Agama adalah candu rakyat merupakan teks Karl Marx yang paling umum
dikenal sampai sekarang. Dalam teori tersebut Marx dipengaruhi oleh
kritik Feuerbach terhadap agama. Salah satu karya Feuerbach adalah Das
Wesen des Christentums (Hakikat Agama Kristen) yang terbit pada tahun
1841 yang menjelaskan bahwa agama timbul dari hakikat manusia itu
sendiri, yaitu sifat egoismenya yang selalu ingin meraih kebahagiaan.
Dalam Tesis Feuerbach, Marx menulis: Feuerbach melebur hakekat keagamaan
ke dalam hakekat kemanusiaan. Tetapi hakekat kemanusiaan bukanlah
abstraksi yang terdapat pada satu-satu individu. Dalam kenyataannya ia
adalah keseluruhan dari hubungan-hubungan sosial. Oleh karenanya,
Feuerbach, yang tidak memasuki kritik terhadap hakekat yang nyata itu,
terpaksa:
1. Mengabstraksi dari proses sejarah dan menetapkan sentimen keagamaan
(Gemüt) sebagai sesuatu yang dengan sendirinya dan
mengandaikan.perorangan manusia yang abstrak-yang terisolasi.
2. Karena itu, baginya hakekat kemanusiaan bisa dimengerti hanya sebagai
"jenis", sebagai suatu keumuman intern yang bisu yang hanya dengan
wajar mempersatukan perorangan yang banyak itu.
Marx menilai bahwa yang menciptakan agama bukanlah ke-egoisme-nya
individu-individu, melainkan dari hubungan-hubungan sosial. Argumen
tersebut Marx tulis dalam tesis Tentang Feuerbach pasal 7: “Oleh
karenanya, Feuerbach tidak melihat bahwa "sentimen keagamaan" itu
sendiri adalah hasil sosial, dan, bahwa perorangan yang abstrak yang
dianalisanya nyatanya termasuk bentuk khusus dari masyarakat”
Adapun prioritas studi Marx adalah mengenai mode produksi (mode of
production). Setiap mode produksi selalu ditompang oleh
institusi-institusi yang menyediakan sejumlah alasaan etis bagi
berlangsungnya proses produksi. Hukum dan agama adalah dua institusi
dominan yang selalu menyediakan pembenaran etis terhadap sebuah
eksploitasi.
Sehinga, agama hanya berisi ajaran kepada masyarakat untuk
menjustifikasi penindasan yang dilakukan kaum borjuis dan menerima
takdir untuk tunduk pada penguasa otokratik. Agama mencetak manusia yang
tidak tahan menghadapi penderitaan dan bahaya yang mengepung dari
segala penjuru, melainkan hanya dengan cara-cara negatif. Karl Marx
memandang agama sebagai afion (religion is the opium), yang membius
manusia dari segala perasaan kemanusiaannya, dan mengajarinya cara-cara
berlindung kepada kekuatan ghaib untuk melawan kelaliman, serta
menganjurkan umatnya untuk hidup bertasawuf agar dapat menolak bencana
dan penderitaan secara mudah.
Agama membius kaum fakir miskin dan kaum buruh yang hidupnya penuh
penderitaan oleh karena ajaran untuk menerima takdir terhadap apa yang
ada serta menghibur mereka dengan janji-janji yang akan diterimanya di
syurga berupa kenikmatan kemuliaan dan kesejahteraan. Adapun orang-orang
yang kehidupannya didapatkan dari hasil keringat kaum fakir miskin,
maka agama mengajari kepadanya agar hidup dermawan sehingga praktek
kelaliman masih akan berlangsung dan tidak menjadi penghalang bagi
mereka untuk masuk syurga.
Bagi Marx, Agama dinilai syarat pemutarbalikan peradaban. Untuk menekan
agama yang hanya memberikan kebahagiaan yang semu, haruslah diberikan
tuntutan kebahagiaan yang sejati. Agama adalah salah satu aspek tekanan
jiwa. Pengakuan yang lebih jelas oleh Marx demikian:
“Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati nurani dari dunia
yang tidak berhati, tepat sebagaimana ia adalah jiwa dari keadaan yang
tidak berjiwa. Ia adalah candu rakyat.”
Sebenarnya, Marx tidak banyak menulis tentang agama sebagai ideologi,
melainkan ia melihat dari perspektif sosio historiografis masyarakat
yang menjadikan agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa
implementasi lebih lanjut dalam praktik kehidupan. Dan aforisme diatas
tak lain adalah penggalan kalimat dari sekian kalimat yang membahas
hakekat manusia ditengah kapitalisme kehidupan, dimana peran agama
selalu menjadi pertanyaan.
Pandangan Marx tentang agama tersebut sebenarnya juga tidak terlepas
dari hasil pengamatannya terhadap agama (dalam hal ini lingkungan
keagamaan yang menjadi obyek pengamatan Marx adalah kaum gerejani).
Sebagaimana pengalaman pahit yang terlihat oleh Marx selama hidupnya,
bahwa penindasan dan penghisapan merajalela, sedangkan agama tidak
berdaya sama sekali untuk menghapuskannya. Bahkan keluarga Marx sendiri
adalah bagian dari korban ketidakberdayaan institusi agama dalam
kemegahan Kapitalisme. Sehingga Marx sampai pada kesimpulan, bahwa semua
agama demikian adanya.
Kritik Marx menemukan hal yang penting: agama adalah tanda keterasingan
dalam beragama dan ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Tetapi
agama hanyalah gejala skunder keterasingan manusia, kritik tidak boleh
berhenti pada agama. Kritik agama hanya “merusak bunga-bunga khayalan
pada rantai” tetapi, “bukan agar manusia membawa rantai yang tanpa
khayal, tanpa harapan, melainkan ia membuang rantai dan memetik bunga
yang hidup”. Sehingga menurut Marx kritik agama harus menjadi kritik
masyarakat. Tanpa perjuangan untuk pembebasan sosial, kritikan terhadap
agama adalah sesuatu yang tidak berguna malah bersifat negatif, kerana
kritikan seperti itu hanya menyingkirkan hubungan emosi yang sangat
diperlukan oleh manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar