisme Abad 21
Kiri Baru (New Left) Perkembangan dan Perpecahan
Kemunculan new left ini memuncak dalam momen historis lain yaitu tahun 1968 ketika gerakan-gerakan yang dipimpin mahasiswa melancarkan protes-protes menentang otoritas yang mapan di seluruh dunia, terutama di Prancis. New left sendiri tak pernah menjadi sebuah gerakan yang koheren, namun lebih merupakan sebuah bentuk ringkas dari ide-ide dan kecenderungan-kecenderungan yang tidak termasuk ke dalam tradisi-tradisi yang dominan. New left tidak selalu berwatak sangat teoritis atau bahkan sosialis. Sebagai contoh kampanye perlucutan senjata nuklir merupakan gerakan massa terbesar di Inggris pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an dan mendapatkan dukungan dari new left.
Sosialisme Hari Ini dan Esok
Para komentator liberal dan konservatif telah menyuarakan matinya sosialisme, patut dicatat bahwa beberapa dari mereka yang kiri tampaknya menganut sebuah kesimpulan yang sama. Pada tahun 2005 hanya beberapa rezim komunis yang masih hidup. Di China dan Vietnam Negara partai tunggal terus hidup namun system ekonominya semakin berdasarkan pada pasar kapitalis. Kaum sosialis sendiri memiliki reaksi yang beragam terhadap tantangan-tantangan yang sedang menghadang itu, jika kritik terhadap kapitalisme dan nilai-nilai kesetaraan, kerjasama, dan solidaritas social masih merupakan sesuatu yang sentral bagi sosialisme, maka kita juga harus memandang nya secara kritis dibawah cahaya pengalaman abad ke 20.
Sosialisme dimasa depan harus bersifat demokratis baik dalam organisasinya maupun dalam institusi-institusinya yang lebih luas dimana dia beroperasi. Jika kaum sosialis menerima demokrasi ini berarti pula menerima sebuah system multipartai, salah satu atau beberapa partai ini akan lebih bisa digunakan sebuah kendaraan untuk memajukan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan sosialis, karena meski ada banyak kritik nyata terhadap sosialisme partai-partai tersebut masih tetap merupakan agen-agen perubahan yang tidak bisa ditinggalkan. Pelajaran kedua dari pengalaman-pengalaman abad ke 20 ialah bahwa kaum sosialis masih harus mengembangkan strategi-strategi ekonomi yang berkesinambungan, di Kuba dan Swedia memperlihatkan kemajuan-kemajuan social haruslah diletakkan dibawah keberhasilan ekonomi dan kemajuan-kemajuan social ini akan terancam manakala ekonomi goyah
Membangun Kembali Suatu Visi Sosialis
Pasca Seattle dan kejadian-kejadian dramatis lainnya yang memperlihatkan penentangan terhadap globalisasi kapitalis, banyak orang yang sekarang ramai membicarakan kapitalisme dan menggambarkan diri mereka sebagai anti-kapitalis. Masih perlukah kita dengan suatu visi mengenai alternative lain dari kapitalisme? Tak ada yang menyangkal bahwa ada beberapa kapitalisme yang lebih baik dari pada yang lainnya terutama sebagai dampak perjuangan-perjuangan kaum buruh dan gerakan-gerakan kerakyatan yang mengubah situasi.
Tema-tema hak milik bersama, koperasi, kesetaraan semacam itu, dan penolakan terhadap relasi pertukaran mengiringi banyak kritik terhadap kapitalisme ketika kapitalisme berkembang pada abad kedelapanbelas dan awal abad kesembilanbelas di Eropa Barat, tema-tema itu secara khusus menjadi bagian dari penolakan terhadap perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kapitalisme atas masyarakat pedesaan. Kapitalisme dengan kompetisi dan pertarungan persaingannya, dianggap sebagai irasional dan lebih rendah derajatnya ketimbang suatu masyarakat yang didasarkan pada kerjasama antar-manusia.
Tujuan dan Cara-cara Kaum Sosialis Awal
Inti dari tujuan kaum sosialis ialah menciptakan suatu masyrakat yang akan memungkinkan perkembangan secara utuh potensi dan kemampuan manusia. Dalam masyarakat yang terdiri atas produsen-produsen yang berasosiasi seperti yang dilukiskan oleh Marx perkembangan segala sisi dari orang-orang akan didasarkan pada “penundukan diri mereka terhadap produktivitas komunal dan social sebagai bagian dari kemakmuran social mereka”.
Bagi sedemikian banyak kaum sosialis abad kesembilanbelas cara untuk menciptakan masyarakat baru adalah dengan menarik masyarakat dari kapitalisme dan membuktikan bahwa suatu alternative masyarakat yang non-kapitalis adalah masyarakat yang lebih unggul tatanan social dan ekonominya; bagi Marx gagasan semacam itu merefleksikan suatu masa ketika kejahatan-kejahatan kapitalisme memang sudah memperlihatkan diri, namun belum cukup berkembang untuk bisa menyingkapkan syarat-syarat riil bagi gerak perubahannya.
Sosialisme Tidak Jatuh Dari Langit
Tak ada system ekonomi baru yang jatuh begitu saja dari langit. Alih-alih jatuh dari langit atau muncul secara murni dan lengkap dari konsepsi-konsepsi para intelektual, kekuatan-kekuatan produktif dan relasi-relasi produksi yang baru muncul dalam dan bertentangan dengan bangunan masyarakat lama. Ketika anda memahami bahwa sosialisme merupakan suatu proses maka anda akan memahami bahwa jawaban terhadap adanya kecacatan-kecacatan seperti orientasi terhadap diri sendiri, rasisme dan patriartki bukanlah dengan membangun institusi-institusi yang melanggengkan semua itu.
Sosialisme secara niscaya berakar pada masyarakat-masyarakat tertentu. Dan itulah mengapa ketergantungan terhadap model-model universal tertentu secara detail bisa menyesatkan kita. Kita semua juga memulai proses konstruksi sosialis dari posisi yang berbeda-beda dalam hal tingkatan pembangunan ekonominya dan hal tersebut jelas-jelas berpengaruh seberapa jauh aktivitas awal kita bergantung pada sumber-sumber daya kita harus dikerahkan demi membangun masa depan
Membangun Sosialisme Abad XXI
Kita harus memahami bahwa sosialisme abad keduapuluh satu tak boleh menjadi suatu masyarakat yang statis di mana keputusan-keputusan diturunkan dari atas ke bawah dan dimana segenap prakarsa berada ditangan para pejabat Negara dan kader-kader garda depan yang terus memproduksi dirinya sendiri. Justru kaera sosialisme terfokus pada perkembangan diri manusia, sosialisme menekankan adanya kebutuhan akan suatu masyarakat yang demokratis, partisipatoris dan protagonistik, suatu masyarakat yang didominasi oleh suatu Negara yang terlalu berkuasa tak akan bisa membentuk makhluk-makhluk manusia yang bisa merekonstruksi sosialisme.
Sosialisme tidaklah sama dengan totalitarianisme, justru karena manusia-manusia itu berbeda dan memiliki kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuan yang berbeda-beda maka keragaman perkembangan diri mereka secara definitive harus diakui dan dihormati. Kita juga harus mengakui bahwa sosialisme bukanlah penyembahan terhadap teknologi suatu penyakit yang telah menjangkit Marxisme dan yang di Soviet mengambil bentuk banyaknya pabrik, pertambangan dan pertanian kolektif untuk menciptakan apa yang disebut sebagai ekonomi skala. Dan kita sekarang tahu bahwa sosialisme tidak bisa dibangun dari atas lewat usaha-usaha dan bimbingan suatu garda depan yang memegang semua prakarsa dan tak mempercayai perkembangan diri dari massa rakyat.




Refrensi
Supriyadi Eko. 2003. Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Newman Michael. 2006. Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif Atas Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book.
Lebowitz A. Michael. 2009. Sosialisme Sekarang Juga. Yogyakarta: Resist Book.