APAKAH yang dimaksud dengan ‘pemikir Marxis?’ Pertanyaan ini terasa
gampang dijawab, sehingga hampir tak perlu dipertanyakan. Namun,
seringkali, dalam pertanyaan-pertanyaan sederhana termuat persoalan yang
tak sederhana. Karena itu, kita perlu mencoba menjawabnya.
Seorang Marxis adalah ia yang, tentu saja, mengakui kebenaran
pandangan Karl Marx. Menjadi ‘Marxis’ berarti mereproduksi apa yang
dikatakan Marx, menariknya dari realitas abad ke-19 dan mengutarakannya
kembali di hadapan realitas awal abad ke-21. Persoalan segera muncul
ketika kita memahami ‘Marxis’ dalam pengertian semacam itu. Dalam hal
mereproduksi semua proposisi Marx, tentu mesin cetak Heidelberg lebih
‘Marxis’ daripada semua ‘Marxis’ yang kita kenali sepanjang sejarah.
Heidelberg mereproduksi semua perkataan Marx sampai titik-koma dan
bahkan salah tulisnya. Jika begitu, mungkinkah seseorang menjadi
‘Marxis’ sekaligus ‘pemikir?’
Kalau ada hal yang membedakan seorang ‘pemikir’ dari mesin cetak
Heidelberg, hal itu adalah kebaruan. Pemikir adalah seorang yang
memikirkan hal baru atau merenungkan hal lama secara baru atau
membahasakan hal lama secara berbeda. Mungkinkah seseorang setia
memikirkan semua proposisi Marx tak lebih atau kurang suatu apapun, di
satu sisi, sekaligus memikirkan hal yang samasekali baru, di sisi lain?
Apabila orang itu berpikir sesuai dengan Marx, maka siapakah
yang sebenarnya ‘berpikir:’ orang itu atau Marx? Pertanyaan ini tak
hanya dapat diajukan pada para ‘pemikir Marxis,’ tetapi juga pada setiap
‘aktivis Marxis.’ Mungkinkah seseorang bertindak sesuai dengan ajaran
Marx, di satu sisi, sekaligus bertindak secara baru, di sisi lain?
Apabila seseorang bertindak sesuai dengan ajaran Marx, siapakah yang
sebetulnya ‘bertindak:’ orang itukah yang bertindak ataukah ajaran Marx
lah yang bertindak melalui orang itu—‘as if its body were by love possessed?’
Inilah dilema kita. (Dilema ini tak hanya menghantui ‘pemikir/aktivis
Marxis,’ tetapi juga ‘pemikir/aktivis’ mazhab apapun: pemikir Islam,
pemikir liberal, pemikir xyz, dst. Implikasi dilema ini tak hanya
berkenaan dengan ada/tidaknya ‘pemikir’ Marxis, melainkan lebih jauh
dari itu, ada/tidaknya ‘pemikiran’ Marxis, misalnya sosiologi Marxis,
antropologi Marxis, ekonomi Marxis—yang tentu mesti dibedakan dari
pemikiran Marx, seperti sosiologi Marx, antropologi Marx, ekonomi Marx).
Ada sepotong cerpen dari Borges yang secara ekstrem mengilustrasikan dilema ini: Pierre Menard, Sang Pengarang Don Quixote.
Dikisahkan oleh seorang narator anonim bahwa terdapat seorang penyair
Prancis awal abad ke-20 bernama Pierre Menard, yang hendak mengarang
kembali Don Quixote. Kita tahu, novel itu telah dikarang lebih
dari tiga abad sebelumnya. Menard bukannya tak tahu itu. Menard adalah
seorang yang terdidik: ia menerbitkan dua puisi simbolisnya di jurnal La
Conque, menulis monografi tentang aljabar Boolean, menerbitkan kajian
perbandingan antara filsafat Descartes, Leibniz, dan John Wilkins,
mengajukan solusi atas paradoks logika klasik ‘Akhiles dan kura-kura,’
serta menulis artikel ilmiah tentang permainan catur dengan bidak yang
tak lengkap.
Sebagaimana diterangkannya dalam sepucuk surat pada sang narator,
Menard menghalau beberapa kemungkinan salah tafsir atas proyeknya. Pertama,
apa yang hendak ia tuliskan bukanlah cerpen anakronistik murahan: Don
Quixote di Wall Street, Maria Magdalena di Alexis, Shakespeare di Shakespeare & Co. dan sejenisnya. Dengan kata lain, ia bersumpah setia pada Don Quixote-nya Cervantes. Kedua,
proyeknya juga bukan soal ‘menjadi Cervantes:’ belajar bahasa Spanyol,
memeluk kembali agama Katolik, memerangi orang Turki, dan melupakan
sejarah Eropa dari 1602 hingga 1918. Dengan kata lain, ia bersumpah
setia pada dirinya sebagai pengarang. Proyeknya cuma satu: bagaimana
memastikan bahwa ia, Pierre Menard, adalah pengarang Don Quixote—novel yang sama, kata demi kata, yang pernah dikarang oleh Miguel de Cervantes.
Menard tak punya cukup umur untuk merampungkan proyek seumur hidupnya
itu. Di antara berkas-berkas tulisan yang ia tinggalkan, sang narator
menemukan fragmen proyek tersebut: Bab IX, XXII dan XXXVIII dari novel Don Quixote
yang ia tuliskan ulang secara persis sama—hingga taraf tanda
baca—dengan apa yang ditulis Cervantes. ‘Inilah karya sastra terpenting
zaman kita,’ kata sang narator. Bagaimana mungkin tidak? Dalam
korespondensinya dengan sang narator semasa hidupnya, Menard mengisahkan
bagaimana ia menghabiskan malam-malamnya diterangi lampu minyak dan
ribuan lembar draf yang tersobek, mati-matian menghindari bahaya
ganda—‘menjadi Cervantes’ dan ‘menjadi dirinya’—sekaligus berupaya setia
pada Cervantes dan dirinya. Ketika senja tiba, ia kerap berjalan-jalan
di pedesaan Nîmes, Prancis Selatan, sambil membawa buku catatannya,
sesekali menyalakan api unggun kecil dan merenung-renungkan proyeknya.
‘Tugas yang saya pikul pada hakikatnya tidaklah sukar,’ tulis Menard
dalam suratnya pada sang narator, ‘saya hanya perlu hidup abadi untuk
dapat menunaikannya.’
Tugas yang ditanggung Pierre Menard tidaklah sepenuhnya berbeda
dengan tugas yang ditanggung para pemikir atau aktivis Marxis. Bagaimana
kita mungkin terkejut—inilah pertanyaan dasarnya. Mungkinkah Menard
terkejut dengan apa yang ia tuliskan? Mungkinkah kita terkejut ketika
menuliskan kalimat ‘Kekayaan masyarakat yang mana modus produksi
kapitalis berlaku nampak sebagai suatu “unggun-timbun komoditas’” dengan
ingatan yang tak lekang bahwa kalimat itu tak lain merupakan kalimat
pertama Das Kapital? Apakah yang menjamin bahwa kita mungkin
terkejut? Pertanyaan ini ekuivalen dengan ‘Apakah yang menjamin bahwa
kita dapat menjadi “Marxis” sekaligus “pemikir” atau “aktivis?”’
Melihat ilustrasi dari Borges, sepertinya pertanyaan di muka tak
mungkin dijawab. Jika begitu, apakah berarti seorang ‘Marxis’ dengan
sendirinya bukan ‘pemikir/aktivis’ dan seorang ‘pemikir/aktivis’ dengan
sendirinya bukan ‘Marxis?’ Saya cenderung percaya bahwa kita masih bisa
menemukan alternatif lain. Agar dapat menemukan alternatif lain, kita
mesti menemukan terlebih dahulu sumber permasalahan yang menyebabkan
problem di muka, sehingga kita dapat menghindarinya dalam alternatif
yang diajukan.
Kebuntuan kita selama ini, kebuntuan Menard dan para pemikir/aktivis
Marxis, terjadi antara lain karena kita berangkat dari kehendak untuk
mereproduksi suatu sistem, entah sistem sastrawi ataupun teoretik.
Artinya, kebuntuan itu muncul karena kita berangkat dari keyakinan kita
tentang sebuah sistem pemikiran dan kemudian mencari-cari cara agar
kenyataan kita sekarang ini sesuai dengan yang digambarkan oleh sistem
tersebut. Menard berupaya mereproduksi Don Quixote ke dalam realitas sastra awal abad ke-20, dan para pemikir Marxis berupaya mereproduksi Das Kapital
(dan sederet literatur Marxis) ke dalam realitas ekonomi-politik masa
kini. Menard bahkan sempat mempertimbangkan—kendati akhirnya ia
tolak—untuk ‘melupakan sejarah Eropa dari 1602 hingga 1918’ agar sesuai
dengan teks Don Quixote. Seperti kita lihat, jalan ini buntu: ada tegangan yang tak selesai dalam pernyataan ‘Pierre Menard adalah pengarang Don Quixote,’ tegangan yang juga kita jumpai dalam pernyataan ‘Si X adalah pemikir Marxis.’
Masih ada alternatif lain. Kendati tidak buntu (atau setidaknya belum
kita ketahui), jalan ini jauh lebih berat bagi seorang Marxis. Apa yang
dituntut oleh jalan ini bukanlah ‘melupakan sejarah dunia dari 1867
(tahun penerbitan Das Kapital) hingga 2012’ agar dapat ‘menjadi
Marx’ dan tidak menjadi ‘pemikir’ (ataupun melupakan sejarah dunia
selepas 1917), tetapi justru dengan ‘melupakan Marx’—maksudnya, menunda
setiap argumen yang berbasis pada otoritas Marxisme, seperti misalnya
mengatakan bahwa x benar karena Marx atau para Marxis tersohor
mengatakan demikian, atau bahwa y benar sebab ada tertulis dalam Teks
bahwa y benar. Artinya, kita mesti mencapai pokok-pokok kesimpulan yang
sama dengan Marx, bahkan, kalau Marx dan Marxisme itu sendiri tidak
pernah ada. Bagaimana kita membuktikan kontradiksi sistemik kapitalisme
dalam dunia dimana Das Kapital tak pernah diterbitkan dan Karl
Marx tak pernah dilahirkan? Hanya jika kita mampu membuktikannya dalam
kondisi seperti itu, barulah kita dapat menjadi ‘pemikir/aktivis’ yang
sekaligus ‘Marxis.’
Kita tidak pertama-tama menjadi ‘Marxis’ baru kemudian menjadi
‘pemikir/aktivis.’ Apabila jalan ini yang kita tempuh, maka kita akan
kembali ke dilema Menard. Kita tidak pertama-tama berpegang pada Kitab
untuk kemudian mengecek bagaimana Kitab itu sesuai dengan kenyataan.
Jalan ini berangkat dari sejenis ‘hermeneutika Kitab Suci’ dan hanya
akan membawa kita ke labirin Kitab yang akhirnya membuat kita
mengacaukan Kitab dengan kenyataan itu sendiri.
Rute alternatif yang dapat kita tempuh untuk menghindari dilema
Menard adalah dengan menjadi ‘pemikir/aktivis’ terlebih dahulu baru
kemudian menjadi ‘Marxis.’ Artinya, kita berangkat tidak dari Kitab,
melainkan dari kenyataan itu sendiri, baik realitas teoretis maupun
praktis. Dalam rute ini, senjata kita hanya satu: logika. Melalui
logika—dan bukan berdasarkan otoritas Kitab—kita menalar kenyataan,
meragukan asumsi-asumsi yang ada dan membangun pemikiran atau kerangka
kerja baru tentangnya. Saya percaya bahwa melalui instrumen logika
semata kita dapat mencapai kesimpulan yang sama dengan Marx, tanpa perlu
harus berargumen berdasarkan otoritas Marx. Ada setidaknya dua hal yang
diraih apabila upaya ini berhasil: pertama, ‘pemikir/aktivis Marxis’ atau ‘pemikiran/aktivitas Marxis’ jadi dimungkinkan; dan, kedua,
Marxisme dikonfirmasi secara logis sebagai benar adanya tanpa bertopang
pada otoritas Marxisme itu sendiri atau Kitab-Kitabnya. Tentu kita tak
dapat sepenuhnya melupakan Marx. Apa yang dituntut oleh rute alternatif
ini bukanlah melupakan Marx secara harafiah, melainkan tidak menjadikan
pernyataannya sebagai otoritas yang menjamin kesahihan argumen.
Ada dua sub-rute dalam rute alternatif ini, khususnya berkenaan dengan ‘pemikiran Marxis.’ Yang pertama,
dengan menjalankan rekonstruksi besar-besaran atas Marxisme—semacam
penemuan kembali Marxisme—dengan cara membangun ulang sistem pemikiran
itu dari fondasi baru tanpa mengandaikan konsep-konsep Marxis, tetapi
dengan hasil yang sebangun dengan apa yang dicapai Marx. Yang kedua,
dengan menjalankan analisis logis atas Marxisme: mengambil sebuah
proposisi Marxis tanpa mengasumsikannnya sebagai benar, mulai dengan
meragukannya, memeriksa alternatif terhadapnya dan menunjukkan secara
logis mengapa (bukan sekadar apakah) proposisi itu benar atau keliru. Sub-rute kedua inilah yang lebih mudah dijalankan melalui seri artikel.
Secara umum, rubrik ‘Logika’ ini akan berlandaskan pada program
analisis logis atas Marxisme. Ada tiga prinsip kerja dari program ini
yang akan sebisa mungkin dipertahankan. Pertama, kita tidak
akan berargumen berdasarkan otoritas Marxisme dan teks-teksnya. Tentu
kita akan mengutip teks-teksnya, tetapi hal itu tidak lebih daripada
untuk mengkajinya dalam terang analisis logis. Kedua, kita akan
berfokus pada perumusan pertanyaan atau permasalahan yang mengemuka
dalam proposisi Marxis atau pengandaian filsafat di belakangnya.
Analisis logis berperan penting dalam mengkaji mana problem yang
sesungguhnya di balik lautan pseudo-problem. Ketiga,
kita tidak akan berpretensi memberikan jawaban definitif atau final
terhadap permasalahan yang kita ajukan. Alasannya tentu bukan karena
kita harus bersikap politically correct, seperti yang diajarkan
moralitas pascamodern. Jawaban definitif akan sulit diberikan karena
argumen yang mengantarkan kita pada jawaban tersebut tak mungkin
diuraikan dalam artikel singkat. Jawaban definitif juga sulit diberikan
karena begitu kita berhadapan dengan problem, yang bukan sekadar pseudo-problem,
berbagai alternatif jawaban yang tersedia kerapkali mengandung resiko
teoretisnya sendiri, mengandung ‘efek samping’-nya sendiri. Karena itu,
jawaban yang akan kita berikan dalam artikel-artikel ini hanyalah
jawaban tentatif yang masih harus diperdebatkan dan ditimbang lagi
konsekuensinya.
Hari-hari ini, para intelektual Marxis memiliki seribu satu jawaban. Padahal apa yang sesungguhnya dibutuhkan adalah pertanyaan.
Apabila dengan mengajukan pertanyaan kita dapat menyumbangkan sesuatu
untuk para kolega Marxis di tanah air, biarlah dengan cara itu rubrik
‘Logika’ ini mengabdi pada Marxisme.***
Indoprogress 28 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar