Sabtu, 15 Juni 2013

Sistem Demokrasi Indonesia Yang Tengah Mencari Bentuknya: Orde Baru




BAB I
PENDAHULUAN
I.          Latar Belakang
Struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500% selama tahun itu. Diduga, harga beras pada akhir tahun 1965 naik sebesar 900% setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965 menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal ketiga tahun itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal keempat. Di kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa, kaum komunis maupun yang antikomunis percaya akan cerita-cerita tentang sedang di persiapkannya regu-regu pembunuhan dan sedang disusunnya daftar calon-calon korbannya. Ramalan-ramalan, pertanda-pertanda, dan tindak kekerasan merajalela. Sejak akhir bulan September, dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di Jakarta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 5 Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 27 September, Yani akhirnya mengumumkan bahwa angkatan darat menentang pembentukan “angkatan kelima” atau nasakominasasi militer dalam artian struktural.
Pada tanggal 30 September malam -1 Oktober 1965, ketegangan-ketegangan meletus karena terjadinya percobaan kudeta di Jakarta yang kacau sekali perencanaannya. Apa yang terjadi pada malam itu dari hari-hari berikutnya lumayan jelas. Akan tetapi, masih terus terjadi perbedaan pendapat yang rumit dan kadang-kadang tajam sekali mengenai siapa yang mendalangi kejadian-kejadian tersebut dan muslihat-muslihat yang ada di belakangnya. Rumitnya situasi politik, hubungan-hubungan, persahabatan-persahabatan, dan perasaan-perasaan benci yang memertalikan sebagian besar pelaku utamanya satu sama lain, serta sifat yang mencurigakan dari sebagian besar bukti, membuat kebenaran yang sepenuhnya tidak akan pernah diketahui. Tampaknya, mustahil bahwa hanya ada satu dalang yang mengendalikan semua peristiwa itu, dan tafsiran–tafsiran yang berusaha memisahkan hal itu semata-mata ke PKI, angkatan darat, Sukarno, atau Soeharto harus diwaspadai.
Pada tanggal 1 Oktober tepat sesudah pukul tujuh, pemberontak mengumumkan melalui radio bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk melindungi Sukarno dari kudeta yang direncanakan oleh suatu dewan yang terdiri atas jenderal-jenderal Jakarta yang korup dan menikmati penghasilan tinggi yang menjadi kaki tangan Badan Intilijen Pusat Amerika (CIA).



II.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana awal terbentuknya Orde Baru ?
2.    Bagaimana stabilisasi ekonomi yang di rencanakan oleh pemerintah ?
3.    Bagaimana REPELITA yang dijalankan Soeharto ?
4.    Bagaimana politik luar negeri di Indonesia ?


III.     Tujuan Masalah
Untuk mengetahui masa depan politik Indonesia dan masalah-masalah yang ada dalam masa pemerintahan Soeharto dengan terbentuknya Orde Baru.



























BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pada Masa Orde Baru 1966-1998

Pemerintahan Orde Baru lahir setelah runtuhnya orde lama. Penyebab yang melatar belakangi runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru adalah keadaan keamanan dalam negri yang tidak kondusif pada masa orde lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dari kancah sebagai akibat percobaan kup “Gerakan 30 September” timbullah suatu wawasan baru yang menyusup masyarakat luas. Wawasan ini bukanlah sesuatu yang radikal menyimpang dari jiwa kehidupan  sebelumnya. Intinya kenyakinan, bahwa saling memperlihatkan tenggang rasa dan dan menunjukkan kegotong-royongan adalah cara hidup bangsa Indonesia yang sejati, dan bahwa setiap ideology asing bertentangan dengan pancasila dianggap sebagai suatu ancaman terhadap cara hidup bangsa Indonesia.

Persiapan Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September
Setelah penyusupan kader-kader PKI ke dalam tubuh aparatur Negara, termasuk ABRI, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan mencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, maka PKI mulai melakukan kegiatan yang disebutnya sebagai tahap ofensif revolusioner.
1.      Sabotase, Aksi Sepihak, dan Aksi Teror
Upaya PKI untuk menciptakan suasana revolusioner, selain dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik yang menghebat, juga melalui kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak, dan aksi terror.
a)         Tindakan Sabotase terhadap Transportasi Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan oleh kaum komunis terhadap sarana-sarana vital Pemerintahan mulai terlihat sejak bulan januari 1964. Pada tanggal 11 Januari 1964 rangkaian kereta api rute selatan melanggar sinyal dan langsung menabrak rangkaian gerbong yang berhenti di stasiun tersebut.

b)            Aksi-aksi sepihak BTI (barisan tani Indonesia)
Setelah kegiatan HUT ke 44 PKI yang diadakan di Semarang, jawa tengah pada tanggal 23 Mei 1964, ketua CC PKI D.N. Aidit disertai 58 tokoh PKI, termasuk di dalamnya anggota himpunan sarjana Indonesia yang berafiliasi dengan PKI, mengadakan gerakan “turun ke bawah” yang sekaligus melakukan penelitian.

c)         Aksi-Aksi Teror
Aksi Pengganyangan terhadap Manifes Kebudayaan oleh PKI
Pada tanggal 17 Agustus 1963, 22 sastrawan dan cendekiawan non komunis mencetuskan Manifes Kebudayaan yang oleh PI disingkat “Manikebu”. Manifest kebudayaan tersebut dimaksudkan sebagai wadah budayawan yang ingin memumikan kegiatan-kegiatan budaya dari pengaruh politik
PKI menggulingkan pemerintah yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh sebab itu tidak heran sama sekali, bahwa Partai Komunis Indonesia mecanangkan doktrin-doktrin klasik komunis, seperti tidak dapat dielakkan lagi perjuangan diantar kelas masyarakat , agama adalah candu di masyarakat, dan keharusan penumbangan secara kekerasan sebuah pemerintahan komunis non komunis sekarang, dianggap sebagai sebuah ideology asing bertentangan dengan pancasila. Perbedaan pendapat ini tidaklah bersifat teori saja, melainkan mengakibatkan perbedaan sikap politik terhadap PKI pada masa setelah percobaan kup tanggal 1 oktober 1965. Presiden Soekarno ingin mempertahahankan PKI sekuat tenaga.
Sikap terhadap PKI sudah tentu bukanlah satu-satunya aspek wawasan baru tersbut. Namun dalam hubungan dengan kisah percobaan kup “Gerakan 30 September” yang didalangi oleh PKI, sikap tersebut merupakan aspek paling relevan dan oleh karena itu dicatat sebagai pokok paling menonjol dalam politik setelah 1 Oktober 1965.Wawasan baru ini di Indonesia disebut Orde Baru. Ditinjau dari sudut sejarah, wawasan ini mendapat dorongan dari kejadian-kejadian pada tanggal 1 Oktober 1965. Oleh karena itu sangat tepatlah untuk mengakhiri kisah percobaan kup “Gerakan #0 September” dengan lahirnya Orde Baru tersebut.
Menjelang berakhirnya tahun 1965 operasi militer penumpasan terhadap pemberontakan G30 S/PKI dapat dikatakan sudah berakhir. Akan tetapi, penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Sukarno. Pada tanggal 25 Oktober 1965, para mahasiswa di Jakarta membentuk organisasi federasi yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, GMNI, SEMMI, SOMAL, PELMASI, dan Mapantjas, yang di sponsori oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dr. Syarif Thayeb. Federasi itu merupakan satu kesatuan aksi dengan target utama penumpasan Gerakan 30 September (PKI), yang diberi nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Dengan parahnya krisis ekonomi, kesejahteraan rakyat jauh merosot, antara laju inflasi yang mencapai 650%. Dalam suasana demikian, pada tanggal 13 desember 1965 pemerintah mengumumkan kebijakan baru di bidang ekonomi. Menyadari betapa gawatnya keadaan ekonomi, pemerintah membentuk dua panitia ad hoc. Tugasnya adalah menyelidiki lebih menyeluruh pengaruh kenaikan harga dan tarif barang-barang dan jasa. Pada tanggal 31 Desember 1965 Badan Koordinasi Kesatuan Aksi dan Front Pancasila menandatangani naskah deklarasi mendukung Pancasila, yang pokok isisnya adalah penanggalan persatuan antara dwitunggal yang terdiri dari rakyat dan ABRI dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni, serta menolak usaha pembelaan G 30 S/PKI dalam bentuk apapun.
Kebijakan pemimpin negara dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan di dalam negeri dipandang oleh rakyat sebagai suatu kebijakan yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Karena ketidakpuasan masyarakat oleh kebijakan pemerintah, maka terjadilah demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar. Dengan dipelopori KAMI dimulailah aksi demonstrasi mahasiswa Universitas Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966, yang melanda hampir seluruh jalan di ibu kota selama kurang lebih 60 hari. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) kepada pemerintah sebagai berikut :
1.    Bubarkan PKI.
2.    Retool Kabinet Dwikora.
3.    Turunkan harga/perbaikan ekonomi.[1]

Setelah terjadi Tritura, maka muncullah Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk mengatasi krisis politik yang semakin memuncak, Sukarno memanggil front pancasila, ASu-PNI, dan partindo pada pertemuan 10 maret 1966. Sebelum pertemuan dilangsungkan, front pancasila sudah membulatkan tekad akan kompak menghadapi pendukung Sukarno. Pada tanggal 11 maret 1966 kabinet mengadakan sidang paripurna. Sidang bertujuan mencari jalan keluar dari krisis yang memuncak. Sidang di boikot oleh para demonstran dengan melakukan pengempisan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju istana.
Menurut Soeharto, gerakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan pembubaran PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya, Presiden Sukarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto bersedia diri untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tertinggi yang akan berangkat ke Bogor itu mengacu kepada kesanggupan itu.
Langkah kedua, tindakan yang diambil berdasarkan SP 11 Maret adalah dikeluarkannya keputusan Presiden no. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan G 30 S/PKI atau memperlihatkan iktikad tidak baik dalam rangka penyelesaian masalah itu. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah, Suharto mengangkat lima orang menteri kordinator (menko) ad interim yang bersama-sama menjadi Presidium Kabinet.[2]
Setelah kejadian-kejadian 1965 sampai Maret 1966, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Indonesia sedang berbalik arah, yaitu ideologi kiri ke kanan yang pragmatis, menurut arah yang menjadi terkenal sebagai “Orde Baru”  Indonesia di bawah pimpinan Soeharto. Tetapi Sukarno masih ada hingga tahun berikutnya sebagai Presiden Tituler. Demi alasan keamanan, pemerintah mengasingkannya dengan membatasi Sukarno dalam dua istananya.[3] Orde Baru terbentuk dengan dukungan yang sangat besar dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu.
 Ada beragam pendapat dari para pengamat dalam dan luar negeri, bahwa sayap kanan yang pro dengan kepemimpinan Soeharto yang telah mampu membasmi PKI dan mengadopsi kebijakan yang pro-Barat. Sebaliknya, sayap kiri yang tidak suka dengan kedua kebijakan tersebut. Di antara para pengamat yang kurang memihak, terdapat banyak pengamat yang di samping memuji prestasi pemerintahan Soeharto dalam menyeimbangkan ekonomi, juga mengutuk catatan buruk hak asasi manusia dan korupsi pemerintahan tersebut.
Orde Baru juga berjanji akan membangun ekonomi nasional dan meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru memang mampu membangun ekonomi nasional, tetapi tidak mampu meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik, namun juga menindas. Orde Baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan legitimasi, tetapi hanya lewat cara-cara yang dikendalikan dengan cermat. Sebagian besar pembangunan ekonomi nasional bergantung pada perusahaan asing dan hanya terjadi pertumbuhan kecil pada industri pribumi. [4]
Pada awal Maret 1967,  sidang istimewa MPRS selama lima hari, yang di pimpin Jenderal Nasution, menerima laporan resmi dari komite bentukan MPRS mengenai peranan Sukarno dalam peristiwa Gestapu. Dengan suara bulat, Sukarno dilepaskan dari semua kekuasaannya, dan Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden. Dengan demikian berakhirlah masa delapan belas bulan dualisme dalam pemerintahan.
Ketika Soeharto memegang tampuk pemerintahan dalam bulan Maret 1966, ia mempunyai modal kuat : tumpuan kekuatan militer yang bertambah kokoh, nasihat yang masuk akal dari Adam Malik mengenai persoalan luar negeri, dan kebijakan-kebijakan kelompok kecil para ahli ekonomi yang cemerlang, yang kebanyakan diantara mereka menerima pendidikan di Universitas Kalifornia, sehingga terkenal dengan sebutan “Mafia Berkeley”.[5]

Stabilisasi Ekonomi
Pada awal Orde Baru program pemerintah (Kabinet Ampera) diarahkan untuk usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama berupa usaha memberantas inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi sekitar 650% setahun mengharuskan pemerintah memprioritaskan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Stabilitas berarti pengendalian inflasi, supaya harga-harga tidak melonjak terus secara cepat, sedangkan rehabilitasi meliputi secara fisik prasarana, rehabilitasi ekspor, serta rehabilitasi alat-alat produksi yang banyak mengalami kerusakan. Dengan rehabilitasi bukan berarti pemerintah membuat jalan-jalan baru, tetapi memperbaiki jalan yang sudah ada dan memanfaatkan sepenuhnya pabrik yang sudah ada. Dalam tahun 1950 ekspor Indonesia di luar minyak bumi sekitar 500 juta dolar sampai 1 miliar dolar. Ekspor tahun 1966 kurang dari 500 juta dolar tanpa minyak bumi. Adanya kemerosotan ekspor terus-menerus memerlukan rehabilitasi mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor.
Indonesia mempunyai hutang ke luar negeri sekitar 2,3 miliar dolar. Pemerintah wajib membayarnya kembali di dalam tahun 1967, ditambah dengan tunggakan-tunggakan dari tahun-tahun sebelumnya, jumlahnya diperkirakan sekitar 500 juta dolar.
MPRS menyatakan perlu diadakannya landasan-landasan baru, dapat dilakukan dengan cara stabilisasi dan rehabilitasi. Ketetapan No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak tahun 1955. Ketetapan ini terdiri dari 10 bab dan 71 pasal sebagai berikut ?
1.    Landasan dan prinsip kebijaksanaan ekonomi, keuangan, dan pembangunan;
2.    Kebijakan ekonomi;
3.    Skala prioritas nasional;
4.    Peran pemerintah;
5.    Peran koperasi;
6.    Peran swasta nasional;
7.    Kebijakan pembiayaan;
8.    Hubungan ekonomi luar neger;
9.    Prasyarat;
10.                   Penutup.

Dengan ketetapan ini MPRS menggariskan bahwa pemerintah harus mengadakan pembaruan landasan ekonomi, yaitu dari ekonomi terpimpin ke demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi menurut Widjojo Nitisastro berarti produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan dan penilikan anggota masyarakat. Ekonomi disusun atas dasar kekluargaan, tidak ada pertentangan kelas.
MPRS menydari bahwa kemerosotan ekonomi yang berlarut-larut itu disebabkan oleh :
a.    Tidak adanya pengawasan yang efektif dari DPR terhadap kebijakan ekonomi;
b.    Kepentingan ekonomi dikalahkan oleh kepentingan politik;
c.    Pemikiran ekonomi yang rasional untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dikesampingkan.

Selanjutnya MPRS menggariskan tiga macam program yang harus diselesaikan oleh pemerintah secara bertahap, yaitu :
a.    Program penyelamatan;
b.    Program stabilisasi dan rehabilitasi;
c.    Program pembangunan.

Pemerintah menetapkan bahwa penentuan harga barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan negara diserahkan sepenuhnya pertanggungjawabannya kepada pimpinan perusahaan negara dengan beberapa pengecualian, diantaranya minyak bumi dan listrik. Kebijakan-kebijakan itu bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
Guna membulatkan usaha stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta mempersiapkan landasan pembangunan, pemerintah mengesahkan RUU APBN 1968 menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 1967. Undang-Undang APBN ini disahkan sebelum tahun anggaran dimulai. Pada tahun-tahun sebelumnya digunakan sistem deficit spending  dan penerimaan dan pengeluaran negara, sedangkan APBN 1967 digunakan prinsip anggaran berimbang (balanced budget), bahwa besarnya belanja negara berimbang dengan besarnya pendapatan negara.
Dengan APBN tersebut pemerintah menga,bil kebijakan agar hasil penerimaan pemerintah digunakan untuk belanja rutin pemerintah, sedangkan bantuan luar negeri digunakan untuk belanja pembangunan.[6]

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
a)    Pola Dasar Pembangunan Nasional dan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang
Pembangunan adalah proses perubahan yang terus-menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju tujuan yang ingin dicapai. Dalam pembangunan nasional Indonesia, tujuan yang ingin dicapai adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila.
Tujuan pembangunan nasional Indonesia, yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur, tidak mungkin diwujudkan dalam waktu yang singkat, sebaliknya, harus dilakukan dalam jangka waktu panjang dan melalui beberapa tahapan. Dalam pola dasar pembangunan nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

b)   Repelita I dan Pelaksanaannya
Repelita tahap pertama dimulai pada tanggal 1 April 1969 setelah berhasilnya usaha-usaha stabilitas di bidang politik dan ekonomi yang dilancarkan sejak Oktober 1966. Tujuan Repelita I ialah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya, sedangkan sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, peluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pembangunan dalam Replita tahap pertama diarahkan kepada tiga bidang yang strategis, yakni pertanian, industry, dan pertambangan, serta prasarana. Pertumbuhan salah satu bidang berkaitan dan memengaruhi bidang lainnya. Dari pertumbuhan bidang-bidang tersebut muncul kebutuhan akan tenaga kerja dan tenaga ahli. Dalam Replita tahap pertama juga dilaksanakan program keluarga berencana (KB) karena ketika itu ekonomi Indonesia masih sangat lemah dan penduduk yang terlalu banyak sehingga pendapatan per kapita penduduk tidak mencukupi dan hal itu akan mengganggu stabilitas ekonomi dan dapat pula mengganggu stabilitas keamanan.

c)    Repelita II dan Pelaksanaannya
Repelita II dimulai pada tanggal 1 April 1974. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam Repelita I merupakan titik tolak bagi pelaksanaan Repelita II. Sasaran utama Repelita II ialah tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang bertambah baik lagi pula terbeli oleh masyarakat umumnya dan tersedianya bahan-bahan perumahan dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan , terutama kepentingan rakyat banyak. Untuk mencapai sasaran tersebut, produksi sector pertanian harus meningkat sekit 4,6% setahun, sector indsutri sekitar 13%, pertambangan 10,1%, perhubungan 10%, bangunan sekitar 9,2%, dan sector lain-lainnya sekitar 7,7%.
Dalam pembangunan ekonomi Indonesia terdapat tiga sector yang harus dikembangkan, yakni sector Negara, swasta, dan sector koperasi. Selama Repelita II telah berhasil membangun 70.000 rumah inti dan rumah sederhana yang dikoordinasikan oleh perusahaan umum pembangunan perumahan nasional (Perumnas). Di bidang pendidikan, Repelita II juga berhasil melampaui target yang sudah ditentukan, baik dalam hal pembangunan gedung-gedung sekolah baru, rehabilitasi, pengangkatan guru, penyediaan buku-buku pelajaran, maupun dalam hal peningkatan mutu pendidikan.

d)   Repelita III dan Pelaksanaannya
Repelita III dimulai 1 April 1979 dan akan berakhir pada 31 Maret 1984. Seperti Repelita I dan II, pembangunan dalam Repelita III berdasarkan pada trilogy pembangunan dengan tekanan pada segi pemerataan. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat erat kaitannya dengan masalah produksi pangan.
Selama Repelita III, kesempatan kerja akan diperluas antara lain melalui proyek padat karya guna baru dengan sasaran utama meperluas kesempatan kerja produktif dalam pembangunan atau rehabilitasi sarana ekonomi. Usaha perbaikan kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan pemberantasan penyakit menular, penyakit masyarakat, peningkatan gizi, dan peningkatan sanitasi lingkungan.
Dengan pembangunan nasional yang dirancang secara terpadu dan selalu dipantau perkembangan implementasi serta memperhatikan para pesaing dari Negara lain, Indonesia dituntut siap melakukan penyesuaian-penyesuaian kebijakan ekonomi agar efisiensi ekonomi dapat ditingkatkan.[7]




Politik Luar Negeri Republik Indonesia
a)    Pelaksanaan Politik Bebas Aktif
Dalam bidang politik luar negeri, penyelewengan terhadap politik bebas-aktif telah terjadi dengan dicetuskannya Manifesto Politik Republik Indonesia.  Untuk menghindari terulangnya kembali pengalaman pahit masa lampau itu, tugas dan kewajiban politik luar negeri orde baru adalah mengoreksi semua penyelewengan pada masa demokrasi terpimpin.
Sesuai dengan kepentingan nasional, politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak pada salah satu blok ideology yang ada. Sejak tahun 1967, pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif telah diterapkan secara konkret dalam menanggapi masalah-masalah internasional yang timbul, seperti masalah Vietnam, Timur Tengah, dan lain-lain. Sebagai Negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan bantuan keuangan dari luar negeri untuk menunkang pembiayaan pembangunannya, khususnya di bidang ekonomi.

b)   Kerja Sama Regional : ASEAN
Menjelang berakhirnya konfrontasi pada tahun 1966, pemimoin bangsa Asia Tenggara makin merasakan perlunya membentuk suatu kerja sama regional untuk memperkuat kedudukan dan kestabilan sosial-ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Bergabungnya Indonesia dengan ASEAN tidak berarti telah menyelewengkan kebijakan politik bebas dan aktif. ASEAN bukan merupakan suatu pakta militer seperti SEATO. Dengan berdirinya ASEAN diharapkan Negara-negara anggotanya dapat membentuk suatu pandangan politik yang sama atau setidaknya parallel dalam menanggapi persoalan-persoalan di dalam maupun di luar negeri, tanpa mengingatkan diri dalam suatu pakta militer.

c)    Memelihara Keamanan dan Stabilitas Asia Tenggara
Bersamaan dengan usaha stabilitas di dalam negeri, pemerintah Indonesia juga berusaha mengisi politik luar negerinya. Politik bebas dan aktif telah diisi dengan politik bertetangga baik, hidup berdampingan secara damai, dan bekerja sama saling menguntungkan dengan Negara-negara tetangga. Kondisis keamanan, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi menjadikan Indonesia semakin percaya diri dalam kiprahnya di dunia internasional.
Untuk melaksanakan partisipasinya dalam ICCS itu, Indonesia sejak januari 1973 hingga april 1975 telah mengirimkan tiga kali misi perdamaian secara bergatian. Dalam melaksanakan tugasnya, ICCS mengalami banyak kesulitan karena dalam persetujuan Paris mengenai perdamaian di Vietnam itu banyak terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan.
Untuk memperluas daerah netral di Asia Tenggara, Indonesia dan India pada bulan april 1973 menyeruhkan dihapuskannya campur tangan Negara-negara besar itu di samudera hindia. Hilangnya permusuhan antara Negara-negara besar itu akan memberikan keamanan dan stabilitasi di kawasan Asia Tenggara. Inisiatif internasional Indonesia paling menonjol di kawasan Asia Tenggara saat ASEAN menghadapi masalah diplomasi regional besar pertamanya, yaitu penduduk Vietnam atas Kamboja pada akhir 1978.[8]

d)   Hubungan Amerika Serikat – Indonesia, 1965-1991
Hubungan AS-Indonesia pada Masa Pemerintahan Lyndon Johnson (1965-1968)
Sewaktu G-30S/PKI melakukan percobaan kupnya di Indonesia, presiden Johnson sedang menghadapi perang di Vietnam dan perlawanan terhadap komunisme di Asia dibawah pimpinan Cina, sehingga munculnya perkembangan anti komunisme di Indonesia sebagai Negara yang beraliansi dengan Beijing dan mempunyai PKI yang pengaruh politiknya sangat kuat di dalam negeri, tentu diterima dengan tangan terbuka.
Bantuan pertama AS memang dibidang rehabilitasi ekonomi yang sedang parah, terutama situasi pangan dan kehancuran moneter dengan inflasi lebih kurang 660% pada tahun 1966. Bantuan itu antara lain berupa “food for work” di Jawa Tengah dan penundaan hutang-hutang luar negeri yang di pelopori AS melalui pertemuan-pertemuan di Paris dan Tokyo, lalu kemudian dilanjutkan dengan IGGI. Maka sejak semula memang dirasakan bahwa hubungan bilateral AS-Indonesia ditangani oleh orang-rang yang professional dank arena itu hubungan AS-Indonesia dapat dilakukan secara “tepat”.
Hal itu dibantu oleh kenyataan bahwa hubungan Indonesia-AS bukanlah hubungan antar sekutu, karena pada setiap waktu Indonesia selalu menunjukkan prinsip-prinsip “non-aligned”-nya terhadap AS, meskipun pada masa orde baru Indonesia menunjukkan sikap bersahabat dan bukan bermusuhan seperti pada masa orde lama.[9]

Krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli 1997 merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia seperti Malaysia, Filipina dan Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp 2.500/US $ terus mengalami kemerosotan hingga 9%.
Presiden Soeharto meminta bantuan kepada IMF berjumlah US $43 miliar. Perjanjiannya di lakukan pada bulan Oktober 1997, memaksa pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan kebijakan. Di antaranya, penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta, namun usaha ini tidak membawa suatu pemecahan masalah.
Bank Indonesia yang telah melakukan intervensi agresif guna mendongkrak nilai rupiah, mengakui lembaga tersebut tidak mampu membendung rupiah yang terus merosot. Pada bulan Oktober 1997 nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp 4.000/US $, pada bulan Januari 1998 rupiah terus melemah hingga level sekitar Rp 17.000/US $. Kondisi ini berdampak pada hancurnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan modern di Indonesia yang menyebabkan terjadinya PHK secara besar-besaran.






















BAB III
PENUTUP
I.          Kesimpulan
Pada masa Orde Baru Soeharto merencanakan Pembangunan Lima Tahun, yang tujuannya adalah agar terciptanya masyarakat adil dan makmur, tidak mungkin diwujudkan dalam waktu yang singkat, sebaliknya, harus dilakukan dalam jangka waktu panjang dan melalui beberapa tahapan. Dalam pola dasar pembangunan nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Tetapi karena perencanaan tersebut, negara mempunyai hutang yang banyak kepada negara asing, yang menyebabkan pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis moneter yang sangat parah. Oleh sebab itu, Soeharto lengser dari kepresidenan.
















DAFTAR PUSTAKA
Ø  Poesponegoro, Marwati D, Notosusanto Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI Zaman Jepang dan Zaman Republik, Jakarta, Balai Pustaka 2010.
Ø  Bandoro, Bantarto. Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru, Jakarta, Centre for Strategic and International Studies 1994.
Ø  Sekretariat Negara Republik Indonesia. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta 1994.
Ø  M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Serambi 2008.
Ø  Green, Marshall. Dari Sukarno Ke Soeharto, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Ø  Notosusanto, Nugroho, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI Di Indonesia, Jakarta, Intermasa, 1990.



[1] Marwati Djoened Pusponegoro, Sejarah Indonesia ModernVI, 2010, hlm. 543
[2] Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit., 2010, hlm. 548
[3] Marshall Green, Dari Sukarno Ke Soeharto, hlm. 99
[4] M.C. Ricklefs , Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, hlm. 587
[5] Ibid., hlm. 99
[6] Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit, hlm. 565
[7] Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit., hlm. 574
[8]  Marwati Djoened Pusponegoro, op. cit., hlm. 610
[9] Bantarto Bandoro, Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru, 1994, hlm. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar