Sabtu, 07 Januari 2017

Problematika Pembelajaran IPS dalam Perspektif Paolo Freire

Problem pembelajaran IPS yang selama ini menjadi titik sentral yang sering diangkat dalam suatu penelitian dan tulisan adalah: “bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses.”[1] Oleh karena itu peserta didik menganggap pembelajaran IPS adalah pembelajaran yang tidak terlalu rumit, kelas dua bahkan tidak terlalu dipentingkan. Padahal Aziz mengatakan di dalam buku Rudy Gunawan:
Dalam pembelajaran IPS proses itu amat penting. Dalam pembelajaran IPS, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengetahuan, pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan demokratis, termasuk mempraktekkan berpikir dan memecahkan masalah.[2]

Pernyataan di atas begitu relevan dengan fakta yang ada di lapangan, peneliti sendiri yang basisnya juga sebagai guru ilmu sosial menyaksiskan betul betapa ironinya keadaan suasana dan kultur kelas ketika memasuki jam pembelajaran IPS. Seperti model pembelajaran konservatif yang tetap dipertahankan dari model ceramah dan penugasan pada peserta didik. Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang besifat hapalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan “kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.
Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, terutama hanya menekankan pada informasi, fakta, dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang diarahkan pada proses berfikir dan kurang diarahkan pada pembelajaran bermakna dan berfungsi bagi kehidupannya, maka pembelajaran IPS tidak akan mampu membantu peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan masa yang akan datang. Oleh karena itu sudah semestinya pembelajaran IPS masa kini dan ke depan mengikuti berbagai perkembangan yang tejadi di dunia secara global.[3] Sampai saat ini pendidikan IPS dianggap membosankan, membingungkan, tidak menarik, serta tidak menemukan relevansi di lapangan jika dikaitkan dengan teori dan praktek.
Ambiguitas itu lahir akibat kajian IPS melingkupi tentang kehidupan manusia dan lingkungannya, faktanya manusia serta lingkungannya merupakan sesuatu subjek individu yang unik dan berbeda satu sama lain. Jadi kepastian dalam pendidikan IPS itu sendiri adalah ketidakpastian, tentu saja perbedaan pandangan manusia dalam menyikapi berbagai masalah yang dihadapinya termasuk para pengamat. Kondisi tersebut ditambah dengan model pembelajaran yang konservatif, tidak menarik dan membosankan. Seperti yang disampaikan oleh Fout:
Banyak penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa nilai studi sosial siswa sangat rendah di antara mata pelajaran lain, bahkan mereka cenderung merasa bosan terhadap pembelajaran studi sosial dengan metode ceramah. Materi dalam pembelajaran IPS banyak yang tidak menghubungkan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, terlalu terpaku kepada pedoman atau buku teks yang umumnya diseragamkan atau kurang mengakomodasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat atau daerah tertentu.[4]

Oleh karena itu penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan solusi dan harapan bagi pembelajaran IPS di sekolah menengah dalam menghadapi globalisasi yang semakin masif. Namun perlu disampaikan juga ada beberapa guru yang misalkan ia terbuka terhadap perkembangan pendidikan serta bersifat humanistik justru mereka orang yang teralienasi dalam sistem pendidikan yang konvensional. Seperti pengalaman penulis di lapangan, di mana beberapa guru tidak merespon positif metode pembelajaran penulis dalam menyampaikan materi kepada peserta didik. Seperti penayangan film pembelajaran, penulisan teks soal yang sifatnya C4 atau menganalisa dan strategi pembelajaran lainnya.
Penulis berharap persoalan tersebut tidak menjadikan minat guru yang kreatif untuk kehilangan minat dalam mengembangkan strategi dan model pembelajaran IPS tapi semakin tertantang dalam mendobrak dinding-dinding kekonservatifan dalam sistem pendidikan konvensional. Reformasi pendidikan di awali dengan keotonomian guru dalam mendidik peserta didiknya ke arah yang lebih baik.

Seperti yang sudah disinggung dalam di atas, hilangnya minat serta keringnya pembelajaran IPS adalah “mati gaya”nya guru dalam mengaplikasikan materi IPS di kelas. Penulis menekankan guru sebagai problem fundamental dalam pembelajaran IPS. Seperti contohnya dalam pembelajaran IPS yang menggunakan pendekatan tradisional, “di mana guru di dalam kelas menggunakan metode mengajar yang relatif tetap (monoton) setiap kali mengajar IPS, guru terkesan lebih aktif daripada siswa”.[1] Kecenderungan kasus tersebut berdampak pada kegiatan belajar yang membosankan sehingga hasil belajar siswa kurang luas dan mendalam malahan cenderung verbalistis. Di era keterbukaan informasi dewasa ini pembelajaran IPS diharapkan memiliki peranan penting dalam mencetak produk-produk yang memiliki “kemampuan berpikir kreatif (creative thinking), berpikir secara kritis (critical thinking), kemampuan memecahkan masalah (problem solving), dan kemampuan mengambil keputusan (decision making)”.[2]
Pembelajaran IPS yang cenderung naratif dan monoton begitu membosankan bagi para siswa sehingga menimbulkan kesan bahwa pembelajaran IPS hanya semata mendengarkan guru yang sedang menyampaikan materi dan mengerjakan tugas-tugas. Konsep demikian apa yang disebut oleh Paulo Freire sebagai konsep ‘gaya bank’[3] di mana hubungan antara guru dan murid di semua tingkatan, di dalam maupun di luar sekolah mengungkapkan watak bercerita (narrative) yang mendasar di dalamnya. Guru sebagai subyek yang bercerita dan obyeknya yang patuh adalah murid, isi pelajaran yang tentunya menyangkut nilai-nilai dan realitas menjadi amat kering tanpa ada refleksi atau studi kasus dalam konteks isu-isu kontemporer maupun isu-isu kontroversial untuk dijadikan sebagai bahan materi.
Kultur pendidikan seperti demikian yang dianggap Freire sebagai ‘penyakit’,  guru membicarakan realitas seolah-olah sesuatu yang statis, terpisah satu sama lain dan bisa diramalkan. Freire menambahkan:
Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan bercerita ini, karena itu adalah kemerduan kata-kata, bukan kekuatan pengubahnya. ‘empat kali empat sama dengan enambelas, ibukota Para adalah Balem.’ Murid-murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan ini tanpa memahami apa arti sesungguhnya empat kali empat, atau tanpa menyadari makna sesungguhnya dari kata ‘ibukota’ dalam ungkapan ‘ibukota Para adalah Balem’, yakni, apa arti Balem bagi Para dan apa arti Para bagi Brazil.[4]

Relasi antara guru dan murid yang seperti demikian sering ditemukan dalam kelas-kelas IPS, oleh karena itu pembelajaran IPS menjadi sebuah kegiatan ‘menabung’. Di mana para murid adalah celengan dan guru dianalogikan sebagai penabungnya. Yang terjadi bukan lagi proses komunikasi melainkan guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Dari konsep gaya bank inilah guru terindikasi menjadi otoriter di dalam kelas, anti kritik dan bersifat menindas. Karena pada hakikatnya pendidikan gaya bank: “merupakan suatu anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.”[5]
Persoalan tersebut merupakan hal yang tidak asing jika kita temui di lapangan saat ini, di mana kurikulum 2013 suatu sistem yang mendobrak kultur ‘gaya bank’nya Freire masih jauh dari harapan, malahan dalam pelaksanaannya guru masih menggunakan model-model tradisional. Ditambah tantangan global yang terus memberikan pengaruh secara positif dan negatif, di era globalisasi seperti saat ini dibutuhkan suatu kualitas sumber daya manusia yang cakap dan memiliki integritas dalam menjawab tantangan tersebut. Guru harus mampu memprakarsai dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia demi kemajuan bangsa. Pendidikan demokratis perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas untuk dijadikan suatu model pembelajaran IPS. Sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Beane dan Michael W. Apple memberikan suatu penjelasan untuk pengembangan dalam upaya membangun sekolah demokratis seperti berikut:
1.      Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2.      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3.      Menyampaikan kritis sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah
4.      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan public
5.      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6.      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia
7.      Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.[6]
Esensi teori Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, bahwa sekolah demokratis dapat terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau oleh semua stakeholder sekolah, jadi semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh. Sekolah demokratis juga harus dikembangkan dengan sikap trust, yaitu orang tua percaya pada kepala sekolah untuk mengembangkan program-program sekolah menuju idealitas yang diinginkan, selanjutnya yang paling substansial kepala sekolah juga harus percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan program-program tersebut.
Kemudian sekolah demokratis harus menekankan terhadap hak-hak asasi manusia, seperti kesejahteraan para guru dan semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah harus menjadi perhatian serius, manajemen harus dilakukan secara terbuka khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah public harus dikelola secara transparan, sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Jika dielaborasi dengan teorinya Beane dan Apple di atas, sekolah demokratis adalah mengimplementasikan nilai-nilai serta kultur demokrasi di dalam kelas. Sekaligus mengajak peserta didik untuk mampu dan ‘melek’ konsep demokrasi itu sendiri. Guru harus memprakarsai konsep dasar demokrasi di dalam kelas seperti memberikan perhatian yang sama pada seluruh siswa tanpa membedakan antara si pintar dengan yang belum pintar, tidak membedakan si rajin dengan yang tidak rajin. Semuanya harus memperoleh perlakuan dan perhatian yang sama, meskipun dengan pendekatan yang berbeda-beda. Pola-pola seperti ini yang diungkapkan oleh Dede Rosyada: “sebagai pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolahnya.”[7]
Prof. Dr. Nana Supriatna, M.Ed dalam diskusi panel yang penulis hadiri mengatakan bahwa:
Dalam merayakan demokrasi di sekolah, guru harus benar-benar objektif dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik. Contoh ketika sedang melakukan kegiatan diskusi di dalam kelas, guru jangan hanya menilai peserta didik yang hanya aktif berbicara, namun memberikan penilaian juga bagi peserta didik yang diam/mendengarkan. Karena pada hakikatnya demokrasi adalah menghargai, dalam konteks ini guru harus menilai diamnya peserta didik adalah bagian dari menghargai  pendapat orang lain, dengan cara diam dan mendengarkan peserta didik yang lain sedang berbicara.[8]

Pernyataan Prof Nana Supriatna sangat relevan dengan problem proses pembelajaran IPS di dalam kelas. Guru cenderung memperhatikan peserta didik yang mendominasi, namun tidak memberi suatu reward bagi peserta didik yang menghargai pendapat temannya dengan cara diam. Tetapi perlu di garis bawahi guru juga harus mengajak peserta didiknya agar ikut berpartisipasi dalam jalannya diskusi.
Sebenarnya kurikulum 2004 sudah mengantisipasi fenomena setidaknya sepuluh tahun ke depan dalam menghadapi globalisasi, namun problem fundamental di Indonesia kurikulum hanya merupakan suatu dokumen dan ide bukan dalam bentuk implementasi atau proses. Ditambah profesionalitas guru untuk melaksanakan kurikulum masih jauh dari harapan, seperti yang ditulis oleh Rudy Gunawan:
a.       Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar seperti cooperative learning, inquiry. Problem solving atau dengan menggunakan pendekatan perspektif global misalnya.
b.      Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagaian besar sekolah, ikut mempengaruhi proses belajar mengajar IPS
c.       Karena itu (point 1 dan 2), proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil secara faktual saja, dan tidak mendapat hasil proses
d.      Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakikat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
e.       Sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap untuk mengadaptasi atau mengadopsi budaya dan peradaban asing yang mulai merambah secara global, karena berbenturan dengan nilai-nilai tradisi ataupun agama.[9]

Dalam kurikulum 2013 itu sendiri tuntutan untuk mencetak sumber daya yang produktif untuk menjawab tantangan global juga didesain dalam strategi, dan proses pembelajaran di dalam kelas. Selain itu jumlah penduduk usia produktif yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 menjadi tantangan besar agar SDM usia produktif ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.



Tabel Perkembangan Pola Pikir dalam Kurikulum 2013[10]
Pola Pembelajaran

Kurikulum 2004 dan 2006
Kurikulum 2013
Berpusat pada guru
berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama
Satu arah (interaksi guru-peserta didik)
Interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya)
Pasif
Aktif mencari (diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains)
Sendiri
Berbasis tim (kelompok)
Alat tunggal
Alat multimedia
Berbasis massal
Kebutuhan pelanggan (memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik)
Ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline)
Ilmu pengetahuan jamak
Pasif
Kritis

Tabel di atas jelas menggambarkan dua pendekatan kurikulum 2004 dan 2006 dengan kurikulum 2013 yang sangat berbeda. Di mana kurikulum 2013 lebih menekankan pada peran aktif siswa di dalam kelas dan guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan dalam proses pembelajaran. Jika dikorelasikan dengan problem yang terjadi dalam pembelajaran IPS kurikulum 2013 adalah merupakan suatu solusi untuk memecahkan masalah dalam proses pembelajaran. Misalkan guru mampu mengelaborasi materi-materi ajarnya dengan melakukan studi kasus yang terjadi di luar sekolah (lingkungan peserta didik, isu-isu kontemporer dan isu kontroversial). Salah satu pendekatan cooperative learning tersebut mampu menumbuhkan nalar, imajinasi serta mengajak peserta didik terlibat dalam memecahkan masalah yang terjadi.



[1] Ibid., hlm. 58.
[2] Huriah Rachmah. 2014. Pengembangan Profesi Pendidikan IPS. Bandung: Alfabeta, hlm. 138.
[3] Lihat BAB II Pendidikan gaya bank sebagai alat penindasan, Paulo Freire. 1985.  Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, hlm. 49.
[4] Ibid., hlm. 50.
[5] Ibid., hlm. 51.
[6] Dede Rosyada. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana, hlm. 16.
[7] Ibid., hlm. 18.
[8] Diskusi panel yang diselenggarakan di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Penulis turut hadir dalam kegiatan akademik studi banding pada 11 November 2016.
[9] Rudy Gunawan, Op. Cit, hlm. 92.
[10] Rudy Gunawan. 2014. Pengembangan Kompetensi Guru IPS. Bandung: Alfabeta, hlm. 4.




[1] Lihat Rudy Gunawan dalam Pendidikan IPS: Filosofi, Konsep, dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta. Hlm, 88.
[2] Ibid.
[3] Jurnal yang diposting tanpa tahun oleh Hasni Staf Pengajar Universitas Negeri Makasar.
[4] Rudy Gunawan.  Op. Cit, hlm 108-109.