Senin, 12 Desember 2016

Based on True Story








Terpaksa harus ku tulis karena ini menyangkut persoalan2 yg sering kita tak sadari, bahkan sadar dengan pasif kita menerimanya. Kerja dan bekerja mungkin punya definisi yg relatif, namun secara pragmatis kerja dan bekerja adalah tuntutan etis yg didorong oleh unsur2 prestisius. Lalu pertanyaan itu muncul, untuk apa kita bekerja? untuk siapa kita bekerja? dan manfaat apa jika bekerja? Pertanyaan itu mungkin terjawab oleh kejadian di sekolah siang ini..

Kebetulan hari ini adalah hari terakhir kegiatan MOS atau sekarang sebutannya PLS (Penganalan Lingkungan Sekolah). Tentu yg tertinggal dari kegiatan tersebut adalah SAMPAH. Kelas kotor, bangku dan meja tak rapih, papan tulis serta perlengkapan tetek bengek berserakan di kelas-kelas. Tentu saja ini mengundang rasa tidak nyaman bagi wakasek, terutama wakasek sarana dan prasana si ibu anuuuuu, atau anak2 biasa manggil misss anuuuuuu. Lalu ia coba koordinasi pada timnya via sms, kalo dia nyebutnya 'Tim Buser' yg terdiri dari beberapa anggota kebersihan di sekolah untuk membantu kelas2 yg kotor dan kumuh tadi.

Beberapa menit kemudian balasan sms itu datang dari salah satu anggota 'Tim Buser'nya si ibu anuuuu, balesannya berisi 'haduh saya lagi capek bu, lagian kok kerjaan ga beres-beres sih!' Degggg si ibu membaca sms itu, saya lihat betapa kecewanya si ibu wakasek mendapat balasan sms dari bawahannya, lalu ia laporkan isi sms tsb ke ruang guru2.. sontakpun komentar2 sinis saling bergantian dari satu mulut ke mulut lain, dari satu kepala ke kepala lain. Saya pun pertama dengar sontak tertawa lepas, lalu dengan pikiran lain saya ingat apa yg dikatakan literatur2 tradisional marxis

Bahwa cara produksi (mode of production) menentukan pembagian kerja yg dianggap kriteria utama pembagian masyarakat ke dalam kelas2 ekonomi dan sosial yg nantinya akan mencipatakan 'konflik kelas'. Tentu sang pemilik alat produksi memanfaatkan dan mengeksploitasi 'nilai lebih' dari kelas bawah (proletar).

Sadar akan hal itu si alat produksi (proletar) bekerja bukan lagi suatu jawaban untuk hidup jadi lebih baik, bahkan menjadi suatu 'keterasingan' dan menciptakan kontradiksi2 terhadap sistem yg berlaku, hanya revolusilah yg bisa menggantikan sistem tersebut dengan propaganda melalui tindakan seperti idenya bakunin.

Saya menilai dalam konteks keterasingan individu pasti menjadi sangat revolusioner, bahkan seorang petugas kebersihan sekolahpun ia menyatakan kemerdekaannya lewat teks sms yg membuat atasnya seperti dikangkangi. Jadi bekerjalah untuk merdeka dan bekerjalah untuk kemerdekaan orang lain. (Rabu 20 Juli 2016)

Merawat Akal Sehat Publik





Apa yg kamu lihat dari gambar di atas? Pernah kamu berfikir gambar di atas merupakan suatu implikasi pemberontakan merujuk pada simbol organisasi tertentu? Kalo begitu betapa hinanya kamu yg telah mengkhianati bahkan memperkosa nalar dan akal sehat sendiri.

Akal sehat publik terus dieskploitasi oleh isu2 yg masif, entah itu di grup wa atau sekedar tongkrongan warung kopi. Frekuensinya cukup relatif, ada yg sampai rusaknya komunikasi karena beda persepsi, ada juga yg sebatas mukadimah untuk menghangatkan meja diskusi. Tapi yg perlu dicatat seberapa jauh nalar kita dalam menanggapi isu tersebut, apakah hanya sebatas copy paste dari grup wa sebelah lalu mengesharenya ke grup yg lain tanpa diinterpretasikan ulang?

Dampaknya terlihat jelas kelakuan kita dalam bergaul di sosmed lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari2. Matinya minat baca dan tumbuhnya minat berkomentar yg mengekor. Bahkan palu arit masih disimbolisasikan sebagai kejahatan dan pemberontakan, palu itu simbolnya kuli kontrak, dan arit itu milik petani.

Jadi jika kamu besok liat kuli yg sedang nancepin paku pake palu di pondasi rumah yg sedang dibangun apakah kamu anggap ia pemberontak? Atau jika km liat petani yg sedang memangkas rumput2 liar di ladangnya dgn arit apakah kamu anggap ia sebagai hantu2 komunis? Pernah kamu berfikir sampe ke sana? Apakah kita hanya bangsa yg gandrung terhadap simbol2 yg tentu sifatnya abstrak? Dan yg abstrak itu lah penuh dengan pemaknaan, jadi sangat perlu di otak mu itu punya seni untuk memahami. Dan jika besok km menemukan uang pecahan 100rb ada simbol palu aritnya jangan dibakar atau km sobek2, kasih saja yg memerlukan atau kasih saja ke saya😀😀.. salam

Catatan Kuliah




Sabtu lalu kuliah dengan Prof Munir Mulkhan, beliau memberikan tulisan2nya yg dimuat oleh Kompas dan Jawa Pos pada kamis 1 Desember 2016.

Manusia Pembelajar

Dalam tulisan ini prof munir menempatkan posisi beliau sebagai akademisi dan cendikiawan yg tdk puas melihat sistem pendidikan yg involutif dan indoktrinatif, ia menyebutnya 'ketiadaan jangkar nilai' sebagai problem fundamental dalam pendidikan nasional, terutama pendidikan islam. Ia merujuk pada tokoh Islam abad ke 12 Al Ghazali yg merupakan prototipe dari kemunduran keintelktualan islam dalam perkembangan selanjutnya. Ghazali lebih menekankan hal2 yg transendensi, menjunjung nilai2 mistik serta mengutamakan kehidupan akhirat dan kecanduan menatap serta bertemu allah swt.

Al ghazali menolak filsafat paripatetik yunani (plato, aristoteles, plotinus) dan menganggap haram bagi mereka yg mengharapkan akhirat (Rochiati, 2015: 33) dengan menolak reason Ghazali telah mereduksi potensi manusia yg utuh. Ia menganggap manusia hanya berorientasi pada agama/tauhid/keyakinan (empiris) namun tidak melihat potensi rasio dan nalar (rasionalis). Oleh sebab itu Prof Munir mengatakan gejala yg lebih masif berlangsung di lingkungan pendidikan islam yg cenderung menempatkan kreativitas sebagai semacam "dosa" yg harus dihindari.

Tan Keno Kinoyo Ngopo

Tulisan kedua dr prof munir yg coba saya intepretasi, beliau menempatkan posisinya sebagai cendekiawan yg mulai resah dengan problem isu2 keagamaan hari ini. Ia memilih diksi jawa agar terlihat seorang cendekia yg tdk tendensius. Tuhan sebagai Tan keno kinoyo ngopo (tidak bisa digambarkan seperti apa) namun hari ini kecenderungan umat memiliki tafsiran masing2 atas keyakianannya, sehingga ada proses pemutlakan dan jika ada sesuatu pandangan lain dianggap sesat bahkan kafir. Saya teringat Terry Eagleton dalam "On Evil" bahwa yg transendensi itu bukan lagi vertikal (langit-bumi) namun sudah menjadi horizontal (membumi). Jadi apa yg dikatakan seorang Nietzsche bahwa tuhan telah mati itu yg saya yakini memang benar, sebab yg membunuh tuhan itu sendiri adalah umat yg sedang kecanduan.

Salam.. 12 Desember 2016

Selasa, 08 November 2016

Kapitalisme dan Penindasan Terhadap Perempuan

APAKAH kajian feminisme di abad Milenium masih memeluk, menoleh atau sekadar melirik pada teori Marxis? Kajian feminisme di abad Mile-nium cenderung untuk membaca-ulang kanon (teori besar, metanaratif) masa lalu dengan pisau analisis interseksionalitas. Apa yang dimaksud in-terseksionalitas berangkat dari asumsi bahwa segala sesuatu berinterseksi dengan berbagai macam hal: contohnya konsep mengenai “perempuan” dan “laki-laki” merupakan interseksi dari seks, keetnisan, ras, kelas, gen-der, kenasionalan, keruangan (spaciality), waktu, bahasa, wacana, budaya, dan banyak macam lainnya. Konsep “perempuan” dan “laki-laki” pun da-pat merupakan kategori sosiologis, ekonomis, politis maupun episteme, dan bahkan sebagai diskursus yang tercipta dalam ujaran maupun teks. Analisis interseksional itu tumbuh dalam era pascastrukturalis dan pasca-modernis yang dewasa ini membangkitkan pembacaan-ulang para feminis terhadap kanon masa lalu dari posisi kontemporer.

Teori Marx sebagai kanon dalam genre filsafat modern tak luput dari pem-bacaan-ulang para feminis –terutama sejak dekade 1970an-- ketika para feminis mencari penjelasan atas ketertindasan perempuan (pada awal abad 20 disebut women’s question). Pengguna teori Marx pada era 1970an dan awal dekade 1980an cukup meluas tak hanya dari kalangan feminis sosialis dan Marxis, melainkan juga dari feminisme radikal. Stevi Jackson[1] mencatat, sejak gerakan perempuan muncul dalam perkembangan ge-rakan kiri radikal di sekitar masa itu, ada banyak feminis yang menoleh –atau setidaknya bersimpati—dengan teori Marx dan Marxisme. Daya tarik Marxisme yang utama karena menawarkan analisa mengenai penindasan sebagai sesuatu yang sistematis dan menyatu dalam struktur masyarakat serta tentang teori perubahan sosial (revolusi) yang men-janjikan kesetaraan.

SEJAK berakhirnya Uni Soviet dan blok sosialis, kapitalisme telah mengin-tensifkan kekuasaannya di seluruh dunia, memperlancar proses peru-bahan ekonomi melalui intensifikasi dan kian memperjelas hubungan antara nasib rakyat di negara-negara kapitalis maju dan rakyat di nega-ra-negara lainnya di dunia. Dalam konteks sejarah seperti ini, kembali pada pengujian mengenai relevansi Marx bagi feminisme adalah masuk akal—meskipun kepercayaan akademik yang sedang tumbuh meyatakan sudah tidak begitu relevan—karena, sepanjang kapitalisme tetap menja-di corak produksi yang dominan, maka mustahil untuk dapat memahami kekuatan-kekuatan yang menindas perempuan dan yang membentuk hu-bungan antara laki-laki dan perempuan secara utuh tanpa meletakkan dasar analisisnya pada teori Marx.

Seperti ilmu-ilmu sosial, pemikiran para feminis gelombang kedua mem-bangun sebuah dialog besar dengan Marx; namun bukan dengan Marx yang sebenarnya, melainkan dengan “Marx yang palsu/straw Marx”, yang menyaring tentang kegagalan-kegagalannya (sebagai contoh, kegagalan menteorikan kelahiran anak, tenaga kerja perempuan, penindasan ter-hadap perempuan), determinisme dan reduksionisme (seperti misal-nya reduksionisme kelas, determinisme ekonomi, materialisme vulgar), pengabaian terhadap “agensi”, “kategori-kategori yang tidak mempeduli-kan jenis kelamin”, dan “misoginis”. Kekuatan intelektual dan vitalitas Marx tidak hilang, sebagaimana ditun-jukkan dalam sejarah panjangnya. Bahkan sarjana yang menolaknya pun harus bergulat dengan tantangan-tantangan yang ia ajukan, sedemikian banyak sehingga teori-teori mereka dibentuk oleh proses yang mene-gasikannya. Sebagai contoh, penolakan feminis awal atas “determinisme ekonomi” Marx telah menyebabkan munculnya teori-teori ahistoris me-ngenai patriarki yang mencari asal dari dominasi laki-laki di luar corak produksi.2 Teori-teori feminis yang terbaru (berakar pada penolakan post-strukturalis atas Marxisme) secara paradoks, berubah menjadi determinisme diskursus dalam usaha mereka untuk menolak apa yang dituduhkan sebagai “determisme ekonomi” dan “reduksionisme kelas” ala Marx.[2] Dekonstruksi “perempuan” sebagai sebuah kategori analisis, berfokus pada gender “yang dikonstruksikan secara diskursif”, seksuali-tas, tubuh, dan banyak perbedaan di antara perempuan tampaknya telah memisahkan hubungan antara teori-teori Marx, teori feminis, dan pem-bebasan perempuan. Sebagaimana dinyatakan oleh Epstein, “teori fem-inis telah datang untuk memaknai feminis post-strukturalisme” dan ini memerlukan pengadopsian prinsip-prinsip (sebagai contoh, anti esensi-alisme, konstruktivisme sosial, reduksi kenyataan sosial menjadi diskur-sus, relativisme, penolakan teori-teori di tingkat makro, yang disebut sebagai “metanaratif”) anti-tesis terhadap pembangunan analisis sosial dan strategi-strategi politik yang berguna untuk semua gerakan sosial, termasuk pembebasan perempuan. Seruan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk pembebasan mengandaikan kenyataan material dari keadaan buruk mereka dan validitas klaim mereka, konsep di luar cakupan teori-teori dimana semuanya adalah relatif dan dikonstruksi-kan secara diskursif.

Sama pentingnya sebagai penghalang bagi perkembangan feminisme Marxis adalah kepercayaan, yang menyebarluas di kalangan sarjana Marxis, mahasiswa dan akademisi secara umum, bahwa ketika teori-te-ori Marx mungkin penting bagi studi ekonomi politik, negara, ideologi, kelas sosial dan aspek-aspek lainnya dari masyarakat kapitalis, tetapi kontribusinya terhadap feminisme sangat kecil. Di luar kesadaran bahwa adalah penting untuk menjelaskan cara-cara kapitalisme, sebagai tam-bahan pada patriarki, atau pada sistem dominasi laki-laki, menyumbang pada penindasan terhadap perempuan. Setiap pertimbangan terhadap penindasan perempuan membawa pe-mikiran kepada sebuah variasi dari fenomena psikologi, ekonomi, so-sial, dan politik yang memengaruhi kehidupan perempuan: dari mulai perkosaan, incest, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual, stereotip sosial, upah yang rendah dan segregasi pekerjaan berdasarkan gender, diskriminasi dalam pendidikan dan institusi-institusi pekerjaan, pembagian kerja secara seksual, kerja domestik dan kontradiksi antara tuntutan domestik dan kerja, isu-isu reproduktif dan perjuangan bagi penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk reproduksi, kurang terwakilinya perempuan dalam politik formal dan peran kepemimpinan publik serta, tak dapat dipungkiri, patriarki.

Untuk memahami hal-hal penentu dari kapitalisme dalam penindasan terhadap perempuan, adalah sangat penting untuk mengikuti metodo-logi Marx; yakni pemahaman dialektikalnya tentang abstraksi, kritiknya dalam mencari apa yang asli di dalam isolasi dari dan sebelum analisis dari struktur sejarah yang spesifik, serta relasi pokok fenomena di bawah pertimbangan yang hati-hati, konsepnya mengenai sejarah dan dialektika secara umum dan khusus. Dalam satu-satunya pernyataan metodologisnya yang eksplisit, Marx berpendapat bahwa aspek-aspek dari kenyataan sosial yang terlihat bagi kita merupakan hal yang paling konkret dan jelas, titik awal investigasi kita ialah, bagaimanapun, paling sedikit informatif karena mereka meng-andaikan kemungkinan kondisi sejarah ganda yang tidak bisa digeng-gam tanpa analisis teori dan sejarah lebih lanjut (Marx, 1970, 205). Kita mencapai pengetahuan ketika kita bergerak maju dari “konsep-konsep konkret yang imajiner” (seperti perempuan, laki-laki, keluarga, tempat penintipan anak, dll) ke “konsep-konsep yang semakin sederhana” atau abstraksi, berarti parsial, aspek satu sisi dari fenomena yang kompleks seperti, contohnya, kerja domestik, pembagian kerja secara seksual, dan gender.

Kita menjadi sadar akan ketidakadilan antara laki-laki dan pe-rempuan melalui bentuk-bentuknya yang dapat dilihat secara langsung: ketidaksetaraan upah, ketidaksetaraan pendidikan dan kesempatan-ke-sempatan; kekerasan dalam rumah tangga, tanggung jawab utama pe-rempuan untuk mengurus anak dan pekerjaan di rumah, dan sebagain-ya. Feminis, kebanyakan bekerja dengan seperangkat teori ilmu-ilmu sosial, menghasilkan “abstraksi sederhana;” seperti pembagian kerja secara seksual, stratifikasi seksual dan gender, patriarki, sistem seks dan gender, pertukaran perempuan, dan sebagainya. Pertanyaan femi-nis, mengapa perempuan ditindas “sebagai perempuan”?—perempuan menjadi sebuah abstraksi yang tidak hanya mengabaikan heterogenitas populasi yang dideskripsikan, tapi juga gagal untuk menginterogasi kon-disi-kondisi yang terjadi dimana perempuan akan mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai perempuan ketimbang dalam pengertian kelas, asal kebangsaan, atau identitas-identitas yang mungkin lainnya—ber-sama dengan penolakan politik Marxisme yang dituduh sarat dengan reduksionisme kelas dan ekonomisme, menghasilkan jawaban yang ahistoris; seperti, ketidaksetaraan biologis dalam prokreasi (melahir-kan) (Firestone, 1971); pertukaran perempuan milik para lelaki (Rubin, 1975, 157–210); keputusan lelaki untuk mengontrol reproduksi dalam rangka untuk menindas perempuan (Eisenstein, 1979); perawatan anak (Chodorow, 1978), dan patriarki atau hasrat lelaki untuk mengontrol dan mengambil keuntungan dari pelayanan kerja domestik perempuan (Hartmann, 1981).

Konsep bahwa di bawah kapitalisme corak produksi menentukan corak reproduksi dan, konsekuensinya, hubungan-hubungan tak setara yang dapat diamati antara laki-laki dan perempuan adalah bukan sebuah ben-tuk “ekonomisme” atau “reduksionisme kelas”, tapi pengenalan jaringan yang kompleks dari dampak-dampak di tingkat makro atas hubungan-hu-bungan laki-laki-perempuan, dari sebuah corak produksi yang didorong oleh akumulasi kapital ketimbang oleh tujuan untuk memuaskan kebu-tuhan rakyat. Untuk mengatakan sebaliknya, mempostulatkan “interaksi yang bersifat mutual” di antara organisasi produksi dan organisasi repro-duksi, atau memberikan keutamaan pada yang terakhir, berarti mengabai-kan signifikansi teoritis dari berlimpahnya bukti yang ada yang mendoku-mentasikan subordinasi reproduksi atas produksi kapitalis. Produksi menentukan reproduksi karena hal itu membentuk kondisi-kon-disi material dari kemungkinan yang secara relatif dekat dengan batas-an-batasan struktural; ini mengimplikasikan bahwa beberapa bentuk dari corak reproduksi secara struktural dieksklusikan, sementara beberapa bentuk lainnya adalah lebih mungkin ketimbang yang lainnya. Contoh-nya, ketika secara logis dimungkinkan untuk mengatur rumah tangga guna menggabungkan sumber daya, hidup bersama dan membesarkan anak-anak secara kolektif, maka adalah sulit, jika bukan tidak mung-kin, untuk mempertahankan bentuk-bentuk alternatif seperti itu dalam sebuah corak sosial dan organisasi resmi yang bertumpu pada kepemilikan pribadi dan tanggung jawab individual. Pengaturan hidup secara komunal atau kolektif, konsekuensinya, ditakdirkan menjadi pengecualian daripada sebagai aturan, dan secara substansial tidak menantang tata sosial karena orang, ketika menghendaki untuk berbagi masakan dan pengurusan anak, tidak seperti ketika mereka membagi asset-aset ekonomi mereka.

Konsekuensi dari hubungan-hubungan deter-minasi dan subordinasi ini, yang membuat reproduksi bersifat kontingen pada lika-liku dari proses akumulasi, dan menciptakan masalah yang sulit dikontrol dan penderitaan yang dahsyat di kalangan mayoritas propor-si dari populasi. Contohnya, di kalangan orang-orang miskin, seks dan prokreasi berjalan, tapi reproduksi tenaga kerja (yang membutuhkan re-produksi keterampilan dan kerja sosial) tidak didanai atau hanya didanai di tingkat yang sangat minimum. Konsekuensinya pertumbuhan, dalam semua masyarakat kapitalis, proporsi keluarga-keluarga dan populasi yang dipimpin oleh perempuan dieksklusikan dari partisipasi tenaga kerja baik di masa kini dan masa depan. Subordinasi reproduksi atas produksi be-rarti bahwa pemuasan kebutuhan orang-orang dan generasi masa depan pekerja bergantung pada naik dan turunnya siklus bisnis dan keputusan bisnis yang ditujukan untuk maksimalisasi keuntungan. Kemunculan ne-gara kesejahteraan dalam bentuknya yang beragam: kemiskinan, pengang-guran, perbedaan kelas dalam tingkat kesuburan, kelahiran dan kerentan-an penyakit; perjuangan tanpa akhir mengenai upah, dll. Terdapat bebe-rapa cara dimana subordinasi reproduksi untuk penciptaan keuntungan berlangsung terang-terangan. Ketika subordinasi reproduksi oleh produksi adalah gambaran dari corak produksi kapitalis dan karenanya menjadi hal yang umum atau biasa bagi semua masyarakat kapitalis, maka manifestasinya yang dapat diamati akan sangat beragam tergantung pada kondisi-kondisi sejarah dan ling-kungan serta lokasinya dalam dunia ekonomi kapitalis. Sebagai contoh, perkembangan yang cepat dari kota kecil di negara-negara yang kurang berkembang memiliki pasangannya dalam proyek-proyek perumahan bagi orang miskin di negara yang lebih makmur; akar dari apa yang disebut se-bagai “feminisasi kemiskinan” adalah ketika hubungan produksi kapitalis secara sistematis menolak akses untuk membayar pekerja dengan baik pada proporsi yang substansial dari dari populasi yang tidak memiliki har-ta apapun, laki-laki dan perempuan, sehingga kemampuan mereka untuk mereproduksi diri mereka sendiri dan generasi mendatang secara serius dilemahkan dan subordinasinya dilanggengkan dengan sendirinya. Dari sudut pandang ini, kemiskinan perempuan adalah salah satu aspek dari fenomena yang lebih luas: eksklusi (peminggiran) proporsi populasi mis-kin yang sedang bertumbuh, laki-laki dan perempuan, terhadap akses atas kondisi-kondisi minimum yang dibutuhkan bagi reproduksi mereka.

Dalam batasan yang dipaksakan oleh akumulasi kapital, kemudian, pekerja laki-laki memiliki satu sumber utama bagi kelangsungan hidup ekonomi —upah atau gaji tenaga kerja—sedangkan pekerja perempuan memiliki, selain pekerjaan yang dibayar, pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar. Perubahan akumulasi kapital menentukan kondisi bagi pembentukan ke-luarga di kalangan mereka yang tidak berpunya, dan, pada saat yang sama, terus menerus menggerogotinya, sehingga serikat buruh yang stabil men-jadi semakin tak terjangkau atau tidak stabil untuk sektor-sektor kelas pekerja yang lebih rentan. Tapi “keluarga” dalam berbagai bentuk saat ini hanya, untuk menggunakan terminologi Marx, sebuah “imajinasi kon-kret”; “benar-benar konkret” atau “totalitas yang terdiri dari banyak hu-bungan dan determinasi” adalah organisasi kapitalis dari reproduksi sosial dan menghasilkan perubahan jaringan dari hubungan sosial dalam mana reproduksi sosial menjadi mungkin pada waktu tertentu untuk tingkatan yang berbeda dalam populasi yang tak memiliki alat-alat produksi. Subordinasi reproduksi atas produksi tidak hanya menstrukturkan keti-daksetaraan gender sebagai sebuah aspek di tingkat makro dari formasi sosial kapitalis; melainkan juga memengaruhi keberadaan dan praktik masyarakat dan, karenanya kesadaran mereka. Hubungan-hubungan ini membentuk kondisi-kondisi bagi efektivitas ideologi-ideologi dan prak-tik-praktik pra-kapitalis dan kapitalis mengenai gender, seksualitas, dll, sebagaimana kemunculan bagi yang baru. Untuk membuat titik yang ber-beda, kehadiran elemen-elemen pra-kapitalis dalam budaya dan ideologi pada setiap formasi sosial yang ada, bukanlah sebuah indikator mengenai meluasnya ketidaksetaraan gender sebagai fenomena transhistoris (lin-tas sejarah), atau contoh sederhana dari “daya hidup” pra-kapitalis. Se-baliknya, itu adalah bukti keberadaan kondisi--kondidi material kapitalis yang memungkinkan efektifitas perilaku yang dipandu oleh unsur-unsur budaya dan ideologi tersebut. Ketika kondisi material berubah, perilaku masyarakat serta kesetiaan mereka kepada pandangan tradisional tentang gender, seksualitas, ukuran keluarga, dan sebagainya juga berubah. Se-bagaimana perubahan sosial yang selalu tidak merata, dan beberapa sek-tor dalam masyarakat lebih terpengaruh daripada yang lain, perjuangan ideologi dan perpecahan di dalam gerakan sosial adalah hasil yang tidak dapat dihindari, seperti yang dicontohkan oleh perpecahan di masa lalu dan saat ini di antara perempuan dan teoritisi feminis, dan ambivalensi yang dirasakan banyak perempuan menuju feminisme hari ini.







[2] Stevi Jackson, “Feminist Social Theory”, dalam Stevi Jackson dan Jacky Jones (ed), Contemporary Feminist Theory, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998)

Ebook Indoprogress (Penindasan Terhadap Perempuan)