Senin, 12 Desember 2016

Based on True Story








Terpaksa harus ku tulis karena ini menyangkut persoalan2 yg sering kita tak sadari, bahkan sadar dengan pasif kita menerimanya. Kerja dan bekerja mungkin punya definisi yg relatif, namun secara pragmatis kerja dan bekerja adalah tuntutan etis yg didorong oleh unsur2 prestisius. Lalu pertanyaan itu muncul, untuk apa kita bekerja? untuk siapa kita bekerja? dan manfaat apa jika bekerja? Pertanyaan itu mungkin terjawab oleh kejadian di sekolah siang ini..

Kebetulan hari ini adalah hari terakhir kegiatan MOS atau sekarang sebutannya PLS (Penganalan Lingkungan Sekolah). Tentu yg tertinggal dari kegiatan tersebut adalah SAMPAH. Kelas kotor, bangku dan meja tak rapih, papan tulis serta perlengkapan tetek bengek berserakan di kelas-kelas. Tentu saja ini mengundang rasa tidak nyaman bagi wakasek, terutama wakasek sarana dan prasana si ibu anuuuuu, atau anak2 biasa manggil misss anuuuuuu. Lalu ia coba koordinasi pada timnya via sms, kalo dia nyebutnya 'Tim Buser' yg terdiri dari beberapa anggota kebersihan di sekolah untuk membantu kelas2 yg kotor dan kumuh tadi.

Beberapa menit kemudian balasan sms itu datang dari salah satu anggota 'Tim Buser'nya si ibu anuuuu, balesannya berisi 'haduh saya lagi capek bu, lagian kok kerjaan ga beres-beres sih!' Degggg si ibu membaca sms itu, saya lihat betapa kecewanya si ibu wakasek mendapat balasan sms dari bawahannya, lalu ia laporkan isi sms tsb ke ruang guru2.. sontakpun komentar2 sinis saling bergantian dari satu mulut ke mulut lain, dari satu kepala ke kepala lain. Saya pun pertama dengar sontak tertawa lepas, lalu dengan pikiran lain saya ingat apa yg dikatakan literatur2 tradisional marxis

Bahwa cara produksi (mode of production) menentukan pembagian kerja yg dianggap kriteria utama pembagian masyarakat ke dalam kelas2 ekonomi dan sosial yg nantinya akan mencipatakan 'konflik kelas'. Tentu sang pemilik alat produksi memanfaatkan dan mengeksploitasi 'nilai lebih' dari kelas bawah (proletar).

Sadar akan hal itu si alat produksi (proletar) bekerja bukan lagi suatu jawaban untuk hidup jadi lebih baik, bahkan menjadi suatu 'keterasingan' dan menciptakan kontradiksi2 terhadap sistem yg berlaku, hanya revolusilah yg bisa menggantikan sistem tersebut dengan propaganda melalui tindakan seperti idenya bakunin.

Saya menilai dalam konteks keterasingan individu pasti menjadi sangat revolusioner, bahkan seorang petugas kebersihan sekolahpun ia menyatakan kemerdekaannya lewat teks sms yg membuat atasnya seperti dikangkangi. Jadi bekerjalah untuk merdeka dan bekerjalah untuk kemerdekaan orang lain. (Rabu 20 Juli 2016)

Merawat Akal Sehat Publik





Apa yg kamu lihat dari gambar di atas? Pernah kamu berfikir gambar di atas merupakan suatu implikasi pemberontakan merujuk pada simbol organisasi tertentu? Kalo begitu betapa hinanya kamu yg telah mengkhianati bahkan memperkosa nalar dan akal sehat sendiri.

Akal sehat publik terus dieskploitasi oleh isu2 yg masif, entah itu di grup wa atau sekedar tongkrongan warung kopi. Frekuensinya cukup relatif, ada yg sampai rusaknya komunikasi karena beda persepsi, ada juga yg sebatas mukadimah untuk menghangatkan meja diskusi. Tapi yg perlu dicatat seberapa jauh nalar kita dalam menanggapi isu tersebut, apakah hanya sebatas copy paste dari grup wa sebelah lalu mengesharenya ke grup yg lain tanpa diinterpretasikan ulang?

Dampaknya terlihat jelas kelakuan kita dalam bergaul di sosmed lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari2. Matinya minat baca dan tumbuhnya minat berkomentar yg mengekor. Bahkan palu arit masih disimbolisasikan sebagai kejahatan dan pemberontakan, palu itu simbolnya kuli kontrak, dan arit itu milik petani.

Jadi jika kamu besok liat kuli yg sedang nancepin paku pake palu di pondasi rumah yg sedang dibangun apakah kamu anggap ia pemberontak? Atau jika km liat petani yg sedang memangkas rumput2 liar di ladangnya dgn arit apakah kamu anggap ia sebagai hantu2 komunis? Pernah kamu berfikir sampe ke sana? Apakah kita hanya bangsa yg gandrung terhadap simbol2 yg tentu sifatnya abstrak? Dan yg abstrak itu lah penuh dengan pemaknaan, jadi sangat perlu di otak mu itu punya seni untuk memahami. Dan jika besok km menemukan uang pecahan 100rb ada simbol palu aritnya jangan dibakar atau km sobek2, kasih saja yg memerlukan atau kasih saja ke saya😀😀.. salam

Catatan Kuliah




Sabtu lalu kuliah dengan Prof Munir Mulkhan, beliau memberikan tulisan2nya yg dimuat oleh Kompas dan Jawa Pos pada kamis 1 Desember 2016.

Manusia Pembelajar

Dalam tulisan ini prof munir menempatkan posisi beliau sebagai akademisi dan cendikiawan yg tdk puas melihat sistem pendidikan yg involutif dan indoktrinatif, ia menyebutnya 'ketiadaan jangkar nilai' sebagai problem fundamental dalam pendidikan nasional, terutama pendidikan islam. Ia merujuk pada tokoh Islam abad ke 12 Al Ghazali yg merupakan prototipe dari kemunduran keintelktualan islam dalam perkembangan selanjutnya. Ghazali lebih menekankan hal2 yg transendensi, menjunjung nilai2 mistik serta mengutamakan kehidupan akhirat dan kecanduan menatap serta bertemu allah swt.

Al ghazali menolak filsafat paripatetik yunani (plato, aristoteles, plotinus) dan menganggap haram bagi mereka yg mengharapkan akhirat (Rochiati, 2015: 33) dengan menolak reason Ghazali telah mereduksi potensi manusia yg utuh. Ia menganggap manusia hanya berorientasi pada agama/tauhid/keyakinan (empiris) namun tidak melihat potensi rasio dan nalar (rasionalis). Oleh sebab itu Prof Munir mengatakan gejala yg lebih masif berlangsung di lingkungan pendidikan islam yg cenderung menempatkan kreativitas sebagai semacam "dosa" yg harus dihindari.

Tan Keno Kinoyo Ngopo

Tulisan kedua dr prof munir yg coba saya intepretasi, beliau menempatkan posisinya sebagai cendekiawan yg mulai resah dengan problem isu2 keagamaan hari ini. Ia memilih diksi jawa agar terlihat seorang cendekia yg tdk tendensius. Tuhan sebagai Tan keno kinoyo ngopo (tidak bisa digambarkan seperti apa) namun hari ini kecenderungan umat memiliki tafsiran masing2 atas keyakianannya, sehingga ada proses pemutlakan dan jika ada sesuatu pandangan lain dianggap sesat bahkan kafir. Saya teringat Terry Eagleton dalam "On Evil" bahwa yg transendensi itu bukan lagi vertikal (langit-bumi) namun sudah menjadi horizontal (membumi). Jadi apa yg dikatakan seorang Nietzsche bahwa tuhan telah mati itu yg saya yakini memang benar, sebab yg membunuh tuhan itu sendiri adalah umat yg sedang kecanduan.

Salam.. 12 Desember 2016