Kamis, 01 Januari 2015

Marxisme dan Kebaruan

APAKAH yang dimaksud dengan ‘pemikir Marxis?’ Pertanyaan ini terasa gampang dijawab, sehingga hampir tak perlu dipertanyakan. Namun, seringkali, dalam pertanyaan-pertanyaan sederhana termuat persoalan yang tak sederhana. Karena itu, kita perlu mencoba menjawabnya.
Seorang Marxis adalah ia yang, tentu saja, mengakui kebenaran pandangan Karl Marx. Menjadi ‘Marxis’ berarti mereproduksi apa yang dikatakan Marx, menariknya dari realitas abad ke-19 dan mengutarakannya kembali di hadapan realitas awal abad ke-21. Persoalan segera muncul ketika kita memahami ‘Marxis’ dalam pengertian semacam itu. Dalam hal mereproduksi semua proposisi Marx, tentu mesin cetak Heidelberg lebih ‘Marxis’ daripada semua ‘Marxis’ yang kita kenali sepanjang sejarah. Heidelberg mereproduksi semua perkataan Marx sampai titik-koma dan bahkan salah tulisnya. Jika begitu, mungkinkah seseorang menjadi ‘Marxis’ sekaligus ‘pemikir?’
Karl Marx oleh J.I. von Treskow, 1983. (Koleksi: IISH)
Karl Marx oleh J.I. von Treskow, 1983. (Koleksi: IISH)

Kalau ada hal yang membedakan seorang ‘pemikir’ dari mesin cetak Heidelberg, hal itu adalah kebaruan. Pemikir adalah seorang yang memikirkan hal baru atau merenungkan hal lama secara baru atau membahasakan hal lama secara berbeda. Mungkinkah seseorang setia memikirkan semua proposisi Marx tak lebih atau kurang suatu apapun, di satu sisi, sekaligus memikirkan hal yang samasekali baru, di sisi lain? Apabila orang itu berpikir sesuai dengan Marx, maka siapakah yang sebenarnya ‘berpikir:’ orang itu atau Marx? Pertanyaan ini tak hanya dapat diajukan pada para ‘pemikir Marxis,’ tetapi juga pada setiap ‘aktivis Marxis.’ Mungkinkah seseorang bertindak sesuai dengan ajaran Marx, di satu sisi, sekaligus bertindak secara baru, di sisi lain? Apabila seseorang bertindak sesuai dengan ajaran Marx, siapakah yang sebetulnya ‘bertindak:’ orang itukah yang bertindak ataukah ajaran Marx lah yang bertindak melalui orang itu—‘as if its body were by love possessed?’ Inilah dilema kita. (Dilema ini tak hanya menghantui ‘pemikir/aktivis Marxis,’ tetapi juga ‘pemikir/aktivis’ mazhab apapun: pemikir Islam, pemikir liberal, pemikir xyz, dst. Implikasi dilema ini tak hanya berkenaan dengan ada/tidaknya ‘pemikir’ Marxis, melainkan lebih jauh dari itu, ada/tidaknya ‘pemikiran’ Marxis, misalnya sosiologi Marxis, antropologi Marxis, ekonomi Marxis—yang tentu mesti dibedakan dari pemikiran Marx, seperti sosiologi Marx, antropologi Marx, ekonomi Marx).
Ada sepotong cerpen dari Borges yang secara ekstrem mengilustrasikan dilema ini: Pierre Menard, Sang Pengarang Don Quixote. Dikisahkan oleh seorang narator anonim bahwa terdapat seorang penyair Prancis awal abad ke-20 bernama Pierre Menard, yang hendak mengarang kembali Don Quixote. Kita tahu, novel itu telah dikarang lebih dari tiga abad sebelumnya. Menard bukannya tak tahu itu. Menard adalah seorang yang terdidik: ia menerbitkan dua puisi simbolisnya di jurnal La Conque, menulis monografi tentang aljabar Boolean, menerbitkan kajian perbandingan antara filsafat Descartes, Leibniz, dan John Wilkins, mengajukan solusi atas paradoks logika klasik ‘Akhiles dan kura-kura,’ serta menulis artikel ilmiah tentang permainan catur dengan bidak yang tak lengkap.
Sebagaimana diterangkannya dalam sepucuk surat pada sang narator, Menard menghalau beberapa kemungkinan salah tafsir atas proyeknya. Pertama, apa yang hendak ia tuliskan bukanlah cerpen anakronistik murahan: Don Quixote di Wall Street, Maria Magdalena di Alexis, Shakespeare di Shakespeare & Co. dan sejenisnya. Dengan kata lain, ia bersumpah setia pada Don Quixote-nya Cervantes. Kedua, proyeknya juga bukan soal ‘menjadi Cervantes:’ belajar bahasa Spanyol, memeluk kembali agama Katolik, memerangi orang Turki, dan melupakan sejarah Eropa dari 1602 hingga 1918. Dengan kata lain, ia bersumpah setia pada dirinya sebagai pengarang. Proyeknya cuma satu: bagaimana memastikan bahwa ia, Pierre Menard, adalah pengarang Don Quixote—novel yang sama, kata demi kata, yang pernah dikarang oleh Miguel de Cervantes.
Menard tak punya cukup umur untuk merampungkan proyek seumur hidupnya itu. Di antara berkas-berkas tulisan yang ia tinggalkan, sang narator menemukan fragmen proyek tersebut: Bab IX, XXII dan XXXVIII dari novel Don Quixote yang ia tuliskan ulang secara persis sama—hingga taraf tanda baca—dengan apa yang ditulis Cervantes. ‘Inilah karya sastra terpenting zaman kita,’ kata sang narator. Bagaimana mungkin tidak? Dalam korespondensinya dengan sang narator semasa hidupnya, Menard mengisahkan bagaimana ia menghabiskan malam-malamnya diterangi lampu minyak dan ribuan lembar draf yang tersobek, mati-matian menghindari bahaya ganda—‘menjadi Cervantes’ dan ‘menjadi dirinya’—sekaligus berupaya setia pada Cervantes dan dirinya. Ketika senja tiba, ia kerap berjalan-jalan di pedesaan Nîmes, Prancis Selatan, sambil membawa buku catatannya, sesekali menyalakan api unggun kecil dan merenung-renungkan proyeknya.
‘Tugas yang saya pikul pada hakikatnya tidaklah sukar,’ tulis Menard dalam suratnya pada sang narator, ‘saya hanya perlu hidup abadi untuk dapat menunaikannya.’
Tugas yang ditanggung Pierre Menard tidaklah sepenuhnya berbeda dengan tugas yang ditanggung para pemikir atau aktivis Marxis. Bagaimana kita mungkin terkejut—inilah pertanyaan dasarnya. Mungkinkah Menard terkejut dengan apa yang ia tuliskan? Mungkinkah kita terkejut ketika menuliskan kalimat ‘Kekayaan masyarakat yang mana modus produksi kapitalis berlaku nampak sebagai suatu “unggun-timbun komoditas’” dengan ingatan yang tak lekang bahwa kalimat itu tak lain merupakan kalimat pertama Das Kapital? Apakah yang menjamin bahwa kita mungkin terkejut? Pertanyaan ini ekuivalen dengan ‘Apakah yang menjamin bahwa kita dapat menjadi “Marxis” sekaligus “pemikir” atau “aktivis?”’
Melihat ilustrasi dari Borges, sepertinya pertanyaan di muka tak mungkin dijawab. Jika begitu, apakah berarti seorang ‘Marxis’ dengan sendirinya bukan ‘pemikir/aktivis’ dan seorang ‘pemikir/aktivis’ dengan sendirinya bukan ‘Marxis?’ Saya cenderung percaya bahwa kita masih bisa menemukan alternatif lain. Agar dapat menemukan alternatif lain, kita mesti menemukan terlebih dahulu sumber permasalahan yang menyebabkan problem di muka, sehingga kita dapat menghindarinya dalam alternatif yang diajukan.
Kebuntuan kita selama ini, kebuntuan Menard dan para pemikir/aktivis Marxis, terjadi antara lain karena kita berangkat dari kehendak untuk mereproduksi suatu sistem, entah sistem sastrawi ataupun teoretik. Artinya, kebuntuan itu muncul karena kita berangkat dari keyakinan kita tentang sebuah sistem pemikiran dan kemudian mencari-cari cara agar kenyataan kita sekarang ini sesuai dengan yang digambarkan oleh sistem tersebut. Menard berupaya mereproduksi Don Quixote ke dalam realitas sastra awal abad ke-20, dan para pemikir Marxis berupaya mereproduksi Das Kapital (dan sederet literatur Marxis) ke dalam realitas ekonomi-politik masa kini. Menard bahkan sempat mempertimbangkan—kendati akhirnya ia tolak—untuk ‘melupakan sejarah Eropa dari 1602 hingga 1918’ agar sesuai dengan teks Don Quixote. Seperti kita lihat, jalan ini buntu: ada tegangan yang tak selesai dalam pernyataan ‘Pierre Menard adalah pengarang Don Quixote,’ tegangan yang juga kita jumpai dalam pernyataan ‘Si X adalah pemikir Marxis.’
Masih ada alternatif lain. Kendati tidak buntu (atau setidaknya belum kita ketahui), jalan ini jauh lebih berat bagi seorang Marxis. Apa yang dituntut oleh jalan ini bukanlah ‘melupakan sejarah dunia dari 1867 (tahun penerbitan Das Kapital) hingga 2012’ agar dapat ‘menjadi Marx’ dan tidak menjadi ‘pemikir’ (ataupun melupakan sejarah dunia selepas 1917), tetapi justru dengan ‘melupakan Marx’—maksudnya, menunda setiap argumen yang berbasis pada otoritas Marxisme, seperti misalnya mengatakan bahwa x benar karena Marx atau para Marxis tersohor mengatakan demikian, atau bahwa y benar sebab ada tertulis dalam Teks bahwa y benar. Artinya, kita mesti mencapai pokok-pokok kesimpulan yang sama dengan Marx, bahkan, kalau Marx dan Marxisme itu sendiri tidak pernah ada. Bagaimana kita membuktikan kontradiksi sistemik kapitalisme dalam dunia dimana Das Kapital tak pernah diterbitkan dan Karl Marx tak pernah dilahirkan? Hanya jika kita mampu membuktikannya dalam kondisi seperti itu, barulah kita dapat menjadi ‘pemikir/aktivis’ yang sekaligus ‘Marxis.’
Kita tidak pertama-tama menjadi ‘Marxis’ baru kemudian menjadi ‘pemikir/aktivis.’ Apabila jalan ini yang kita tempuh, maka kita akan kembali ke dilema Menard. Kita tidak pertama-tama berpegang pada Kitab untuk kemudian mengecek bagaimana Kitab itu sesuai dengan kenyataan. Jalan ini berangkat dari sejenis ‘hermeneutika Kitab Suci’ dan hanya akan membawa kita ke labirin Kitab yang akhirnya membuat kita mengacaukan Kitab dengan kenyataan itu sendiri.
Rute alternatif yang dapat kita tempuh untuk menghindari dilema Menard adalah dengan menjadi ‘pemikir/aktivis’ terlebih dahulu baru kemudian menjadi ‘Marxis.’ Artinya, kita berangkat tidak dari Kitab, melainkan dari kenyataan itu sendiri, baik realitas teoretis maupun praktis. Dalam rute ini, senjata kita hanya satu: logika. Melalui logika—dan bukan berdasarkan otoritas Kitab—kita menalar kenyataan, meragukan asumsi-asumsi yang ada dan membangun pemikiran atau kerangka kerja baru tentangnya. Saya percaya bahwa melalui instrumen logika semata kita dapat mencapai kesimpulan yang sama dengan Marx, tanpa perlu harus berargumen berdasarkan otoritas Marx. Ada setidaknya dua hal yang diraih apabila upaya ini berhasil: pertama, ‘pemikir/aktivis Marxis’ atau ‘pemikiran/aktivitas Marxis’ jadi dimungkinkan; dan, kedua, Marxisme dikonfirmasi secara logis sebagai benar adanya tanpa bertopang pada otoritas Marxisme itu sendiri atau Kitab-Kitabnya. Tentu kita tak dapat sepenuhnya melupakan Marx. Apa yang dituntut oleh rute alternatif ini bukanlah melupakan Marx secara harafiah, melainkan tidak menjadikan pernyataannya sebagai otoritas yang menjamin kesahihan argumen.
Ada dua sub-rute dalam rute alternatif ini, khususnya berkenaan dengan ‘pemikiran Marxis.’ Yang pertama, dengan menjalankan rekonstruksi besar-besaran atas Marxisme—semacam penemuan kembali Marxisme—dengan cara membangun ulang sistem pemikiran itu dari fondasi baru tanpa mengandaikan konsep-konsep Marxis, tetapi dengan hasil yang sebangun dengan apa yang dicapai Marx. Yang kedua, dengan menjalankan analisis logis atas Marxisme: mengambil sebuah proposisi Marxis tanpa mengasumsikannnya sebagai benar, mulai dengan meragukannya, memeriksa alternatif terhadapnya dan menunjukkan secara logis mengapa (bukan sekadar apakah) proposisi itu benar atau keliru. Sub-rute kedua inilah yang lebih mudah dijalankan melalui seri artikel.
Secara umum, rubrik ‘Logika’ ini akan berlandaskan pada program analisis logis atas Marxisme. Ada tiga prinsip kerja dari program ini yang akan sebisa mungkin dipertahankan. Pertama, kita tidak akan berargumen berdasarkan otoritas Marxisme dan teks-teksnya. Tentu kita akan mengutip teks-teksnya, tetapi hal itu tidak lebih daripada untuk mengkajinya dalam terang analisis logis. Kedua, kita akan berfokus pada perumusan pertanyaan atau permasalahan yang mengemuka dalam proposisi Marxis atau pengandaian filsafat di belakangnya. Analisis logis berperan penting dalam mengkaji mana problem yang sesungguhnya di balik lautan pseudo-problem. Ketiga, kita tidak akan berpretensi memberikan jawaban definitif atau final terhadap permasalahan yang kita ajukan. Alasannya tentu bukan karena kita harus bersikap politically correct, seperti yang diajarkan moralitas pascamodern. Jawaban definitif akan sulit diberikan karena argumen yang mengantarkan kita pada jawaban tersebut tak mungkin diuraikan dalam artikel singkat. Jawaban definitif juga sulit diberikan karena begitu kita berhadapan dengan problem, yang bukan sekadar pseudo-problem, berbagai alternatif jawaban yang tersedia kerapkali mengandung resiko teoretisnya sendiri, mengandung ‘efek samping’-nya sendiri. Karena itu, jawaban yang akan kita berikan dalam artikel-artikel ini hanyalah jawaban tentatif yang masih harus diperdebatkan dan ditimbang lagi konsekuensinya.
Hari-hari ini, para intelektual Marxis memiliki seribu satu jawaban. Padahal apa yang sesungguhnya dibutuhkan adalah pertanyaan. Apabila dengan mengajukan pertanyaan kita dapat menyumbangkan sesuatu untuk para kolega Marxis di tanah air, biarlah dengan cara itu rubrik ‘Logika’ ini mengabdi pada Marxisme.***

Indoprogress 28 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar