BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Struktur sosial, politik, dan
ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga
barang naik sekitar 500% selama tahun itu. Diduga, harga beras pada akhir tahun
1965 naik sebesar 900% setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap
dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965 menjadi Rp 17.500,00
pada kuartal ketiga tahun itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal keempat. Di
kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa, kaum komunis maupun yang
antikomunis percaya akan cerita-cerita tentang sedang di persiapkannya
regu-regu pembunuhan dan sedang disusunnya daftar calon-calon korbannya.
Ramalan-ramalan, pertanda-pertanda, dan tindak kekerasan merajalela. Sejak
akhir bulan September, dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di Jakarta
dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 5
Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer.
Pada tanggal 27 September, Yani akhirnya mengumumkan bahwa angkatan darat
menentang pembentukan “angkatan kelima” atau nasakominasasi militer dalam
artian struktural.
Pada tanggal 30 September malam
-1 Oktober 1965, ketegangan-ketegangan meletus karena terjadinya percobaan
kudeta di Jakarta yang kacau sekali perencanaannya. Apa yang terjadi pada malam
itu dari hari-hari berikutnya lumayan jelas. Akan tetapi, masih terus terjadi
perbedaan pendapat yang rumit dan kadang-kadang tajam sekali mengenai siapa
yang mendalangi kejadian-kejadian tersebut dan muslihat-muslihat yang ada di
belakangnya. Rumitnya situasi politik, hubungan-hubungan,
persahabatan-persahabatan, dan perasaan-perasaan benci yang memertalikan
sebagian besar pelaku utamanya satu sama lain, serta sifat yang mencurigakan
dari sebagian besar bukti, membuat kebenaran yang sepenuhnya tidak akan pernah
diketahui. Tampaknya, mustahil bahwa hanya ada satu dalang yang mengendalikan
semua peristiwa itu, dan tafsiran–tafsiran yang berusaha memisahkan hal itu
semata-mata ke PKI, angkatan darat, Sukarno, atau Soeharto harus diwaspadai.
Pada tanggal 1 Oktober tepat
sesudah pukul tujuh, pemberontak mengumumkan melalui radio bahwa “Gerakan 30
September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk melindungi
Sukarno dari kudeta yang direncanakan oleh suatu dewan yang terdiri atas
jenderal-jenderal Jakarta yang korup dan menikmati penghasilan tinggi yang
menjadi kaki tangan Badan Intilijen Pusat Amerika (CIA).
II.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
awal terbentuknya Orde Baru ?
2.
Bagaimana stabilisasi ekonomi yang di rencanakan oleh
pemerintah ?
3.
Bagaimana
REPELITA yang dijalankan Soeharto ?
4.
Bagaimana
politik luar negeri di Indonesia ?
III.
Tujuan
Masalah
Untuk mengetahui masa depan politik Indonesia dan
masalah-masalah yang ada dalam masa pemerintahan Soeharto dengan terbentuknya
Orde Baru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pada
Masa Orde Baru 1966-1998
Pemerintahan Orde Baru lahir
setelah runtuhnya orde lama. Penyebab yang melatar belakangi runtuhnya orde
lama dan lahirnya orde baru adalah keadaan keamanan dalam negri yang tidak
kondusif pada masa orde lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa
pemberontakan G30S PKI.
Gerakan 30 September atau yang
sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh),
Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat
malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu
usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis
Indonesia
Dalam bulan-bulan setelah
peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap
sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan
ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke
kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini
terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali
(bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara
perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang
mengikuti kudeta itu.
Dari kancah sebagai akibat
percobaan kup “Gerakan 30 September” timbullah suatu wawasan baru yang menyusup
masyarakat luas. Wawasan ini bukanlah sesuatu yang radikal menyimpang dari jiwa
kehidupan sebelumnya. Intinya kenyakinan,
bahwa saling memperlihatkan tenggang rasa dan dan menunjukkan kegotong-royongan
adalah cara hidup bangsa Indonesia yang sejati, dan bahwa setiap ideology asing
bertentangan dengan pancasila dianggap sebagai suatu ancaman terhadap cara
hidup bangsa Indonesia.
Persiapan Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan
30 September
Setelah penyusupan kader-kader
PKI ke dalam tubuh aparatur Negara, termasuk ABRI, organisasi politik, dan organisasi
kemasyarakatan mencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, maka PKI mulai
melakukan kegiatan yang disebutnya sebagai tahap ofensif revolusioner.
1.
Sabotase,
Aksi Sepihak, dan Aksi Teror
Upaya
PKI untuk menciptakan suasana revolusioner, selain dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan politik yang menghebat, juga melalui kegiatan-kegiatan
sabotase, aksi sepihak, dan aksi terror.
a)
Tindakan
Sabotase terhadap Transportasi Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan
oleh kaum komunis terhadap sarana-sarana vital Pemerintahan mulai terlihat
sejak bulan januari 1964. Pada tanggal 11 Januari 1964 rangkaian kereta api
rute selatan melanggar sinyal dan langsung menabrak rangkaian gerbong yang
berhenti di stasiun tersebut.
b)
Aksi-aksi
sepihak BTI (barisan tani Indonesia)
Setelah kegiatan HUT ke
44 PKI yang diadakan di Semarang, jawa tengah pada tanggal 23 Mei 1964, ketua
CC PKI D.N. Aidit disertai 58 tokoh PKI, termasuk di dalamnya anggota himpunan
sarjana Indonesia yang berafiliasi dengan PKI, mengadakan gerakan “turun ke
bawah” yang sekaligus melakukan penelitian.
c)
Aksi-Aksi Teror
Aksi Pengganyangan terhadap Manifes Kebudayaan oleh
PKI
Pada tanggal 17 Agustus
1963, 22 sastrawan dan cendekiawan non komunis mencetuskan Manifes Kebudayaan
yang oleh PI disingkat “Manikebu”. Manifest kebudayaan tersebut dimaksudkan
sebagai wadah budayawan yang ingin memumikan kegiatan-kegiatan budaya dari
pengaruh politik
PKI
menggulingkan pemerintah yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh sebab itu tidak
heran sama sekali, bahwa Partai Komunis Indonesia mecanangkan doktrin-doktrin
klasik komunis, seperti tidak dapat dielakkan lagi perjuangan diantar kelas
masyarakat , agama adalah candu di masyarakat, dan keharusan penumbangan secara
kekerasan sebuah pemerintahan komunis non komunis sekarang, dianggap sebagai
sebuah ideology asing bertentangan dengan pancasila. Perbedaan pendapat ini
tidaklah bersifat teori saja, melainkan mengakibatkan perbedaan sikap politik
terhadap PKI pada masa setelah percobaan kup tanggal 1 oktober 1965. Presiden
Soekarno ingin mempertahahankan PKI sekuat tenaga.
Sikap
terhadap PKI sudah tentu bukanlah satu-satunya aspek wawasan baru tersbut.
Namun dalam hubungan dengan kisah percobaan kup “Gerakan 30 September” yang
didalangi oleh PKI, sikap tersebut merupakan aspek paling relevan dan oleh
karena itu dicatat sebagai pokok paling menonjol dalam politik setelah 1
Oktober 1965.Wawasan baru ini di Indonesia disebut Orde Baru. Ditinjau dari
sudut sejarah, wawasan ini mendapat dorongan dari kejadian-kejadian pada
tanggal 1 Oktober 1965. Oleh karena itu sangat tepatlah untuk mengakhiri kisah
percobaan kup “Gerakan #0 September” dengan lahirnya Orde Baru tersebut.
Menjelang
berakhirnya tahun 1965 operasi militer penumpasan terhadap pemberontakan G30
S/PKI dapat dikatakan sudah berakhir. Akan tetapi, penyelesaian politik
terhadap peristiwa tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan
oleh Sukarno. Pada tanggal 25 Oktober 1965, para mahasiswa di Jakarta membentuk
organisasi federasi yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, GMNI, SEMMI, SOMAL,
PELMASI, dan Mapantjas, yang di sponsori oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan dr. Syarif Thayeb. Federasi itu merupakan satu kesatuan aksi dengan
target utama penumpasan Gerakan 30 September (PKI), yang diberi nama Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Dengan
parahnya krisis ekonomi, kesejahteraan rakyat jauh merosot, antara laju inflasi
yang mencapai 650%. Dalam suasana demikian, pada tanggal 13 desember 1965
pemerintah mengumumkan kebijakan baru di bidang ekonomi. Menyadari betapa
gawatnya keadaan ekonomi, pemerintah membentuk dua panitia ad hoc. Tugasnya adalah menyelidiki lebih menyeluruh pengaruh
kenaikan harga dan tarif barang-barang dan jasa. Pada tanggal 31 Desember 1965
Badan Koordinasi Kesatuan Aksi dan Front Pancasila menandatangani naskah deklarasi
mendukung Pancasila, yang pokok isisnya adalah penanggalan persatuan antara
dwitunggal yang terdiri dari rakyat dan ABRI dalam mengamalkan ideologi
pancasila secara murni, serta menolak usaha pembelaan G 30 S/PKI dalam bentuk
apapun.
Kebijakan
pemimpin negara dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan di dalam negeri
dipandang oleh rakyat sebagai suatu kebijakan yang tidak mencerminkan aspirasi
rakyat. Karena ketidakpuasan masyarakat oleh kebijakan pemerintah, maka
terjadilah demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar. Dengan
dipelopori KAMI dimulailah aksi demonstrasi mahasiswa Universitas Indonesia
pada tanggal 10 Januari 1966, yang melanda hampir seluruh jalan di ibu kota
selama kurang lebih 60 hari. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) kepada pemerintah sebagai berikut :
1.
Bubarkan
PKI.
2.
Retool
Kabinet Dwikora.
3.
Turunkan
harga/perbaikan ekonomi.[1]
Setelah terjadi Tritura, maka
muncullah Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk mengatasi krisis politik yang
semakin memuncak, Sukarno memanggil front pancasila, ASu-PNI, dan partindo pada
pertemuan 10 maret 1966. Sebelum pertemuan dilangsungkan, front pancasila sudah
membulatkan tekad akan kompak menghadapi pendukung Sukarno. Pada tanggal 11
maret 1966 kabinet mengadakan sidang paripurna. Sidang bertujuan mencari jalan
keluar dari krisis yang memuncak. Sidang di boikot oleh para demonstran dengan
melakukan pengempisan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju istana.
Menurut Soeharto, gerakan rakyat
tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat
dihilangkan dengan jalan pembubaran PKI yang telah melakukan pemberontakan.
Sebaliknya, Presiden Sukarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI
karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke
seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, perbedaan paham itu tetap
muncul. Pada suatu ketika Soeharto bersedia diri untuk membubarkan PKI asal
mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan
kepada ketiga orang perwira tertinggi yang akan berangkat ke Bogor itu mengacu
kepada kesanggupan itu.
Langkah kedua, tindakan yang
diambil berdasarkan SP 11 Maret adalah dikeluarkannya keputusan Presiden no. 5
tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dinilai terlibat
di dalam pemberontakan G 30 S/PKI atau memperlihatkan iktikad tidak baik dalam
rangka penyelesaian masalah itu. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah,
Suharto mengangkat lima orang menteri kordinator (menko) ad interim yang bersama-sama menjadi Presidium Kabinet.[2]
Setelah kejadian-kejadian 1965
sampai Maret 1966, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Indonesia
sedang berbalik arah, yaitu ideologi kiri ke kanan yang pragmatis, menurut arah
yang menjadi terkenal sebagai “Orde Baru”
Indonesia di bawah pimpinan Soeharto. Tetapi Sukarno masih ada hingga
tahun berikutnya sebagai Presiden Tituler. Demi alasan keamanan, pemerintah
mengasingkannya dengan membatasi Sukarno dalam dua istananya.[3] Orde
Baru terbentuk dengan dukungan yang sangat besar dari kelompok-kelompok yang
ingin terbebas dari kekacauan masa lalu.
Ada beragam pendapat dari para
pengamat dalam dan luar negeri, bahwa sayap kanan yang pro dengan kepemimpinan
Soeharto yang telah mampu membasmi PKI dan mengadopsi kebijakan yang pro-Barat.
Sebaliknya, sayap kiri yang tidak suka dengan kedua kebijakan tersebut. Di
antara para pengamat yang kurang memihak, terdapat banyak pengamat yang di
samping memuji prestasi pemerintahan Soeharto dalam menyeimbangkan ekonomi,
juga mengutuk catatan buruk hak asasi manusia dan korupsi pemerintahan
tersebut.
Orde Baru juga berjanji akan
membangun ekonomi nasional dan meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan.
Orde Baru memang mampu membangun ekonomi nasional, tetapi tidak mampu
meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru mengembangkan gaya
pemerintahan yang paternalistik, namun juga menindas. Orde Baru berusaha
mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan legitimasi, tetapi hanya lewat
cara-cara yang dikendalikan dengan cermat. Sebagian besar pembangunan ekonomi
nasional bergantung pada perusahaan asing dan hanya terjadi pertumbuhan kecil
pada industri pribumi. [4]
Pada awal Maret 1967, sidang istimewa MPRS selama lima hari, yang di
pimpin Jenderal Nasution, menerima laporan resmi dari komite bentukan MPRS
mengenai peranan Sukarno dalam peristiwa Gestapu. Dengan suara bulat, Sukarno
dilepaskan dari semua kekuasaannya, dan Soeharto diangkat menjadi Pejabat
Presiden. Dengan demikian berakhirlah masa delapan belas bulan dualisme dalam
pemerintahan.
Ketika Soeharto memegang tampuk
pemerintahan dalam bulan Maret 1966, ia mempunyai modal kuat : tumpuan kekuatan
militer yang bertambah kokoh, nasihat yang masuk akal dari Adam Malik mengenai
persoalan luar negeri, dan kebijakan-kebijakan kelompok kecil para ahli ekonomi
yang cemerlang, yang kebanyakan diantara mereka menerima pendidikan di
Universitas Kalifornia, sehingga terkenal dengan sebutan “Mafia Berkeley”.[5]
Stabilisasi Ekonomi
Pada awal Orde Baru program
pemerintah (Kabinet Ampera) diarahkan untuk usaha penyelamatan ekonomi nasional
terutama berupa usaha memberantas inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan
pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi sekitar 650% setahun mengharuskan pemerintah
memprioritaskan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Stabilitas berarti pengendalian
inflasi, supaya harga-harga tidak melonjak terus secara cepat, sedangkan
rehabilitasi meliputi secara fisik prasarana, rehabilitasi ekspor, serta
rehabilitasi alat-alat produksi yang banyak mengalami kerusakan. Dengan
rehabilitasi bukan berarti pemerintah membuat jalan-jalan baru, tetapi
memperbaiki jalan yang sudah ada dan memanfaatkan sepenuhnya pabrik yang sudah
ada. Dalam tahun 1950 ekspor Indonesia di luar minyak bumi sekitar 500 juta
dolar sampai 1 miliar dolar. Ekspor tahun 1966 kurang dari 500 juta dolar tanpa
minyak bumi. Adanya kemerosotan ekspor terus-menerus memerlukan rehabilitasi
mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor.
Indonesia mempunyai hutang ke
luar negeri sekitar 2,3 miliar dolar. Pemerintah wajib membayarnya kembali di
dalam tahun 1967, ditambah dengan tunggakan-tunggakan dari tahun-tahun
sebelumnya, jumlahnya diperkirakan sekitar 500 juta dolar.
MPRS menyatakan perlu diadakannya
landasan-landasan baru, dapat dilakukan dengan cara stabilisasi dan
rehabilitasi. Ketetapan No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaan
Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, untuk menanggulangi kemerosotan
ekonomi yang terjadi sejak tahun 1955. Ketetapan ini terdiri dari 10 bab dan 71
pasal sebagai berikut ?
1.
Landasan
dan prinsip kebijaksanaan ekonomi, keuangan, dan pembangunan;
2.
Kebijakan
ekonomi;
3.
Skala
prioritas nasional;
4.
Peran
pemerintah;
5.
Peran
koperasi;
6.
Peran
swasta nasional;
7.
Kebijakan
pembiayaan;
8.
Hubungan
ekonomi luar neger;
9.
Prasyarat;
10.
Penutup.
Dengan ketetapan ini MPRS
menggariskan bahwa pemerintah harus mengadakan pembaruan landasan ekonomi,
yaitu dari ekonomi terpimpin ke demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi menurut
Widjojo Nitisastro berarti produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan dan
penilikan anggota masyarakat. Ekonomi disusun atas dasar kekluargaan, tidak ada
pertentangan kelas.
MPRS menydari bahwa kemerosotan
ekonomi yang berlarut-larut itu disebabkan oleh :
a.
Tidak
adanya pengawasan yang efektif dari DPR terhadap kebijakan ekonomi;
b.
Kepentingan
ekonomi dikalahkan oleh kepentingan politik;
c.
Pemikiran
ekonomi yang rasional untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dikesampingkan.
Selanjutnya MPRS menggariskan
tiga macam program yang harus diselesaikan oleh pemerintah secara bertahap,
yaitu :
a.
Program
penyelamatan;
b.
Program
stabilisasi dan rehabilitasi;
c.
Program
pembangunan.
Pemerintah menetapkan bahwa
penentuan harga barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan negara diserahkan
sepenuhnya pertanggungjawabannya kepada pimpinan perusahaan negara dengan beberapa
pengecualian, diantaranya minyak bumi dan listrik. Kebijakan-kebijakan itu
bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan
pangan.
Guna membulatkan usaha
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta mempersiapkan landasan pembangunan,
pemerintah mengesahkan RUU APBN 1968 menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 1967.
Undang-Undang APBN ini disahkan sebelum tahun anggaran dimulai. Pada
tahun-tahun sebelumnya digunakan sistem deficit
spending dan penerimaan dan
pengeluaran negara, sedangkan APBN 1967 digunakan prinsip anggaran berimbang (balanced budget), bahwa besarnya belanja
negara berimbang dengan besarnya pendapatan negara.
Dengan APBN tersebut pemerintah
menga,bil kebijakan agar hasil penerimaan pemerintah digunakan untuk belanja
rutin pemerintah, sedangkan bantuan luar negeri digunakan untuk belanja
pembangunan.[6]
Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita)
a)
Pola
Dasar Pembangunan Nasional dan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang
Pembangunan adalah proses
perubahan yang terus-menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju
tujuan yang ingin dicapai. Dalam pembangunan nasional Indonesia, tujuan yang
ingin dicapai adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata
material dan spiritual berdasarkan pancasila.
Tujuan pembangunan nasional
Indonesia, yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur, tidak mungkin
diwujudkan dalam waktu yang singkat, sebaliknya, harus dilakukan dalam jangka
waktu panjang dan melalui beberapa tahapan. Dalam pola dasar pembangunan
nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia.
b)
Repelita
I dan Pelaksanaannya
Repelita tahap pertama dimulai
pada tanggal 1 April 1969 setelah berhasilnya usaha-usaha stabilitas di bidang
politik dan ekonomi yang dilancarkan sejak Oktober 1966. Tujuan Repelita I
ialah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakan dasar-dasar bagi
pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya, sedangkan sasaran yang hendak dicapai
ialah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, peluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pembangunan dalam Replita tahap
pertama diarahkan kepada tiga bidang yang strategis, yakni pertanian, industry,
dan pertambangan, serta prasarana. Pertumbuhan salah satu bidang berkaitan dan
memengaruhi bidang lainnya. Dari pertumbuhan bidang-bidang tersebut muncul
kebutuhan akan tenaga kerja dan tenaga ahli. Dalam Replita tahap pertama juga
dilaksanakan program keluarga berencana (KB) karena ketika itu ekonomi
Indonesia masih sangat lemah dan penduduk yang terlalu banyak sehingga
pendapatan per kapita penduduk tidak mencukupi dan hal itu akan mengganggu
stabilitas ekonomi dan dapat pula mengganggu stabilitas keamanan.
c)
Repelita
II dan Pelaksanaannya
Repelita II dimulai pada tanggal
1 April 1974. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam Repelita I merupakan titik
tolak bagi pelaksanaan Repelita II. Sasaran utama Repelita II ialah tersedianya
pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang bertambah baik lagi pula
terbeli oleh masyarakat umumnya dan tersedianya bahan-bahan perumahan dan
fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan , terutama kepentingan rakyat banyak.
Untuk mencapai sasaran tersebut, produksi sector pertanian harus meningkat
sekit 4,6% setahun, sector indsutri sekitar 13%, pertambangan 10,1%,
perhubungan 10%, bangunan sekitar 9,2%, dan sector lain-lainnya sekitar 7,7%.
Dalam pembangunan ekonomi
Indonesia terdapat tiga sector yang harus dikembangkan, yakni sector Negara,
swasta, dan sector koperasi. Selama Repelita II telah berhasil membangun 70.000
rumah inti dan rumah sederhana yang dikoordinasikan oleh perusahaan umum
pembangunan perumahan nasional (Perumnas). Di bidang pendidikan, Repelita II juga
berhasil melampaui target yang sudah ditentukan, baik dalam hal pembangunan
gedung-gedung sekolah baru, rehabilitasi, pengangkatan guru, penyediaan
buku-buku pelajaran, maupun dalam hal peningkatan mutu pendidikan.
d)
Repelita
III dan Pelaksanaannya
Repelita III dimulai 1 April 1979
dan akan berakhir pada 31 Maret 1984. Seperti Repelita I dan II, pembangunan
dalam Repelita III berdasarkan pada trilogy pembangunan dengan tekanan pada
segi pemerataan. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat erat kaitannya
dengan masalah produksi pangan.
Selama Repelita III, kesempatan
kerja akan diperluas antara lain melalui proyek padat karya guna baru dengan
sasaran utama meperluas kesempatan kerja produktif dalam pembangunan atau
rehabilitasi sarana ekonomi. Usaha perbaikan kesehatan terutama ditujukan untuk
meningkatkan pemberantasan penyakit menular, penyakit masyarakat, peningkatan
gizi, dan peningkatan sanitasi lingkungan.
Dengan pembangunan nasional yang
dirancang secara terpadu dan selalu dipantau perkembangan implementasi serta
memperhatikan para pesaing dari Negara lain, Indonesia dituntut siap melakukan
penyesuaian-penyesuaian kebijakan ekonomi agar efisiensi ekonomi dapat
ditingkatkan.[7]
Politik Luar Negeri
Republik Indonesia
a)
Pelaksanaan
Politik Bebas Aktif
Dalam bidang politik luar negeri,
penyelewengan terhadap politik bebas-aktif telah terjadi dengan dicetuskannya
Manifesto Politik Republik Indonesia.
Untuk menghindari terulangnya kembali pengalaman pahit masa lampau itu,
tugas dan kewajiban politik luar negeri orde baru adalah mengoreksi semua
penyelewengan pada masa demokrasi terpimpin.
Sesuai dengan kepentingan
nasional, politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif tidak
dibenarkan memihak pada salah satu blok ideology yang ada. Sejak tahun 1967,
pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif telah diterapkan secara konkret
dalam menanggapi masalah-masalah internasional yang timbul, seperti masalah
Vietnam, Timur Tengah, dan lain-lain. Sebagai Negara yang sedang berkembang,
Indonesia membutuhkan bantuan keuangan dari luar negeri untuk menunkang
pembiayaan pembangunannya, khususnya di bidang ekonomi.
b) Kerja Sama Regional :
ASEAN
Menjelang berakhirnya konfrontasi
pada tahun 1966, pemimoin bangsa Asia Tenggara makin merasakan perlunya membentuk
suatu kerja sama regional untuk memperkuat kedudukan dan kestabilan
sosial-ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Bergabungnya Indonesia dengan ASEAN
tidak berarti telah menyelewengkan kebijakan politik bebas dan aktif. ASEAN
bukan merupakan suatu pakta militer seperti SEATO. Dengan berdirinya ASEAN
diharapkan Negara-negara anggotanya dapat membentuk suatu pandangan politik
yang sama atau setidaknya parallel dalam menanggapi persoalan-persoalan di
dalam maupun di luar negeri, tanpa mengingatkan diri dalam suatu pakta militer.
c)
Memelihara
Keamanan dan Stabilitas Asia Tenggara
Bersamaan dengan usaha stabilitas
di dalam negeri, pemerintah Indonesia juga berusaha mengisi politik luar
negerinya. Politik bebas dan aktif telah diisi dengan politik bertetangga baik,
hidup berdampingan secara damai, dan bekerja sama saling menguntungkan dengan
Negara-negara tetangga. Kondisis keamanan, stabilitas politik, dan pertumbuhan
ekonomi menjadikan Indonesia semakin percaya diri dalam kiprahnya di dunia
internasional.
Untuk melaksanakan partisipasinya
dalam ICCS itu, Indonesia sejak januari 1973 hingga april 1975 telah
mengirimkan tiga kali misi perdamaian secara bergatian. Dalam melaksanakan
tugasnya, ICCS mengalami banyak kesulitan karena dalam persetujuan Paris mengenai
perdamaian di Vietnam itu banyak terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan.
Untuk memperluas daerah netral di
Asia Tenggara, Indonesia dan India pada bulan april 1973 menyeruhkan
dihapuskannya campur tangan Negara-negara besar itu di samudera hindia. Hilangnya
permusuhan antara Negara-negara besar itu akan memberikan keamanan dan
stabilitasi di kawasan Asia Tenggara. Inisiatif internasional Indonesia paling
menonjol di kawasan Asia Tenggara saat ASEAN menghadapi masalah diplomasi
regional besar pertamanya, yaitu penduduk Vietnam atas Kamboja pada akhir 1978.[8]
d)
Hubungan
Amerika Serikat – Indonesia, 1965-1991
Hubungan AS-Indonesia pada Masa Pemerintahan Lyndon
Johnson (1965-1968)
Sewaktu G-30S/PKI melakukan
percobaan kupnya di Indonesia, presiden Johnson sedang menghadapi perang di
Vietnam dan perlawanan terhadap komunisme di Asia dibawah pimpinan Cina,
sehingga munculnya perkembangan anti komunisme di Indonesia sebagai Negara yang
beraliansi dengan Beijing dan mempunyai PKI yang pengaruh politiknya sangat
kuat di dalam negeri, tentu diterima dengan tangan terbuka.
Bantuan pertama AS memang dibidang
rehabilitasi ekonomi yang sedang parah, terutama situasi pangan dan kehancuran
moneter dengan inflasi lebih kurang 660% pada tahun 1966. Bantuan itu antara
lain berupa “food for work” di Jawa Tengah dan penundaan hutang-hutang luar
negeri yang di pelopori AS melalui pertemuan-pertemuan di Paris dan Tokyo, lalu
kemudian dilanjutkan dengan IGGI. Maka sejak semula memang dirasakan bahwa
hubungan bilateral AS-Indonesia ditangani oleh orang-rang yang professional
dank arena itu hubungan AS-Indonesia dapat dilakukan secara “tepat”.
Hal itu dibantu oleh kenyataan
bahwa hubungan Indonesia-AS bukanlah hubungan antar sekutu, karena pada setiap
waktu Indonesia selalu menunjukkan prinsip-prinsip “non-aligned”-nya terhadap
AS, meskipun pada masa orde baru Indonesia menunjukkan sikap bersahabat dan
bukan bermusuhan seperti pada masa orde lama.[9]
Krisis moneter yang melanda
Thailand pada awal Juli 1997 merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang
nilai tukar mata uang negara-negara di Asia seperti Malaysia, Filipina dan
Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp 2.500/US $ terus
mengalami kemerosotan hingga 9%.
Presiden Soeharto meminta bantuan
kepada IMF berjumlah US $43 miliar. Perjanjiannya di lakukan pada bulan Oktober
1997, memaksa pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan kebijakan. Di
antaranya, penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta, namun usaha ini
tidak membawa suatu pemecahan masalah.
Bank
Indonesia yang telah melakukan intervensi agresif guna mendongkrak nilai
rupiah, mengakui lembaga tersebut tidak mampu membendung rupiah yang terus
merosot. Pada bulan Oktober 1997 nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp
4.000/US $, pada bulan Januari 1998 rupiah terus melemah hingga level sekitar
Rp 17.000/US $. Kondisi ini berdampak pada hancurnya bursa saham Jakarta,
bangkrutnya perusahaan modern di Indonesia yang menyebabkan terjadinya PHK
secara besar-besaran.
BAB
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Pada masa Orde Baru Soeharto
merencanakan Pembangunan Lima Tahun, yang tujuannya adalah agar terciptanya
masyarakat adil dan makmur, tidak mungkin diwujudkan dalam waktu yang singkat,
sebaliknya, harus dilakukan dalam jangka waktu panjang dan melalui beberapa
tahapan. Dalam pola dasar pembangunan nasional dinyatakan bahwa pembangunan
nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Tetapi karena perencanaan
tersebut, negara mempunyai hutang yang banyak kepada negara asing, yang
menyebabkan pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis moneter yang sangat
parah. Oleh sebab itu, Soeharto lengser dari kepresidenan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Poesponegoro,
Marwati D, Notosusanto Nugroho. Sejarah
Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik, Jakarta, Balai
Pustaka 2010.
Ø
Bandoro,
Bantarto. Hubungan Luar Negeri Indonesia
Selama Orde Baru, Jakarta, Centre for Strategic and International Studies
1994.
Ø
Sekretariat
Negara Republik Indonesia. Gerakan 30
September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta 1994.
Ø
M.C.
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008, Jakarta, Serambi 2008.
Ø
Green,
Marshall. Dari Sukarno Ke Soeharto, Jakarta
: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Ø
Notosusanto, Nugroho, Tragedi Nasional Percobaan KUP G
30 S/PKI Di Indonesia, Jakarta, Intermasa, 1990.
[1] Marwati Djoened Pusponegoro, Sejarah
Indonesia ModernVI, 2010, hlm. 543
[2] Marwati Djoened Pusponegoro, op.
cit., 2010, hlm. 548
[3] Marshall Green, Dari Sukarno Ke Soeharto, hlm. 99
[4] M.C. Ricklefs , Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008, hlm. 587
[6] Marwati Djoened Pusponegoro, op.
cit, hlm. 565
[7] Marwati Djoened Pusponegoro, op.
cit., hlm. 574
[9] Bantarto Bandoro, Hubungan Luar
Negeri Indonesia Selama Orde Baru, 1994, hlm. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar