Politik Penggunaan agama sebagai salah satu alat
berpolitik masih marak terjadi sekarang ini. Bukan hanya oleh lembaga-lembaga
yang memiliki orientasi kegiatan keagamaan, namun juga oleh individu-individu,
baik yang memang berada dalam lembaga keagamaan ataupun individu pemeluk agama.
Terkadang, persoalan ini malah justru sering menyulut konflik di antara para
pemeluk agama ataupun lembaga-lembaga keagamaan tertentu dan ahhirnya
eskalasinya membesar dan menjadi konflik sosial. Persoalan isu agama ini,
ketika digunakan oleh seorang individu dalam konteks kegiatan politiknya,
memang tidaklah melanggar hukum. Namun begitu, persoalan etika dan moral
menjadi muncul dalam hal ini, terkait pada moral dan integritas yang
bersangkutan, apalagi individu tersebut memang bergerak di ranah kehidupan
sosial masyarakat dan politik. Apalagi yang kerap terjadi adalah inkonsistensi
perbuatan yang dilakukan individu dengan pernyataan dan pemahaman keagamaan
yang ditunjukkannya pada publik. Di sinilah persoalan etika dan moral tersebut
muncul dan menjadi salah satu hal yang mendegradasi ideologi keagamaan dalam
politik, baik secara individual maupun secara komunal, partai politik misalnya.
Menjadikan agama sebagai tunggangan politik merupakan
praktek politik yang tidak santun. Ia tidak sesuai dengan ajaran agama. Memang,
seolah-lah itu adalah benar dan islami. Tapi pada dasarnya adalah merendahkan
kesucian nilai-nilai ketuhanan, nilai spiritualitas dan moralitas agama, ia
menenggelamkan agama dalam arus kepentingan praktis-pragmatis yang bersifat
sementara dan sesaat. Simbol-simbol agama, tokoh agama, dan kegiatan keagamaan
tidak jarang diperalat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok
tertentu. Hal ini akan sering tampak dan intensitasnya semakin meningkat saat
momen-momen hajatan politik seperti pemilu, pemilihan presiden atau pemilihan
kepala daerah. Tidak usah dalam hajatan besar, pada hajatan-hajatan politik
kecil tertentu pun terkadang hal tersebut kerap kali terjadi. Misalnya dengan
melakukan beberapa ritual agama tertentu sebelum terjadi sebuah proses
kontestasi politik. Ataupun misalnya mencitrakan diri sebagai pemeluk agama
tertentu, namun sebetulnya jiwa dan hatinya lebih kuat menganut agama yang lain.
Ini menjadi persoalan karena menyangkut kredibilitas dan etika moral si
individu tersebut.
Fenomena tentang agama di Indonesia yang kerap kali
digunakan sebagai alat untuk mencari suara terbanyak dalam mencari suara
sebanyak-banyaknya, memang bertujuan untuk merebut legitimasi kekuasaan dan
politik yang lebih kuat. Secara hermeunitis pun sudah jelas tersirat bahwa
agama itu berarti teratur. Dari arti tersebut tentunya agama ini telah menjadi
sebuah alat yang mengatur wilayah-wilayah tertentu dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Ketika agama ini dijadikan alat politik tentunya sifat yang
sebenarnya ada dalam agama itu menjadi berkurang atau bahkan hilang sama
sekali. Agama hanya menjadi sebuah simbol yang bisa menarik sebanyak-banyaknya
suara pemilih. Ketika seorang petinggi politik misalnya ingin menggunakan
sebuah simbol agama mayoritas yang ada di Indonesia, kemungkinan besarnya dia
betujuan untuk mendapat dukungan banyak dari penganut agama tersebut. Persoalan
besar akan timbul ketika individu tersebut tidak secara konsisten melaksanakan
ajaran-ajaran agama yang digunakannya tersebut dan malah menunjukkan perilaku
yang bertentangan dengan ajaran agama tersebut. Di sisi inilah seharusnya para
penggiat kegiatan sosial dan politik bisa diuji, apakah memang mereka mau
memegang konsep etis dan moral dalam melakukan kegiatannya di ranah sosial dan
politik tersebut, serta bertingkah laku secara konsisten dengan
pernyataan-pernyataan dan apa yang ditunjukkan olehnya ke publik selama ini,
baik dalam hal nilai-nilai yang diperjuangkannya maupun nilai-nilai keagamaan
yang dianutnya. Sehingga politik dengan dasar etika dan moral yang universal
bisa terus terpelihara dan tidak terdegradasi sebagai nilai perjuangan sosial
dan politik, hanya karena para pelakunya tidak konsisten memegang nilai-nilai
tersebut. Konsistensi antara perbuatan dan tingkah laku dengan nilai moral dan
etis yang dinyatakan telah dipegang teguh, harus menjadi acuan mereka dalam
melakukan semua tindakan dan kegiatan mereka dalam berpolitik maupun segala
macam kegiatan sosial sehari-hari. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai agama dan
universal yang menjadi ukuran etis seseorang dalam berpolitik dan kehidupan
sosialnya tidak terdegradasi menjadi komoditas politik semata yang justru
memicu penolakan dari masyarakat untuk juga memegang teguh nilai dan etika
tersebut sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sosial dan peradabannya.
EYD nya benerin dong, tapi contentnya cukup paham deh meskipun dlm bbrp pemilihan kata kurang jelas #keepwriting��
BalasHapusTypo dikit itu mah,makasih kaka buho hheee
BalasHapus