APAKAH kajian feminisme di abad Milenium masih
memeluk, menoleh atau sekadar melirik pada teori Marxis? Kajian feminisme di
abad Mile-nium cenderung untuk membaca-ulang kanon (teori besar, metanaratif)
masa lalu dengan pisau analisis interseksionalitas. Apa yang dimaksud
in-terseksionalitas berangkat dari asumsi bahwa segala sesuatu berinterseksi
dengan berbagai macam hal: contohnya konsep mengenai “perempuan” dan
“laki-laki” merupakan interseksi dari seks, keetnisan, ras, kelas, gen-der,
kenasionalan, keruangan (spaciality), waktu, bahasa, wacana, budaya, dan
banyak macam lainnya. Konsep “perempuan” dan “laki-laki” pun da-pat merupakan
kategori sosiologis, ekonomis, politis maupun episteme, dan
bahkan sebagai diskursus yang tercipta dalam ujaran maupun teks. Analisis
interseksional itu tumbuh dalam era pascastrukturalis dan pasca-modernis yang
dewasa ini membangkitkan pembacaan-ulang para feminis terhadap kanon masa lalu
dari posisi kontemporer.
SEJAK
berakhirnya Uni Soviet dan blok sosialis, kapitalisme telah mengin-tensifkan
kekuasaannya di seluruh dunia, memperlancar proses peru-bahan ekonomi melalui intensifikasi
dan kian memperjelas hubungan antara nasib rakyat di negara-negara kapitalis
maju dan rakyat di nega-ra-negara lainnya di dunia. Dalam konteks sejarah
seperti ini, kembali pada pengujian mengenai relevansi Marx bagi feminisme
adalah masuk akal—meskipun kepercayaan akademik yang sedang tumbuh meyatakan
sudah tidak begitu relevan—karena, sepanjang kapitalisme tetap menja-di corak
produksi yang dominan, maka mustahil untuk dapat memahami kekuatan-kekuatan
yang menindas perempuan dan yang membentuk hu-bungan antara laki-laki dan
perempuan secara utuh tanpa meletakkan dasar analisisnya pada teori Marx.
Seperti
ilmu-ilmu sosial, pemikiran para feminis gelombang kedua mem-bangun sebuah
dialog besar dengan Marx; namun bukan dengan Marx yang sebenarnya, melainkan
dengan “Marx yang palsu/straw Marx”, yang menyaring tentang
kegagalan-kegagalannya (sebagai contoh, kegagalan menteorikan kelahiran anak,
tenaga kerja perempuan, penindasan ter-hadap perempuan), determinisme dan
reduksionisme (seperti misal-nya reduksionisme kelas, determinisme ekonomi,
materialisme vulgar), pengabaian terhadap “agensi”, “kategori-kategori yang
tidak mempeduli-kan jenis kelamin”, dan “misoginis”. Kekuatan intelektual dan
vitalitas Marx tidak hilang, sebagaimana ditun-jukkan dalam sejarah panjangnya.
Bahkan sarjana yang menolaknya pun harus bergulat dengan tantangan-tantangan
yang ia ajukan, sedemikian banyak sehingga teori-teori mereka dibentuk oleh
proses yang mene-gasikannya. Sebagai contoh, penolakan feminis awal atas “determinisme
ekonomi” Marx telah menyebabkan munculnya teori-teori ahistoris me-ngenai
patriarki yang mencari asal dari dominasi laki-laki di luar corak produksi.2
Teori-teori feminis yang terbaru (berakar pada penolakan post-strukturalis atas
Marxisme) secara paradoks, berubah menjadi determinisme diskursus dalam usaha
mereka untuk menolak apa yang dituduhkan sebagai “determisme ekonomi” dan
“reduksionisme kelas” ala Marx.[2] Dekonstruksi
“perempuan” sebagai sebuah kategori analisis, berfokus pada gender “yang dikonstruksikan
secara diskursif”, seksuali-tas, tubuh, dan banyak perbedaan di antara
perempuan tampaknya telah memisahkan hubungan antara teori-teori Marx, teori
feminis, dan pem-bebasan perempuan. Sebagaimana dinyatakan oleh Epstein, “teori
fem-inis telah datang untuk memaknai feminis post-strukturalisme” dan ini
memerlukan pengadopsian prinsip-prinsip (sebagai contoh, anti esensi-alisme,
konstruktivisme sosial, reduksi kenyataan sosial menjadi diskur-sus,
relativisme, penolakan teori-teori di tingkat makro, yang disebut sebagai
“metanaratif”) anti-tesis terhadap pembangunan analisis sosial dan
strategi-strategi politik yang berguna untuk semua gerakan sosial, termasuk
pembebasan perempuan. Seruan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk
pembebasan mengandaikan kenyataan material dari
keadaan buruk mereka dan validitas klaim mereka, konsep di luar cakupan
teori-teori dimana semuanya adalah relatif dan dikonstruksi-kan secara
diskursif.
Sama pentingnya sebagai penghalang bagi
perkembangan feminisme Marxis adalah kepercayaan, yang menyebarluas di kalangan
sarjana Marxis, mahasiswa dan akademisi secara umum, bahwa ketika teori-te-ori
Marx mungkin penting bagi studi ekonomi politik, negara, ideologi, kelas sosial
dan aspek-aspek lainnya dari masyarakat kapitalis, tetapi kontribusinya
terhadap feminisme sangat kecil. Di luar kesadaran bahwa adalah penting untuk
menjelaskan cara-cara kapitalisme, sebagai tam-bahan pada patriarki, atau pada
sistem dominasi laki-laki, menyumbang pada penindasan terhadap perempuan. Setiap
pertimbangan terhadap penindasan perempuan membawa pe-mikiran kepada sebuah
variasi dari fenomena psikologi, ekonomi, so-sial, dan politik yang memengaruhi
kehidupan perempuan: dari mulai perkosaan, incest, kekerasan dalam
rumah tangga, dan pelecehan seksual, stereotip sosial, upah yang rendah dan
segregasi pekerjaan berdasarkan gender, diskriminasi dalam pendidikan dan
institusi-institusi pekerjaan, pembagian kerja secara seksual, kerja domestik
dan kontradiksi antara tuntutan domestik dan kerja, isu-isu reproduktif dan
perjuangan bagi penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk
reproduksi, kurang terwakilinya perempuan dalam politik formal dan peran
kepemimpinan publik serta, tak dapat dipungkiri, patriarki.
Untuk memahami hal-hal penentu dari kapitalisme
dalam penindasan terhadap perempuan, adalah sangat penting untuk mengikuti
metodo-logi Marx; yakni pemahaman dialektikalnya tentang abstraksi, kritiknya
dalam mencari apa yang asli di dalam isolasi dari dan sebelum analisis dari
struktur sejarah yang spesifik, serta relasi pokok fenomena di bawah
pertimbangan yang hati-hati, konsepnya mengenai sejarah dan dialektika secara
umum dan khusus. Dalam satu-satunya pernyataan metodologisnya yang eksplisit,
Marx berpendapat bahwa aspek-aspek dari kenyataan sosial yang terlihat bagi
kita merupakan hal yang paling konkret dan jelas, titik awal investigasi kita
ialah, bagaimanapun, paling sedikit informatif karena mereka meng-andaikan
kemungkinan kondisi sejarah ganda yang tidak bisa digeng-gam tanpa analisis
teori dan sejarah lebih lanjut (Marx, 1970, 205). Kita mencapai pengetahuan
ketika kita bergerak maju dari “konsep-konsep konkret yang imajiner” (seperti
perempuan, laki-laki, keluarga, tempat penintipan anak, dll) ke “konsep-konsep
yang semakin sederhana” atau abstraksi, berarti parsial, aspek satu sisi dari
fenomena yang kompleks seperti, contohnya, kerja domestik, pembagian kerja
secara seksual, dan gender.
Kita menjadi sadar akan ketidakadilan antara laki-laki
dan pe-rempuan melalui bentuk-bentuknya yang dapat dilihat secara langsung:
ketidaksetaraan upah, ketidaksetaraan pendidikan dan kesempatan-ke-sempatan;
kekerasan dalam rumah tangga, tanggung jawab utama pe-rempuan untuk mengurus
anak dan pekerjaan di rumah, dan sebagain-ya. Feminis, kebanyakan bekerja
dengan seperangkat teori ilmu-ilmu sosial, menghasilkan “abstraksi sederhana;”
seperti pembagian kerja secara seksual, stratifikasi seksual dan gender,
patriarki, sistem seks dan gender, pertukaran perempuan, dan sebagainya.
Pertanyaan femi-nis, mengapa perempuan ditindas “sebagai perempuan”?—perempuan
menjadi sebuah abstraksi yang tidak hanya mengabaikan heterogenitas populasi
yang dideskripsikan, tapi juga gagal untuk menginterogasi kon-disi-kondisi yang
terjadi dimana perempuan akan mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai
perempuan ketimbang dalam pengertian kelas, asal kebangsaan, atau
identitas-identitas yang mungkin lainnya—ber-sama dengan penolakan politik
Marxisme yang dituduh sarat dengan reduksionisme kelas dan ekonomisme,
menghasilkan jawaban yang ahistoris; seperti, ketidaksetaraan biologis dalam
prokreasi (melahir-kan) (Firestone, 1971); pertukaran perempuan milik para
lelaki (Rubin, 1975, 157–210); keputusan lelaki untuk mengontrol reproduksi
dalam rangka untuk menindas perempuan (Eisenstein, 1979); perawatan anak
(Chodorow, 1978), dan patriarki atau hasrat lelaki untuk mengontrol dan
mengambil keuntungan dari pelayanan kerja domestik perempuan (Hartmann, 1981).
Konsep bahwa di bawah kapitalisme corak produksi
menentukan corak reproduksi dan, konsekuensinya, hubungan-hubungan tak setara
yang dapat diamati antara laki-laki dan perempuan adalah bukan sebuah ben-tuk
“ekonomisme” atau “reduksionisme kelas”, tapi pengenalan jaringan yang kompleks
dari dampak-dampak di tingkat makro atas hubungan-hu-bungan
laki-laki-perempuan, dari sebuah corak produksi yang didorong oleh akumulasi
kapital ketimbang oleh tujuan untuk memuaskan kebu-tuhan rakyat. Untuk
mengatakan sebaliknya, mempostulatkan “interaksi yang bersifat mutual” di
antara organisasi produksi dan organisasi repro-duksi, atau memberikan
keutamaan pada yang terakhir, berarti mengabai-kan signifikansi teoritis dari
berlimpahnya bukti yang ada yang mendoku-mentasikan subordinasi reproduksi atas
produksi kapitalis. Produksi menentukan reproduksi karena hal itu membentuk
kondisi-kon-disi material dari kemungkinan yang secara relatif dekat dengan
batas-an-batasan struktural; ini mengimplikasikan bahwa beberapa bentuk dari
corak reproduksi secara struktural dieksklusikan, sementara beberapa bentuk
lainnya adalah lebih mungkin ketimbang yang lainnya. Contoh-nya, ketika secara
logis dimungkinkan untuk mengatur rumah tangga guna menggabungkan sumber daya,
hidup bersama dan membesarkan anak-anak secara kolektif, maka adalah sulit,
jika bukan tidak mung-kin, untuk mempertahankan bentuk-bentuk alternatif
seperti itu dalam sebuah corak sosial dan organisasi resmi yang bertumpu pada
kepemilikan pribadi dan tanggung jawab individual. Pengaturan hidup secara
komunal atau kolektif, konsekuensinya, ditakdirkan menjadi pengecualian
daripada sebagai aturan, dan secara substansial tidak menantang tata sosial
karena orang, ketika menghendaki untuk berbagi masakan dan pengurusan anak,
tidak seperti ketika mereka membagi asset-aset ekonomi mereka.
Konsekuensi dari hubungan-hubungan deter-minasi
dan subordinasi ini, yang membuat reproduksi bersifat kontingen pada lika-liku
dari proses akumulasi, dan menciptakan masalah yang sulit dikontrol dan
penderitaan yang dahsyat di kalangan mayoritas propor-si dari populasi.
Contohnya, di kalangan orang-orang miskin, seks dan prokreasi berjalan, tapi
reproduksi tenaga kerja (yang membutuhkan re-produksi keterampilan dan kerja
sosial) tidak didanai atau hanya didanai di tingkat yang sangat minimum.
Konsekuensinya pertumbuhan, dalam semua masyarakat kapitalis, proporsi
keluarga-keluarga dan populasi yang dipimpin oleh perempuan dieksklusikan dari
partisipasi tenaga kerja baik di masa kini dan masa depan. Subordinasi
reproduksi atas produksi be-rarti bahwa pemuasan kebutuhan orang-orang dan
generasi masa depan pekerja bergantung pada naik dan turunnya siklus bisnis dan
keputusan bisnis yang ditujukan untuk maksimalisasi keuntungan. Kemunculan
ne-gara kesejahteraan dalam bentuknya yang beragam: kemiskinan, pengang-guran,
perbedaan kelas dalam tingkat kesuburan, kelahiran dan kerentan-an penyakit;
perjuangan tanpa akhir mengenai upah, dll. Terdapat bebe-rapa cara dimana
subordinasi reproduksi untuk penciptaan keuntungan berlangsung terang-terangan.
Ketika subordinasi reproduksi oleh produksi adalah gambaran dari corak produksi
kapitalis dan karenanya menjadi hal yang umum atau biasa bagi semua masyarakat
kapitalis, maka manifestasinya yang dapat diamati akan sangat beragam tergantung
pada kondisi-kondisi sejarah dan ling-kungan serta lokasinya dalam dunia
ekonomi kapitalis. Sebagai contoh, perkembangan yang cepat dari kota kecil di
negara-negara yang kurang berkembang memiliki pasangannya dalam proyek-proyek
perumahan bagi orang miskin di negara yang lebih makmur; akar dari apa yang
disebut se-bagai “feminisasi kemiskinan” adalah ketika hubungan produksi
kapitalis secara sistematis menolak akses untuk membayar pekerja dengan baik
pada proporsi yang substansial dari dari populasi yang tidak memiliki har-ta
apapun, laki-laki dan perempuan, sehingga kemampuan mereka untuk mereproduksi
diri mereka sendiri dan generasi mendatang secara serius dilemahkan dan
subordinasinya dilanggengkan dengan sendirinya. Dari sudut pandang ini,
kemiskinan perempuan adalah salah satu aspek dari fenomena yang lebih luas:
eksklusi (peminggiran) proporsi populasi mis-kin yang sedang bertumbuh,
laki-laki dan perempuan, terhadap akses atas kondisi-kondisi minimum yang
dibutuhkan bagi reproduksi mereka.
Dalam batasan yang dipaksakan oleh akumulasi
kapital, kemudian, pekerja laki-laki memiliki satu sumber utama bagi
kelangsungan hidup ekonomi —upah atau gaji tenaga kerja—sedangkan pekerja
perempuan memiliki, selain pekerjaan yang dibayar, pekerjaan rumah tangga yang tidak
dibayar. Perubahan akumulasi kapital menentukan kondisi bagi pembentukan
ke-luarga di kalangan mereka yang tidak berpunya, dan, pada saat yang sama,
terus menerus menggerogotinya, sehingga serikat buruh yang stabil men-jadi
semakin tak terjangkau atau tidak stabil untuk sektor-sektor kelas pekerja yang
lebih rentan. Tapi “keluarga” dalam berbagai bentuk saat ini hanya, untuk
menggunakan terminologi Marx, sebuah “imajinasi kon-kret”; “benar-benar
konkret” atau “totalitas yang terdiri dari banyak hu-bungan dan determinasi”
adalah organisasi kapitalis dari reproduksi sosial dan menghasilkan perubahan
jaringan dari hubungan sosial dalam mana reproduksi sosial menjadi mungkin pada
waktu tertentu untuk tingkatan yang berbeda dalam populasi yang tak memiliki alat-alat
produksi. Subordinasi reproduksi atas produksi tidak hanya menstrukturkan
keti-daksetaraan gender sebagai sebuah aspek di tingkat makro dari formasi
sosial kapitalis; melainkan juga memengaruhi keberadaan dan praktik masyarakat
dan, karenanya kesadaran mereka. Hubungan-hubungan ini membentuk
kondisi-kondisi bagi efektivitas ideologi-ideologi dan prak-tik-praktik
pra-kapitalis dan kapitalis mengenai gender, seksualitas, dll, sebagaimana
kemunculan bagi yang baru. Untuk membuat titik yang ber-beda, kehadiran
elemen-elemen pra-kapitalis dalam budaya dan ideologi pada setiap formasi
sosial yang ada, bukanlah sebuah indikator mengenai meluasnya ketidaksetaraan
gender sebagai fenomena transhistoris (lin-tas sejarah), atau contoh sederhana
dari “daya hidup” pra-kapitalis. Se-baliknya, itu adalah bukti keberadaan
kondisi--kondidi material kapitalis yang memungkinkan efektifitas perilaku yang
dipandu oleh unsur-unsur budaya dan ideologi tersebut. Ketika kondisi material
berubah, perilaku masyarakat serta kesetiaan mereka kepada pandangan
tradisional tentang gender, seksualitas, ukuran keluarga, dan sebagainya juga
berubah. Se-bagaimana perubahan sosial yang selalu tidak merata, dan beberapa
sek-tor dalam masyarakat lebih terpengaruh daripada yang lain, perjuangan
ideologi dan perpecahan di dalam gerakan sosial adalah hasil yang tidak dapat
dihindari, seperti yang dicontohkan oleh perpecahan di masa lalu dan saat ini
di antara perempuan dan teoritisi feminis, dan ambivalensi yang dirasakan
banyak perempuan menuju feminisme hari ini.
[2] Stevi
Jackson, “Feminist Social Theory”, dalam Stevi Jackson dan Jacky Jones (ed), Contemporary
Feminist Theory, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998)
Ebook Indoprogress (Penindasan Terhadap
Perempuan)