Minggu, 02 Agustus 2015

Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah


Ilustrasi LKIP_Pemberontakan PKI 1926-27  dalam Dua Teks Sejarah_02
DALAM historiografi nasional yang resmi dan dominan sejak masa Orde Baru, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada akhir 1926 – awal 1927 memang disebut-sebut, tetapi dengan proporsi yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan bab tentang Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 30 September 1965. Dalam nalar struktur naratif historiografi resmi, hal ini bisa dipahami dengan mudah: yang dihadapi PKI pada 1948 dan 1965 adalah pemerintah Republik Indonesia sendiri, maka apa yang dilakukan PKI itu secara gampang(an) bisa dilabeli sebagai tindakan makar atau pengkhianatan sehingga PKI layak bahkan wajib dihancurkan dan dipandang sebagai musuh bangsa. Sementara itu, terhadap apa yang dilakukan PKI pada 1926-27, institusi yang bertanggung jawab dalam memproduksi wacana sejarah resmi agaknya mengalami kesulitan untuk membingkai dan memaknainya. Sebab, yang ditantang PKI adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Padahal, dalam wacana sejarah resmi yang nasionalistis, lebih tepatnya nasionalisme anti-kolonial, siapa pun yang pernah berani melawan atau memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, apa pun motifnya, dengan mudah dilabeli sebagai pahlawan. Di sini agaknya historiografi resmi dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah: melabeli para tokoh PKI dalam Pemberontakan 1926-27 sebagai pahlawan jelas akan mengurangi bahkan membalik gambaran tentang mereka sebagai pengkhianat. Akan tetapi, menyamaratakan apa yang PKI lakukan pada 1926-27 dengan apa yang mereka lakukan pada 1948 dan 1965 jelas merupakan suatu bentuk anakronisme sejarah—menempatkan suatu peristiwa sejarah dalam bingkai waktu yang berbeda. Lalu bagaimana historiografi resmi nasional memaknai peristiwa tersebut? Dan bagaimana pula historiografi resmi PKI memaknainya? Teks-teks resmi PKI yang belakangan muncul kembali, antara lain berkat kebebasan berekspresi sebagai salah satu buah Reformasi dan kemajuan teknologi informasi yang pesat, memungkinkan naskah lama diterbitkan-ulang dan disebarkan dengan mudah, entah secara digital atau cetak.
Esai ini berupaya memahami bagaimana peristiwa sejarah yang sama-sama dinamai “Pemberontakan” PKI 1926-27 dimaknai dalam dua teks sejarah resmi yang berbeda, yakni teks sejarah keluaran Pusat Sejarah TNI AD dan teks sejarah terbitan Lembaga Sejarah PKI. Teks yang disebut terdahulu merujuk pada buku Komunisme di Indonesia: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913 – 1948), Jilid I, (Jakarta: Pusat Sejarah TNI AD, 2009); sedangkan teks yang disebut belakangan merujuk pada buku Busjarie Latif [Lembaga Sejarah PKI],Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920 – 1945], (Bandung: Penerbit Ultimus, 2014). Bukan maksud esai ini untuk menimbang teks mana yang lebih benar dan objektif—dalam aliran-aliran pemikiran mutakhir apa yang “benar dan objektif” tak hanya disangsikan, tetapi juga digugat—tetapi memahami bagaimana nalar politik turut membentuk,  jika bukan mendikte, penulisan sejarah.

II

Buku pertama merupakan revisi atas Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, diterbitkan oleh penerbit yang sama, yakni Pusat Sejarah TNI AD. Tidak dijelaskan kenapa kata “Bahaya Laten” dihapus, dan cukup ditulis “Komunisme di Indonesia”.  Dugaan saya, tim penulis—yang diketuai oleh sejarawan Saleh As’ad Djamhari—tidak ingin buku ini terkesan tendensius (Lagi pula, frasa “Bahaya Laten” adalah khas Orde Baru, yang pada masa pasca-Reformasi 1998 ditolak oleh sebagian masyarakat). Alih-alih, mungkin mereka ingin buku ini dipandang sebagai teks sejarah yang objektif-ilmiah, sehingga diharapkan akan otoritatif. Dalam Penutup pada Jilid V, tim penulis antara lain mengatakan:
Buku ini ditulis untuk memberikan informasi tentang bahaya laten komunisme dan gerakan komunis serta mengingatkan kepada seluruh golongan masyarakat khususnya bangsa Indonesia umumnya, agar tidak   lengah dan tidak meremehkan terhadap komunisme dan gerakannya. Kelengahan sekecil apapun bisa memberikan peluang bagi ideologi dan gerakannya. Gerakan komunis pun sudah pasti memanfaatkan era globalisasi ini, dengan menawarkan ide-ide dan melontarkan isu demokratisasi, keterbukaan, hak-hak azasi,    keadilan dan kesenjangan kepada masyarakat dalam  rangka mematangkan kondisi untuk manifes (muncul) kembali. (Jilid V, hlm. 233)

Buku Komunisme di Indonesia ini diterbitkan dalam lima jilid dan disusun secara kronologis. Judul jilid I sebagaimana disebutkan di atas; sedangkan jilid II berjudul Komunisme di Indonesia: Penumpasan Pemberontakan PKI (1948); jilid III, Komunisme di Indonesia: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI (1950 – 1959); jilid IV, Komunisme di Indonesia: Pemberontakan G.30 S/PKI dan Penumpasannya (1960 – 1965); jilid V,  Komunisme di Indonesia: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya (1965 – 1981).
Dari judul semua jilid tersebut, kecuali jilid I dan III, kata “penumpasan” selalu hadir. Artinya, fokusnya lebih pada bagaimana “penumpasan” terhadap segala tindakan PKI itu dilakukan. Siapa “penumpasnya” tidak lain adalah militer, lebih khusus lagi Angkatan Darat. Dengan kata lain, buku ini memang tidak lebih daripada narasi heroik TNI AD dalam “menumpas” [si]apa yang dianggap musuh utama dalam sejarah politik modern Indonesia, yakni PKI. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemberontakan PKI 1926-27 itu dipandang oleh TNI AD—suatu momen sejarah ketika Republik Indonesia, apalagi TNI AD, belum ada.
Buku Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920 – 1965]  [selanjutnya ditulis Manuskrip] semula merupakan naskah yang dipersiapkan oleh Lembaga Sejarah PKI  untuk menyambut hari ulang tahun PKI yang ke-45 pada 23 Mei 1965. Akan tetapi, hingga hari ulang tahun itu tiba, yang dirayakan secara-besar-besaran, sampai peristiwa 30 September 1965 terjadi, naskah itu belum terbit juga. Yang jelas, naskah itu sempat beredar di tangan para anggota Lembaga Sejarah PKI pada awal Mei 1965, sebagaimana dituturkan Koesalah Soebagjo Toer dalam salah satu Kata Pengantar buku ini (Jumlah anggota Lembaga Sejarah PKI adalah 35 orang). Perihal nasib naskah itu hingga akhirnya terbit menjadi buku pada 2014, Sumaun Utomo (91), mantan Sekretaris Lembaga Sejarah PKI, secara ringkas menulis dalam salah satu pengantar buku tersebut:
Manuskrip ini setelah selesai ditulis oleh almarhum Kawan Busjarie Latif, “hilang” ditelan Prahara 1965. Tetapi tanpa disangka ia ikut terbang mengelilingi dunia menyelamatkan diri dan akhirnya setelah empat puluh tujuh tahun menjelajahi dunia, terbang melayang kembali ke tangan saya. (hlm. x – xi)

Keterangan ringkas ini sangat masuk akal, karena—sebagaimana diketahui—segala dokumen, risalah, dan publikasi dari dan yang terkait dengan PKI beserta ormas-ormasnya niscaya disita atau dirampas oleh aparat keamanan ketika terjadi penangkapan besar-besaran terhadap para anggota dan simpatisan PKI dan organisasi-organisasionderbouw-nya pada 1965-1966. Dalam konteks penulisan sejarah politik nasional, terbitnya manuskrip ini menjadi penting setidak-tidaknya untuk melihat bagaimana PKI menuliskan sejarahnya sendiri, bukan sebagaimana dituliskan oleh pihak yang telah menghancurkannya. Asas “fairness” dalam penulisan sejarah, layaknya prinsip “dua sisi cerita” dalam jurnalistik, pun terjaga.

III

Komunisme di Indonesia banyak mengacu pada karya akademik yang otoritatif tentang kiprah PKI pada awal kemunculannya hingga meletusnya pemberontakan 1926-27, yakni buku Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism, dan Justus M. van der Kroef, The Communist Party of Indonesia. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Komunisme di Indonesia relatif berjarak dalam mendeskripsikan sebab-sebab dan proses jalannya pemberontakan. Meskipun tidak begitu terperinci, dinamika internal di dalam tubuh kepengurusan PKI sejak Kongres 1924 di Kotagede, Yogyakarta, hingga munculnya apa yang disebut Putusan Prambanan pada Desember 1925, yang mencetuskan ide untuk melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada Juni 1926, dipaparkan dengan baik. Akan tetapi bagaimana pemberontakan itu akhirnya menemui kegagalan dan bagaimana ribuan tokoh dan aktivis PKI ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digul, pendeknya bagaimana PKI dihancurkan, di dalam buku ini hampir-hampir tidak disinggung. Alih-alih, buku ini memberikan semacam kesimpulan perihal dampak kegagalan pemberontakan PKI tersebut terhadap gerakan politik nasional pada masa itu seperti berikut ini:
Kegagalan pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI pada 1926/27 ini mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional. Pengawasan terhadap semua aktivitas partai-partai politik lebih diperketat. Ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan. Nasib perjuangan pergerakan nasional  mengalami masa yang paling suram. Di sini kita melihat bahwa PKI hanya berjuang untuk mencapai tujuan politiknya sendiri, yaitu merebut kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan komunis. Agitasi dan slogan-slogan revolusi yang menyesatkan dan menipu, menelan korban putra-putri Indonesia yang masih  buta politik. (Komunisme di Indonesia, Jilid I, hlm. 37)

Di lain pihak, di dalam Manuskrip proses terjadinya pemberontakan 1926-27 berikut sebab-sebab serta konteks sosial-politik makro maupun mikro yang melatarbelakanginya dan berbagai akibatnya, baik bagi PKI sendiri maupun gerakan politik nasional pada masa itu, dipaparkan dengan sangat terperinci. Dengan mengacu pada sumber-sumber sezaman seperti suratkabar yang berbahasa Melayu maupun Belanda, serta buku karya seorang sarjana Belanda yang bersimpati pada perjuangan kaum kiri di Indonesia, yakni J. Th. Petrus Bloemberger, De Communistische Beweging in Nederlands Indie, jalannya pemberontakan yang dimulai di Batavia pada 12 November 1926, yang kemudian menyebar ke kota-kota lain di Jawa, dan kemudian pada Januari 1927 merembet ke Sumatera hingga akhirnya ditumpas oleh pemerintah kolonial Hinda Belanda pada akhir Maret 1927, dideskripsikan secara detail. Gambaran tentang bagaimana para pelaku pemberontakan melancarkan aksi-aksi mereka dari satu tempat ke tempat lain dalam kurun waktu sekitar lima bulan dari November 1926 hingga Maret 1927 itu dihadirkan secara terperinci. Sebagai contohnya adalah nukilan berikut ini:

Priangan Tengah. Rakyat sudah siap melakukan serbuan pada jam  9.30 malam, yaitu mulai menyerang pos polisi di Nacik. Seorang agen polisi yang mencoba memberikan perlawanan terhadap kaum pemberontak mendapat luka-luka. Pada malam itu kaum pemberontak membongkar rel kereta api  Rancaekek untuk mencegah lalu lintas kereta api yang mengangkut serdadu [Belanda – tambahan penulis]. Di Batujajar, kaum pemberontak juga menyerbu rumah kepala desa yang kejam, dan membakar  rumahnya. Demikian  juga terjadi di Cimahi. Jembatan yang menghubungkan jalan dari Garut ke Bandung dirusak, juga jembatan di Cilis. (Manuskrip, hlm. 122).

Dalam penulisan sejarah, penggambaran secara terperinci bukan semata-mata terkait masalah ketersediaan sumber, tetapi juga perkara perhatian (interest) dan kepedulian (concern) terhadap peristiwa yang ditulis. DalamKomunisme di Indonesia (Jilid I), pemberontakan PKI 1926-27 hanya dideskripsikan dalam 5 halaman (hlm. 32 – 37), dan langsung tersodorkan kesimpulan sebagaimana dikutip di atas. Ini pertanda bahwa para tim penulis barangkali gamang ketika harus menghadirkan-kembali peristiwa itu, karena, sebagaimana saya katakan di atas, mereka dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah: tidak mungkin memaknai para pemberontak itu sebagai martir dan pahlawan, tetapi juga tidak bisa menyamaratakan mereka begitu saja dengan apa yang mereka pandang telah diperbuat kaum komunis pada 1948 dan 1965. Sebagai perbandingan, dalam buku Jilid II, Peristiwa Madiun 1948 dideskripsikan mulai dari halaman 1 hingga 169, di mana dideskripsikan latar belakang kejadian, jalannya pemberontakan itu sendiri, dan, tentu saja, operasi-operasi militer dalam menumpas pemberontakan tersebut. Dengan struktur naratif yang sama, hal serupa juga terjadi pada penggambaran Peristiwa 30 September 1965, yang mengisi sepanjang buku Jilid IV (halaman 7 – 321).
Dalam Manuskrip,  penggambaran pemberontakan PKI 1926-27 yang begitu rinci itu  tidak lepas dari tujuan pokok PKI menjelang ulang tahunnya yang ke-45, yaitu ingin mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut. Hal ini tampak dalam bagian “Kesimpulan Pengalaman dari Pemberontakan”, yang antara lain tertulis:
Pemberontakan  nasional 26 adalah pemberontakan tanpa persatuan nasional dan berbasiskan   persekutuan buruh dan tani. Kesalahan pokok PKI pada masa kanak-kanak ini ialah telah menjadi  mangsa dari semboyan “kekiri-kirian”, tidak berusaha keras untuk menjelaskan keadaan, mau memecahkan semua soal dengan satu kali pukul, seperti melikuidasi feodalisme, melepaskan diri dari Belanda, menghancurkan semua kaum imperialis, menggulingkan pemerintah reaksioner, melikuidasi kaum tani kaya, melikuidasi kaum borjuis nasional. Akibat semuanya ini ialah: bahwa kelas musuh semakin bersatu dengan menarik ke pihaknya, golongan-golongan yang semestinya bisa dijadikan sekutu partai.

Kesalahan pokok ini tidak berarti bahwa PKI sama sekali tidak mengadakan kontak-kontak dan kerjasama dengan golongan dan elemen-elemen non-komunis. Kenyataan menunjukkan bahwa pimpinan PKI waktu itu pun sudah mengerti perlunya persatuan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana pimpinan PKI yang memimpin serikat buruh selalu mengusahakan kerja sama dengan serikat buruh yang dipimpin oleh kaum reformis dari elemen nasionalis, seperti Surjopranoto dan lain-lain (…) Tetapi kerja sama yang telah dilakukan belum berdasarkan pada pengertian Marxis-Leninis tentang watak masyarakat Indonesia, tentang watak revolusi dan kekuatan pendorongnya (…) Karena itu mereka tidak dapat menciptakan program politik  yang jelas untuk menggalang front persatuan nasional. Kesimpulan dari semuanya ini ialah, bahwa pimpinan PKI belum mampu memadukan prinsip umum Marxisme – Leninisme dengan praktik revolusi Indonesia…. (Manuskrip, hlm. 161 – 162).

Tampak bahwa spiritnya adalah ingin melakukan tindakan korektif, tidak mengulang kesalahan yang sama, yakni penyakit “kekiri-kirian”. Kendati demikian, di dalam Manuskrip para pemimpin PKI generasi awal yang telah berani mencetuskan “pemberontakan nasional bersenjata yang pertama melawan imperialisme” (hlm. 158) tetap dipandang sebagai
(…) pahlawan-pahlawan terhormat yang melawan imperialisme. Walaupun gagal, tapi mereka dapat diberi sebutan seperti yang diberikan oleh Marx kepada pemberontak-pemberontak Komune Paris 1871: (…)’Mereka adalah malaikat-malaikat yang menyerbu langit’. (Manuskrip, hlm. 165).

Penghargaan yang begitu tinggi terhadap langkah-langkah heroik para tokoh PKI generasi awal, meskipun gagal, tidak lepas dari upaya PKI yang ingin menegaskan posisinya yang tak terpisahkan dalam sejarah pergerakan nasional: “Satunya Sejarah PKI dengan Sejarah Pergerakan Nasional”,
(…) mengenal sejarah PKI tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional yang umum, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini mempunyai dasar obyektif, karena ia terbentuk berdasarkan perkembangan khusus masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat kolonial dan semi-feodal. (Manuskrip, hlm. 451)

IV

Tampak bahwa ada pemaknaan atas pemberontakan PKI 1926-7 yang tidak hanya berbeda, tetapi juga bertolak belakang dalam kedua teks sejarah ini. Tentu saja hal ini tidak mengejutkan. Akan tetapi yang menarik di sini adalah bagaimana nalar politik turut membentuk—jika bukan mendikte—penulisan sejarah, berikut implikasinya pada metode sejarah itu sendiri. Bagaimana pemaknaan yang kontras itu mesti harus kita pahami tentu tidak bisa kita lepaskan dari konteks produksi teks sejarah itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, sejak masa Orde Baru berdiri militer Indonesia telah menempatkan PKI dan komunisme sebagai musuh bangsa, musuh negara, dan musuh Pancasila. PKI. Komunisme telah ditempatkan sebagai si “Liyan” yang harus terus-menerus diwaspadai, kendati telah dibubarkan dan dihancurkan pada 1965 – 66. Dalih yang selalu didengungkan adalah bahwa komunisme itu benda asing, “yang tidak cocok dengan adat dan budaya bangsa Indonesia”. Lebih dari itu, ia adalah benda “asing” yang selalu ingin mengubah setiap masyarakat di mana pun menjadi seperti mereka. Dalam bab “Pendahuluan” Komunisme di Indonesia Jilid I (hlm. 1) ditulis:
Sebagaimana telah dicatat oleh sejarah, setiap penganut komunisme adalah pembawa misi yang permanen, yaitu membentuk negara komunis dan masyarakat komunis. Misi ini dijabarkan dalam berbagai bentuk aksi, baik yang bersifat terbuka maupun yang bersifat tertutup, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing tempat, daerah, atau negara yang disebutkan sebagai tahap perjuangan.

Dari kacamata pandang itu bisa kita pahami mengapa pemberontakan PKI 1926-27 tetap dihadirkan dalam teks sejarah keluaran TNI dan historiografi nasional resmi, yakni tidak lain untuk meyakinkan diri mereka sekaligus khalayak umum bahwa PKI dan gerakan komunis itu memang “dari sananya” bersifat memberontak, merongrong, konfrontatif, sampai cita-cita membentuk negara komunis terwujud. Maka, secara tersirat dari keyakinan itu, gerakan komunis tidak akan mungkin berkolaborasi dengan gerakan-gerakan beraliran ideologi lain kecuali hanya sebagai taktik sementara.
Karena cara pandang itu telah terbentuk sebagai pra-anggapan (presumption), maka buku Komunisme di Indonesiapun menyimpulkan bahwa gagalnya pemberontakan PKI 1926-27 “mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional”, di mana antara lain “ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan”. Kesimpulan ini jelas manipulatif, karena faktanya, sebagaimana dicatat sejarawan John Ingleson, penghancuran dan pelarangan PKI, “kemudian meninggalkan suatu vakum politik yang terjadi pada saat yang sangat tepat untuk sekelompok aktivis politik yang selama beberapa tahun telah merencanakan sebuah gerakan nasionalis baru, yang didasarkan pada Islam atau Komunisme. Hancurnya PKI memberi kesempatan untuk mewujudkan rencana tersebut. Selama 7 tahun berikut [baca: 1927 – 1934—tambahan penulis], kelompok nasionalis yang baru ini berikhtiar mengembangkan kesadaran politik pada kalangan yang lebih luas….”[1]
Di lain pihak, Manuskrip yang ditulis pada saat PKI sangat dekat dengan Presiden Sukarno jelas tidak lepas dari hasrat PKI untuk menunjukkan dirinya sebagai partai yang berada di garda depan dalam mengusung Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), yang waktu itu menjadi ideologi  resmi pemerintah. Barangkali dalam konteks inilahManuskrip mendesakkan pandangan “Satunya Sejarah PKI dengan Sejarah Pergerakan Nasional”, pandangan yang ditopang oleh sebuah “manipulasi” sejarah, yakni ketika di dalam buku ini ditulis—sebagaimana dikutip di atas—“bagaimana pimpinan PKI yang memimpin serikat buruh selalu mengusahakan kerja sama dengan serikat buruh yang dipimpin oleh kaum reformis dari elemen nasionalis, seperti Surjopranoto dan lain-lain”. Memang tidak keliru jika dikatakan “mengusahakan kerja sama”, tetapi yang tidak dikatakan di situ adalah bahwa “usaha kerja sama” itu sebenarnya tidak pernah terwujud. Sebab, yang terjadi adalah rivalitas dan perebutan siapa atau kelompok mana yang mesti memimpin, serta cara atau metode gerakan mana yang mesti dipakai. Hasilnya adalah bahwa pemogokan buruh pabrik gula yang berpusat di Yogyakarta, yang dipimpin Surjopranoto, dan pemogokan buruh tram dan kereta api yang berpusat di Semarang, yang dipimpin Semaun,  berjalan sendiri-sendiri; dan kedua aksi pemogokan pada Mei – Juni 1920 itu pun gagal.  Buntutnya adalah polemik berkepanjangan untuk saling menyalahkan.[2]
Walaupun di atas telah saya katakan bahwa saya tidak ingin membandingkan kedua teks sejarah ini untuk menimbang mana yang lebih ”objektif”, dari paparan di atas tampak bahwa proses manipulasi sejarah dalam kedua teks ini berbeda. Dalam Komunisme di Indonesia, penghancuran PKI oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang meninggalkan kevakuman pimpinan dalam gerakan politik nasional digambarkan sebagai situasi di mana semua gerakan politik, termasuk yang non-komunis, harus ikut menanggung getahnya, yakni menghadapi represi politik dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan dalam Manuskrip, yang dikatakan hanya separuh kebenaran, yakni “mengusahakan kerja sama”. Bahwa kerja sama itu tidak terwujud, bahkan yang terjadi adalah rivalitas sehingga ketika dua-duanya gagal dalam aksi pemogokan dan kemudian muncul upaya saling menyalahkan, tidak dikatakan. Dalam Komunisme di Indonesia, manipulasi itu berwujud pembalikan fakta; sedangkan dalamManuskrip, manipulasi itu berupa penyembunyian fakta. Bukan tugas saya untuk mengatakan mana yang lebih ber-“dosa”. Yang jelas keduanya adalah konsekuensi logis ketika sejarah ditulis dengan berangkat dari sejumlah pra-anggapan yang tak lepas dari kepentingan politis-ideologis tertentu.
______
Sumber Harian Indoprogress
[1]  Lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 – 1934, Jakarta: LP3ES, 1983; hlm. vii. Yang dimaksud dengan para aktivis gerakan nasionalis baru pasca kegagalan pemberontakan PKI ini misalnya antara lain Sukarno, Hatta, Sjahrir, Sartono, Sukiman, dsb.
[2]  Lihat Budiawan, Anak Bangsawan Bertukar Jalan: Biografi R.M. Suryopranoto, Yogyakarta: LkiS, 2006; hlm. 97-156.

Apa Itu Islam Progresif?







islam
SUDAH saatnya menceraikan liberalisme Islam dari kata “progresif”. Kelemahan utama studi yang dilakukan oleh Martin van Bruinessen dkk dalam Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014) adalah masih mempertahankan istilah ini untuk menggambarkan dinamika keterbukaan pada kelas menengah Muslim terdidik Indonesia terhadap ide-ide pembaruan Islam. Suatu kelemahan yang juga diulangi oleh Laode Ida baru-baru ini, yang melihat kebangkitan kaum moderat Nahdliyin sebagai produk dari “liberalisme politik” pasca-Reformasi.
Dengan pemetaannya yang sangat problematis, Martin van Bruinessen dkk meletakkan “Islam Indonesia” secara diametral dengan tren konservatif pada sebagian umat Muslim, yang disebutnya dengan “Islam radikal”. Dan “Islam liberal dan progresif” dilihat sebagai antitesis bagi “Islam radikal” tersebut, sekaligus sebagai instansi paling legitim dari “Islam Indonesia” yang sedang berada dalam ancaman kelompok-kelompok konservatif.
Dalam prakatanya, Bruinessen menulis: “Saya menyebut ‘liberal dan progresif’ untuk mengacu kepada semua pemikir dan aktivis yang mengemukakan penafsiran nonliteral atas konsep-konsep Islam” (h. 48). Dengan konsepsi ini, ia memasukkan berbagai faksi pemikiran keislaman dari Jaringan Islam Liberal (JIL), “neomodernisme Islam”-nya Cak Nur, “tradisionalisme” Gus Dur, hingga “Islam emansipatoris”-nya mereka yang concern pada “hak asasi manusia” dan “pemberdayaan kaum lemah dan tertindas”. Dengan kata lain, ia memasukkan apa yang dulu disebut Hassan Hanafi sebagai “Kiri Islam”bersama-sama lawannya, para liberal modernis, dalam satu kategori yang sama. Latar belakang bagi keperluan kategoris ini, sebutnya, adalah absennya “istilah yang lebih baik”. Dengan kata lain, kegagalan menemukan satu istilah yang memuaskan untuk membedakan dan memilah berbagai tendensi di dalam “Islam liberal dan progresif” sendiri.
Kita patut mempertanyakan, apakah kegagalan ini bukan karena semata-mata persoalan teknis-ilmiah mencari kata yang ekonomis dan efisien untuk meringkas (dan meringkus) berbagai tendensi tersebut, tetapi juga karena ketidakberhasilannya menemukan kriteria-kriteria yang memadai, kuat, dan konsisten untuk memahami “progresivitas” itu. Kegagalan menemukan kriteria semacam ini, dalam konteks lain, juga tak kalah bermasalah, seperti kegagalan membedakan dan memilah di antara berbagai tendensi gerakan kiri dengan menyebut mereka secara keseluruhan dengan “marxisme”, atau “komunisme”. Suatu kebingungan yang justru dimanfaatkan dengan baik oleh kekuatan-kekuatan status quo untuk mendiskreditkan gerakan kiri dan kerakyatan dan menutup imajinasi kita akan tatanan alternatif, dengan menyamaratakan “’komunisme’ totaliter ala Korea Utara” dengan “komunisme popular-demokratik Venezuela”.
Kriteria yang telah menjadi common place bagi konvensi para penstudi Indonesia adalah bahwa “progresivitas” itu diukur setidaknya dari dua parameter, yang juga digunakan oleh Bruinessen: kesesuaian dan kesejalanan kelompok atau kalangan tersebut dengan demokrasi dan sekularisasi. Dengan kata lain, pada wacana “demokrasi” dan “sekularisasi”, yang dipahami sebagai terbukanya ruang bagi berbagai pihak (baca: individu) untuk menyuarakan kepentingannya (baca: kepentingan individual atau komunalnya) dan terbukanya ruang toleransi yang dimungkinkan oleh pemisahan antara agama dan negara, dan pemisahan, sebagai turunannya, antara peran negara dan kebebasan masyarakat (baca: individu-individu) mengelola kepentingannya sendiri. Penolakan atas kedua kriteria inidengan segera menempatkan para penolaknya sebagai kelompok anti-progresif, dengan demikian “konservatif”. Tingkat penolakan itu menentukan tingkat konservatisme yang dianut, sehingga semakin keras penolakan yang dipertontonkan, maka semakin konservatif kelompok tersebut untuk, pada gilirannya,mendapatkan sebutan “radikal”.
Tanpa mengesampingkan signifikansi politis dari “demokrasi”, pada kenyataannya wacana “demokrasi” yang dikonstruksi oleh parameter tersebut adalah cita-cita demokrasi kelas menengah terdidik. Artinya, suatu tipe demokrasi yang memungkinkan berkembangnya aspirasi-aspirasi individual yang cocok dengan kepentingan ekonomi mereka yang tidak dapat leluasa tersalurkan di bawah rezim otoritarian, seperti rezim Soeharto yang menganut kapitalisme negara dengan oligarki terbatasnya. Cita-cita demokrasi itu niscaya bersifat borjuistis, karena berorientasi pada penguatan kepentingan individu dan kelompok, yang di bawah rezim otoritarian, baik “sekuler” maupun “agamis”, tidak dapat berkembang secara bebas. Di sini klaim kalangan liberal modernis bahwa kebebasan (freedom) merupakan produk yang sah dari liberalisme mendapatkan konteksnya, karena kebebasan itu terlebih didefinisikan pertama-tama sebagai kebebasan bagi pemenuhan, pelepasan, dan pengorganisasian kepentingan privat (swasta) yang kompatibel dengancita-cita kesejahteraan dan kemapanan kelas menengah.
Tesis sekularisasi terkait erat dengan cita-cita demokrasi ini. Keperluan sekularisasi negara teokratis dan keperluan mencari dasar sekuler bagi suatu teori demokrasi, yang walau demikian, oleh para Muslim liberal tersebut, berusaha dicari juga “fondasi teologis”-nya (meminjam istilah Nader Hashemi), berhubungan dengan keniscayaan terpisahnya Pasar dari Negara, atau terpisahnya kepentingan swasta dari kepentingan organik masyarakat itu sendiri sebagai suatu totalitas, dan dengan demikian, terpisahnya borjuasi dari pemangku kekuasaan politis. Keperluan ini memiliki pola yang serupa dengan pengalaman sekularisasi di Eropa sendiri pasca-Revolusi Prancis, yang oleh Marx, dalam Kritik Doktrin Hegel tentang Negara (1843), dianalisis sebagai keperluan kelas borjuis untuk membentuk “masyarakat sipil”, dengan kepentingan-kepentingan swastanya, sebagai elemen terpisah dari tubuh politis Negara.
Ketertarikan para intelektual Muslim kelas menengah terhadap tesis sekularisasi itu tidak dapat dibaca hanya sebagai aspirasi untuk membuka ruang kebebasan di dalam agama dan melalui agama, dengan demikian, suatu aspirasi “religius”, melainkan mesti juga dibaca sebagai aspirasi politis dan ekonomis untuk membuka ruang kebebasan individual bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan privat dan kelompoknya. Yang dilakukan oleh para intelektual liberal ini adalah, katakanlah, suatu “swastanisasi Islam”, suatu upaya menyelaraskan Islam dengan kebutuhan kelas yang paling maju dan berkepentingan dengan perkembangan materialnya—kelas borjuasi. Kebutuhan itu adalah keperluan untuk menjadikan Islam sarana bagi pembangunan kapitalisme yang terukur di Indonesia, dengan infrastruktur-infrastruktur sosial-politisnya yang kondusif, sehingga Pasar tidak mendapat gangguan dari birokrasi yang tak efisien dan dapat berkembang sebagaimana mestinya, sejalan dengan dogma bahwa kapitalisme adalah tatanan terbaik yang paling cocok bagi masyarakat “akhir sejarah”.
Di sini, kita patut memberi catatan kaki: mereka layak disebut “progresif”, sejauh “progresif” bagi kepentingan kelasnya sendiri (meski dengan bumbu “untuk negara dan bangsa”), namun persis pada titik itu kita dapat membalik logika “progresivitas” itu: bila progresif semata bagi kepentingan kelasnya sendiri, bagaimana mereka dapat disebut “progresif” dalam arti sesungguhnya?
Test-case bagi klaim “progresif” liberalisme Islam adalah kasus-kasus yang melibatkan konflik antara massa rakyat dan pemodal maupun aparatus negara. Sepanjang rezim Soeharto, sebagian kasus ini mendapat sorotan luas dari media-media yang dimiliki oleh kelas menengah ini, namun sangat sedikit, jika nyaris tak terdengar, suara para Muslim liberal tersebut, baik dalam bentukpemihakan maupun advokasi langsung, terhadap korban konflik tersebut. Bisa dicatat seberapa banyak suara Muslim terdidik itu terhadap kasus-kasus agraria, atau represi politik atas korban-korban kekerasan negara dari kalangan buruh atau kelompok marjinal. Sangat sedikit, jika bukannya nyaris tak ada. Entah atas motif kebungkaman (deliberate silence), ketakutan, komunistofobia, atau mencari posisi aman, nyaris tak tercatatnya suara-suara Muslim liberal terhadap penindasan struktural yang terjadi sepanjang rezim otoritarian mengisyaratkan bahwa “progresivitas” itu tidak teruji di dalam kenyataan.
Peta intelektual Muslim modernis memang mencatat adanya sejumlah nama yang mengusung gagasan-gagasan Islam “transformatif” dan “emansipatoris”, seperti Moeslim Abdurrahman, Adi Sasono, Dawam Raharjo (sebelum pasca-Reformasi secara blak-blakan beralih ke liberalisme), dan Kuntowijoyo. Namun para intelektual tersebut ibarat berteriak di dalam ruang kedap suara, karena, selain tidak punya basis massa, atau tidak memiliki kontak politik dengan jaringan massa yang tiarap karena represi politik rezim, mereka juga tidak memiliki kapasitas politik untuk mendorong gagasan-gagasan mereka menjadi faktor determinan dalam membentuk segmentasi yang lebih kuat bagi lapisan-lapisan masyarakat yang tertindas.
Keterputusan antara wacana dan orientasi kelas yang dibangun, sengaja atau tidak, langsung maupun tak langsung, oleh diskursus liberalisme Islam itulah yang tidak dilihat oleh kajian Islam Indonesia semacam ini, yang mencukupkan diri melihat dampak-dampak “liberasi” pada perubahan konstelasi wacana yang dibangun dan diperkenalkan, seperti dengan diperkenalkannya wacana baru seputar Islam dan demokrasi, pemberdayaan wanita, hak asasi manusia, toleransi dan pluralisme agama, dan lain-lain, tanpa melihat bagaimana wacana tersebut benar-benar mampu memajukan agenda-agenda pembebasan dari lapisan masyarakat yang paling menderita dan kelas sosial yang paling dirugikan oleh proses-proses sosial dan ekonomi-politik yang terjadi. “Liberasi” itu lebih berupa “progresivitas” pada ruang media, yang saat itu tak lain adalah ruang publik ideal dari kelas menengah sendiri.
Dalam apropriasinya atas wacana-wacana modern, seperti wacana hak asasi manusia, feminisme, dan lain-lain, para Muslim liberal memang mampu tampil sebagai kelompok yang paling maju dan tanggap, karena mereka diuntungkan oleh iklim pendidikan dan intelektualisme yang disyaratkan oleh kemajuan materiil kapitalisme itu sendiri, sebagai sistem yang mendukung hierarki pengetahuan di dalam masyarakat yang berkelas. Namun, kelemahan studi Islam yang melihat geliat apropriasi wacana-wacana itu sebagai tanda “progresivitas” intelektual Muslim, adalah ketidakmampuannya untuk melihat kepada siapa wacana-wacana itu bertuan, siapa yang diuntungkan oleh wacana-wacana itu, dan benarkah wacana-wacana itu memiliki dampak struktural yang menyeluruh terhadap pembebasan sosial. Meski feminisme dan “emansipasi gender” telah menjadi agenda para intelektual liberal sejak rezim Soeharto, namun angka tenaga kerja perempuan dengan upah murah terus meningkat, demikian juga angka buta aksara pada para buruh perempuan formal maupun informal.
Pertanyaan tentang kepada siapa wacana-wacana itu “bertuan”, tentu akan lebih sulit dijawab, karena melibatkan relasi kuasa yang kompleks antara liberalisme Islam, lembaga-lembaga funding, serta agenda-agenda global yang tetap mempertahankan watak kolonial dan imperialistiknya terhadap Dunia Ketiga. Tetapi, liberalisme ini, meski menyuntikkan gagasan-gagasan yang cukup segar dan “modern” bagi umat Muslim, tetap tidak dapat dibilang liberatif (membebaskan), selama pendekatan yang dipakai tetap top-down, hierarkis, dan memanfaatkan sentimen ketakberdayaan kelas sosial untuk kepentingan-kepentingan humanitariannya. Bila liberalisme Islam benar-benar ingin dapat liberatif, dan karenanya progresif dalam pengertian yang substansial, bukan artifisial, maka tiada jalan lain kecuali mengaliansikan diri dengan lapisan masyarakat yang paling dirugikan oleh kepentingan-kepentingan privat dan mengorganisasikan diri menuju pelenyapan hierarki dan kelas-kelas sosial — sesuatu yang niscaya kontradiktif dengan prasyarat liberalisme sendiri.
Setidaknya, sejak saat ini kita dapat melepaskan asosiasi antara liberalisme Islam dan Islam “progresif”. Namun kita belum menjawab secara positif apa itu Islam “progresif”. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa Islam “progresif” bukanlah suatu kubu yang terpisah dari masyarakatnya, atau menempatkan diri sebagai kelas menengah yang berdiri di atas pundak masyarakatnya, dengan atribut-atribut dan keistimewaan-keistimewaan intelektualnya sendiri. Ia adalah persenyawaan antara pengalaman-pengalaman rakyat yang tertindas, ajaran-ajaran religius tentang pembebasan, yang digali dari kearifan lokal, doktrin Islam, ataupun kebijaksanaan-kebijaksanaan universal, dan teori sosial-kritis yang berwawasan struktural dan emansipatif, serta komitmen etis dan moral yang diasah terus-menerus dalam wujud keberpihakan dan aksi nyata membumikan wacana pembebasan yang dibawanya hingga taraf yang paling utopis dan “mustahil”. Dan, yang sudah pasti, ia bersifat “radikal”, dalam arti menghendaki perubahan sosial yang substansial, tanpa mengorbankan kepentingan kalangan yang dibelanya. Dalam arti tertentu, Islam “progresif” adalah Islam yang, dilihat dari komitmen sosialnya, bersifat “radikal”, sehingga sebutan “radikal” sebenarnya paling layak dialamatkan bagi Islam ini, dan bukan kalangan reaksioner Islam “garis kanan” yang lebih layak disebut “ekstremis” atau “religius fasis”. Berbeda dengan liberalisme Islam, Islam ini tidak asing dengan analisis kelas, namun ia tidak menjadikan analisis kelas satu-satunya referensinya. Keterbukaan metode dan inspirasi moral menggerakkannya. Namun demikian, militansi dan keberpihakan merupakan ciri perjuangannya. Keduanya tidak saling menegasikan, karena prinsip-prinsip tersebut dibangun di atas prinsip demokratis yang terbuka dan kepercayaan akan proses emansipasi yang tidak pernah final.
Dan berbeda dari liberalisme Islam, Islam “progresif” tidak tertarik semata-mata pada ide-ide pembaruan Islam, tetapi pada penerjemahannya dalam laku konkret, dan konsistensi laku itu dengan tuntutan masyarakat, atau problem-problem konkret yang tengah dihadapi masyarakat. Ia tidak semata-mata memikirkan penyegaran wacana dan pencerahan intelektual, tetapi juga pencerahan kondisi-kondisi kehidupan. Dalam arti itu, secara ideologis, Islam “progresif” melakukan kritik dan otokritik, tidak sebagaimana liberalisme Islam yang cenderung mempercayai bahwa gagasan-gagasan pembaruan Islam yang diusungnya saja sudah cukup untuk menjelaskan keterpurukan dan krisis yang dihadapi oleh umat Muslim.***
Sumber Harian Indoprogress

Selamat Ulang Tahun, Jenderal Jagal Besar!







harto
DELAPAN Juni ini, Soeharto berulangtahun. Seandainya saja dia tidak mati delapan tahun silam, usianya sekarang 94 tahun. Hidupnya sangat panjang di dunia ini: 86 tahun. Dia mencapai umur di atas rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia segenerasinya.
Sepuluh tahun terakhir hidupnya dia habiskan dengan sakit-sakitan di kompleks rumahnya di Jl. Cendana, Menteng. Hidup yang sepi dan penuh penyakit. Sehari-hari dia hanya ditemani oleh Suweden, pembantunya yang setia. Dia jelas menyaksikan anak-anak dan keluarga yang dilindunginya selama dia berkuasa berjatuhan. Bahkan anak kesayangannya masuk penjara karena tindak kriminal berat, yakni membunuh seorang hakim agung.
Namun, Soeharto sendiri berhasil mengelak dari semua upaya hukum atas dirinya. Dia memang hendak dibidik atas penyelewengan-penyelewengan ekonomi yang dia lakukan. Tidak ada yang mau memperkarakan dia untuk urusan pembunuhan dan pembantaian yang dia lakukan berulangkali selama 32 tahun ia berkuasa.
Sesungguhnya, tidak ada penguasa sesudahnya yang secara serius mau memenjarakannya. Mereka semua berhutang padanya.
Soeharto adalah sebuah pribadi yang enigmatic. Dia tidak banyak bicara. Dia menutup dirinya seolah-olah sebuah misteri. Dia jelas bukan pribadi yang flamboyan. Juga bukan orang yang bisa bersilat lidah dengan penuh emosi, namun kemudian tertawa lepas bersama lawannya berdebat.
Baginya, ditakuti jauh lebih baik ketimbang dicintai. Hanya ketakutan yang akan membangkitkan hormat dan rasa segan. Saya tidak yakin dia membaca Machiavelli. Tapi persis di sini letak soalnya, Soeharto adalah pengamal setia Machiavelli. Setia hingga ke bulu-bulunya, bahkan.
Di hari ulang tahunnya ini, ada baiknya kita mengingat-ingat kekuasaan Soeharto. Bukan dengan tujuan untuk meromantisasi tetapi untuk mendalami mengapa kita, sebagai bangsa, berhadapan dengan masalah-masalah besar yang sangat sulit penyelesaiannya. Soeharto ada pada titik pusat banyak masalah itu.
***
Majalah POP adalah majalah hiburan yang pernah terbit di Jakarta. Pada edisi bulan Oktober 1974, majalah ini menurunkan satu artikel berjudul “Teka-teki Seputar Silsilah Suharto.” Di dalamnya dinyatakan bahwa Soeharto adalah anak haram dari Raden Rio Padmodipuro, keturunan Sultan Hamengku Buwono II.
Artikel itu membikin Soeharto murka. Majalah POP segera dibredel. Pemimpin redaksinya Rey Hanintyo, dijebloskan ke penjara. Kabarnya, Soeharto masih akan sangat marah jika masalah soal silsilahnya itu disinggung. Dia percaya bahwa dia memang ditakdirkan untuk menjadi penguasa. Dia menolak dihubungkan dengan darah aristokrasi lama yang kekuasaannya sedang memudar. Dia percaya dirinya di atas aristokrasi itu.
Soeharto lahir pada 8 Juni 1921, di desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Gerakan nasionalis sudah ada sebelum dia lahir. Tahun 1908, gerakan Boedi Oetomo lahir di Yogyakarta. Empat tahun kemudian, muncul Sarekat Islam dan gerakan Muhammadiyah. Secara kebetulan, Partai Komunis Indonesia (PKI) lahir sebulan sebelum Soeharto.
Soeharto baru berusia lima tahun ketika PKI melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Jawa dan di Sumatera Barat. Usianya sembilan tahun ketika Soekarno diadili di Bandung karena aktivitasnya sebagai nasionalis. Soekarno mengucapkan pidato pembelaan yang berapi-api yang diberi judul Indonesia Menggugat.Ketika organisasi pemuda berkumpul mengucapkan Sumpah Pemuda, Soeharto baru berusia tujuh tahun.
Masa kecilnya dihabiskan di Godean. Namun karena persoalan keluarga, dia dipindahkan oleh ayahnya ke Wuryantoro, Wonogiri. Di situlah dia bersekolah di Schakel School yang kemudian dilanjutkannya dengan Sekolah Rakyat di Yogyakarta. Dia sempat masuk ke sekolah setingkat SMP yang dikelola Muhammadiyah namun tidak diselesaikannya.
Karena tidak bersekolah, dia bekerja. Hanya sebentar dia menjadi pegawai Bank Desa. Kemudian ada pekerjaan yang lebih menarik perhatiannya, yakni menjadi tentara. Tanggal 1 Juni 1940, dia resmi menjalani pendidikan tentara kolonial Belanda, KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan tamat dengan pangkat Kopral. Dia sempat menjalani pendidikan lanjutan dan pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan. Namun tentara Jepang keburu mendarat. Karir dan pengabdiannya pada tentara kolonial pun tamat.
Karir militernya justru moncer pada jaman Jepang. Soeharto berhasil masuk tentara PETA (Pembela Tanah Air). Karirnya beranjak dari komandan peleton dan kemudian komandan kompi (Chudancho). Kedudukan ini membawanya ke posisi elit militer di Republik yang baru merdeka. Saat perang kemerdekaan, Soeharto sudah menjadi komandan brigade.
Dia ditugaskan untuk memimpin berbagai operasi militer di luar Jawa. Namun, tidak ada operasi militer Soeharto yang lebih kontroversial ketimbang serangan umum 1 Maret untuk menduduki Yogyakarta yang dikuasai Belanda. Dia mengklaim bahwa inisiatif serangan itu berasal dari dirinya. Tujuannya adalah menunjukkan pada dunia bahwa Republik masih ada. Di kemudian hari, dia bahkan memerintahkan agar serangan itu difilmkan. Namun setelah Soeharto jatuh, klaim inisiatif tersebut dipertanyakan, karena Sultan Hamengku Buwono IX rupanya lebih berperan dalam serangan umum itu.
Soeharto memainkan peran sebagai komandan militer lebih seperti warlord ketimbang komandan militer profesional. Karena keuangan negara yang tipis, dia mendudukkan diri sebagai patron (bapak) untuk anak-anak buahnya. Dia mencarikan dana untuk keperluan anak buahnya – mulai dari seragam, makanan tambahan, biaya kesehatan, membeli peluru dan persenjataan ringan, bahkan bantuan ongkos kawin. Dana-dana ini didapat lewatkongkalikong dengan pengusaha-pengusaha. Mereka mendapat perlindungan menjalankan bisnis illegalnya, terutama penyelundupan, dan sebagai imbalannya mereka ‘menyumbang’ dana ke komandan militer. Ini praktek umum dalam militer Indonesia saat itu. Dalam tingkat tertentu, ‘kebudayaan’ komandan sebagai patron tersebut masih lestari hingga kini.
Namun tak selamanya peran Soeharto sebagai patron mulus. Tahun 1959, dia dipecat sebagai Pangdam Diponegoro oleh Jenderal Nasution. Dia ketahuan meminta uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Dia hampir diadili di pengadilan militer namun kemudian diputuskan untuk mengirimnya ‘belajar’ ke SSKAD (kini Seskoad).
***
Soeharto selalu bernasib baik. Ketika menjadi Mayor Jendral, dia sudah menganggap karirnya mati. Dia, yang tidak termasuk orang-orangnya Nasution atau Ahmad Yani, dua pemimpin militer berpengaruh saat itu, tidak memiliki cantolan kuat ke atas.
Keberuntungan muncul saat Soeharto menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Ketika dia menjabat, terjadi kudeta gagal oleh kelompok perwira muda yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S). Yani dan enam jendral pimpinan AD terbunuh. Nasution berhasil meloloskan diri namun tidak punya kendali atas pasukan.
Selebihnya kita tahu dari sejarah. Soeharto mengambil alih situasi. Dengan cepat dia memberangus gerakan itu. Dia tahu persis siapa-siapa yang berada dalam gerakan itu. Sebagian besar adalah bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro. Mereka bukan orang asing untuknya. Dia hadir pada saat Letkol Untung, pemimpin gerakan ini, menikah. Dia datang pada saat Kol. Latief menyunatkan anaknya.
Yang lebih spektakuler muncul beberapa hari kemudian. Entah ide dari siapa, Soeharto dengan genial memakai media untuk memberangus gerakan dan sekaligus menghantam lawan politik tentara, yakni PKI. Sudah hampir satu dekade, TNI dan PKI bentrok di banyak daerah memperebutkan tanah-tanah perkebunan yang dinasionalisasi. PKI mendukung aksi-aksi buruh dan petani; militer mengamankan modal yang dikuasainya karena nasionalisasi.
Pengangkatan mayat para jendral dipublikasikan secara maksimal lewat satu-satunya media milik Angkatan Darat. Dalam gambar yang bisa kita lihat sekarang, tampak wajah Soeharto yang santai dan dingin mengawasi jalannya pengangkatan mayat itu.


hartoSoeharto dengan seragam loreng berkacamata sambil memegang tongkat komando

Pembingkaian bahwa kekejaman pembunuhan para jendral itu dilakukan oleh PKI dengan segera mengalir ke arus bawah. Pembantaian terjadi dimana-mana. Pembantaian itu banyak yang dilakukan oleh rakyat namun dengan dukungan TNI-AD. Di banyak tempat, pembantaian tidak terjadi hingga kedatangan pasukan RPKAD pimpinan Kol. Sarwo Edhie Wibowo, mertua presiden SBY.
***
Pembantaian ini memakan korban sekitar hampir satu juta jiwa. Puluhan juta lainnya dihukum dengan dihilangkan hak-haknya, distigmatisasi dalam kehidupan sosial politik, serta dipersulit aksesnya terhadap pelayanan kesejahteraan oleh negara. Semua kebijakan yang diterapkan kemudian – seperti Litsus (penelitian khusus) dan ‘bersih lingkungan’ – sesungguhnya ditujukan kepada oposisi terhadap kekuasaan Soeharto.
Awal tahun 1990, saya bertemu Ali Sadikin di kantornya di Ratu Plaza. Kantor ini juga berfungsi sebagai markas Petisi 50, yaitu kumpulan 50 orang elit militer purnawirawan dan sipil yang rajin mengkritik Soeharto. Bang Ali, sapaan akrabnya, menunjukkan pada saya ‘kematian perdata’ yang dialami anggota Petisi 50. Padahal mereka hanya 50 orang dan tidak mengorganisasi apapun. Mereka hanya menyampaikan kritik.
“Kamu lihat Hoegeng?,” sergah Bang Ali kepada saya merujuk pada Jendral Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri. “Hoegeng bahkan tidak punya uang untuk sekedar memperbaiki giginya karena digencet sama Harto!” katanya. Memang semua akses ekonomi untuk anggota Petisi 50 ditutup. Itulah kematian perdata mereka.
Soeharto bisa memelihara dendamnya sangat lama dan membalasnya dengan sangat mematikan.
***
Apakah sesungguhnya kunci sukses dari Soeharto sehingga bisa berkuasa selama 32 tahun? Banyak orang akan menunjuk susunan kekuasaan ‘Tritunggal Mahakudus’ Orde Baru: Militer, Birokrasi, dan Golkar. Tidak sepenuhnya salah.
Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah ketrampilan Soeharto melakukan ‘micro-management’ atas kekuasaannya. Dia berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat dari semua intrik kekuasaan. Sikap diamnya membuat langkahnya sulit ditebak. Sementara, dia sangat teliti mengawasi para sekondannya, terutama dalam hal: siapa melakukan apa.
Saya kira Soeharto tidak pernah melihat dirinya sebagai seorang presiden dalam pengertian pemerintahan modern. Dia memandang dirinya sebagai seorang raja.
Di kalangan militer Indonesia ada istilah KISS – Ke Istana Sendiri-sendiri. Artinya, setiap orang datang ke istana melaporkan saingannya. Soeharto biasanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk, seolah mengiyakan namun sesungguhnya dia mengamati semua tindak-tanduk mereka.
Manajemen seperti ini seringkali dipakainya untuk menangani krisis. Soeharto mengadu Ali Moertopo dengan Soemitro pada Peristiwa Malari 1974. Pada awal 1990-an, Ketika Benny Moerdani dianggap tidak loyal, khususnya dalam soal suksesi, dia memasang Soedharmono sebagai saingannya.
Namun, toh dia gagal ketika memainkan kartu yang sama terhadap menantunya, Prabowo Subianto dan pengawal setianya Wiranto di tahun 1998. Ada pendapat bahwa taruhan tahun 1998 terlalu tinggi dan melibatkan orang-orang yang justru hendak dia lindungi, yakni keluarganya sendiri.
***
“Piye isih enak jamanku toh?” demikianlah slogan dalam poster dan meme di media sosial yang sekarang ini dihembus-hembuskan oleh pendukung Soeharto. Seolah-olah di zaman kekuasaannya semua serba murah. Benarkah Indonesia lebih sejahtera di jaman Soeharto?
Sebagai seorang yang berkuasa mutlak, Soeharto dengan pintar memberikan portofolio ekonomi kepada kaum teknokrat. Merekalah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga dan negara-negara asing untuk menjalankan kebijakan ekonomi Indonesia.
Sementara ekonomi dibuka untuk modal asing dan modal dalam negeri (yang sebagian besar diisi oleh kroni-kroninya), Soeharto menuruti saran lembaga seperti World Bank untuk melakukan investasi bidang kesejahteraaan.
Sesungguhnya rejim otoriter atau totaliter dimanapun di seluruh dunia pertama-tama harus mencukupi kebutuhan rakyatnya. Penindasan tidak bisa berdiri sendiri. Mereka yang ditindas harus dicukupi kebutuhan pokoknya. Kombinasi antara penindasan dan pemenuhan kebutuhan pokok akan melahirkan massa-rakyat yang jinak.
Tentu selain pemenuhan kebutuhan pokok, Soeharto juga membentuk rejim yang luar biasa efektif untuk membunuh dan menciptakan efek atas pembunuhan itu. Soeharto sangat handal ‘menormalisasi’ pembunuhan. Seperti tampak dalam pembunuhan misterius (yang dikenal dengan istilah yang teramat sinis, ‘Petrus’). Hampir sepuluh ribu orang terbunuh, mayatnya dibuang di tempat umum sebagai ‘shock therapy.’ Kaum komunis ‘normal’ dibunuh karena mereka berkhianat kepada negara (padahal tidak ada kaitan antara PKI sebagai partai dengan G30S) dan karena Komunis dianggap tidak percaya Tuhan. Normalisasi kekerasan itu tetap hidup dengan sentosa hingga sekarang.
Demikian pula invasi Indonesia ke Timor Leste yang berakibat musnahnya sepertiga penduduk negeri itu. Soeharto menormalkannya dengan merekayasa ‘integrasi Timor Timur’ seraya menggelapkan fakta-fakta korban invasi. Hingga kini invasi dan pendudukan itu mengundang kenangan pahit untuk orang Indonesia. Bukan karena kekejaman dan keganasan invasi tersebut (ini yang tidak pernah disesali sedikit pun karena dianggap ‘normal’), namun karena akhirnya rakyat Timor Leste memilih merdeka. Ketimbang merasa bersalah karena menginvasi negara tetangga yang kecil, kebanyakan orang Indonesia memilih mempercayai teori konspirasi bahwa Timor-Timur lepas karena tipudaya Australia yang didukung Amerika.
Hal yang sama terjadi dengan Papua. Tidak banyak orang ingat bahwa konsesi pertama yang diberikan Soeharto ketika dia menjadi presiden adalah kepada Freeport McMoran. Hingga kini, tetap terpelihara kesan publik Indonesia bahwa negara dikadali oleh Amerika. Hampir tidak ada orang yang menghubungkan Freeport dengan bangsa Papua sebagai pemilik lahan yang dikuras habis-habisan itu.
***
Kini Soeharto sudah beristirahat di mausoleumnya yang mewah yang dinamakan ‘Astana Giribangun’. Kompleks pemakaman yang dibikin mirip dengan makam raja-raja Jawa Mataram itu. Tentu sejuklah dia berada di dekapan cungkup makam pualamnya.
Selamat ulang tahun, Jagal Besar! Kami tidak akan lupa!***
Sumber Harian Indoprogress