Sabtu, 15 Juni 2013

Sistem Dakwah Walisongo dalam Penyebaran Islam



BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar pulau Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.[1][1]
Masuknya Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka dan Kedah. Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian Sriwijaya mulai melemah. Keadaan seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk melepaskan diri dari Sriwijaya hingga beberapa abad kemudian Islam masuk ke berbagai wilayah Nusantara, dan pada abad ke-11 Islam sudah masuk di pulau Jawa.[2][2] Dari sedikit sejarah tersebut, kelompok kami akan menjelaskan tentang bagaimana perkembangan, sejarah serta peran walisongo dalam mengajarkan agama Islam di Jawa.

B.      Rumusan Masalah
A.       Bagaimanakah perkembangan Islam di Jawa pada masa permulaan?
B.       Bagaimanakah sejarah kehidupan Islam di Jawa?
C.       Bagaimanakah peranan Walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa? 




BAB II
PEMBAHASAN


A.       Perkembangan Islam di Jawa Pada Masa Permulaan
Dalam sejarah disebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M.[3][3] Namun baru tersebar dan meluas pada abad ke-13 M, ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, yaitu Perlak dan Samudera Pasai di Aceh pada tahun 1292 dan tahun 1297. Agama Islam kemudian menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian Timur, melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka. Walaupun disana sempat ada peperangan, tetapi secara umum Islam dapat masuk ke Indonesia dan peralihan dari agama Hindu ke Islam dapat berlangsung dengan damai.[4][4]
Islam masuk ke pulau Jawa diperkirakan pada abad ke-11 M., dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maemun di lereng Gresik yang berangkat pada tahun 475 H./1082 M. Data sejarah lainnya menyebutkan bahwa Islam masuk ke pulau Jawa pada abad ke-12/13 M.[5][5]
Ada cerita mengenai pedagang muslim di Kerala[6][6] yang berasal dari teluk Persia, mereka menganut madzhab Syafi’i. Sedang Kerala sendiri berfungsi sebagai persinggahan para pedagang Sumatera, Melayu, dan Cina. Kekuatan hubungan dagang dan hukum menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber Islamisasi di Jawa dan Indonesia. Kesamaan arsitektur masjid kian memperkokoh posisi. Di Kerala banyak masjid yang terbuat dari kayu dan bata merah yang mempunyai atap bersusun tiga. Masjid Agung Demak sebagai masjid tertua di Jawa memiliki pola ini. Organisasi keagamaan masyarakat Kerala dan santri Jawa tradisional sangat mirip, yaitu berorientasi pada ulama. Keadaan ini terjadi sekitar abad ke-13, yaitu ketika kota Baghdad hancur digempur oleh pasukan Tartar dan Mongol, jalan lintas perdagangan antara Barat dan Timur beralih ke Gujarat. Demikian juga kapal dagang masyarakat Indonesia berduyun-duyun berlabuh di kota Gujarat. Dengan hubungan dagang ini banyak masyarakat kecil masuk agama Islam. Pemusatannya didaerah pelabuhan seperti Jepara, Tuban serta Gresik telah dibuka hubungan dagang dengan bangsa asing.
Melihat makam-makam muslim yang ada di Gresik yaitu makam wanita muslimah Fathimah binti Maimun, nisan yang berangka tahun 475H (1082 M), serta makam ulama Persia Malik Ibrahim, nisan yang berangka tahun 882H (1419M), menjadi tanda bukti bahwa waktu itu rakyat jelata Gresik banyak menganut agama Islam. Jadi pada waktu zaman Prabu Kertawijaya (1447M) para bangsawan dan punggawa telah ada yang menganut agama Islam. Ini dikarenakan berita tentang kejayaan Islam di wilayah Timur di Persia, Afghanistan, Baluctistan (sekarang Pakistan) di India sungai Gangga sampai Benggala. Di tanah Aceh dan Malaka dapat tersebar dengan cepat di kota pelabuhan Jawa.[7][7]
Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa, yaitu:
1.        Karena ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan (yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal) dalam sistem ketuhanannya.
2.        Karena daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam.
3.        Islam oleh masyarakat Indonesia di anggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh Barat.[8][8]
Prof. Mahmud Yunus lebih memperinci tentang faktor tersebarnya agama Islam dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu:
1.        Agama Islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah diturut oleh segala golongan ummat manusia, bahkan untuk masuk Islam hanya cukup dengan mengucapkan dua kalimah syahadat saja.
2.        Sedikit tugas dan kewajiban Islam. Tidak seperti agama lain yang ketika beribadah membutuhkan sesajen yang tentunya mahal.
3.        Penyiarannya dilakukan dengan cara berangsur-angsur.
4.        Penyiaran Islam dilakukan dengan kebijaksanaan dan cara yang baik.
5.        Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami dan dimengerti khalayak umum.[9][9]   
Proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama melalui berbagai kontak, misalnya: kontak jual beli, kontak perkawinan dan kontak dakwah langsung, baik secara individual maupun kolektif. Dari proses itulah, pendidikan dan pengajaran Islam mulai terbentuk meskipun sangat sederhana. Materi pelajaran yang pertamakali adalah kalimah syahadat, sebab syahadat merupakan rukun Islam yang pertama dan jika seseorang telah bersyahadat berarti sudah menjadi Islam. Singkatnya bila seseorang mengucapkan dua kalimah syahadat, mengakui rukun iman, dan rukun Islam, telah dianggap sebagai seorang muslim. Kemudian setelah itu barulah diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan ibadah shalat lima waktu,  cara membaca Al-Qur’an dan syariat-syariat Islam lainnya.[10][10]

B.       Sejarah Kehidupan Islam di Jawa
Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebaran Islam di Jawa adalah para Walisongo. Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Bahkan, seringkali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja kalau sudah diakui dab diberkahi oleh Walisongo.
Islam telah tersebar di pulau Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik. Dalam percaturan politik, Islam mulai memosisikan diri ketika melemahnya kekuasaan Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Walisongo bersepakat untuk mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa.
Di samping kekuatan politik Islam yang memberi kontribusi besar terhadap perkembangannya, Islam juga hidup di masyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa non-muslim untuk memeluknya. Agama Islam di Jawa pada masa kerajaan Islam telah menjadi agama rakyat.[11][11]
Kesusastraan Jawa abad ke-17 dan ke-18 mengenal banyak cerita tradisional mengenai para wali, yaitu orang-orang saleh yang diduga telah menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka di bidang mistik dan teologi. Wali-wali di Jawa berpusat di masjid keramat di Demak, masjid yang mereka dirikan bersama. Di masjid itulah mereka mengadakan pertemuan untuk bertukar pikiran tentang teologi.[12][12]  
Kehidupan Walisongo yang bekerja secara sitematis tersebut mendapat dukungan penuh dari sultan Turki, dimana Turki merupakan negara adikuasa waktu itu, sehingga agama Islam berkembang menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa saat itu. Walaupun demikian, keberhasilan tersebut masih baru terbatas pada kuantitasnya saja, kualitas kehidupan beragama ditinjau dari penguasaan ilmu agama Islam masih sangat rendah bila dibanding dengan masyarakat Islam di Timur Tengah untuk kurun waktu yang sama. Praktek beragama Islam di Jawa masih banyak sekali tercampur aduk dengan nilai-nilai agama lama, baik Hindu, Budha, maupun Animisme. [13][13]
Kisah Cempa berhubungan dengan orang-orang suci yang telah menyebarkan agama Islam di Surabaya dan Gresik. Konon mereka berasal dari Cempa. Dalam sejarah nama-nama mereka adalah Sayid Ngali Murtala dan Sayid Ngali Rahmad, dan konon kedua orang ini mempunyai saudara sepupu namanya Abu Hurairah. Dalam kitab Tembang Babad Demak bahwa isteri Kartawijaya Cempa yang bernama Ratu Dewi Dwar Wati beragama Islam mempunyai saudara Raden Rahmat. Kemudian beliau diijinkan untuk mendirikan pesantren di desa Ampel. Kemudian beliau dijuluki Sunan Ampel. Sunan Ampel menikah dengan puteri Tuban yaitu Nyai Ageng Manila, mempunyai empat keturunan, yaitu Nyai Ageng Maloka menjadi isteri Raden Fatah, Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Masih Munat (Sunan Derajat), dan Khafsah menjadi isteri Sunan Kalijaga. Penyebaran agama Islam di Jawa yang kemudian dapat mendirikan kerajaan Bintara adalah dipimpin oleh para bangsawan Tuban dan Ampel.[14][14]
Saluran Islamisasi di Jawa meliputi beberapa jalur, antara lain:
1.      Melalui Pedagang Muslim dari Arab, Persia dan India
Hal ini menjadikan petinggi Majapahit, pemilik kapal, dan banyak Bupati masuk Islam.
2.      Saluran Tasawuf
Tasawuf yang diajarkan memiliki persamaan dengan aliran fikiran penduduk pribumi yang sebelumnya menganut agama Hindu seperti yang dilakukan Sunan Bonang.
3.      Saluran Pendidikan
Ini dilakukan baik melalui pesantren maupun pondok yang diselenggarakan guru-guru agama, kyai-kyai, dan ulama-ulama.
4.      Saluran Politik
Kerajaan Islam memerangi kerajaan non Islam, kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk kerajaan non Islam itu masuk Islam. Dan banyak rakyat yang terpengaruh dengan petinggi kerajaan yang beragama Islam. [15][15]
5.      Saluran Kesenian
Saluran yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Sebagian diambil dari Mahabarata dan Ramayana karena wayang sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan orang Jawa. Karena di dalamnya terdapat unsur hiburan dan tuntunan, dan ini juga diperlihatkan orang Jawa meniati untuk menyadiakan tempat khusus untnuk pagelaran Jawa.[16][16]
6.      Saluran Pernikahan
Jika pedagang luar cukup lama tinggal di suatu tempat, sering terjadi hubungan perkawinan antara orang asing yang dihormati serta berguna itu, dengan puteri atau saudara perempuan setempat. Namun sebelum pernikahan diselenggarakan, mereka di Islamkan dahulu.[17][17]

C.       Peranan Walisongo Dalam Penyebaran Islam di Jawa
1.        Pelembagaan Islam di Jawa

Pelembagaan Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari peran wali, yang di dalam konsepsi orang Jawa disebut sebagai Wali Songo (wali yang berjumlah sembilan). Melalui peran walisongo inilah Islam berkembang dan melembaga di dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak tradisi yang dinisbahkan sebagai kreasi dan hasil cipta rasa walisongo yang hingga sekarang tetap terpelihara di tengah-tengah masyarakat. Mula-mula para wali itu mengembangkan Islam di daerah sekitar tempat tinggalnya. Sunan Ampel mengembangkan Islam di Surabaya, tepatnya di daerah Ampel Dento, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Giri di Giri Gajah, Sunan Drajad di Drajad, Sunan Muria di daerah Muria, Sunan Kudus di daerah Kudus, Sunan Kalijaga di Kadilangu dan sekitarnya serta sunan-sunan lainnya yang berdakwah di daerahnya masing-masing. Namun demikian, mereka juga menyebarkan Islam sampai jauh ke tempat lain.
Di dalam pelembagaan Islam, walisongo menggunakan beberapa tahapan, yaitu:
a.       Mendirikan masjid.
Mendirikan masjid berarti membangun tempat sujud. Pada dasarnya, setiap orang bisa melakukan shalat di sembarang tempat, sebab semua tempat di bumi ini adalah masjid artinya tempat bersujud, asalkan tempat itu diyakini suci. Dalam proses penyebaran Islam, maka para wali mendirikan masjid, tidak hanya dalam fungsi sebagai tempat beribadah tetapi juga sebagai tempat pengajian. Dari masjidlah penyebaran Islam dimulai.
Di dalam masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat strategis untuk pengembangan komunitas Islam. Selain sebagai tempat ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam masjidlah segala aktifitas pengembangan komunitas Islam berlangsung. Di dalamnya dilakukan penyusunan strategi, perencanaan dan aksi di  dalam kerangka penyebaran Islam di tengah kehidupan masyarakat.
b.      Mendirikan pesantren
Peranan pesantren sebagai lembaga penyebaran Islam di Jawa, merupakan lembaga yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai pelosok-pelosok.[18][18]   

2.        Sekilas Peranan Walisongo dalam Menyebarkan Agama Islam
a.        Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Syekh Maulana Malik Ibrahim bersal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. Beliau adalah seorang Walisongo yang dianggap sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H/1419 M. Jauh sebelum beliau datang Islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082 M.
Agama dan istiadat tidak langsung di tentang dengan frontal dan penuh kekerasan oleh agama Islam. Beliau mengenalkan kemuliaan dan ketinggian akhlak yang di ajarkan oleh agama Islam. Beliau langsung memberi contoh sendiri dalam bermasyarakat, tutur bahasanya sopan, lemah lembut, santun kepada fakir miskin, hormat kepada orang tua dan menyayangi kaum muda. Dengan cara itu ternyata sedikit demi sedikit banyak juga orang Jawa yang mulai tertarik pada agama Islam dan pada akhirnya mereka menganut agama Islam.
Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama, hanya orang yang beriman dan bertaqwa yang kedudukannya tinggi disisi Allah SWT. berbeda dengan ajaran Hindu yang mengenal perbedaan kasta dalam bermasyarakat. Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat menyebarkan Islam, beliau mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon para mubalig.
Syaikh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, tapi juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. [19][19]

b.        Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Raden Rahmat Ali adalah cucu Raja Cempa, ayahnya bernama Ibrahim Asmara Kandi yang menikah dengan puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candra Wulan. Beliau lahir pada tahun 1400.  Raden Rahmat dalam usahanya menyebarkan agama Islam, beliau langsuung menuju Majapahit. Tetapi sebelum itu, Raden Rahmat singgah di Tuban dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian mereka beserta keluarganya masuk Islam. Dengan adanya kedua orang ini, Raden Rahmat semakin mudah mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitar. Beliau tidak langsung melarang masyarakat yang masih menganut adat istiadat lama, tapi beliau berdakwah sedikit demi sedikit mengajarkan tentang ketauhidan. Beliau menetap di Ampel Denta dan kemudian disebut dengan Sunan Ampel. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat putera bangsawan dan pangeran Majapahit, dan untuk siapa saja yang ingin berguru kepadanya. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478M, dan dimakamkan di sebelah masjid Ampel.[20][20]

c.         Raden Paku (Sunan Giri)
Beliau adalah putra dari Syekh Maulana Ishak. Nama kecil Sunan Giri adalah Jaka Samudra, ibunya bernama Sekardadu, putri Raja Blambangan, Prabu Minaksembuyu. Beliau lahir pada tahun sekitar 1443, dan wafat pada tahun 1506 M. Masa kecilnya diasuh oleh janda kaya raya  Nyai Gedhe Pinatih. Menjelang dewasa beliau berguru kepada Suana Ampel. Jaka Samudra diberi gelar oleh Sunan Ampel Raden Paku.
Ketika Sunan Ampel ketua para wali wafat Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada tanggal 9 Maret 1487 yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Gresik.
Dakwah Islam sunan Giri menggunakan jalur politik dan budaya, Sunan Giri menciptakan:
1)   Permainan jetungan
2)   Jamuran
3)   Gula ganti
4)   Cublak-cublak suweng
5)   Tembang asmarandhana
6)   Tembang pocung[21][21]

d.        Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim, beliau putra Sunan Ampel. Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1440 di Mbonang, dan wafat pada tahun 1525. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli Ilmu Kalam dan Tauhid. Sekembali dari Persia untuk berguru kepada Syekh Maulana Ishak ke tanah Jawa, beliau berdakwah di daerah Tuban.
Caranya berdakwah cukup unik dan bijaksana, beliau menciptakan gending yang disebut bonang, sehingga rakyat Tuban dapat tersentuh hatinya untuk masuk masjid. Beliau membunyikan bonang, rakyat yang mendengarnya seperti terhipnotis terus melangkah ke masjid karena ingin mendengar langsung dari dekat. Dengan cara ini sedikit demi sedikit dapat merebut simpati rakyat, lalu baru menanamkan pengertian sebenarnya tentang Islam.[22][22]

e.         Raden Qasim (Sunan Drajat)
Sunan Drajat adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan  Dewi Condrowati atau yang sering disebut sebagai Nyi Ageng Manila. Beliau lahir pada tahun 1450. Nama lain dari Sunan Drajat yang terkenal adalah Raden Qasim. Di desa Jelak, Raden Qasim mendirikan surau dan pesantren. Banyak orang yang datang untuk berguru agama Islam kepadanya sehingga Jelak semakin ramai dan berkembang menjadi kampung besar. Oleh karena itu nama Jelak kemudian dirubah menjadi Banjaranyar. Beliau memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah  bil-hikam, dengan cara-cara bijak dan tanpa memaksa. Dalam penyampaiannya beliau menempuh lima cara. Pertama lewat pengajian secara langsung dimasjid atau di langgar. Kedua melalui pendidikan di pesantren. Ketiga memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan masalah. Keempat melalui kesenian tradisional dan yang kelima menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan agama islam.
Sunan Drajat juga berdakwah dengan menggunakan kesenian Jawa yang pada waktu itu sudah mendarah daging dikalangan masyarakat. Salah satu tembang ciptaan beliau adalah tembang Mijil. Sunan Drajat juga terkenal dengan ajaran yang mengatakan paring teken marang kang kalunyon lan wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang kang kudanan (memberi tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada yang tidak punya pakaian dan memberi payung kepada orang yang kehujanan). Ini memang inti ajaran sosial di dalam Islam yang akan tetap relevan sampai kapanpun.
Pada masa akhir Majapahit terjadi krisis sosial, ekonomi, politik. Sunan Drajat menjadi juru bicara yang membela rakyat tertindas. Beliau mengecam tindakan elit politik yang waktu itu hanya mengejar kekuasaan demi kenikmatan pribadi. Dalam bidang sastra budaya beliau menciptakan:
1)   Berpartisipasi dalam pembangunan masjid Demak
2)   Membantu Raden Patah
3)   Tembang Pangkur.[23][23]
f.         Raden Sahid (Sunan Kalijaga)
Nama aslinya adalah Raden Sahid, putera dari Raden Sahur putera Temanggung Wilatikta Adipati Tuban. Beliau lahir pada tahun 1400.  Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan taat terhadap agama dan orang tua, tetapi beliau tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang banyak terjadi ketimpangan. Hingga akhirnya beliau mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kepada rakyatnya. Akibat hal tersebut, Raden Sahid dicambuk dan diusir oleh ayahnya.
Dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan seorang berjubah putih, beliau adalah Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, dan diberi amanat untuk menunggui tongkat di depan kali sampai tanpa disadari tubuh Raden Sahid berlumut.[24][24] Dari hal ini, maka beliau dikenal dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga adalah salah satu diantara sederetan para wali yang dianggap paling kreatif dalam menerapkan ajaran keIslaman dengan konteks lokal. Seni pewayangan yang semula kental dengan warna Hinduisme-India, disulap menjadi sebuah pertunjukan yang bernuansa Islami. Sunan Kalijaga juga piawai dalam meramu kesenian lokal, sehingga menjadi sebuah hiburan yang mengasyikkan bagi masyarakat kala itu. Momen tersebut dimanfaatkan Sunan Kalijaga untuk menyampaikan wejangan-wejangan keIslaman, terutama yang bernuansa tasawuf.[25][25]

g.        Ja’far Shodiq (Sunan Kudus)
Nama asli beliau adalah Ja’far Shodiq, putera Sunan Ngudung (Raden Ngusman Aji bin Raja Pandita bin Ibrahim Asmarakandi bin Maulana Muhammad Jumadil Kubro bin Zainul Alim bin Zainal Abidin bin Sayid Husein bin Ali, suami Fatimah binti Rasulullah SAW) dari Jipang Panolan.[26][26] Beliau lahir pada abad 15 M atau 9 H. Dan diperkirakan wafat pada tahun 1520an. Kakek Sunan Kudus adalah saudara Sunan Ampel. Meskipun namanya Sunan Kudus beliau bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Demak.
Sunan Kudus adalah seorang tokoh yang kuat, serta gagah berani. Karena keberaniannya yang luar biasa serta kedudukannya sebagai panglima perang. Setelah pengikutnya semakin banyak Sunan Kudus mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Masjid yang dibangunnya adalah Masjid Menara Kudus. Tidak ada kepastian kapan menara Kudus didirikan. Hanya saja tiap-tiap atap menara tersebut terdapat sengkalan yang berbunyi gapura rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1606 jawa atau 1685 M (gapura=6,  rusak=0,  ewahing=6,  jagad=1). Sengkalan tersebut hanya menunjukkan bahwa ketika itu terjadi perbaikan atap yang mulai rusak. Jadi bangunan itu kira-kira didirikan beberapa puluh tahun sebelumnya. Bangunannya bercorak bangunan Hindu, berbentuk mirip Candi Jago, makam raja wisnuwardhana yang didirikan tahun 1275-1300 M di dekat Malang. 
Sunan Kudus menciptakan karya satra dan budaya:
1)   Tembang Maskumambang
2)   Tembang Mijil
3)   Masjid Menara Kudus
Sunan Kudus terkenal dengan seribu satu kesaktiannya. Beliau dapat berbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa. Contohnya pada suatu ketika Sunan Kudus memakan lele, kemudian sesudah tinggal kepala serta tulangnya, dibuanglah oleh sunan ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal kepala dan tulang itupun hidup.[27][27]

h.        Raden Umar Said (Sunan Muria)
Sunan Muria adalah putera pertama Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Nama asli beliau adalah Raden Umar Said, sedang nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Dalam berdakwah, Sunan Muria meniru cara yang telah dilakukan dengan sukses oleh ayahandanya, yaitu menggunakan alat musik Jawa (gamelan). Sasaran yang digarap oleh Sunan Muria adalah masyarakat yang bertempat tinggal di pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan maupun kota. Oleh karena itu, Sunan Muria membangun pesantren di lereng gunung Muria, dan karena itulah gelar Sunan Muria diberikan oleh masyarakat.[28][28]

i.          Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati)
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, beliau lahir di Makkah. Banyak versi yang menceritakan tentang keberadaan Sunan Gunungjati ini, tetapi cerita yang termasyhur adalah menikahnya Sunan Gunungjati dengan seorang puteri Cina bernama Ong Tien, yang kemudian namanya diganti dengan Nyai Ratu Rara Semanding.
Syarif Hidayatullah memang mempunyai hubungan baik dengan kaisar Cina. Dalam rangka menjalin hubungan baik tersebut, pada tahun 1479 beliau berkunjung ke Cina dan bertemu dengan kaisar Hong Gie, serta berkenalan dengan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, Jendral Ceng Ho, dan Fei Hsin. Ketiga tokoh itu telah memeluk agama Islam. Disini Sunan Gunungjati membuka praktek pengobatan, dan banyak masyarakat Cina yang berobat kepadanya. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh beliau untuk berdakwah.
Sunan Gunungjati membangun masjid pada tahun 1480 yang diberi nama Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pembangunan masjid ini mendapat bantuan penuh dari Sultan Demak dan Walisongo. Bahkan juga diceritakan bahwa Sunan Kalijogo ikut menyumbangkan sebuah tiang tatal. Masjid ini juga sering dijadikan pusat pertemuan Walisongo untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi pada saat itu.[29][29]








BAB III
       PENUTUP

A.       Simpulan
Dari pembahasan dalam makalah “Perkembangan Islam di Jawa pada masa permulaan dan peran Walisongo” dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Jawa melalui berbagai jalur, antara lain melalui jalur perdagangan, tasawuf, pendidikan, politik, kesenian, serta pernikahan. Tetapi jalur yang paling mendominasi dalam pengislamisasian di Jawa adalah jalur perdagangan. Karena pada saat itu Jawa merupakan daerah strategis untuk jalur perlintasan perdagangan dengan negara-negara Timur Tengah yang mayoritas lebih dahulu beragama Islam. Dalam hal pengislamisasian Islam di daerah Jawa, walisongo memang sangat berperan, walaupun sebelum walisongo datang, terdapat fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Islam di Jawa telah ada di zaman sebelum kedatangan walisongo.
Setelah walisongo datang ke Jawa, Islam menjadi semakin diminati sebagai agama masyarakat sekitar. Seperti contohnya yaitu ajaran yang di ajarkan oleh Sunan Gresik bahwa dalam Islam tidak mengenal kasta. Ini menunjukkan bahwa semua manusia itu sama derajatnya dimata manusia, hanya saja akan berbeda derajat tersebut dihadapan Allah bagi orang-orang yang beriman dan paling bertaqwa. Dengan statement seperti itu, ternyata masyarakat sekitar yang pada awalnya menduduki kasta Sudra, akhirnnya memilih Islam sebagai agama mereka yang tidak mengenal pengkastaan. Kemudian Sunan Kalijogo dengan kekhasannya dalam mendakwahkan Islam melalui kesenian wayang yang digemari masyarakat pada waktu itu, ternyata juga mengundang minat masyarakat untuk memasuki agama Islam sebagai agama ketauhidan yang mengenal Allah sebagai Tuhan mereka. Dan otomatis masyarakat dengan sendirinya meninggalkan ajaran animisme dan dinamisme oleh nenek moyang mereka. Dan masih banyak lagi peran Sunan-sunan yang dengan trik-triknya mendakwahkan Islam di Jawa melalui pesantren, pembangunan masjid, tembang Jawa, gamelan, serta hal-hal  lain yang mengundang minat masyarakat pada waktu itu sehingga Islam meluas di Jawa sampai dewasa ini.



B.       Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan tentang masuknya Islam ke Jawa dan peran para Walisongo. Kami sarankan agar pembaca mencari referensi lain untuk menambah wawasan Anda. Kami mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan baik dalam segi tulisan, tanda baca, maupun kesalahan lainnya.


























DAFTAR PUSTAKA

v  Al Qurtuby, Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.
v  Dupriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
v  Effendy, Facri Ali-Bachtiar. 1990. Merambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.
v  Graaf, De, & Pegeaud.1986. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers.
v  Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
v  Ibrahim Boechari, Sidi. 1981. Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga.
v  Purwadi, & Enis Niken. 2007. Dakwah Wali Songo, Yogyakarta: Panji Pustaka
v  Simon, Hasanu. 2004. Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
v  Sujatmo. 1989. Wayang dan Budaya Jawa. Semaranag: Dahara Prize.
v  Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir, Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara.
v  Syukur, Fatah. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
v  Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada.
v  Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya











[1][1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), hlm. 191.
[2][2] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 190.
[3][3] Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), hlm. 32.
[4][4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm.17.
[5][5]Dedi Dupriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 191.
[6][6] Kerala merupakan sumber utama lada yang penting dalam hubungan dagang antara Arab dan India, Asia Tenggara dan Cina, ini berada di Gujarat.
[7][7] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 191.
[8][8] Facri Ali-Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 37.
[9][9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hlm. 14.
[10][10] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm.20-21.
[11][11] Dedi Dupriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 196-197.
[12][12] H.J. De Graave, TH.G. TH. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986), hlm. 29-30.
[13][13] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 65.
[14][14] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 191.     
[15][15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), hlm. 191.
[16][16] Sujatmo, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1989), hlm. 18-19.
[17][17] H.J. De Graave, TH.G. TH. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986), hlm. 31.
[18][18] Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2005), hlm. 69-75.
[19][19] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 194.
[20][20] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 191.
[21][21] Purwadi dan Enis Niken, Dakwah Wali Songo, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal 105
[22][22] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 196.
[23][23] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 232-234.
[24][24] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 197.
[25][25] Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 113.
[26][26] Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 240.
[27][27] Purwadi dan Enis Niken, Dakwah Wali Songo, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal 135
[28][28] Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 258.
[29][29]  Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa,  (Yogyakarta: Inspeal  Ahimsakarya Press, 2003), hlm. 252.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar