Minggu, 06 Juli 2014

Hubungan Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial lainnya



Selain mempunyai ilmu Bantu dalam keilmuaannya, sejarah juga menjalin hubungan dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama sesama ilmu sosial. Dalam hubungan ini yang terjadi adalah hubungan yang saling membutuhkan, disinilah letak perbedaanya dengan konsep ilmu Bantu sejarah, dimana sejarah yang lebih dominant dalam mebutuhkan bantuan guna mengungkap suatu permasalahan, lebih tepatnya kita dapat menyebutnya dengan kombinasi dari dua ilmu sosial.
Perkembangan Ilmu Sejarah pasca perang dunia II menunjukkan kecenderungan kuat untuk mempergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian Sejarah. Dasar pemikirannya adalah bahwa :pertama, sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks dalam peristiwa Sejarah.
Kedua, pendekatan multidimensional yang bertumpu pada penggunaan konsep dan teori ilmu sosial paling tepat untuk memahami gejala atau masalah yang kompleks itu. Ketiga, dengan bantuan teori-teori sosial , yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor ( inflasi,pendapatan nasional,pengangguran, dan sebagainya),maka pernyataan – pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Keempat, teori-teori dalam ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dalam kenyataan sosio-historis. Karena itu, teori-teori tersebut dapat digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Bila teori-teori sosial itu diandalkan dan dipercaya, maka dengan menggunakan teori-teori itu pengkajian sejarah juga dapat diandalkan seperti halya ilmu-ilmu sosial yang terbukti kesahihan studinya. Dengan cara ini,pengkajian sejarah yang dihasilkan tidak lagi dominan dengan subjektifitas,yang sering dialamatkan kepadanya.
Kelima, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang “apa” , “siapa” , “kapan” , “dimana” , dan “ bagaimana”, tetapi juga ingin melacak  pelbagai struktur masyarakat ( sosiologi ), Pola kelakuan ( antropologi ) dan sebagainya. Studi yang menggunakan pendekatan ini akan melahirkan karya sejarah yang semakin antropologis (anthropological history) dan sejarah yang sosiologis ( sosiologycal history ).
Meskipun penggunaan ilmu-ilmu sosial sangat penting, namun terdapat pula kalangan yang justru sebaliknya atau kontra dengan cara berpikir semacam itu. Keberatan mereka juga didasarkan pada beberapa pemikiran.Pertama, bahan sumber sejarah sering tidak lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial. Kedua,sering pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong kekayaan historis, karena ia hanya menaruh minat pada segi-segi tertentu dari masa silam yang dapat dikaji dengan bantuan ilmu-ilmu soial. Alhasil, masa silam tidak dapat dipaparkan seutuhnya. Ketiga, pengkajian tradisional lebih mampu menampilkan suatu pemandangan mengenai masa silam daripada suatu pendekatan sosio-ekonomis yang hanya membeberkan angka-angka statistik. Dalam konteks ini maka pendekatan hermeneutika memang lebih berhasil melukiskan wajah masa lalu. Keempat,pendekatan terhadap masa silam yang menggunakan teori-teori ilmu sosial hanya dapat digunakan sejauh dapat diandalkan. Kesahihan teori-teori sosial sering disanksikan. Sebab ia sering berpangkal pada pandangan-pandangan hidup, ideologi-ideologi politik atau modern yang sedang berlaku.
Terlepas dari pro dan kontra pengkajian sejarah menggunakan teori-teori ilmu sosial, namun patut direnungkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini hampir sudah sulit dibedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. Pendekatan interdisipliner kini sangat dominan mewarnai wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah sebagai salah satu bidang ilmu tidak seharusnya menarik diri dari fenomena itu, melainkan harus mampu bermain ditengahnya , sehingga tidak dianggap himpunan pengetahuan masa lalu semata, tanpa bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan kehidupan manusia, sebagaimana visi sebuah ilmu pengetahuan.
Mengacu pada pemikiran tersebut , selanjutnya dikemukakan beberapa ilmu sosial dalam persinggungannya dengan studi sejarah. Lima disiplin yang dijelaskan yaitu; ilmu Politik, antropologi , sosiologi ,ekonomi , dan psikologi.

a.        Hubungan Sejarah dengan Ilmu Politik
 Ilmu politik dalam perkembangannya sangat dibantu oleh sejarah dan Filsafat, Dua kajian ini turut mengembangkan kajian ilmu politik baik dari segi pencarian konsepsi fundamental maupun penelusuran titik-titik penemuan data dan fakta dan masa-masa sebelumnya. Dalam buku pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah Sartono menuliskan “Politik adalah sejarah masa kini dan sejarah adalah politik masa lampau. Sejarah identik dengan politik, sejauh keduanya menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para aktor dalam interaksi dan peranannya dalam usaha memperoleh apa, kapan dan bagaimana.
b.        Hubungan Sejarah dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi dan sejarah itu sama-sama termasuk kedalam ilmu sosial, yaitu ilmu yang membahas interaksi manusia dan lingkungannya. itulah kenapa di SMP, pelajaran ekonomi dan sejarah itu digabung. karena berasal dari rumpun ilmu yang sama, terkadang materinya pun berkaitan bahkan terkadang tumpang-tindih. Misalnya, pada materi perdagangan internasional, di sejarah juga  ada. di sejarah disebutkan bahwa bangsa eropa pergi ke indonesia utk mencari rempah-rempah.Dengan belajar dari masa lalu (sejarah) kita juga dapat belajar supaya perekonomian dapat lebih baik.
Banyak Kebijakan pemerintah kolonial di masa lalu yang dilandasi oleh kepentingan ekonomi. Misalnya, untuk memahami sejarah perdagangan rempah-rempah di Nusantara pada abad ke XVI sampai abad XVIII,maka tidak dapat dipisahkan dari peran kongsi dagang Hindia Belanda Timur yakni VOC  ( Verenigde Oost Indische Compagnie).
c.         Hubungan Sejarah dengan Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan aspek-aspek dinamis yang ada didalamnya, secara tidak langsung kita dapat menemukan bahwa objek kajian antara sosiologi dan sejarah tidak jauh berbeda, namun sejarah membatasinya dengan konsep ruang dan waktu. Sebagai sesama ilmu sosial yang kajiannya tidak jauh berbeda maka tidak sulit kita menemukan hubungan-hubungan keilmuan antara sejarah dan sosiologi Pada beberapa dasawarsa terakhir ini banyak sekali hasil-hasil penelitian sosiologi berupa studi sosiologis yang memfokuskan studinya pada gejala-gejala sosial yang terjadi dimasa lampau(supardan, 2008:325), dengan memasukkan konsep ruang tadi maka dapat kita lihat bahwa kajian tersebut jelas menggunakan beberapa konsep dari sejarah untuk menjelaskan studi tersebut. Karya-karya sepertiPemberontakan Petani Kaya yang ditulis oleh Tilly, Perubahan Sosial Masa Revolusi Industri di Inggris Karya Smelzer, serta Asal Mula Sistem Totalitier dan Demokrasi karya Barrington Moore. Karya-karya tersebut sering disebut Sejarah Sosilogi.(Kartodirdjo dalam Supardan, 2008: 325)
Sejarawan juga terkadang melakukan pendekatan sosilogis dalam melakukan penlitian, bahkan pada bias dikatakan mulai terdapat kecendrungan penulisan sejarah, dari yang bersifat konvensioanl dan naratif kepada penulisan sejarah dengan kompleksitas tinggi, dimana sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya saling berketergantungan dalam melakukan sebuah pembahasan masalah.
d.        Hubungan Sejarah dengan Antropologi
Antropologi sebagai salah satu dari ilmu sosial memiliki kaitan dan sumbangan kepada ilmu sejarah begitu juga sebaliknya. Dalam penulisan sejarah, sejarawan tidak jarang menggunakan teori dan konsep ilmu sosial lain, termasuk antropologi. Sejarawan banyak meminjam konsep antropologi diantaranya ialah, simbol, sistem kepercayaan, folklore, tradisi besar, tradisi kecil, enkulturasi, inkulturasi, primitif, dan agraris.Sementara itu, sumbangan Ilmu sejarah terhadap antropologi adalah, sejarah sebagai kritik, permasalahan sejarah, dan pendekatan sejarah.
Titik temu antara Antropologi budaya dan sejarah sangatlah jelas. Keduanya mempelajari tentang manusia. Bila sejarah menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat pada masa lampau, maka gambaran itu juga mencakup unsur-unsur kebudayaannya . unsur-unsur itu antara lain, kepercayaan, mata pencaharian, dan teknologi. Hasil rekonstruksi yang memadukan antara sejarah dan antropologi menghasilkan karya sejarah kebudayaan.
e.         Hubungan Sejarah dengan Psikologi
Ilmu Psikologi sangat berkaitan dengan mental dan kejiwaan manusia. Manusia yang menjadi objek kajian sejarah tidak hanya sekedar dijelaskan mengenai tindakan yang dilakukan dan apa yang ditimbulkan dari tindakan itu?mengapa seseorang melakukan tindakan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan kondisi kejiwaan yang bersangkutan. Kondisi itu dapat disebabkan oleh rangsangan dari luar atau lingkungannya, dapat pula dari dalam dirinya sendiri. Penggunaan psikologi dalam sejarah, melahirkan fokus kajian sejarah mentalitas.







  Kegunaan Sejarah Untuk Ilmu-Ilmu Sosial
Kegunaannya yaitu:
1.      Sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial
Contohnya:  Buku the religion of chinayang ditulis oleh Max Weber, Buku Kal Wittfogel, oriental despotism, yang berisi teori tentang hydraulic society.
2.      Permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu sosial
Contohnya:  Soedjito Sosrodihardjo menulis tentang struktur masyarakat Jawa,  Buku Barrington Moore, Jr.,Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World.
3.      Pendekatan sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronis
Contohnya:  Buku Clifford Geertz, yang berjudul Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia dan The Social History of an Indonesian Town

 Kegunaan Ilmu-Ilmu Sosial Untuk Sejarah
Pengaruh ilmu sosial pada sejarah dapat kita golongkan ke dalam 4 macam yaitu:
        Penggunaan ilmu sosial dalam sejarah itu bervariasi.  Variasi itu ialah
1.      Yang menolak sama sekali
2.      Yang menggunakan secara implisit
3.      Yang menggunakan secara eksplisit
4.      Yang campuran dan kekaburan batas
Yang menolak sama sekali penggunaan ilmu-ilmu sosial berpendapat:
1.      Karena penggunaan ilmu sosial akan berarti hilangnya jati diri sejarah sebagai ilmu yang diakui keberadaannya, jadi sejarah cukup dengan common sense (akal sehat, nalar umum, akal sehari-hari) dan penggunaan dokumen secara kritis.
2.      Karena penggunaan ilmu-ilmu sosial hanya akan menjadikan sejarah sebagai ilmu yang tertutup secara akademis dan personal.  Secara akademis, tanpa ilmu sosial, sejarah bersifat multidisipliner sedangkan dengan ilmu sosial, sejarah akan kehilangan sifat kemandiriannya sebagai the ultimate interdisciplinarian.  Secara personal, sejarah akan punya peristilahan teknis dan ini tidak menguntungkan.
        Adapun penggunaan ilmu-ilmu sosial meliputi:
1.      Konsep
Bahasa Latin conceptus berarti gagasan atau ide.  Sadar atau tidak, sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu sosial.
2.      Teori
Bahasa Yunani theoria berarti, diantaranya, “kaidah yang mendasari gejala, yang sudah melalui verifikasi”; ini berbeda dengan hipotesis.  Teori-teori dalam ilmu sosial banyak digunakan oleh sejarawan untuk membantu mengungkap sejarah.
3.      Permasalahan
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu sosial yang dapat diangkat menjadi topik-topik penelitian sejarah.
4.      Pendekatan
Pendekatan ilmu sosial digunakan oleh semua tulisan sejarah yang melibatkan penelitian suatu gejala sejarah dengan jangka yang relative panjang (aspek diakronis) dan yang melibatkan penelitian aspek ekonomi, masyarakat, atau politik (aspek sinkronis).



DAFTAR PUSTAKA

Angkersmit,F.R. 1987 . Refleksi tentang sejarah : pendapat-pendapat modern tentang filsafat sejarah.( terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Madjid,M. Saleh dan Abd. Rahman Hamid.2008. Pengantar Ilmu Sejarah. Makassar : Rayhan Intermedia.
Kuntowijoyo . 2005 . Pengantar Ilmu Sejarah .Yogyakarta: Bentang Pustaka

Agama Sebagai Komoditas Politik: Persoalan Etika dan Moral



Politik Penggunaan agama sebagai salah satu alat berpolitik masih marak terjadi sekarang ini. Bukan hanya oleh lembaga-lembaga yang memiliki orientasi kegiatan keagamaan, namun juga oleh individu-individu, baik yang memang berada dalam lembaga keagamaan ataupun individu pemeluk agama. Terkadang, persoalan ini malah justru sering menyulut konflik di antara para pemeluk agama ataupun lembaga-lembaga keagamaan tertentu dan ahhirnya eskalasinya membesar dan menjadi konflik sosial. Persoalan isu agama ini, ketika digunakan oleh seorang individu dalam konteks kegiatan politiknya, memang tidaklah melanggar hukum. Namun begitu, persoalan etika dan moral menjadi muncul dalam hal ini, terkait pada moral dan integritas yang bersangkutan, apalagi individu tersebut memang bergerak di ranah kehidupan sosial masyarakat dan politik. Apalagi yang kerap terjadi adalah inkonsistensi perbuatan yang dilakukan individu dengan pernyataan dan pemahaman keagamaan yang ditunjukkannya pada publik. Di sinilah persoalan etika dan moral tersebut muncul dan menjadi salah satu hal yang mendegradasi ideologi keagamaan dalam politik, baik secara individual maupun secara komunal, partai politik misalnya.
Menjadikan agama sebagai tunggangan politik merupakan praktek politik yang tidak santun. Ia tidak sesuai dengan ajaran agama. Memang, seolah-lah itu adalah benar dan islami. Tapi pada dasarnya adalah merendahkan kesucian nilai-nilai ketuhanan, nilai spiritualitas dan moralitas agama, ia menenggelamkan agama dalam arus kepentingan praktis-pragmatis yang bersifat sementara dan sesaat. Simbol-simbol agama, tokoh agama, dan kegiatan keagamaan tidak jarang diperalat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini akan sering tampak dan intensitasnya semakin meningkat saat momen-momen hajatan politik seperti pemilu, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah. Tidak usah dalam hajatan besar, pada hajatan-hajatan politik kecil tertentu pun terkadang hal tersebut kerap kali terjadi. Misalnya dengan melakukan beberapa ritual agama tertentu sebelum terjadi sebuah proses kontestasi politik. Ataupun misalnya mencitrakan diri sebagai pemeluk agama tertentu, namun sebetulnya jiwa dan hatinya lebih kuat menganut agama yang lain. Ini menjadi persoalan karena menyangkut kredibilitas dan etika moral si individu tersebut.
Fenomena tentang agama di Indonesia yang kerap kali digunakan sebagai alat untuk mencari suara terbanyak dalam mencari suara sebanyak-banyaknya, memang bertujuan untuk merebut legitimasi kekuasaan dan politik yang lebih kuat. Secara hermeunitis pun sudah jelas tersirat bahwa agama itu berarti teratur. Dari arti tersebut tentunya agama ini telah menjadi sebuah alat yang mengatur wilayah-wilayah tertentu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika agama ini dijadikan alat politik tentunya sifat yang sebenarnya ada dalam agama itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Agama hanya menjadi sebuah simbol yang bisa menarik sebanyak-banyaknya suara pemilih. Ketika seorang petinggi politik misalnya ingin menggunakan sebuah simbol agama mayoritas yang ada di Indonesia, kemungkinan besarnya dia betujuan untuk mendapat dukungan banyak dari penganut agama tersebut. Persoalan besar akan timbul ketika individu tersebut tidak secara konsisten melaksanakan ajaran-ajaran agama yang digunakannya tersebut dan malah menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama tersebut. Di sisi inilah seharusnya para penggiat kegiatan sosial dan politik bisa diuji, apakah memang mereka mau memegang konsep etis dan moral dalam melakukan kegiatannya di ranah sosial dan politik tersebut, serta bertingkah laku secara konsisten dengan pernyataan-pernyataan dan apa yang ditunjukkan olehnya ke publik selama ini, baik dalam hal nilai-nilai yang diperjuangkannya maupun nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Sehingga politik dengan dasar etika dan moral yang universal bisa terus terpelihara dan tidak terdegradasi sebagai nilai perjuangan sosial dan politik, hanya karena para pelakunya tidak konsisten memegang nilai-nilai tersebut. Konsistensi antara perbuatan dan tingkah laku dengan nilai moral dan etis yang dinyatakan telah dipegang teguh, harus menjadi acuan mereka dalam melakukan semua tindakan dan kegiatan mereka dalam berpolitik maupun segala macam kegiatan sosial sehari-hari. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai agama dan universal yang menjadi ukuran etis seseorang dalam berpolitik dan kehidupan sosialnya tidak terdegradasi menjadi komoditas politik semata yang justru memicu penolakan dari masyarakat untuk juga memegang teguh nilai dan etika tersebut sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sosial dan peradabannya.