Sabtu, 17 Januari 2015

Kejahatan Komunis = Holocaust?

Beberapa negara Eropa Timur ingin menyamakan tragedi Holocaust dengan kejahatan komunis Soviet.
KOMISI Eropa menolak seruan negara-negara Eropa Timur untuk memberlakukan apa yang disebut hukum genosida ganda yang akan mengkriminalisasi siapapun yang menyangkal kejahatan rezim komunis, seperti juga banyak negara Eropa melarang penyangkalan atas holocaust.   
Minggu lalu, enam negara Eropa Timur menulis kepada Viviane Reding, komisaris hukum Eropa, menghimbau agar Uni Eropa memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan “pemaafan publik, penyangkalan, serta pengecilan makna kejahatan (rezim) totalitarian.”
Menteri luar negeri Lithuania, Latvia, Bulgaria, Hungaria, Romania, dan Republik Ceko menyatakan bahwa kejahatan rezim komunis “harus diperlakukan dengan standar yang sama” sebagaimana kejahatan Nazi, terutama di negara-negara yang memberlakukan hukum penyangkalan holocaust.
Namun para pejabat tinggi Uni Eropa mengatakan dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada 22 Desember 2010, bahwa pendapat mengenai masalah ini masih bercabang dan tak ada dasar hukum bagi Brussels untuk memutuskannya.
“Tak ada konsensus dalam masalah ini. Masing-masing negara anggota punya sudut pandang sendiri-sendiri,” ujar jurubicara Komisi Hukum Uni Eropa Matthew Newman kepada The Guardian. Dia mengatakan, Komisi Eropa memandang masalah ini “dengan amat serius.” Namun, “Dalam tahap ini, syarat-syarat untuk membuat peraturan belumlah terpenuhi. Komisi Eropa akan terus mengkaji masalah ini.”
Negara-negara Eropa Timur mengandalkan kemampuan Uni Eropa untuk membuat hukum terkait kejahatan lintasnegara “yang amat serius” dan keputusan Uni Eropa di masa lalu tentang rasisme dan xenofobia.
Namun Komisi Eropa mengatakan tak ada instrumen hukum yang menyinggung totalitarianisme dan karenanya menolak usulan genosida ganda. “Tentu saja harus digarisbawahi bahwa apa yang dilakukan rezim komunis adalah sebuah kejahatan, namun mereka tak menargetkan minoritas etnis tertentu,” ujar Newman.
Menurut Menteri Luar Negeri Lithuania Audronius Azubalis, yang memimpin para menteri luar negeri untuk mengkampanye hukum baru itu, pemahaman Uni Eropa tentang genosida harus diperluas dan mencakup kejahatan terhadap kelompok yang didefinisikan sebagai “status sosial atau keyakinan politik.”
Andrius Grikienis, jurubicara misi Lithuania ke Uni Eropa mengatakan: ”Selama tahun-tahun pertama pendudukan Soviet, Lithuania kehilangan 780.000 penduduknya. 444.000 orang meninggalkan Lithuania atau dipulangkan ke tanah air mereka, 275.697 orang dikiirm ke gulag atau pembuangan, 21.556 orang tentara perlawanan dan pendukung mereka dibunuh, serta 25.000 orang mati di garis depan.”
Sebagai perbandingan, dia mengatakan, “Lebih dari 200.000 warga Yahudi dibunuh oleh Nazi dan kolaboratornya (di Lithuania).”
Komisi Eropa tak berminat masuk ke wilayah yang amat kontroversial. Sejumlah negara Eropa Barat menolak usulan itu. Mereka beranggapan bahwa ini usaha terselubung untuk merehabilitasi para kolaborator (Nazi di negara-negara Eropa Timur) sementara antisemitisme masih menjadi isu hangat di masyarakat dan media-media di Eropa Timur. 
Pada 25 November 2010, dutabesar Inggris, Estonia, Finlandia, Prancis, Belanda, Norwegia, dan Swedia yang bertugas di Vilnius, ibukota Lithuania, mengirimkan surat pernyataan kepada presiden Lithuania dan pejabat tinggi lainnya. Dalam surat itu mereka mengungkapkan kekhawatiran atas sentimen antisemit yang terus berkembang di Lithuania.
Mereka mengajukan keberatan atas sebuah artikel suratkabar yang ditulis sejarawan Kementerian Dalam Negeri Lithuania, Petras Stankeras, yang menyebut Holocaust sebagai sebuah “dongeng”. Mereka juga memprotes keputusan pengadilan di Klaipedia, Lithuania, Mei lalu, yang melegalkan swastika dipampangkan di tempat-tempat umum. Dengan alasan swastika adalah “simbol tradisional Lithuania”. Sementara “berbagai upaya untuk menyamakan genosida tak berperikemanusiaan terhadap Yahudi dengan kejahatan Soviet terhadap Lithuania, yang meski tak dapat dikecilkan, tak bisa dianggap dama dalam tujuan atau hasilnya.”
Pada masa Perang Dunia II, Lithuania adalah salah satu negara tempat kamp konsentrasi Nazi. Di kamp konsentrasi Kovno, setidaknya 35.000 orang Yahudi terbunuh. Menurut Jonathan Freedland dalam kolomnya di The Guardian, Nazi dan kolaboratornya di Lithuania memerintahkan penggalian sebuah lubang besar di Ninth Fort, sebuah penjara di Kovno, tempat mereka menembak mati 10.000 orang Yahudi, termasuk 4.237 anak pada suatu hari di bulan Oktober 1941. Tapi pembunuhan terhadap Yahudi telah terjadi sebelum Nazi menginvasi Lithuania pada 22 Juni 1941.
Efraim Zuroff, pemburu Nazi dan direktur Simon Wiesenthal Center cabang Israel, menggambarkan usaha keenam negara Eropa Timur itu sebagai “penyesuaian palsu.”
“Kami tak mempersoalkan hari peringatan bagi kejahatan komunis, dan memang sesuatu harus dilakukan. Namun holocaust adalah tragedi yang unik dalam sejarah,” ujarnya.
“Meski kejahatan Soviet amat mengerikan, namun Anda tak bisa membandingkan orang-orang yang membangun Auschwitz dengan orang-orang yang membebaskannya. Nazi Jerman mungkin tak akan kalah jika bukan karena jasa Rusia.”

Majalah Historia edisi 23 Desember 2010

Saat Islam dan Komunis Harmonis

Pada suatu masa, karena kesamaan tujuan, Islam dan komunisme bersatu melawan penindasan.
ISLAM dan Marxisme merupakan dua hal berbeda, bahkan bertentangan. Islam adalah agama yang ajaranya dapat diterima dan ditolak berdasarkan iman atau kepercayaan, sedangkan Marxisme sebagai suatu teori ilmiah yang diterima atau ditolak berdasarkan penalaran rasional dan obyektif. Kebenaran agama bersifat absolut, sedangkan kebenaran teori ilmiah bersifat relatif yang bersifat hipotesis.
Demikian M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, menyampaikan makalahnya pada diskusi “Islam dan Marxisme” di Serambi Salihara, 11 Desember 2013.
Menurut sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, Bonnie Triyana, pertanyaan yang mencuat dalam menelaah kaitan Islam dan komunisme di Indonesia sering kali berada di seputar: mengapa di daerah Banten dan Silungkang Sumatera Barat, dua daerah yang mayoritas penduduknya muslim fanatik, bisa sekaligus menerima kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI)?
Paham Marxisme dibawa Henk Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang pada Februari 1913. Dia dipecat oleh Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP) karena bergabung dengan Partai Sosial Demokrat (SDP) yang kelak menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Dia mendirikan Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia Belanda (ISDV) yang diakui sebagai partai Marxis pertama di Asia Tenggara. Dialah aktor intelektual di balik radikalisme Sarekat Islam (SI) Semarang di bawah Semaoen.
Sementara itu, SI sebagai organisasi muslim dengan jumlah anggota terbesar, di bawah pimpinan Tjokroaminoto menjadi organisasi moderat dan berhubungan baik dengan pemerintah kolonial.
“Sikap demikian ternyata menimbulkan ketidakpuasan sekelompok kecil anggotanya,” kata Bonnie. “Konflik internal mulai terjadi di dalam kepengurusan SI. Pembentukan cabang SI yang otonom memperuncing konflik internal.”
Dawam menyebutkan, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim yang memilih kooperatif terhadap pemerintahan penjajah membuat Haji Misbach bergabung dengan SI Merah yang dibentuk oleh Semaoen yang setelah mengalami radikalisasi sejak 1919 dan memisahkan diri dari SI, menjadi PKI pada 1923.
“Tjokro-Salim memilih menempuh politik moderat karena ingin menjaga persatuan perjuangan sebagai politik kebangsaan,” kata Dawam.
Menurut Bonnie, perpecahan di tubuh SI semakin memuncak ketika terjadi insiden Afdeling B pada 1919, yaitu perlawanan Haji Hasan di Leles Garut yang menentang pembayaran pajak padi. Peristiwa ini berakibat penangkapan para pemimpin SI termasuk Tjokroaminoto. Agus Salim mengambil-alih kepemimpinan SI dan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Tjokroaminoto: pembersihan SI dari unsur-unsur komunisme.
Bagaimana Haji Misbach, seorang mubalig, fasih bahasa Arab dan suka mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah dalam tulisan-tulisannya yang bernah nan kritis, dapat menerima komunisme?
Haji Misbach yang taat beragama, kata Bonnie, menerima komunisme sebagai ideologi pembebasan tanpa harus khawatir kehilangan akidahnya. “Pandangan Haji Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan ajaran Marxisme yang diperkenalkan oleh Henk Sneevliet,” ujar Bonnie.
Misbach, Dawam menambahkan, menangkap Islam sebagai agama yang revolusioner yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. “Dari situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi komunisme,” kata Dawam.
Seperti halnya Misbach, kata Bonnie, komunisme diterima kalangan ulama di Banten pertama-tama karena kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto. Terlebih SI Banten dipimpin oleh tokoh moderat, Hasan Djajadiningrat. Tokoh SI yang memainkan peran penting dalam perkembangan komunisme di Banten adalah Kiai Haji Achmad Chatib, menantu kiai terkemuka Haji Asnawi Caringin. Tokoh penting lain adalah seorang Arab, Ahmad Basaif, yang pandai bahasa Arab dan khusyuk beribadah. Dia bersama Puradisastra dan Tubagus Alipan, menjadi pionir gerakan yang mengkombinasikan Islam dan komunisme di Banten. Kelak, tokoh-tokoh ulama bersama jawara memainkan peranan penting dalam pemberontakan PKI pada 1926. Pemberontakan serupa terjadi di Silungkang pada awal 1927, juga digerakkan oleh guru agama dan saudagar.
Terlepas pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, peristiwa ini menunjukkan bahwa Islam dan komunis pernah harmonis.
Islam dan komunisme dalam pertemuannya bukan perkara ideologi, tetapi semangat perlawanan dalam menghadapi penindasan kolonial. “Mereka bertemu di jalan dan bubar di jalan,” pungkas Dawam, “karena bukan persatuan organik antara agama dan ideologi.”

Majalah Historia edisi 12 Desember 2013

PKI Tak Sempat Tua

Sebelum menjadi partai besar di masanya, PKI melalui perkembangan masa kanak-kanak sampai dewasasepenuhnya. Ia mati sebelum tua.
SEBUAH kado ulangtahun Partai Komunis Indonesia (PKI) ke-45 dipersiapkan Lembaga Sejarah PKI. Bentuknya berupa sebuah buku yang merangkum perjalanan partai tersebut. Konsep penulisannya sudah selesai. Judulnya Sejarah 45 Tahun PKI.
Pada 4 Mei 1965, Busjarie Latif, sekretaris Lembaga Sejarah PKI, berkirim surat kepada “kawan-kawan”-nya menyampaikan manuskrip tersebut. Isinya bersumber dari dokumen-dokumen partai, hasil riset kepustakaan, dan bahan-bahan kuliah Akademi Politik Aliarcham. Kepada “kawan-kawan” itu, yang konon berjumlah 35 orang, dia menyampaikan “penentuan diskusi selanjutnya akan kami beritakan lebih lanjut.”
Namun diskusi tersebut tak pernah terjadi. Sialnya lagi, lima bulan kemudian pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang disusul pembantaian massal orang komunis, termasuk Busjarie Latif. Sejak itu, segala hal yang berbau komunis dirampas dan dihancurkan, tak terkecuali manuskrip ini.
Semaun Utomo, 91 tahun, satu-satunya anggota Lembaga Sejarah PKI yang masih hidup, menerima naskah ini dari China tahun 2013. Ultimus, penerbit buku-buku kiri di Bandung, kemudian menerbitkannya menjadi buku.
Selain memuat kiprah PKI, buku ini menjadi semacam otokritik yang mengevaluasi kesalahan-kesalahan partai. Ini bukan naskah pertama yang dihasilkan Lembaga Sejarah PKI. Sebelumnya mereka menyusun dan menerbitkan 40 Tahun PKI(1960) dan Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang diterbitkan tahun 1961. Namun buku ini menjadi penting justru karena ia merangkum perjalanan partai hingga sebelum kejatuhannya.
Anak Zaman
Ketika memperingati harijadi PKI ke-35, DN Aidit, pemimpin PKI pada 1951, melukiskan kelahiran PKI dalam sajak “Kini Ia Sudah Dewasa”:Ia lahir, dengan kesakitan, kelas termaju, sebagai anak zaman, yang akan melahirkan zaman.
“Suatu kelahiran dengan kesakitan, berarti bahwa ia didahului dengan perjuangan ideologi melawan ideologi non-Marxis-Leninis dan anti-Internasionale III,” tulis buku ini.
Kelahiran PKI tak bisa dilepaskan dari Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (ISDV), organisasi Marxis pertama di Indonesia yang didirikan Henk Sneevliet pada 1913. ISDV kemudian mengalami gejolak dengan keluarnya sosial-reformis JE Stokvis yang mendirikan Partai Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDP) dan penolakan pada 1917 dan penolakan Hertogh terhadap perubahan ISDV menjadi partai komunis sesuai keputusan Internasionale III tahun 1919.
“Kemenangan atas dua macam musuh idelogi proletariat inilah, yang membuka jalan dan memungkinkan ISDV menjadi PKI. Dan ini yang membikin dia besar dengan didahului pembersihan ideologi ke dalam.”
PKI didirikan pada 23 Mei 1920 dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Ia partai komunis pertama di Asia. Kongres II Juni 1924 memutuskan mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia, sehingga menjadi partai pertama yang menggunakan nama “Indonesia”.
Ketika PKI lahir, dunia tengah diselimuti imperialisme. Namun sudah ada pula kelas buruh dan terbentuk serikat-serikat buruh. Begitu pula sudah terjadi Revolusi Sosialis di Rusia pada Oktober 1971. “PKI adalah anak zaman yang lahir pada waktunya.”
Kanak-kanak sampai Dewasa
Buku ini menyebut kehidupan PKI dari pembentukannya; pemberontakan PKI 1926-1927, serta Revolusi Agustus 1945 sebagaimasa kanak-kanak karena partai belum menguasai teori Marxisme-Leninisme. Dan karena itulah revolusi menemui kegagalan.
Sebagai dampak kegagalan Pemberontakan PKI 1926-1927, pemerintah kolonial melakukan “teror putih” terhadap orang-orang komunis melalui penindasan, penangkapan, penggantungan, dan pembuangan. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Musso, melalui kadernya, Pamudji, menghidupkan kembali PKI pada pertengahan 1938, kendati harus bergerak di bawah tanah sehingga disebut PKI-ilegal. Program-programnya disalurkan melalui partai kiri legal, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Perlawanan terhadap bahaya fasis Jepang dilakukan dengan mendorong Gerindo dan partai politik lainnya membentuk Gabungan Politik Indonesia. Kader-kader PKI sendiri membentuk Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf). Akibat gerakan ini, tidak kurang dari 300 orang komunis ditangkap tentara Jepang.
Salah satu kegiatan bawah tanah adalah mendengarkan radio, sehingga Aidit mengklaim lebih dulu mendengar kekalahan Jepang pada 14 Agustus 1945. Dia segera mencari Wikana dan mengumpulkan para pemuda untuk menentukan langkah-langkah memproklamasikan kemerdekaan. Dalam rapat 15 Agustus 1945 malam, Aidit mengusulkan agar Sukarno ditetapkan sebagai presiden Indonesia pertama.
Pada masa revolusi, kaum komunis terpecah: PKI-ilegal, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), PKI Mohammad Joesoeph (kemudian dilikuidasi), dan Pesindo. Setelah Musso tiba pada 1948 dengan gagasan “jalan baru”, dilakukanlah fusi tiga partai bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI-ilegal, PBI, dan Partai Sosialis. “Dari sini PKI mulai dewasa.” Hal ini karena partai mulai memadukan teori Marxisme-Leninisme dengan praktik kongkret revolusi Indonesia.
Namun kembali mereka harus menghadapi “teror putih”. Kali ini dilancarkan pemerintahan Muhammad Hatta, yang berujung pada Peristiwa Madiun 1948. PKI tiarap dan baru muncul lagi awal 1951 di tangan anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan Lukman.
“Dalam tahun 1951, tahun kelahiran kembali PKI, PKI menjadi dewasadan dalam Kongres Nasional V 1954menjadi dewasa sepenuhnya.”
Mati Sebelum Tua
Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan, PKI mengambil strategi “front persatuan nasional”. Dalam rumusan Kongres V pada 1954, partai berniat membangun persekutuan antara “kelas buruh, tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional” melawan borjuasi yang bekerjasama dengan kaum imperialis dan tuan tanah feodal. Tujuan akhirnya ialah apa yang disebut “demokrasi rakyat” di mana di dalamnya tersedia cukup ruang untuk “kapitalisme nasional”.
Namun jalan sejarah berkata lain. PKI tidak sempat mewujudkan “demokrasi rakyat” atau melahirkan zaman baru yang dicita-citakannya. Setelah dewasa, PKI tak sempat menjadi tua; ia lebih dulu mati. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diikuti “teror putih” penguasa mengakhir hidup PKI, mungkin, untuk selamanya.
PKI hanya sempat merayakan ulangtahun ke-45, meski tanpa kado yang dipersiapkan Busjarie Latif dkk. Toh PKI menerima kado lain yang sama bobotnya, yakni Tesis 45 Tahun PKI, 23 Mei 1920-23 Mei 1965yang dikeluarkan Politbiro CC PKI.

Majalah Historia edisi 24 November 2014

Jumat, 02 Januari 2015

Marxisme dan Libertarianisme


LUDWIG von Mises, Friedrich von Hayek, Milton Friedman, Robert Nozick—deretan nama ini dikenal luas sebagai representasi dari libertarianisme, suatu gugus pandangan politik-ekonomi yang merupakan anathema dari Marxisme. Ketiga tokoh  pertama menghadirkan perspektif ekonomi yang berlawanan sepenuhnya dengan ekonomi-politik Marxian, sementara tokoh keempat memberikan justifikasi filsafat politik atas posisi ketiganya.
Dalam pengertian yang paling umum sekalipun, kerap dilihat bahwa tak ada dua posisi pemikiran politik-ekonomi yang lebih berlawanan secara demikian kontras ketimbang antara Marxisme dan libertarianisme. Ambil contoh mengenai cita-cita masyarakat yang hendak dicapai. Libertarianisme menggagas masyarakat dengan peran negara yang minimal, dimana distribusi sumber daya ditentukan oleh kemampuan masing-masing individu melalui mekanisme pasar. Sementara Marxisme menggagas masyarakat tanpa perbedaan distribusi sumber daya dan karenanya juga tanpa negara, tetapi kondisi ini dicapai melalui penguasaan dari mereka yang lemah secara ekonomis terhadap negara. Demikian pula dalam pengertian keduanya tentang penindasan atau eksploitasi. Bagi seorang libertarian, eksploitasi terjadi dalam sistem dimana orang kaya diwajibkan meluangkan hasil kerjanya untuk membantu orang miskin, sementara bagi seorang Marxis, eksploitasi terjadi dalam sistem dimana para pekerja tidak memperoleh hasil yang setara dengan nilai hasil kerjanya. Singkatnya, libertarianisme adalah filsafat kelas kapitalis, sementara Marxisme adalah filsafat kelas pekerja.
Albert Hahn 'Onder zwart regime' 1904
Dalam karya Nozick, Anarchy, State and Utopia, termuat secara implisit postulat paling fundamental—crème de la crème—dari libertarianisme. Berdasarkan lacakan G.A. Cohen, batu penjuru itu adalah tesis kepemilikan-diri (self-ownership). Tesis ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak penuh dan eksklusif atas dirinya sendiri. (Perlu diingat: tesis ini adalah juga pengandaian utama dari kaum libertarian-kiri alias anarkis. Tesis inilah yang berperan dalam argumen kaum anarkis melawan model sosialisme Soviet.) Dari tesis dasar inilah Nozick kemudian menyimpulkan bahwa tata politik-ekonomi libertarian dapat dibenarkan. Oleh karena semua orang mempunyai hak mutlak atas dirinya, maka negara tidak memiliki hak untuk memberlakukan kebijakan redistribusi kekayaan, entah melalui pajak progresif maupun kebijakan ekonomi lain yang menguntungkan orang miskin sambil mengorbankan orang kaya. Sehubungan dengan itu, ia mengatakan bahwa pajak tidak lain adalah ‘kerja-paksa terselubung.’ Negara, karena itu, semestinya hanya berfungsi menegakkan kepastian hukum (rule of law) agar tak ada kepemilikan-diri warganegaranya yang terlanggar. Kepemilikan-diri, bagi Nozick, merupakan fondasi terdasar dari semua tatanan sosial-politik-ekonomi-legal yang emansipatoris. Ia berpandangan bahwa semua konsepsi politik yang emansipatoris harus berangkat dari penerimaan atas tesis kepemilikan-diri—tanpa penerimaan itu, kita niscaya membenarkan perbudakan dan tata politik non-emansipatoris yang serupa. Dan karena tata masyarakat berkelas merupakan konsekuensi yang niscaya dari penerimaan atas tesis kepemilikan-diri, maka tata masyarakat berkelas merupakan satu-satunya tatanan masyarakat yang emansipatoris.
Kita sudah mengetahui postulat fundamental libertarianisme. Sekarang kita dapat bertanya hal yang serupa: apakah postulat paling fundamental dari Marxisme? Postulat itu dapat kita rekonstruksi dari masalah dasar yang mau dipecahkan oleh Marxisme, yakni masalah eksploitasi kelas pekerja dalam kapitalisme. Penindasan terjadi ketika terwujud penarikan nilai-lebih dari kelas pekerja oleh kelas kapitalis. Artinya, pertama-tama, ada selisih antara nilai kerja dan nilai produk kerja. Kemudian selisih nilai ini, yang merupakan hasil pencurahan kerja kelas pekerja, diambil oleh kelas kapitalis. Inilah yang secara umum dimengerti oleh kaum Marxis sebagai eksploitasi. Dalam karyanya, Self-Ownership, Freedom and Equality, G.A. Cohen menunjukkan bahwa kita, sebagai Marxis, perlu berpikir dua kali tepat pada titik ini. Cohen memperlihatkan bahwa argumen eksploitasi kaum Marxis sebenarnya mengandaikan pengakuan atas tesis kepemilikan-diri. Kelas pekerja dihisap atau dieksploitasi persis karena nilai-lebih yang mereka hasilkan, yang karenanya merupakan hak mereka, ternyata dicuri oleh kelas kapitalis. Mengapa argumen pengambilan nilai-lebih ini masuk akal? Persis karena diasumsikan terlebih dulu bahwa setiap orang berhak atas hasil kerjanya, yang pada gilirannya mengandaikan bahwa setiap orang berhak atas dirinya sendiri. Di sinilah setiap Marxis, seperti diakui Cohen sendiri, akan merasa kikuk persis karena sekonyong-konyong mendapati dirinya tinggal seatap dengan kaum libertarian. Seolah Lenin, Stalin, dan Mao mendapati dirinya berada dalam hubungan ‘adik-adikkan’ dengan para dedengkot Mont Pelerin Society itu. Hubungan kekerabatan yang janggal dan tak mengenakkan ini mesti diselidiki.
Semuanya bermula sejak John Locke. Dalam Two Treatises of Government, Locke menulis: ‘setiap orang mempunyai kepemilikan dalam kepribadiannya; terhadap hal ini tak seorang pun yang punya hak selain dirinya sendiri.’ Artinya, pada aras terdasar, tak ada seorang pun yang punya hak milik atas seseorang kecuali orang itu sendiri. Hak milik atas orang lain (sebagai budak), maupun atas waktu kerja seseorang (sebagai pekerja-upahan), merupakan fakta turunan dari fakta asali kepemilikan-diri tersebut. Berkaitan dengan itu, Locke mengatakan: ‘Apapun yang telah seseorang ubah dari kondisi alamiah, ia telah mencampurkan kerjanya dengan hal itu, mempersatukannya dengan [kerja] yang merupakan miliknya sendiri dan karenanya membuat hal itu menjadi miliknya.’ Dengan demikian, menjadi jelas di sini bahwa tesis kepemilikan-diri merupakan landasan bagi teori kepemilikan-kerja (labour theory of property). Oleh karena setiap orang memiliki dirinya sendiri, termasuk memiliki tenaga kerjanya sendiri, dan setiap kerja merupakan proyeksi eksternal dari ciri personal ke dunia material yang impersonal, maka barang hasil kerja secara alamiah merupakan milik orang yang mengerjakannya.
Ketika tesis kepemilikan-diri dan teori kepemilikan-kerja bertemu dengan teori nilai-kerja (labour theory of value), maka hasilnya adalah teori eksploitasi Marxian. Teori nilai-kerja—yang muncul sejak konsep past labour-nya William Petty dan dijernihkan menjadi embodied labour-nya David Ricardo—menyatakan bahwa kerja merupakan sumber, sarana pengukur sekaligus penentu nilai komoditas. Dari sini disimpulkan, antara lain oleh para Ricardian sosialis, bahwa kelas pekerja merupakan produsen sesungguhnya dari nilai komoditas. Ketika kesimpulan ini dikawinkan dengan labour theory of property, hasilnya adalah kesimpulan baru: kelas pekerja adalah pemilik sesungguhnya dari komoditas yang merupakan hasil kerjanya. Dalam rumusan teori eksploitasi Marxian, rumusan di muka sekarang berbunyi: kelas pekerja dihisap oleh kelas kapitalis karena hasil pencurahan tenaga kerjanya yang lebih besar dari nilai kerjanya diambil oleh kelas kapitalis. Dan ketika teori eksploitasi Marxian ini dimengerti sebagai arahan praktis, yakni sebagai teori emansipasi Marxian, maka tesis kepemilikan-diri yang menjadi asumsi dasarnya menyembul ke permukaan: kelas pekerja mesti mengambil-alih sarana produksi dan menghentikan penghisapan nilai-lebih karena mereka berhak atas hasil kerjanya yang merupakan aktualisasi dari daya kerja yang dimiliki oleh masing-masing pekerja.
Melalui penjabaran ini, menjadi terang bagaimana kritik Marxian atas kapitalisme dan aspirasi emansipatorisnyamengandaikan penerimaan atas tesis kaum libertarian, yakni tesis kepemilikan-diri. Jika memang demikian, tidakkah penerimaan atas tesis tersebut akan memaksa kaum Marxis untuk mengakui keniscayaan masyarakat berkelas? Ataukah justru sebaliknya, penerimaan tesis tersebut akan memaksa kaum libertarian untuk mengakui keniscayaan masyarakat tanpa kelas? Dalam bukunya, Cohen berupaya menunjukkan bahwa penyimpulan Nozick dari penerimaan atas tesis tersebut keliru, dan bahwa cita-cita masyarakat tanpa kelas merupakan konsekuensi yang lebih masuk akal dari pengakuan atas tesis kepemilikan-diri. Ia juga menyebut bahwa tesis tersebut tak dapat ditolak sepenuhnya. Namun sungguhkah demikian?
Sungguhkah kaum Marxis tidak bisa menolak tesis kepemilikan-diri tanpa menceburkan diri ke dalam model politik totalitarian yang setaraf dengan perbudakan? Menurut saya bisa. Tesis kepemilikan-diri bukanlah tesis yang benar-benar fundamental dalam arti tak bisa direduksi ke tesis yang lebih dasar lagi. Menurut saya, tesis tersebut masih mengandaikan suatu hal lain dan karenanya dapat direduksi ke hal lain itu. Hal lain yang saya maksudkan adalahtesis individualitas. Setiap orang memiliki hak penuh dan eksklusif atas dirinya sendiri karena diandaikan adanya yang disebut ‘diri sendiri’ alias individu. Inilah pengandaian yang tidak pernah dipertanyakan dalam seluruh perdebatan tentang tesis kepemilikan-diri antara kubu Cohenian dan Nozickian. Inilah juga yang menerangkan mengapa individualisme metodologis tak dipertanyakan oleh kedua kubu yang bertikai. Individu dalam perdebatan itu sudah diandaikan terberi begitu saja. Padahal individu, dalam kacamata Marxian, adalah produk sejarah perkembangan masyarakat. Orang butuh waktu dan konteks sosial untuk bisa bilang ‘aku.’
Dengan mengandaikan begitu saja keberadaan ‘aku’ berarti perdebatan ini mengandaikan begitu saja bentuk pertama dari kepemilikan-privat, yakni kepemilikan atas diri sendiri. Akan tetapi siapa bilang bahwa dirimu adalah milikmu, bahwa kedaulatanmu adalah milikmu? Orang baru bisa bilang demikian ketika kedaulatan—keseluruhan daya mental yang melandasi tindakan—telah diprivatisasi. Jauh sebelum BUMN diprivatisasi, jauh sebelum Dahlan Iskan, bahkan jauh sebelum sarana produksi berupa lahan dan perkakas diprivatisasi, pertama-tama ‘aku’-lah yang diprivatisasi. ‘Aku,’ dengan demikian, tak lain adalah hasil privatisasi sarana produksi paling elementer, yakni kedaulatan manusia untuk bertindak sesuai kehendaknya. Ketika ‘aku’ dipancangkan sebagai tonggak personalitas, lengkap dengan segala gincu keunikan dan singularitasnya, pada saat itulah metafisika individualitas dimulai. Inilah metafisika yang inheren dalam libertarianisme dan lubuk hati sebagian Marxis yang bimbang.
Inilah duduk perkara yang sebenarnya (setidaknya menurut saya): ‘aku’ tak lain adalah produk struktur kepemilikan yang tertentu, dan struktur kepemilikan tertentu itu sendiri adalah produk sistem pembagian kerja sosial. Oleh karena itu, ‘aku’ adalah produk sistem pembagian kerja sosial. Segala keunikan dan bakat yang dimiliki setiap ‘aku’ adalah produk evolusi pembagian kerja sosial, yang pada gilirannya merupakan produk evolusi alam material. Daya kausal yang dimiliki oleh setiap diri dimungkinkan adanya oleh daya kausal masyarakat terdahulu, yang pada gilirannya dimungkinkan oleh daya kausal semesta fisik. Dalam arti ini, kerangka umum eksploitasi sosial dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang terjadi ketika kolektivitas disubordinasikan pada sekumpulan ‘aku.’ Inilah yang terjadi dalam perbudakan, fasisme dan kapitalisme. Jadi dari sini terbukti bahwa penolakan total atas tesis kepemilikan-diri yang tak sekaligus menjustifikasi perbudakan itu dimungkinkan. Hal ini saja sudah cukup untuk membantah kesimpulan sementara di muka bahwa Marxisme berkerabat dengan libertarianisme. Dengan ini ditunjukkan bahwa keduanya bukan hanya tak sekerabat, tetapi juga kebenaran yang satu mengimplikasikan kekeliruan yang lain.***
Indoprogress 20 Agustus 2013

Marxisme dan Artikulasi Politik


martin
SECARA material, politik adalah perkara formasi, administrasi dan justifikasi pembagian kerja masyarakat dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Administrasi masyarakat dalam rupa negara adalah salah satu bentuk pengorganisasian tersebut. Dalam arti ini, politik adalah aspek organisasional dari realitas ekonomi. Teori Marxian tentang politik lazimnya bergravitasi ke persoalan tersebut. Mulanya Hegel mengartikan Negara sebagai perwujudan dari rasionalitas publik berhadapan dengan Masyarakat Sipil (Bürgerliche Gesellschaft—harfiahnya: ‘masyarakat borjuis’) sebagai perwujudan dari  rasionalitas privat yang berbasis kepentingan-diri. Kemudian Marx menunjukkan bahwa Negara Hegelian sebagai mediator berbagai kepentingan-diri dalam Masyarakat Sipil nyatanya masih menyimpan kontradiksi tersendiri. Kontradiksi itu terletak dalam pemisahan antara yang-mewakili dan yang-diwakili, antara yang-didaulat dan yang-berdaulat, singkatnya: antara representasi politik dan presentasinya. Muara dari kontradiksi itu, telisik Marx, terletak pada aras ekonomi tempat realitas politik berpijak, yakni dalam realitas kelas atau dengan kata lain, dalam realitas pemisahan antara produsen dan pemilik sarana produksi. Selama masih ada kelas, selama itu jugalah akan ada pemisahan antara representasi dan presentasi dalam politik. Pemikiran politik dalam garis Marxian di kemudian hari berupaya mengklarifikasi, mempersoalkan dan memperbaiki konsepsi Marx tentang  hubungan antara realitas politik dan ekonomi. Ada yang berpendapat bahwa politik betul-betul tak lebih dari alat kelas dominan dalam melanggengkan dominasi ekonominya. Ada juga yang berpendapat bahwa politik memuat kekuatan yang dapat mengintervensi realitas perekonomian berlawanan dengan kepentingan kelas dominan.
Secara formal, politik adalah perkara penemuan kebenaran berkenaan dengan perikehidupan sosial. Apa yang hendak dicapai melalui setiap laku politik adalah penemuan kebenaran mengenai bagaimana semestinya kehidupan sosial dikelola. Perbedaan antar berbagai sistem politik adalah pada dasarnya perbedaan mengenaimetode penemuan kebenaran kehidupan kolektif seperti itu. Persoalan yang utama bukanlah apa bentuk pengelolaan kehidupan kolektif yang benar, tetapi dengan cara bagaimana hal itu ditemukan? Dari pertanyaan ini tumbuh berbagai metode penemuan kebenaran sosial: mulai dari monarki, demokrasi perwakilan sampai dengan komune. Pendekatan Marxian percaya pada metode terakhir. Di balik kepercayaan itu, terletak asumsi bahwa kriteria penentu kebenaran politik adalah rakyat. Pemikir Marxis mulai dari Mao sampai Alain Badiou memegang teguh asumsi itu. Rakyat tak mungkin keliru, sebab rakyat adalah penentu kebenaran dan kesalahan dari kehidupan kolektif. Artinya, rakyat lah legislator sekaligus eksekutor sesungguhnya dari setiap sendi kehidupan politik.  Badiou menyebut prinsip Maois ini sebagai metapolitik, yakni pendekatan politik yang tidak bertolak dari postulat moral yang diasumsikan universal (misalnya bahwa ‘monarki itu jahat,’ ‘demokrasi perwakilan itu jahat’, dsb.), melainkan dari apa yang berakar pada kepentingan rakyat itu sendiri. Itulah sebabnya, kaum Marxis percaya pada komune, dewan rakyat dan segala bentuk partisipasi mutlak dalam politik. Alasannya jelas, partisipasi politik adalah sebagian dari emansipasi politik. Di mana sebagian lainnya? Itu ditemukan dalam aspek material politik, yakni dalam penghapusan kelas. Singkatnya, emansipasi Marxian=partisipasi politik mutlak+penghapusan kelas. Dengan itu, kebenaran politik ditemukan dan diwujudkan.
Permasalahannya, sebelum kebenaran politik diwujudkan, hal itu mesti diungkapkan terlebih dulu. Ini merupakan masalah sebab mengetahui adalah satu hal, sementara mengungkapkannya adalah hal lain. Setiap Marxis tahu bahwa kapitalisme itu kontradiktif, tetapi apakah setiap Marxis mampu mengungkapkan tesis tersebut secara masuk akal di depan kalangan non-Marxis dan anti-Marxis? Setiap Marxis tahu bahwa demokrasi perwakilan tidak akan menghapuskan jurang antara representasi dan presentasi politik, tetapi apakah setiap Marxis dapat menjabarkannya dengan argumen yang dapat diterima akal bagi banyak orang tanpa mengandaikan komitmen terdahulu pada iman Marxisme? Setiap Marxis tahu bahwa kemanusiaan dan kebebasan yang riil baru akan terwujud dalam masyarakat komunis, tetapi apakah setiap Marxis dapat menjelaskannya dalam argumen yang bisa dipahami oleh kalangan liberal? Sederet pertanyaan ini mendesakkan sebuah agenda penting dalam politik Marxis, yakni soal artikulasi politik.
Ketika seorang jenderal menyatakan ‘NKRI harga mati,’ kita dapat bertanya: apakah dia sedang meyakinkan orang lain ataukah dirinya sendiri? Sebagai sebuah artikulasi politik, pernyataan yang terkesan sederhana itu justru sebenarnya rumit. Mengapa rumit? Karena tidak jelas kriteria ‘harga mati’ yang dimaksud dan terutama karena tidak jelas relevansinya bagi pendengar. Seorang pengusaha yang bisnisnya tidak hanya ada dalam lingkup ‘NKRI’ tidak akan merasa diyakinkan oleh seruan itu. Buat dia, asal bisnisnya tetap jalan, ada/tidaknya ‘NKRI’ tidak relevan. Pernyataan itu tidak akan meyakinkannya sebab pernyataan tersebut mensyaratkan penerimaan implisit atas asumsi tentang nilai-nilai luhur fasisme, sementara sang pengusaha hanya mengenal nilai-nilai luhur bisnis.
Demikian pula dengan seorang Marxis yang menyatakan ‘kapitalisme itu kejam karena menghisap buruh.’ Buat para ekonom liberal dan para pengusaha, pernyataan itu sulit dimengerti karena menurut mereka kapitalisme justru merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang paling cepat mendatangkan akumulasi kekayaan, tentunya dengan mengasumsikan trickle-down effect sebagai mekanisme distribusi sumber daya yang optimal. Demikian juga buat masyarakat awam yang cara berpikirnya cenderung menurut pada common sense yang didikte secara kultural oleh kepentingan kapitalis. Pernyataan di muka merupakan salah satu artikulasi dari tesis ‘kapitalisme mengandung kontradiksi internal.’ Namun tesis yang sama juga dapat diartikulasikan secara berbeda. Salah satu bentuk artikulasi lain yang mungkin adalah pernyataan: ‘kapitalisme merugikan para pengusaha.’ Argumennya disediakan oleh Marx sendiri dalam teori kejatuhan tingkat laba alias teori krisis kapitalisme. Peningkatan teknologi produksi akan menyebabkan jatuhnya tingkat laba para kapitalis sebab kenaikan komposisi organik kapital (meningkatnya porsi kapital konstan di atas kapital variabel) setali tiga uang dengan penurunan nilai komoditas. Karenanya, secara jangka panjang, kapitalisme tidak hanya merugikan kelas buruh tetapi juga kelas kapitalis itu sendiri dan semua sektor kehidupan masyarakat yang bertumpu pada modus produksi kapitalis. Dengan memberikan penjabaran yang rinci, pernyataan tersebut lebih mungkin meyakinkan para ekonom liberal, pengusaha dan masyarakat awam daripada pernyataan pertama di muka. Mengapa begitu? Sebab melalui argumen yang menopang pernyataan tersebut ditunjukkan bahwa berdasarkan kriteria kapitalis itu sendiri, kapitalisme memang bermasalah. Jadi kapitalisme bermasalah bukan hanya karena menghisap kaum buruh, tetapi juga karena secara jangka panjang merugikan kaum kapitalis itu sendiri. Kapitalisme bermasalah bukan hanya karena kejam, tetapi karena merugikan. Kriterianya bukan kekejaman, melainkan kerugian. Inilah salah satu contoh dari artikulasi politik Marxis non-konvensional yang mampu menjawab problem pengungkapan kebenaran Marxis di depan kalangan yang non- maupun anti-Marxis.


Apabila disarikan dari ilustrasi di muka, prinsip artikulasi politik Marxis ialah berangkat dari kerangka berpikir Marxian dan tesis kuncinya lantas menemukan penerjemahannya ke dalam kerangka berpikir non- maupun anti-Marxis. Di sini para Marxis bisa menimba pelajaran dari pernyataan Adam Smith dalam Wealth of Nations:
Bukanlah dari kebaikan hati sang tukang daging, peramu minuman ataupun tukang roti kita mengharapkan santap malam kita, melainkan dari perhatian mereka terhadap kepentingan mereka sendiri. Kita menghaturkan diri kita tidak terhadap rasa kemanusiaan mereka, melainkan terhadap rasa cinta-diri mereka; dan jangan pernah berbicara pada mereka tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.
Smith menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh daging dari sang tukang daging bukan lantaran ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, melainkan karena ia memiliki kepentingan untuk jualan daging. Karenanya, dalam bernegosiasi dengan sang tukang daging, Smith berpesan, kita jangan berbicara tentang kepentingan kita, tetapi bicaralah tentang keuntungan yang dapat diterima sang tukang daging dari transaksi tersebut.
Model artikulasi politik ini sangat berguna sebab dengan cara itu kebenaran Marxisme dapat diungkapkan dalam argumen yang masuk akal bagi kaum anti-Marxis sekalipun. Hal ini menjadi penting karena salah satu tugas utama yang diemban kaum Marxis dalam perjuangan menuju masyarakat tanpa kelas adalah meyakinkan sebanyak mungkin orang—dengan kepentingan yang tentu saja berbeda-beda—pada tujuan-tujuan sosialisme dan komunisme. Dalam arti itu, apa yang penting bukanlah meyakinkan (lebih tepatnya, meyakinkan ulang) sejawat sendiri tentang keburukan kapitalisme, tetapi meyakinkan orang lain.
Proses artikulasi politik semacam itu memang terkesan tidak keren dan heroik. Tidak ada orasi berapi-api, tidak ada teatrikal Kiri yang tipikal, tidak ada pembangkangan-pembangkangan yang showy. Kemungkinan inilah sebab mengapa artikulasi politik Marxis yang ada selama ini cenderung terbatas. Seakan-akan seseorang belum bisa dianggap Marxis kalau belum pernah mengutuk-sumpahi kapitalisme atau melecehkan demokrasi borjuis dengan heroisme naif yang dapat diperagakan bahkan oleh intel Melayu. Tanpa pembelajaran artikulasi politik yang matang, ungkapan Marxis rentan terjatuh dalam buzzwords dan fashionable nonsense yang pada akhirnya justru kontra-produktif bagi cita-cita emansipasi Marxis. Sebabnya, emansipasi Marxian dalam rupa partisipasi politik mutlak dan penghapusan kelas tak akan terwujud tanpa penguasaan beragam artikulasi politik. Perwujudan kebenaran politik Marxis tak akan mengemuka hanya dengan diketahui dan diyakini oleh sekelompok penghayat yang militan, tetapi juga dengan diungkapkan, diartikulasikan kepada pihak-pihak yang tak peduli ataupun antipati terhadap Marxisme. Dan Marxisme tak akan menang selama kaum Marxis masih terkungkung dalam heroisme ababil (‘abg labil’) yang membuat cupet artikulasi politiknya sendiri.
Dengan demikian, emansipasi Marxis = partisipasi politik mutlak + penghapusan kelas + artikulasi politik. Tanpa penguasan artikulasi politik, emansipasi Marxis hanya akan tinggal sebagai cita-cita luhur semata. Sentralitas artikulasi politik mengemuka terutama ketika kita menyadari bahwa politik bukan soal tabula rasa, bukan soal pembangunan dari nol, penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Kalau politik adalah soal tabula rasa, tentu mudah sekali kerja politik Marxis: tinggal bangun semuanya sesuai dengan kutipan-kutipan Marx atau Lenin. Persoalannya, cara berpolitik seperti Tuhan ini melompati kenyataan aktual dan karenanya tidak akan punya dampak berarti pada kenyataan aktual. Sosialisme tidak akan terjadi hanya dengan mengharuskannya untuk terjadi: ‘Jadilah terang; maka terang itu jadi.’ Emansipasi Marxis yang nyata tak akan terwujud dengan program kolektivisasi seluruh sarana produksi sekarang juga, bentuk pemerintahan revolusioner buruh sekarang juga, entah apa realitas politik yang sedang terjadi. Emansipasi Marxis yang nyata baru akan terjadi bila ada upaya artikulasi politik yang setapak demi setapak mewujudkan program kolektivisasi tersebut melalui argumen dan pengalaman historis yang mengkonfirmasinya bagi berbagai pihak. Emansipasi Marxis hanya akan akan terwujud melalui negosiasi dengan sejarah dan di situ artikulasi politik memegang peranan penting.
Heroisme ababil dan gagasan tentang politik sebagai tabula rasa adalah dua sisi dari satu mata koin yang sama. Keduanya saling menggenapi dan terus meneguhkan kaum Marxis agar hidup di semesta angan-angan, agar lupa pada kenyataan dan karenanya terus melanggengkan ketakberartian dan involusi gerakan Marxis. Keduanya seakan-akan mengarah pada sebuah semboyan ‘radikal:’ ‘semakin tak relevan, semakin revolusioner. Semakin gagal meyakinkan pihak-pihak lawan, semakin murni derajat Marxisnya. Semakin sulit berkomunikasi dengan pihak yang ideologinya berbeda, semakin otentiklah dia sebagai Marxis. Semakin terkurung dalam rimba kosakata Marxis, semakin revolusioner. Semakin involutif, semakin revolusioner.’ Kecenderungan seperti ini hanya bisa diatasi dengan pembelajaran artikulasi politik.
Artikulasi politik tak hanya berguna untuk meyakinkan orang pada Marxisme secara keseluruhan. Justru itu bukan fungsi utama artikulasi politik Marxis. Itu hanya berguna dalam diskusi-diskusi intelektual tentang Marxisme sebagai sistem pemikiran. Fungsi utama artikulasi politik adalah memberikan kerangka perumusan program politik dan komunikasi politik dalam front luas. Dengan demikian, artikulasi politik amat penting dalam aktivitas politik intra-parlementer dan perdebatan kebijakan publik. Misalnya, mengenai MP3EI. Setiap Marxis tentu menolak platform kebijakan yang dirumuskan berdasarkan paradigma debottlenecking alias deregulasi dan privatisasi. Namun tahu bahwa itu salah berbeda dengan mampu mengungkapkannya secara efektif. Seorang Marxis bisa saja memberikan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI salah karena bertentangan dengan Marxisme’ atau ‘MP3EI adalah alat kapitalis untuk memiskinkan buruh.’ Namun relevansi politis dari artikulasi semacam itu dari sudut pandang realpolitik sehari-hari amatlah kecil dibandingkan, misalnya, dengan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI keliru karena menyebabkan anjloknya pendapatan nasional dalam jangka panjang’ atau bahwa ‘MP3EI merugikan perekonomian negara dan swasta domestik.’ Artikulasi politik semacam ini memang terkesan tidak Marxis dan cenderung populis-reformis saja. Namun artikulasi semacam itulah yang dapat diterima akal sehat kalangan awam dan para pengambil kebijakan. Jadi kita tinggal pilih: mau mempertahankan fashion atau atribut Marxis dan dengan itu jadi semakin tidak relevan dengan realpolitik, atau mau mewujudkan intervensi efektif dalam realpolitik dengan mengesampingkan keriuhan atributif?
Artikulasi politik Marxis, dengan demikian, dapat didefinisikan secara sederhana sebagai pengungkapan kebenaran Marxis dalam rumusan yang masuk akal secara non-Marxis. Dalam pertarungan politik nasional di masa mendatang, kemenangan agenda-agenda Kiri akan lebih banyak ditentukan oleh artikulasi politik ketimbang oleh repetisi slogan, penolakan membuta dan serentetan parade heroisme ababil lainnya. Lewat artikulasi politik jugalah perluasan atau penyempitan gerakan Kiri di tengah-tengah gelombang perlawanan rakyat ditentukan. Artikulasi politik yang terbatas hanya akan membuat khalayak umum gagal paham dan karenanya kontribusi gerakan Kiri dalam perlawanan rakyat akan mengecil. Sementara artikulasi politik Kiri yang luwes akan dapat memperbesar partisipasi rakyat bersama dengan gerakan dalam perjuangan melawan kapitalisme. Dengan demikian, tak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa masa depan Marxisme di Indonesia bertumpu pada perkembangan artikulasi politik gerakan Kiri, pada sejauh mana gerakan mampu merumuskan agenda Marxis dalam kerangka tuntutan yang sifatnya lebih merangkul banyak pihak daripada mengisolir diri sendiri dengan tuntutan yang hanya masuk akal bagi teman sendiri.
Di situlah juga terletak peran taktis gerakan Kiri dalam gelombang populisme hari ini. Persoalannya bukan percaya atau tidak percaya pada populisme dan reformisme, persoalannya bukan soal apakah populisme itu halal atau haram menurut akidah Marxisme, tetapi apa yang bisa dihasilkan dari sana untuk memajukan agenda Marxis dan apa yang mesti diperbuat untuk memastikan kemajuan agenda tersebut. Tujuan gerakan Kiri adalah kemenangan politik rakyat, bukan penegakkan syariat Marxis. Tujuannya adalah memenangkan agenda Marxis, bukan sertifikasi halal-haram. Dan artikulasi politik yang luwes adalah salah satu sarana di antara segudang sarana lainnya untuk merealisasikan tujuan tersebut. Dalam gelombang populisme yang cair secara ideologis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan agenda Marxis tanpa mengasumsikan penerimaan publik atas kebenaran pokok-pokok Marxisme. Ini berujung pada dua konsekuensi. Pada aras teoretis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan kritik imanen atas kapitalisme dan kultur borjuis. Artinya, mampu menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan kapitalis itu sendiri, kapitalisme itu memang bermasalah (misalnya merugikan), atau bahwa dari kriteria budaya borjuis itu sendiri, penegakan HAM tidak mungkin terwujud secara utuh dalam lingkup kebudayaan borjuis. Pada aras praktis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan kritik imanen atas kebijakan pro-pemodal dan ideologi liberal yang menopangnya. Artinya, mampu menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan investasi itu sendiri, neoliberalisme memang bermasalah karena tidak hanya merugikan kaum buruh, tetapi juga para pemodal dan perekonomian negara. Di sini, kerja politik sesungguhnya lebih terletak dalam artikulasi politik ketimbang dalam revolutionary showmanship.

Indoprogress edisi 8 April 2014