BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah penduduk
kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup
mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran
dan perdagangan antar pulau Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara.
Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah
yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik
para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.[1][1]
Masuknya Islam ke daerah-daerah di
Indonesia tidak dalam waktu bersamaan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 kerajaan
Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka dan Kedah. Hingga sampai
akhir abad ke-12 perekonomian
Sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk
melepaskan diri dari Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian Islam masuk ke
berbagai wilayah Nusantara, dan pada abad ke-11 Islam
sudah masuk di pulau Jawa.[2][2] Dari sedikit sejarah tersebut, kelompok kami akan
menjelaskan tentang bagaimana perkembangan, sejarah serta peran walisongo dalam
mengajarkan agama Islam di Jawa.
B.
Rumusan Masalah
A.
Bagaimanakah
perkembangan Islam di Jawa pada masa permulaan?
B.
Bagaimanakah
sejarah kehidupan Islam di Jawa?
C. Bagaimanakah
peranan Walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Islam di Jawa Pada Masa Permulaan
Dalam sejarah disebutkan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M.[3][3] Namun baru tersebar dan meluas pada abad ke-13 M,
ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, yaitu Perlak dan
Samudera Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan tahun 1297. Agama Islam kemudian
menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian Timur,
melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui
urat nadi perdagangan di Malaka. Walaupun disana sempat ada peperangan, tetapi
secara umum Islam dapat masuk ke Indonesia dan peralihan dari agama Hindu ke
Islam dapat berlangsung dengan damai.[4][4]
Islam masuk ke
pulau Jawa diperkirakan pada abad ke-11 M., dengan ditemukannya makam Fatimah
binti Maemun di lereng Gresik yang berangkat pada tahun 475 H./1082 M. Data
sejarah lainnya menyebutkan bahwa Islam masuk ke pulau Jawa pada abad ke-12/13
M.[5][5]
Ada cerita
mengenai pedagang muslim di Kerala[6][6] yang berasal dari teluk Persia, mereka
menganut madzhab Syafi’i. Sedang Kerala sendiri berfungsi sebagai persinggahan
para pedagang Sumatera, Melayu, dan Cina. Kekuatan hubungan dagang dan hukum
menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber Islamisasi di Jawa dan
Indonesia. Kesamaan arsitektur masjid kian memperkokoh posisi. Di Kerala banyak
masjid yang terbuat dari kayu dan bata merah yang mempunyai atap bersusun tiga. Masjid Agung
Demak sebagai masjid tertua di Jawa memiliki pola ini. Organisasi keagamaan
masyarakat Kerala dan santri Jawa tradisional sangat mirip, yaitu berorientasi
pada ulama. Keadaan ini terjadi sekitar abad ke-13, yaitu ketika kota Baghdad
hancur digempur oleh pasukan Tartar dan Mongol, jalan lintas perdagangan antara
Barat dan Timur beralih ke Gujarat. Demikian juga kapal dagang masyarakat
Indonesia berduyun-duyun berlabuh di kota Gujarat. Dengan hubungan dagang ini banyak
masyarakat kecil masuk agama Islam. Pemusatannya didaerah pelabuhan seperti
Jepara, Tuban serta Gresik telah dibuka hubungan dagang dengan
bangsa asing.
Melihat
makam-makam muslim yang ada di Gresik yaitu makam wanita muslimah Fathimah
binti Maimun, nisan yang berangka tahun 475H (1082 M), serta makam ulama Persia
Malik Ibrahim, nisan yang berangka tahun 882H (1419M), menjadi tanda bukti
bahwa waktu itu rakyat jelata Gresik banyak menganut agama Islam. Jadi pada
waktu zaman Prabu Kertawijaya (1447M) para bangsawan dan punggawa telah ada
yang menganut agama Islam. Ini dikarenakan berita tentang kejayaan Islam di
wilayah Timur di Persia, Afghanistan, Baluctistan (sekarang Pakistan) di India
sungai Gangga sampai
Benggala. Di tanah Aceh dan Malaka dapat tersebar dengan cepat di kota
pelabuhan Jawa.[7][7]
Menurut Fachry
Ali dan Bachtiar Effendy, terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat
proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa, yaitu:
1.
Karena ajaran
Islam melaksanakan prinsip ketauhidan (yang secara tegas menekankan ajaran
untuk mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal) dalam sistem ketuhanannya.
2.
Karena daya
lentur (fleksibilitas) ajaran Islam.
3.
Islam oleh
masyarakat Indonesia di anggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk
menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat.[8][8]
Prof. Mahmud
Yunus lebih memperinci tentang faktor tersebarnya agama Islam dengan cepat di
seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu:
1.
Agama Islam
tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah diturut
oleh segala golongan ummat manusia, bahkan untuk masuk Islam hanya cukup dengan
mengucapkan dua kalimah syahadat saja.
2.
Sedikit tugas
dan kewajiban Islam. Tidak seperti agama lain yang ketika beribadah membutuhkan
sesajen yang tentunya mahal.
3.
Penyiarannya
dilakukan dengan cara berangsur-angsur.
4.
Penyiaran Islam
dilakukan dengan kebijaksanaan dan cara yang baik.
5.
Penyiaran Islam
dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami dan dimengerti khalayak umum.[9][9]
Proses
pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama melalui berbagai
kontak, misalnya: kontak jual beli, kontak perkawinan dan kontak dakwah
langsung, baik secara individual maupun kolektif. Dari proses itulah,
pendidikan dan pengajaran Islam mulai terbentuk meskipun sangat sederhana.
Materi pelajaran yang pertamakali adalah kalimah syahadat, sebab syahadat
merupakan rukun Islam yang pertama dan jika seseorang telah bersyahadat berarti
sudah menjadi Islam. Singkatnya bila seseorang mengucapkan dua kalimah
syahadat, mengakui rukun iman, dan rukun Islam, telah dianggap sebagai seorang
muslim. Kemudian setelah itu barulah diperkenalkan bagaimana cara-cara
melaksanakan ibadah shalat lima waktu,
cara membaca Al-Qur’an dan syariat-syariat Islam lainnya.[10][10]
B.
Sejarah Kehidupan Islam di Jawa
Ahli-ahli
sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebaran Islam di Jawa adalah para
Walisongo. Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga
dalam hal pemerintahan dan politik. Bahkan, seringkali seorang raja seakan-akan
baru sah sebagai raja kalau sudah diakui dab diberkahi oleh Walisongo.
Islam telah
tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang
bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera,
Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik. Dalam percaturan
politik, Islam mulai memosisikan diri ketika melemahnya kekuasaan Majapahit
yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membangun
pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Walisongo
bersepakat untuk mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan Islam
Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.
Di samping
kekuatan politik Islam yang memberi kontribusi besar terhadap perkembangannya,
Islam juga hidup di masyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa
non-muslim untuk memeluknya. Agama Islam di Jawa pada masa kerajaan Islam telah
menjadi agama rakyat.[11][11]
Kesusastraan
Jawa abad ke-17 dan ke-18 mengenal banyak cerita tradisional mengenai para
wali, yaitu orang-orang saleh yang diduga telah menyebarkan agama Islam di
Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka di bidang mistik dan
teologi. Wali-wali di Jawa berpusat di masjid keramat di Demak, masjid yang
mereka dirikan bersama. Di masjid itulah mereka mengadakan pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang teologi.[12][12]
Kehidupan
Walisongo yang bekerja secara sitematis tersebut mendapat dukungan penuh dari
sultan Turki, dimana Turki merupakan negara adikuasa waktu itu, sehingga agama
Islam berkembang menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa saat itu. Walaupun
demikian, keberhasilan tersebut masih baru terbatas pada kuantitasnya saja,
kualitas kehidupan beragama ditinjau dari penguasaan ilmu agama Islam masih
sangat rendah bila dibanding dengan masyarakat Islam di Timur Tengah untuk
kurun waktu yang sama. Praktek beragama Islam di Jawa masih banyak sekali
tercampur aduk dengan nilai-nilai agama lama, baik Hindu, Budha, maupun
Animisme. [13][13]
Kisah Cempa
berhubungan dengan orang-orang suci yang telah menyebarkan agama Islam di
Surabaya dan Gresik. Konon mereka berasal dari Cempa. Dalam sejarah nama-nama
mereka adalah Sayid Ngali Murtala dan Sayid Ngali Rahmad, dan konon kedua orang
ini mempunyai saudara sepupu namanya Abu Hurairah. Dalam kitab
Tembang Babad Demak bahwa isteri Kartawijaya Cempa yang bernama Ratu Dewi Dwar Wati beragama
Islam mempunyai saudara Raden Rahmat. Kemudian beliau diijinkan untuk
mendirikan pesantren di desa Ampel. Kemudian beliau dijuluki Sunan Ampel. Sunan
Ampel menikah dengan puteri Tuban yaitu Nyai Ageng
Manila, mempunyai empat keturunan, yaitu Nyai
Ageng Maloka menjadi isteri Raden Fatah, Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Masih Munat
(Sunan Derajat), dan Khafsah menjadi isteri Sunan Kalijaga. Penyebaran
agama Islam di Jawa yang kemudian dapat mendirikan kerajaan Bintara adalah
dipimpin oleh para bangsawan Tuban dan Ampel.[14][14]
Saluran
Islamisasi di Jawa meliputi beberapa jalur, antara lain:
1.
Melalui
Pedagang Muslim dari Arab, Persia dan India
Hal ini menjadikan petinggi Majapahit,
pemilik kapal, dan banyak Bupati masuk Islam.
2.
Saluran Tasawuf
Tasawuf yang diajarkan memiliki
persamaan dengan aliran fikiran penduduk pribumi yang sebelumnya menganut agama
Hindu seperti yang dilakukan Sunan Bonang.
3.
Saluran
Pendidikan
Ini dilakukan baik melalui pesantren
maupun pondok yang diselenggarakan guru-guru agama, kyai-kyai, dan ulama-ulama.
4.
Saluran Politik
Kerajaan Islam memerangi kerajaan non
Islam, kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk
kerajaan non Islam itu masuk Islam. Dan banyak rakyat yang terpengaruh dengan
petinggi kerajaan yang beragama Islam. [15][15]
5.
Saluran Kesenian
Saluran yang paling terkenal adalah
pertunjukan wayang. Sebagian diambil dari Mahabarata dan Ramayana karena wayang
sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan orang Jawa. Karena di dalamnya terdapat
unsur hiburan dan tuntunan, dan ini juga diperlihatkan orang Jawa meniati untuk
menyadiakan tempat khusus untnuk pagelaran Jawa.[16][16]
6.
Saluran
Pernikahan
Jika pedagang
luar cukup lama tinggal di suatu tempat, sering terjadi hubungan perkawinan
antara orang asing yang dihormati serta berguna itu, dengan puteri atau saudara
perempuan setempat. Namun sebelum pernikahan diselenggarakan, mereka di
Islamkan dahulu.[17][17]
C.
Peranan Walisongo Dalam Penyebaran Islam di Jawa
1.
Pelembagaan Islam di Jawa
Pelembagaan
Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peran wali, yang di dalam konsepsi
orang Jawa disebut sebagai Wali Songo (wali yang berjumlah sembilan). Melalui
peran walisongo inilah Islam berkembang dan melembaga di dalam kehidupan
masyarakat, sehingga banyak tradisi yang dinisbahkan sebagai kreasi dan hasil
cipta rasa walisongo yang hingga sekarang tetap terpelihara di tengah-tengah
masyarakat. Mula-mula para wali itu mengembangkan Islam di daerah sekitar
tempat tinggalnya. Sunan Ampel mengembangkan Islam di Surabaya, tepatnya di
daerah Ampel Dento, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Giri di Giri Gajah, Sunan
Drajad di Drajad, Sunan Muria di daerah Muria, Sunan Kudus di daerah Kudus,
Sunan Kalijaga di Kadilangu dan sekitarnya serta sunan-sunan lainnya yang
berdakwah di daerahnya masing-masing. Namun demikian, mereka juga menyebarkan
Islam sampai jauh ke tempat lain.
Di dalam
pelembagaan Islam, walisongo menggunakan beberapa tahapan, yaitu:
a.
Mendirikan
masjid.
Mendirikan
masjid berarti membangun tempat sujud. Pada dasarnya, setiap orang bisa
melakukan shalat di sembarang tempat, sebab semua tempat di bumi ini adalah
masjid artinya tempat bersujud, asalkan tempat itu diyakini suci. Dalam proses
penyebaran Islam, maka para wali mendirikan masjid, tidak hanya dalam fungsi
sebagai tempat beribadah tetapi juga sebagai tempat pengajian. Dari masjidlah
penyebaran Islam dimulai.
Di dalam
masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat strategis untuk
pengembangan komunitas Islam. Selain sebagai tempat ritual, masjid juga sebagai
pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam masjidlah segala
aktifitas pengembangan komunitas Islam berlangsung. Di dalamnya dilakukan
penyusunan strategi, perencanaan dan aksi di
dalam kerangka penyebaran Islam di tengah kehidupan masyarakat.
b.
Mendirikan
pesantren
Peranan
pesantren sebagai lembaga penyebaran Islam di Jawa, merupakan lembaga yang
paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang
memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai pelosok-pelosok.[18][18]
2.
Sekilas Peranan Walisongo dalam Menyebarkan Agama Islam
a.
Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh Maulana
Malik Ibrahim bersal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara yang
ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M.
Beliau adalah seorang Walisongo yang
dianggap sebagai ayah dari Walisongo.
Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H/1419 M. Jauh sebelum beliau datang
Islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan makam Fatimah binti
Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082 M.
Agama dan
istiadat tidak langsung di tentang dengan frontal dan penuh kekerasan oleh
agama Islam. Beliau mengenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang di ajarkan
oleh agama Islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri dalam bermasyarakat,
tutur bahasanya sopan, lemah lembut, santun kepada fakir miskin, hormat kepada
orang tua dan menyayangi kaum muda. Dengan cara itu ternyata sedikit demi
sedikit banyak juga orang Jawa yang mulai tertarik pada agama Islam dan pada
akhirnya mereka menganut agama Islam.
Sunan Gresik
menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama, hanya orang
yang beriman dan bertaqwa yang kedudukannya tinggi disisi Allah SWT. berbeda
dengan ajaran Hindu yang mengenal perbedaan kasta dalam bermasyarakat. Dan
untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat menyebarkan Islam, beliau
mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan
menggembleng para santri sebagai calon para mubalig.
Syaikh Maulana
Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk
mengenal dan mendalami agama Islam, tapi juga memberikan pengarahan agar
tingkat kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. [19][19]
b.
Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Raden Rahmat
Ali adalah cucu Raja Cempa, ayahnya bernama Ibrahim Asmara Kandi yang menikah
dengan puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candra Wulan. Beliau lahir pada tahun 1400. Raden Rahmat dalam usahanya menyebarkan
agama Islam, beliau langsuung menuju Majapahit. Tetapi sebelum itu, Raden
Rahmat singgah di Tuban dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki
Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian mereka beserta keluarganya masuk
Islam. Dengan adanya kedua orang ini, Raden Rahmat semakin mudah mengadakan
pendekatan kepada masyarakat sekitar. Beliau tidak langsung melarang masyarakat
yang masih menganut adat istiadat lama, tapi beliau berdakwah sedikit demi
sedikit mengajarkan tentang ketauhidan. Beliau menetap di Ampel Denta dan
kemudian disebut dengan Sunan Ampel. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren
tempat putera bangsawan dan pangeran Majapahit, dan untuk siapa saja yang ingin
berguru kepadanya. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478M, dan dimakamkan di
sebelah masjid Ampel.[20][20]
c.
Raden Paku (Sunan Giri)
Beliau adalah
putra dari Syekh Maulana Ishak. Nama kecil Sunan Giri adalah Jaka Samudra,
ibunya bernama Sekardadu, putri Raja Blambangan, Prabu Minaksembuyu. Beliau lahir pada tahun sekitar
1443, dan wafat pada tahun 1506 M. Masa kecilnya diasuh oleh janda kaya
raya Nyai Gedhe Pinatih. Menjelang
dewasa beliau berguru kepada Suana Ampel. Jaka Samudra diberi gelar oleh Sunan
Ampel Raden Paku.
Ketika Sunan
Ampel ketua para wali wafat Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas
usulan sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian
gelar itu jatuh pada tanggal 9 Maret 1487 yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi
kota Gresik.
Dakwah Islam
sunan Giri menggunakan jalur politik dan budaya, Sunan Giri menciptakan:
1) Permainan
jetungan
2) Jamuran
3) Gula ganti
4) Cublak-cublak
suweng
5) Tembang
asmarandhana
d.
Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Nama aslinya
adalah Raden Makdum Ibrahim,
beliau putra Sunan Ampel. Beliau
diperkirakan lahir pada tahun 1440 di Mbonang, dan wafat pada tahun 1525. Sunan Bonang
terkenal sebagai ahli Ilmu Kalam dan Tauhid.
Sekembali dari Persia untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak ke tanah Jawa,
beliau berdakwah di daerah Tuban.
Caranya
berdakwah cukup unik dan bijaksana, beliau menciptakan gending yang disebut
bonang, sehingga rakyat Tuban dapat tersentuh hatinya untuk masuk masjid. Beliau
membunyikan bonang, rakyat yang mendengarnya seperti terhipnotis terus
melangkah ke masjid karena ingin mendengar langsung dari dekat. Dengan cara ini
sedikit demi sedikit dapat merebut simpati rakyat, lalu baru menanamkan
pengertian sebenarnya tentang Islam.[22][22]
e.
Raden Qasim (Sunan Drajat)
Sunan Drajat
adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati atau yang sering disebut sebagai Nyi Ageng Manila. Beliau lahir pada tahun 1450. Nama lain dari
Sunan Drajat yang terkenal adalah Raden Qasim. Di desa Jelak, Raden Qasim
mendirikan surau dan pesantren. Banyak orang yang datang untuk berguru agama
Islam kepadanya sehingga Jelak semakin ramai dan berkembang menjadi kampung
besar. Oleh karena itu nama Jelak kemudian dirubah menjadi Banjaranyar. Beliau
memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah
bil-hikam, dengan cara-cara bijak dan tanpa memaksa. Dalam
penyampaiannya beliau menempuh lima cara. Pertama lewat pengajian secara
langsung dimasjid atau di langgar. Kedua melalui pendidikan di pesantren.
Ketiga memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan masalah. Keempat melalui
kesenian tradisional dan yang kelima menyampaikan ajaran agama melalui ritual
adat tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan agama islam.
Sunan Drajat
juga berdakwah dengan menggunakan kesenian Jawa yang pada waktu itu sudah
mendarah daging dikalangan masyarakat. Salah satu tembang ciptaan beliau adalah tembang Mijil. Sunan
Drajat juga terkenal dengan ajaran yang mengatakan paring teken marang kang
kalunyon lan wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang
kang kudanan (memberi tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada orang
yang kelaparan,
memberi pakaian kepada yang tidak punya pakaian dan memberi payung kepada orang
yang kehujanan). Ini memang inti ajaran sosial di dalam Islam yang akan tetap
relevan sampai kapanpun.
Pada masa akhir
Majapahit terjadi krisis sosial, ekonomi, politik. Sunan Drajat menjadi juru
bicara yang membela rakyat tertindas. Beliau mengecam tindakan elit politik
yang waktu itu hanya mengejar kekuasaan demi kenikmatan pribadi. Dalam bidang
sastra budaya beliau menciptakan:
1) Berpartisipasi
dalam pembangunan masjid Demak
2) Membantu Raden
Patah
f.
Raden Sahid (Sunan Kalijaga)
Nama aslinya
adalah Raden Sahid, putera dari Raden Sahur putera Temanggung Wilatikta Adipati
Tuban. Beliau lahir pada tahun 1400.
Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan taat terhadap agama dan
orang tua, tetapi beliau tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang banyak
terjadi ketimpangan. Hingga akhirnya beliau mencari makanan dari gudang
kadipaten dan dibagikan kepada rakyatnya. Akibat hal tersebut, Raden Sahid
dicambuk dan diusir oleh ayahnya.
Dalam
pengembaraannya, beliau bertemu dengan seorang berjubah putih, beliau adalah
Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, dan diberi amanat untuk
menunggui tongkat di depan kali sampai tanpa disadari tubuh Raden Sahid
berlumut.[24][24] Dari hal ini, maka beliau dikenal dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga
adalah salah satu diantara sederetan para wali yang dianggap paling kreatif
dalam menerapkan ajaran keIslaman dengan konteks lokal. Seni pewayangan yang
semula kental dengan warna Hinduisme-India, disulap menjadi sebuah pertunjukan
yang bernuansa Islami. Sunan Kalijaga juga piawai dalam meramu kesenian lokal,
sehingga menjadi sebuah hiburan yang mengasyikkan bagi masyarakat kala itu.
Momen tersebut dimanfaatkan Sunan Kalijaga untuk menyampaikan wejangan-wejangan
keIslaman, terutama yang bernuansa tasawuf.[25][25]
g.
Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)
Nama asli
beliau adalah Ja’far Shodiq, putera Sunan Ngudung (Raden Ngusman Aji bin Raja
Pandita bin Ibrahim Asmarakandi bin Maulana Muhammad Jumadil Kubro bin Zainul
Alim bin Zainal Abidin bin Sayid Husein bin Ali, suami Fatimah binti Rasulullah
SAW) dari Jipang Panolan.[26][26] Beliau lahir pada abad 15 M atau 9 H. Dan diperkirakan wafat pada tahun
1520an. Kakek Sunan Kudus adalah saudara Sunan Ampel. Meskipun
namanya Sunan Kudus beliau bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Demak.
Sunan Kudus
adalah seorang tokoh yang kuat, serta gagah berani. Karena keberaniannya yang
luar biasa serta kedudukannya sebagai panglima perang. Setelah pengikutnya semakin
banyak Sunan Kudus mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran
agama. Masjid yang dibangunnya adalah Masjid Menara Kudus. Tidak ada kepastian
kapan menara Kudus didirikan.
Hanya saja tiap-tiap atap menara tersebut terdapat sengkalan yang berbunyi gapura
rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1606 jawa atau 1685 M (gapura=6, rusak=0,
ewahing=6, jagad=1).
Sengkalan tersebut hanya menunjukkan bahwa ketika itu terjadi perbaikan atap yang mulai
rusak. Jadi bangunan itu kira-kira didirikan beberapa puluh tahun sebelumnya.
Bangunannya bercorak bangunan Hindu, berbentuk mirip Candi Jago, makam raja
wisnuwardhana yang didirikan tahun 1275-1300 M di dekat Malang.
Sunan Kudus
menciptakan karya satra dan budaya:
1) Tembang
Maskumambang
2) Tembang Mijil
3) Masjid Menara
Kudus
Sunan Kudus
terkenal dengan seribu satu kesaktiannya. Beliau dapat berbuat sesuatu di luar
kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa. Contohnya pada suatu ketika Sunan
Kudus memakan lele, kemudian sesudah tinggal kepala serta tulangnya, dibuanglah
oleh sunan ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal kepala dan tulang
itupun hidup.[27][27]
h.
Raden Umar Said (Sunan Muria)
Sunan Muria
adalah putera pertama Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak.
Nama asli beliau adalah Raden Umar Said, sedang nama kecilnya adalah Raden
Prawoto. Dalam berdakwah, Sunan Muria meniru cara yang telah dilakukan dengan
sukses oleh ayahandanya, yaitu menggunakan alat musik Jawa (gamelan). Sasaran
yang digarap oleh Sunan Muria adalah masyarakat yang bertempat tinggal di
pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan maupun kota. Oleh karena itu, Sunan
Muria membangun pesantren di lereng gunung Muria, dan karena itulah gelar Sunan
Muria diberikan oleh masyarakat.[28][28]
i.
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati)
Nama aslinya
adalah Syarif Hidayatullah, beliau lahir di Makkah. Banyak versi yang
menceritakan tentang keberadaan Sunan Gunungjati ini, tetapi cerita yang
termasyhur adalah menikahnya Sunan Gunungjati dengan seorang puteri Cina
bernama Ong Tien, yang kemudian namanya diganti dengan Nyai Ratu Rara
Semanding.
Syarif Hidayatullah memang mempunyai
hubungan baik dengan kaisar Cina. Dalam rangka menjalin hubungan baik tersebut,
pada tahun 1479 beliau berkunjung ke Cina dan bertemu dengan kaisar Hong Gie,
serta berkenalan dengan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, Jendral Ceng Ho,
dan Fei Hsin. Ketiga tokoh itu telah memeluk agama Islam. Disini Sunan
Gunungjati membuka praktek pengobatan, dan banyak masyarakat Cina yang berobat
kepadanya. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh beliau untuk berdakwah.
Sunan Gunungjati membangun masjid
pada tahun 1480 yang diberi nama Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pembangunan
masjid ini mendapat bantuan penuh dari Sultan Demak dan Walisongo. Bahkan juga
diceritakan bahwa Sunan Kalijogo ikut menyumbangkan sebuah tiang tatal. Masjid
ini juga sering dijadikan pusat pertemuan Walisongo untuk membicarakan
masalah-masalah yang dihadapi pada saat itu.[29][29]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan
dalam makalah “Perkembangan Islam di Jawa pada masa permulaan dan peran
Walisongo” dapat
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Jawa melalui berbagai jalur, antara lain
melalui jalur perdagangan, tasawuf, pendidikan, politik,
kesenian, serta pernikahan. Tetapi jalur yang paling mendominasi dalam
pengislamisasian di Jawa adalah jalur perdagangan. Karena pada saat itu Jawa
merupakan daerah strategis untuk jalur perlintasan perdagangan dengan
negara-negara Timur Tengah yang mayoritas lebih dahulu beragama Islam. Dalam
hal pengislamisasian Islam di daerah Jawa, walisongo memang sangat berperan,
walaupun sebelum walisongo datang, terdapat fakta-fakta yang menunjukkan bahwa
Islam di Jawa telah ada di zaman sebelum kedatangan walisongo.
Setelah
walisongo datang ke Jawa, Islam menjadi semakin diminati sebagai agama
masyarakat sekitar. Seperti contohnya yaitu ajaran yang di ajarkan oleh Sunan
Gresik bahwa dalam Islam tidak mengenal kasta. Ini menunjukkan bahwa semua
manusia itu sama derajatnya dimata manusia, hanya saja akan berbeda derajat
tersebut dihadapan Allah bagi orang-orang yang beriman dan paling bertaqwa.
Dengan statement seperti itu, ternyata masyarakat sekitar yang pada awalnya
menduduki kasta Sudra, akhirnnya memilih Islam sebagai agama mereka yang tidak
mengenal pengkastaan. Kemudian Sunan Kalijogo dengan kekhasannya dalam
mendakwahkan Islam melalui kesenian wayang yang digemari masyarakat pada waktu
itu, ternyata juga mengundang minat masyarakat untuk memasuki agama Islam
sebagai agama ketauhidan yang mengenal Allah sebagai Tuhan mereka. Dan otomatis
masyarakat dengan sendirinya meninggalkan ajaran animisme dan dinamisme oleh
nenek moyang mereka. Dan masih banyak lagi peran Sunan-sunan yang dengan
trik-triknya mendakwahkan Islam di Jawa melalui pesantren, pembangunan masjid,
tembang Jawa, gamelan, serta hal-hal
lain yang mengundang minat masyarakat pada waktu itu sehingga Islam
meluas di Jawa sampai dewasa ini.
B.
Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat, semoga dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan tentang
masuknya Islam ke Jawa dan peran para Walisongo. Kami
sarankan agar pembaca mencari referensi lain untuk menambah wawasan Anda. Kami
mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat
kesalahan baik dalam segi tulisan, tanda baca, maupun kesalahan lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
v Al Qurtuby,
Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya
Press.
v Dupriyadi,
Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
v Effendy, Facri
Ali-Bachtiar. 1990. Merambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.
v Graaf, De,
& Pegeaud.1986. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: PT.
Pustaka Grafitipers.
v Hasbullah.
1999. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
v Ibrahim
Boechari, Sidi. 1981. Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan
Pergerakan Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga.
v Purwadi, &
Enis Niken. 2007. Dakwah Wali Songo, Yogyakarta: Panji Pustaka
v Simon, Hasanu.
2004. Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
v Sujatmo. 1989. Wayang
dan Budaya Jawa. Semaranag: Dahara Prize.
v Syam, Nur.
2005. Islam Pesisir, Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara.
v Syukur, Fatah. 2009. Sejarah
Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
v Yatim, Badri. 1994. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada.
v Yunus, Mahmud.
1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya
[3][3] Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh
Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau,
(Jakarta: Gunung Tiga, 1981), hlm. 32.
[4][4] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999),
hlm.17.
[6][6] Kerala merupakan sumber utama lada yang penting dalam hubungan dagang
antara Arab dan India, Asia Tenggara dan Cina, ini berada di Gujarat.
[10][10] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999),
hlm.20-21.
[12][12] H.J. De Graave, TH.G. TH.
Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: PT. Pustaka
Grafitipers, 1986), hlm. 29-30.
[14][14] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2009), hlm. 191.
[17][17] H.J. De Graave, TH.G. TH.
Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: PT. Pustaka
Grafitipers, 1986), hlm. 31.
[19][19] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 194.
[20][20] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 191.
[22][22] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 196.
[24][24] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 197.
[25][25] Sumanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 113.
[26][26] Sumanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 240.
[28][28] Sumanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 258.
[29][29] Sumanto
Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 252.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar