Rabu, 10 April 2013

Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia.  Daerah yang memiliki otonomi yang diatur sendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
B.     Tujuan Pembuatan Makalah
Dalam penulisan makalah ini ada beberapa tujuan yang kami jabarkan, diantaranya adalah:
1.      Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Studi Masyarakat Indonesia
2.      Dari hasil diatas kami ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang Aceh dan budayanya
3.      Untuk membantu para mahasiswa memahami kebudayaan Aceh

C.     Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, kami menggunakan metode pengambilan data secara sekunder, yaitu pengambilan data secara tidak langsung melalui informasi yang sudah ada seperti di buku.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh
Cerita rakyat termasuk dalam karya sasta, hasil budaya tradisionil yang sudah cukup lama usianya. Secara sederhana cerita rakyat merupakan cerita yang dikenal dan diceritakan dalam kalangan masyarakat. Dibacakan dan diteruskan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya, sehingga cerita itu dirasakan sebagai milik bersama. Oleh sifatnya yang demikian, maka cerita rakyat umumnya jarang dikenal pengarangnya, serta sangat mudah berubah dari waktu ke waktu. Tetapi karena kedudukannya yang demikian, dia telah mempunyai arti tertentu dalam nilai sosial dan budaya masyarakat.
Masyarakat aceh menyebut cerita rakyat itu hikayat haba jameuen (kabar zaman). Sebagian besar cerita rakyat di daerah ini disebut hikayat dan sebagian lagi disebut haba jameuen. Untuk mempelajari hikayat atau haba jameuen itu, kita harus menjelajahi kembali kehidupan sosial budaya masyarakat tradisionil zaman silam, karena dalam zaman inilah cerita rakyat merupakan nilai budaya yang besar artinya dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu kita memerlukan anggota masyarakat yang bisa menjadi sumber pokok, yang bisa memberikan keterangan kepada kita baik tentang hikayat itu sendiri maupun tentang kehidupan masyarakat zaman itu[1].
B.     Ringkasan Hikayat
            Cerita rakyat yang pertama bernama hikayat srang Manyang.  Dalam hikayat itu diceritakan suatu kejadian di daerah Aceh, tepatnya di Krueng Raya, Aceh Besar. Sepasang suami istri bernazar meminta anak. Mereka kemudian memperoleh seorang anak, diberi nama Ahmad. Kurang lebih umur si anak tiga tahun, meninggallah ayahnya. Tinggallah si ibu dengan anaknya, hidup dalam kemiskinan tetapi berada dalam kasih sayang. Setelah Ahmad menginjak dewasa, timbul keinginannya hendak merantau, hendak mencoba merubah nasib. Keinginannya yang demikian disampaikannya kepada ibunya. Mula-mula si ibu tidak bersedia melepas anaknya. Dia kuatir siapakah kelak yang akan mengurus dia, andaikata dia ditimpa bahagia dengan keadaan yang ada. Walau miskin, tetapi hidup dalam kasih sayang, rukun dan damai.
Pengarang hiakayat ini tidak dikenal masyarakat, tetapi ceritanya telah pernah dibukukan oleh Syeh Ring Kruengraya. Di samping itu juga tidak dapat dipastikan, sejak kapan hikayat ini dikenal secara luas. Isi cerita tidak begitu banyak memberi latarbelakang mengenai keadaan masyarakatnya[2]. Petunjuk bahwa hikayat ini masih mewakili kepercayaan masyarakat yang berbau Animisme atau Hindu hanya terdapat dalam masalah penjelmaan kapal yang menjadi batu itu saja. Petunjuk lain sebagai tambahan-dari bandingan hikayat-berupa kain anak durhaka itu menjadi lapisan tanah liat, seperti yang diabadikan oleh Cerita Malin Kundang macam inilah orang cenderung menduga hikayat inipun berasal dari zaman Hindu.
Menurut hikayat, di daerah Pasei, tujuh orang putri  dari kayangan sering mandi-mandi jika datang bulan purnama. Maleem Diwa mencuri pakaian terbang yang dimiliki oleh salah seorang putri kayangan itu. Akibatnya, putri yang kecurian-kebetulan Putri Bungsu-tidak dapat kembali ke kayangan. Dalam keadaan yang sulit seperti ini Putri Bungsu terpaksa menerima lamaran Maleem Diwa. Dari perkawinan itu, mereka memperoleh seorang anak laki-laki. Anak itu lasak-banyak tingkah-sehingga sering pula menjadi pangkal perselisihan antara Putri Bungsu dengan mertuanya. Dengan tidak disangka-sangka si anak mendapatkan pakaian terbang yang dicuri itu. Putri Bungsu sangat gembira, karena segera akan dapat kembali ke kayangan.
Berdasarkan peristiwa sosial yang digambarkan oleh hikayat, dapat kita kemukakan beberapa nilai yang berhubungan dengan tingkahlaku sosial. Pertama, perkawinan antara Maleem Diwa dengan Putri Bungsu merupakan perrkawinan yang kurang lazim dalam peristiwa kehidupan sosial. Ketidaklaziman itu pertama terlihat dari peristiwa perkenalan mereka serta dalam posisi Putri Bungsu sewaktu terjadinya peristiwa itu. Setelah putri kayangan itu kecurian pakaiannya, dia berada dalam kesulitan. Malah daranya dalam keadaan tidakberdaya sama sekali. Akibatnya tawaran Maleem Diwa merupaakan “penolong” yang harus diterima, karena tidak ada lagi pilihan lain. Jadi kendatipun dalam hatinya putri ini mungkin tidak menyukai lamaran tersebut, tapi karena tak ada jalan lain, akhirnya diterima juga. Ini berarti dia telah terpaksa kawin dengan Maleem Diwa. Hal ini menjadi jelas kepada kita setelah membaca cerita rakyat yang lain, yang pada garis besarnya tidak jauh berbeda dengan hikayat ini. Dalam bandingannya dengan Cerita Tiga Piatu di Bali, dengan Cerita Aryo Menak, di Madura, dan Cerita Orang Yang Memperisterikan Putri Dari Kayangan di Sulawesi, dikatakan putri kayangan tersebut telah bertengkar dengan pemuda yang mencuri pakaiannya[3]. Dia juga telah menolak lamaran si pemuda, karena dia mempunyai firasat bahwa tentulah pemuda ini yang telah mencelakakan dirinya. Karena tidak ada orang lain yang dapat ditunjuk untuk memberi kesaksian, selain dari pemuda tersebut. Di fihak lain kita melihat perjodohan Maleem Diwa dengan Putri Bungsu merupakan perkawinan antara dua makhluk yang berbeda dunianya. Maleem Diwa merupakan manusia dari bumi kita ini atau bumi Aceh dalam pandangan masyarakat Aceh-sedangkan Putri Bungsu makhluk kayangan. Dengan ini hikayat memberikan suatu lukisan perkawinan antara dua makhluk yang berbeda latarbelakang sosialnya. Perkawinan semacam itu dapat menimbulkan konflik-konflik sosial.
Intisari dari keempat bagian hikayat jelas mengemukakan nilai-nilai dalam masalah tingkah laku sosial. Secara sederhana dapat dilakukan, seorang anggota masyarakat harus meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya. Tidak ada alasan yang dapat dipakai oleh seorang pun untuk berlepas tangan dari kepentingan umum itu. Kepentingan umum adalah kepentingan dirinya sendiri. Dia harus bersatu dengan masyarakat. Dia harus mempunyai tingkah laku sosial yang sesuai dengan kepentingan bersama.
C.    Sejarah Sosial Masyarakat Pedesaan Sibreh, Aceh Besar
Batas waktu dari periode sejarah yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah masa 1945-1971, yang dibagi menjadi dua periode pokok yaitu masa revolusi, 1945-1950, danmasasesudahrevolusi, 1950-1971. Dalam perkembangan sejarah kontemporer di Indonesia pada umumnya di Aceh pada khususnya, jelas bahwa periode tersebut penuh dengan peristiwa-peristiwa penting. Tidak lama sesudah Proklamasi Kemerdekaan terjadi peristiwa Cumbok, awal 1946, yang merupakan pergolakan sosial antara rakyat yang dipimpin oleh uleebalang dan rakyat yang dipimpin oleh ulama di daerah kabupaten Aceh Pidie.
Pada bulan September 1953 di Aceh muncul gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh Teungku Mohammad Daud Beureueh. Gerakan ini timbul antara lain sebagai pengaruh dari gerakan Darul Islam di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kartosuwirjo pada tahun 1949.
Peristiwa Cumbok dangerakan Darul Islam di Aceh mempengaruhi perkembangan politik di sana. Dalam perkembangan berikutnya terjadi pemberontakan komunis tahun 1965 dan pemilihan umum 1971. Kedua kejadian ini banyak membawa perubahan perkembangan politik di Aceh sesudah tahun 1971.
Dengan batasan waktu tersebut di atas maka persoalan-persoalan yang akan dibicarakan, disusun sebagai berikut. Pertama, perubahan sosial di dalam masyarakat selama revolusi, 1945-1950. Dalam hubungan ini akan diuraikan terlebih dahulu struktur sosial masyarakat pedesaan Sibreh sebelum revolusi, pada masa itu masih merupakan pemerintahan Uleebalang VII Mukim Baet. Padauraian yang kedua, persoalannya berkisar pada aliran-aliran agama islam. Pembahasannya akan meliputi pertumbuhannya, ciri-ciri organisasinya dan kepemimpinannya. Uraian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan sosial di dalam masyarakat setelah revolusi. Persoalan yang ketiga, membahas pertumbuhan politik di pedesaan selama periode tersebut di atas, antara lain melalui uraian mengenai hubungan antara perkembangan perkembangan politik dan pertumbuhan sosial masa revolusi, terutama dalam hubungannya dengan perkembangan politik dan aliran-aliran Islam yang ada.
D.    Struktur Sosial Masyarakat Desa Abad ke-19

1.      Klas-klas Sosial di Dalam Birokrasi Pemerintahan
Sekurang-kurangnya sejak pertengahan abad ke-19 Sibreh telah merupakan tempat penting dari pemerintahan Uleebalang VII Mukim Baet.[4] Struktur sosial dalam masyarakat pada waktu itu dicerminkan oleh suatu pengaruh dari struktur birokrasi pemerintahan dan system sosial ikatan territorial desa. Dengan demikian pengelompokan klas-klas sosial di dalam masyarakat dapat dibahas melalui garis-garis vertical dan horizontal.
Di aceh besar uleebalang merupakan figure politik yang diberi sejumlah kemukiman oleh sultan[5]. Berdasarkan Sarakata[6] uleebalang mempunyai hak-hak memungut pajak dan mengatur perdagangan. Pada masa pemerintahan kesultanan, secara vertical uleebalang VII mukim baet termasuk wilayah administrative pemerintahan Sagi XXII Mukim[7] dan berada di bawah kekuasaan panglima polem.
Dalam bidang pemerintahan uleebalang mempunyai staf pegawai untuk urusan-urusan pemerintahan umum dan keagamaan.Jabatan-jabatan ituialah sebagai berikut, waki (wakil uleebalang) yang bertugas membantu administrasi, keerani uleebalang (semacam kepala kantor atau sebagai juru tulis), upaih uleebalang (polisi ulee balang), pesuruhuleebalang (petugas yang menyampaikan perintah uleebalang kepada para imeum mukim). Urusan agama dan pengadilan diserahkan kepada staf ulama, seorang diantaranya diangkat menjadi kepalanya dengan jabatan kali uleebalang, sebagai identitasnya ia menggunakan sebutan tambahan teung kuchik.
2.      Klas-klas sosial dalam ikatan territorial
Dilihat dari pola konsentrik dapat disebutkan bahwa system sosial masyarakat merupakan klas-klas sosial yang terikat oleh ikatan keluarga dan ikatan territorial. Pola sosialnya mengikuti jalur horizontal dalam memenuhi tujuan bersama di bidang-bidang sosial, ekonomi dan agama. Pengelompokan sosial dilihat dari mata pencahariannya dapat dibedakan menjadi tiga golongan besar. Pertama, golongan ureueng meutani (petani),mereka ini dapat dibagi kedalam strata sosial yang lebih luas lagi berdasar jenisa ktivitasnya.Kedua, golongan ureung dagang (pedagang) dan ketiga, golongan utoh (tukang). Apabila kita mengikuti pembagian masyarakat pedesaan VII Mukim Baet dari Snouck Hurgronje,[8] mereka ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan ureueng tunong (orang yang tinggal di pegunungan dan sering disebut ureueng duson (orang desa) dan golongan ureueng baroh (orang yang tinggal di dataran rendah, mereka termasuk orang kota).
Di dalam ikatan territorial terdapat klas special yang dikategorikan sebagai ulama. Status seorang ulama ditentukan oleh tiga unsure  yaitu pertama, kepergiannya dari gampong ke dayah (pengertian yang umum disebut pesantren); kedua, rantauannya  dari dayah yang satu ke dayah yang lain dan ketiga, pengetahuan agama yang dimilikinya. Dalam hubungan ini Siegel mengukur status seorang ulama hanya dari segi kepergiannya dari desa ke dayah.[9] Dengan ukuran tersebut di atas diperoleh suatu tingkatan ulama yang ditandai oleh pemakaian sebutan tambahan.Seorang ulama besar berhak memakai sebutan teungkuchik, seorang ulama menengah memakai sebutan teungku dibalai dan seorang ulama rendah memakai sebutan teungku.
Rupanya seorang didalam usahanya mendapatkan sebutan teungku chik memerlukan proses waktu yang cukup lama. Kita ambil contoh. Sejak permulaan Perang Aceh hingga tahun 1930 di dalam wilayah VII Mukim Baet hanya terdapat beberapa ulama dengan sebutan teungku chik, yaitu Teugnku Chik di Lamkrak (Dayah Lamkrak), Teungku Chik Lambirah (Dayah Lambirah) dan Teungku Chik di Lamjabat (Dayah Jeurla).
E.     Perubahan Sosial Masyarakat Pedesaan Selana Revolusi
            Pada dasarnya para sejarawan akan sependapat bahwa revolusi adalah masa krisis sosial dan politik dengan intensitas yang tinggi. Krisis disebabkan karena perasaan tidak aman dan penuh kegelisahan yang langsung menyangkut soal kelangsungan hidup.[10] suatu hal yang sangat penting adalah seberapa jauh nilai-nilai revolusi tersebut mempunyai pengaruh terhadap perubahan sosial di dalam masyarakat. Dalam hubungan dengan persoalan itu maka pada bagian ini akan diuraikan perubahan sosial di dalam masyarakat pedesaan Sibreh selama revolusi, 1945-1950. Inti solidaritas sosial daripada semua kelaskaran tersebut tercermin dalam pembagian tugas yang efektif. Tugas-tugas itu ialah mengurus jaringan hubungan organisasi antar desa dan kota. Para wanita yang menjadi anggota Pesindo juga mempunyai tugas yang jelas.[11] Semangat kemerdekaan masyarakat pedesaan Sibreh juga tercermin dalam pengunaan symbol-simbol dan partisipasi pada pemerintahan local yang bercorak nasional. Konsep tradisionil dari ikatan vertical retak, status keluarga uleebalagn kini tidak lebih dan tidak kurang sebagai salah satu dari berbagai kelompok sosial yang ada dalam masyarakat, berbeda dengan status mereka sebelumnya sebagai orang utama[12] dan bangsawan.[13]
F.     Gerakan Faham Pembaharuan dan Perubahan Sosial
Dalam menguraikan gerakan faham pembaharuan gagasan agama di dalam masyarakat pedesaan Sibreh, dirasa perlu dijelaskan pengertian penggunaan istilah faham di dalam karangan ini. Dalam hubungannya dengan persoalan yang akan dibahas istilah faham di sini diartikan dengan pengertian aliran,[14] yaitu suatu gagasan agama yang hidup di dalam masyarakat yang mempunyai cirri-ciri yang dapat membedakannya dengan faham yang lain. Didalam masyarakat Sibreh terdapat aliran maju dan aliran kuno atau aliran tua, yang sebenarnya merupakan istilah lain dari pada faham maju dan faham juno. Di dalam membicarakan gerakan faham pembaharuan, dirasa perlu menyinggung sedikit tentang aliran tarekat. Dalam hubungan ini tarekat dapat dipandang sebagai gerakan kontra terhadap faham pembaharuan dalam islam, dan oleh karena itu sebagai bandingan mungkin akan dapat lebih memperjelas pengertian tentang faham itu. Selanjutnya, ia juga akan dapat member gambaran yang lebih luas tentang Masyarakat Sibreh.
Sebuah tarekat yang hingga kini masih hidup adalah Tarekat Naksyabandiyah.[15] Tarekat ini berlokasi di Dayah Blangpreh yang terletak di Lamkrak. Dayah ini dikenal dengan nama Dayah Teungku Rani. Teungku Rani adalah seorang ulama yang memimpin Dayah Blangpreh dan Tarekat Naksyabandiyah tersebut diatas. Beberapa hal yang menarik untuk diketahui dalam kehidupan tarekat di sini adalah segi-segi ajarannya, keanggotaannya, hubungan sosial mereka dan peranan sosialnya di dalam masyarakat.




G.    Perubahan Politik Pedesaan 1945-1971
            Tingkat awal dari pertumbuhan politik pedesaan Sibreh nampaknya banyak dipengaruhi oleh organisasi PUSA yang dibentuk tahun 1940 dan dibawah pimpinan Teungku Haji Hamzah. Dalam pimpinan PUSA tampak bahwa elite reformis tahun 1930-an memainkan peranan penting, sesudah Proklamasi Kemerdekaan 1945, Teungku Haji Hamzah, Teungku Yusuf Lamlheu, Teungku Moh. Amin Aloe dan Ibrahim Muda Husein (semuanya dari PUSA dan pemuda PUSA) mendirikan partai Masyumi pada bulan Maret 1946. Dilihat dari asal kepemimpinan dalam Masyumi dapat dikemukakan bahwa mereka dapat dikelompokan menjadi kelompok elite reformis tahun 1930-an dan kelompok modernis PUSA 1940. Dalam hal ini rupanya terdapat perbedaan unsure-unsur sosial pendukung Masyumi pada masa revolusi. Di Jawa pendukung nya terdiri dari unsure-unsur: kelompok sosial agama (intelektuil didikan Barat), kelompok modernis dan kelompok ortodoks radikal (kyai radikal). Disini tampak bahwa kelompok ortodoks radikal di Aceh tidak masuk dalam unsure-unsur pendukung Masyumi, mungkin kelompok ini cenderung kepada PSII (Partai Serekat Islam Indonesia).
H.    Kepemimpinan dalam Masyarakat Pedesaan Montasik, Aceh Besar
            Didalam masyarakat pedesaan yang tergabung dalam wilayah ministratif Kecamatan terdapat pertemuan antara unsure administrasi pusat yang relative modern dengan unsure administrasi masyarakat pedesaan yang tradisionil. Pemimpin dari kedua unsure ini, yakni pemimpin yang mempunyai kekuasaan atas dasar jalur kekuasaan formil dalam pemerintahan, mempunyai latar belakang asal-usul yang berbeda. Pemimpin dari administrasipusat adalah pemimpin yang ditempatkan dari atas dengan ketentuan legitimasi dari atas pula yang relative lebih modern. Pemimpin ini yaitu camat, selanjutnya disebut pemimpin formil. Sedang pemimpin dari unsure masyarakat pedesaan menjelma dalam bentuk tradisi gempong dan tradisi mukim. Pada mulanya mereka dilahirkan oleh tradisi masyarakat pedesaan, tetapi kemudian disyahkan oleh administrasi pusat sebagai jalur terbawah dari kekuasaannya. Pemimpin semacam itu disebut pemimpin formil tradisionil. Wilayah Kecamatan Montasik luasnya 196 kilometer persegi, terpakai untuk perkampungan dan perkarangan seluas 40 kilometer persegi, sawah (hamper seluruhnya sawah tadah hujan) 40 kilometer persegi, perladangan 51 kilometer persegi, padang rumput 25 kilometer persegi serta Kehutanan 40 kilometer persegi.[16]
            Tidak mengherankan jika dalam masyarakat pedesaan ini, uang telah menentukan status seseorang dalam masyarakat di samping pemilikan tanah yang merupakan unsure dasar masyarakat pedesaan pertanian. Dari unsure tanah dan uang ini, lahir penghargaan terhadap orang-orang dalam masyarakat atas dasar kekayaan. Rupanya hal ini sama seperti di daerah-daerah lain seperti Jawa[17] atau ditempat-tempat lainnya di Asia Tenggara.[18] Atas dasar kekayaan diketahui adanya stratifikasi sosial yang terdiri dari golongan kaya (ureueng kaya), golongan cukup (ureueng sep pajoh) dan golongan miskin (ureueng gasin). Struktur sosial semacam ini adalah struktur yang diterima masyarakat sebagai kodrat dari Allah.[19]
I.       Asal-usul dan Macam-macam Kepemimpinan
            Dalam masyarakat pedesaan yang tergabung dalam wilayah administrative kecamatan, seperti telah diutarakan dimuka, terdapat pertemuan antara unsure administrasi pusat yang relative modern dengan unsure administrasi masyarakat pedesaan yang tradisionil. Unsure administrasi pusat yang dimaksudkan ialah Departemen Dalam Negeri melalui sebuah instansi yang disebut Kantor Camat dengan beberapa dinasnya seperti pertanian, kehewanan, pendidikan masyarakat, keagamaan, pajak dan pembangunan masyarakat desa. Unsure administrasi ini dipimpin oleh camat, yang dalam hubungan ini disebut pemimpin formil. Pada unsur administrasi masyarakat pedesaan yang tradisionil terdapat dua tingkat masing-masing tradisi mukim dan tradisi gampong. Gampong adalah masyarakat hokum terkecil dengan dasar ikatan territorial, yang dipimpin oleh keuchik[20] untuk urusan umum dan imeum meunasah untuk urusan keagamaan. Untuk melaksanakan pekerjaannya keuchik mengangkat dewan orang tua (tuha peut) yang bijaksana, berpengalaman, sebagai dewan yang memberikan nasehat dan pertimbangan.[21]
            Sehubungan dengan asal-usul kepemimpinan ini perlu diketengahkan latar belakang yang mempengaruhi keadaan kepemimpinan sekarang ini, dimana golongan ulama POESA atau bekas-bekas tokoh DI/TII atau sekarang pemimpin politik “di belakang layar” dari Parmusi di daerah itu, kuat sekali pengaruhnya dalam masyarakat. Salah satu cirri kepemimpinan pada masa lampau ialah terpusatnya kekuasaan pada tangan uleebalang sebagai pemimpin formil. Pemimpin-pemimpin yang ada di bawah nya seperti teuku imeum, kepala mukim sekarang, dan keuchik meminjam kekuasaan uleebalang dalam rangka melaksanakan pengaruhnya ke dalam masyarakat. Ciri lainnya, bahwa proses kepemimpinan berlangsung secara turun temurun khususnya untuk uleebalang dan teuku imeum yang ditunjuk dari golongan bangsawan seketurunan. Terjadinya pergantian kepemimpinan ini disebabkan karena dihayatinya nilai-nilai demokratis akibat perang kemerdekaan di satu pihak dan di lain pihak karena golongan ulama adalah golongan yang paling dekat dengan rakyat atau massa petani dan lebih banyak mempunyai persamaan identitas dengan massa petani.[22] Pergantian ini terjadi pula untuk pemimpin formil tradisionil, kepala mukim dan keuchik, kecuali satu dua orang yang dapat diterima oleh golongan ulama POESA.
J.      Pengendalian Sosial di Aceh Besar
            Dalam masyarakat manapun senantiasa terjadi ketegangan-ketegangan yang mungkin disebabkan karena adanya kebutuhan yang berbeda antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok dan sebagainya. Pertentangan dan ketegangan itu mungkin pula disebabkan karena adanya watak, perangai  tingkah laku serta berbagai sebab lainnya. Hal-hal yang demikian tentu saja membutuhkan pengendalian, kalau tidak, pasti akan terjadi kekacaubalauan dan malapetaka. Berbagai macam cara yang mengendalikan ketegangan-ketegangan dalam masyarakat atau mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak diinginkan, disebut system pengendalian sosila atai social control.[23] Jadi, pengertian pengendalian sosial dari segi sosiologis adalah amat luas, karena merupakan suatu proses dan system yang mungkin bersifat mendidik, mengajak ataupun mungkin memaksa anggota-anggota masyarakat agar mau mentaati norma-norma dalam masyarakatnya. Dengan demikian ia akan memperkokoh struktur dan menjaga integritas masyarakat tersebut secara keseluruhan. Pada umumnya pengendalian sosial dengan berpedoman pada berbagai norma itu dilaksanakan serta dikembangkan oleh lembaga-lembaga sosial seperti lembaga keluarga. Lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan sebagainya. Aceh Besar, yang oleh orang aceh sendiri disebut Aceh Rayeuk, adalah salah satu dari sepuluh kabupaten dan kotamdya yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan terletak di bahagian paling ujung Pulau Sumatera. Di bawah pemerintahan kabupaten sebagai daerah otonom terdapat wilayah pemerintahan administrative kecamatan dan seterusnya terdapat mukim dan gampong (kampong) sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat hokum yang asli. Mukim, berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat tinggal.[24]
K.    Norma-norma Dalam Masyarakat
            Cirri utama suatu masyarakat manusia ialah suatu kebudayaan sebagai hasil berbagai karya, rasa dan cipta manusia selaku makhluk berakal, baik untuk melindungi dirinya sendiri dari keganasan alam maupun dalam rangka menaklukannya. Ataupun untuk menyelenggarakan hubungan hidup bermasyarakat secara tertib dan utuh. Salah satu hasil karya, rasa dan cipta untuk menyelenggarakan kehidupan yang tertib dan utuh itu, ialah lahirnya nilai-nilai yang berwujud norma-norma yang berisikan ketentuan-ketentuan bagaimana seharusnya tindakan anggota-anggota masyarakat itu dalam kehidupan bermasyarakat. Norma-norma untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat yang tertib bukan hanya terdiri dari hasil karya, rasa dan cipta manusia saja seperti norma-norma adat dan hokum, akan tetapi juga berada di luar kehendak manusia itu sendiri, yaitu norma-norma agama yang berasal dari Tuhan yang mahakuasa.
            Adat sitiadat senantiasa tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan masyarakat yang nyata, cara berpikir dan [andangan hidup yang secara keseluruhan merupakan kebudayaan dari masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat di mana istiadat itu hidup dan berkembang. Adat istiadat suatu tempat merupakan norma-norma yang telah berlaku sepanjang masa dan telah diwariskan secara turun temurun sehingga merupakan sesuatu yang harus dipatuhi dalam menyelenggarakan kepentingan bersama. Norma-norma tersebut berlaku oleh tekanan-tekanan masyarakat pendukungnya dan pejabat-pejabat adat.[25] Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa ada istiadat dapat saja berubah sewaktu waktu dengan timbulnya peristiwa-peristiwa tertentu ataupun kebutuhan-kebutuhan baru yang memerlukan penyelesaian dan penyesuaian secara baru pula. Jika suatu keadaan dan kebutuhan tertentu timbul dan masyarakat mengakui keadaan dan cara penyelsaian itu, maka tersusunlah menggantikan norma-norma adat istiadat yang lama.
L.     Lembaga-lembaga Yang Menaklukan Pengendalian Sosial

1.      Lembaga Keluarga
            Beberapa aspek pengendalian sosial dari lembaga keluarga antara lain dapat kita saksikan dari system-sistem yang telah berkembang dalam lembaga tersebut. Pemberian rumah kepada anak perempuan sebagai rumah peunulang (rumah pemberian) yang telah merupakan adat dan tetap bertahan sampai sekarang, dilihat dari segi pengendalian sosial mempunyai akibat yang sangat positif, yaitu kuatnya kedudukan si isteri dalam rumah tangga. Selaku pemilik rumah, isteri di Aceh Besar disebut peurumah, yang berasal dari kata po rumoh, artinya yang empunya rumah. Dalam keadaan yang demikian suami tidak dapat sewenang-wenang menghardik dan mencoba mengusir isteri dari rumah kepunyaan sendiri, sehingga tercegahlah terjadi perceraian oleh sebab-sebab yang amat kecil. Apabila seorang anak telah dewasa atau telah berumah tangga, maka lazim pula bagi pihak orang tua untuk memisahkan sebagian hartanya, baik barang tetap maupun bergerak, untuk kepentingan anak yang telah dewasa atau yang telah berumah tangga. Peristiwa dan upacara pemisahan itu biasanya dilakukan di hadapan keuchik, teungku meunasah, ahli family dan orang-orang tua gampong dan disebut upacara pumeukleh,[26] artinya memisahkan. Telah merupakan adat pula bahwa harta yang telah dipisahkan itu dapat dicabut kembali oleh orang tua yang memberikannya, dengan alasan-alasan tertentu seperti kalau anak menjadi durhaka, tidak bertindak sopan atau melakukan hal-hal yang memalukan orang tuanya.
2.      Lembaga Perekonomian
            Masyarakat Aceh Besar yang masih berorientasi pada pola ekonomi agraris tradisionil, dalam beberapa hal mengenai system perekonomiannya, masih punya hubungan langsung dengan system pengendalian sosial. Dalam system mawah (bagi hasil) umpamanya, factor kejujuran dan kerajinan sangat menentukan untuk mendapat kepercayaan masyarakat, terutama para pemilik alat-alat produksi, seperti pemilik tanah, ternak dan uang. Seseorang yang di desanya terkenal hana amanah (tidak dapat dipercaya), cepat sekali menjadi bahan pembicaraan umum di meunasah-meunasah, warung-warung, sawah dan sebagainya.

3.      Lembaga Keagamaan
            Lembaga keagamaan biasanya merupakan berbagai susunan pola-pola kepercayaan dan tingkah laku yang bersangkutan dengan hubungan antara manusia dengan alam gaib. Tugas utama dari agama ialah memberi petunjuk dan orientasi kea rah itu. Orientasi di atas mengambil bentuk usaha memohon pertolongan dan mendapat perlindungan dari tuhan, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, menyelenggarakan dakwah, member kedudukan yang terhormat kepada pemuka-pemuka agama dan sebagainya. Masyarakat Aceh Besar memandang ulama yang benar-benar saleh dan bersih dari kekotoran duniawi sebagai warasat ul ambiya (pewaris para nabi). Oleh karenanya dalam membayar zakat, umpamanya, masyarakat lebih cenderung menyerahkan pada ulama tersebut daripada ke lembaga-lembaga resmi yang dipentuk oleh pemerintah. Disamping itu, dapat pula kita saksikan tidak sedikit kasus tentang penyelesaian persengketaan, kegaduhan dalam rumahtangga yang dapat diselesaikan hanya dengan adanya fatwa dari seorang ulama. melalui kasus yang dikemukakan di bawah ini dapat kita fahami betapa berperannya seorang ulama di suatu tempat.
4.      Lembaga Pemerintahan
            Lembaga pemerintahan adalah semua lembaga yang ikut serta dalam proses pelaksanaan administrasi Negara, seperti pemeliharaan ketertiban umum, peradilan dan lain-lain. Cirri khas lembaga pemerintahan yang membedakannya dari lembaga-lembaga lain ialah bahwa lembaga pemerintahan merupakan organisasi yang disusun berdasarkan pranata hokum, sehingga cukup mempunyai kewibawaan dan kekuasaan yang dilimpahkan oleh Negara kepadanya.
M.   Kelahiran dan Pengasuhan Anak di Pedesaan Aceh Besar
            Daerah penelitian adalah dua buah kemukiman[27] yaitu Tungkob dan Lam Ara yang termasuk dalam kecamatan Darussalam dan kecamatan Darul Imarah di Kabupaten Aceh Besar. Luas tanah Tungkob 13 kilometer persegi, dan jumlah penduduk 3.113.[28] luas areal tanah Lam Ara 8,5 kilometer ppersegi, dengan jumlah penduduk 4.979.[29]  kedua kemukiman ini terletak di sebelah timur laut dan barat daya ibu kota propinsi Banda Aceh, masing-masing sejauh 8 kilometer dan 4 kilometer. Jalur penghubung dengan kota hanya satu jurusan dan kondisi jalan kurang baik. Oleh karena kedua daerah ini tidak mempunyai arti ekonomi maka keadaannya tidaklah ramai dan bus pengangkutan jarang sampai ke tempat ini. Pada kiri kanan jalan raya terdapat persawahan penduduk yang diolah secara alam. Irigasi belum ada. Jalur penghubung antara satu gampong (kampung) dengan gampong lain yang ada di dalam mukim ialah lorong-lorong dan pinggir-pinggir pematang sawah.
N.    Adat Istiadat Pada Masa Hamil dan Kelahiran
            Anak merupakan kebanggaan keluarga, banyak anak banyak rezeki. Pembahasan jumlah anak kurang disetujui karena dianggap bertentangan dengan agama. Karena kurang penjelasan, sikap ini mereka dengar dari mulut ke mulut. Tetapi jika ada informasi jelas yang dapat dicernah oleh akalnya sikap itu akan berubah. Tampaknya ada keluhan-keluhan keluarga yang mempunyai warga yang besar tentang sulitnya mencari makan, apalagi menyekolahkan anak. Juga peran adat yang hamper mengisi lingkaran hidup individu, dari mana hamper setiap langkah memasuki fase baru dalam kehidupan anak, selalu diberkahi dengan upacara yang memerlukan biaya pula.
1.      Keinginan Memperoleh Anak
            Bagi keluarga yang setelah menikah tiga atau lima tahun belum juga memperoleh anak, ada rasa cemas terutama dari pihak isteri, karena khawatir kalau suami akan menikah lagi. Mereka berusaha meminta pertolongan dukun dan bantuan arwah-arwah orang suci.[30] Yang sering dikunjungi ialah makam Syiah Kuala di Banda Aceh. Dukun memberikan pertolongan dengan mengurut bahagian perut, dengan minyak kelapa yang telah diasap kemenyan dan diberi mantera. Pengurutan biasanya dilakukan tiga kali berturut-turut selama tiga hari. Golongan terpelajar meminta pertolongan dokter. Sebahagian masyarakat kota melakukan keduanya karena kurang yakin jika hanya ke dokter saja. Golongan ini yang sebenarnya masih berada dalam fase transisi mereka, telah mulai mengikuti arus kota tetapi belum dapat melepaskan diri dari kebiasaan lama. Sikap ini menunjukkan bahwa kepercayaan magis dan belum hilang.


2.      Keguguran
            anak yang lahir karena kurang bulan dianggap kena gangguan roh jahat, seperti boerong (Pontianak, kuntilanak). Menurut kepercayaan, boerong ini berasal dari roh wanita yang mati karena meumukah (berzina).[31] Yang terkenal dan ditakuti ialah boerong yang bernama Nek Rabi, berasal dari kampong Tanjung, mukim Pagar Aye, dan Po cut Siti yang kuburannya ada di mukim Tungkob.[32] Kedua wanita ini dibunuh oleh suami gelap, karena mengandung dan roh mereka menjadi boerong. Walaupun kepercayaan ini telah mulai berkurang  tetapi masih ada yang datang menziarahi kuburannya melepaskan nazar. Boerong suka mengganggu wanita hamil dan yang baru melahirkan. Menurut orang Aceh suara boerong itu meu’i’i (berbunyi nyaring), tetapi yang berbahaya ialah bila ia masuk dengan diam-diam ke dalam tubuh wanita yang telah kemasukan boerong ini tidak sadar. Orang yang dapat dianggap dapat menyambut dan mengusirnya ialah dukun. Sebelum diadakan pengobatan, dukun bertanya dulu, siapa yang datang dan apa keinginannya. Ia memperkenalkan dirinya dengan menyebut namanya dan meminta makanan yang enak-enak. Permintaan dikabulkan dan oleh dukun ia diminta pergi dan jangan mengganggu dengan perjanjian bahwa rumahnya (kuburannya) akan diziarahi. Setelah sembuh kaoy (nazar, janji) si sakit ditepati oleh keluarga.
3.      Adat Istiadat Pada Masa Hamil, Pantangan, Tangkal
            Masyarakat mengenal beberapa upacara adat pada masa hamil seperti boh kayee (membawa buah-buahan), jak me bu (membawa nasi), manoe tujoeh buleun (mandi tujuh bulan). Upacara ini terutama untuk aneuk phon (anak pertama), tetapi bagi keluarga mampu upacara ini diadakan juga pada kehamilan berikutnya.
4.      Pantangan
            Pantangan ini perlu mendapat perhatian karena bila dilanggar akan mengakibatkan bayi sukar lahir atau cacat. Untuk menghindari bahaya, wanita hamil dilarang ba’ulee reunyeuen (duduk di kepala tangga), agar tidak dapat kesukaran pada waktu melahirkan, dan dilarang melihat monyet, agar anak lahir tidak akan serupa monyet.[33] Ada pula larangan keluar di senja hari, karena pada waktu ini setan, boerong berkeliaran, dan pantang memasak kue sepit, karena dapat mengakibatkan bibir anak akan sumbing. Tabu hamil juga berlaku untuk si bapak. Ia dilarang memukul binatang atau berpergian di malam hari. Jika terpaksa pulang malam ia tidak boleh langsung naik ke rumah tetapi harus berhenti sebentar di luar atau di meunasah.[34] Ada pula yang harus mengelilingi rumah tiga kali atau memutar tumit kaki kanan di atas tanah tujuh kali. Adanya pembatasan tingkah laku si bapak menunjukkan bahwa antara bapak dan anak terdapat hubungan mistis, karena tingkah laku bapak akan mempengaruhi anaknya.[35] Pantangan-pantangan ini sebenarnya mempunyai nilai kesehatan, akan tetapi karena rendahnya daya fikir, akibat kurang nya ilmu pengetahuan maka mereka lebih banyak mengikuti saja tingkahlaku orangtuanya yang telah diwariskan pula dari nenek moyangnya.
5.      Tangkai (Tangkal)
            Karena ada kepercayaan bahwa wanita hamil suka diganggu oleh roh jahat atau makhluk halus yang menyebabkan ia berada dalam bahaya, maka dicari usaha mencegahnya yaitu benda-benda atau ayat suci yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Untuk dipakai tangkai atau azimat.
6.      Adat Kebiasaan Melahirkan
            Setelah keliatan tanda-tanda bayi akan lahir bideun dipanggil. Bideun yang memperoleh keahlian warisan dari ibu dan neneknya, mempunyai pengetahuan magis dan ilmu kedukunan. Alat yang perlu digunakan dipersiapkan; benang, teumen (pisau bambu), kunyit dan sirih selengkapnya. Dua yang tersebut terakhir disediakan oleh yang berkepentingan.
            Seorang wanita biasa melahirkan di seuramo likot (serambi belakang)[36] dengan memperhatikan bentuk rumah. Wanita yang akan melahirkan berbaring diatas lantai yang di alas dengan tikar, alat pemegang lantai rumah,[37] atau leher dari si pemangku. Yang di perkenankan hadir hanyalah yang berfungsi menolong. Suami dengan keluarga lainnya menanti di jurai dan di rambat.[38] Bideun memulai melakukan tugasnya dengan membaca mantera dari bahasa Arab dan diucapkan pelan-pelan. Jika bayi meularat (sukar lahir), bideun  menggunakan ilmu kedukunan yang sangat rahasia. Jika dapat, suami dipersilakan untuk membaca doa seulusoh ke dalam air pada sebuah mangkok yang kemudian di minumkan pada si sakit.[39] Sebagai usaha selanjutnya jika bayi belum juga lahir, bideun menganjurkan pada si sakit agar meminta maaf pada suami, mungkin ia ada membuat kesalahan, sehingga mengganggu kelahiran. Pemeah lon (maafkan saya).[40] Sebagai tanda keihlasan suami melangkahi isterinya tiga kali dari kiri ke kanan dengan mengucapkan bah that saket jak laju u lua (walaupun sakit lekaslah keluar). Kemudian suami menghembus kening isterinya tujuh kali dengan niat pakriban bade ngon keu lahe ( bagaimana derasnya badai begitulah cepatnya engkau lahir). Tingkah laku suami menjadi symbol pembuka pintu sedangkan hembusan nafas merupakan symbol pendorong. Dengan demikian tingkahlaku simbolis ini mempunyai kekuatan magis yang dianggap dapat menolong mempercepat kelahiran.
7.      Pengobatan
            Setelah anak selesai di bersihkan, bideun membersihkan ibunya pula. Seluruh badan dibersihkan dan yang terakhir disiram dengan ie boh kruet (air jeruk purut), agar tidak dimasuki roh jahat dan untuk juga menghilangkan bau amis (hanyir). Setelah tugas ini selesai, bideun datang memandikan bayi dan ibunya serta mengurut keduanya pada hari ketiga, kelima dan ketujuh.
8.      Bideun[41]
            Panggilan bideun bergantung pada bagaimana ia dipanggil sehari-hari oleh keluarganya misalnya, nyak Wa, nyak Muh. Dari panggilan ini terlihat bahwa hubungannya dengan warga masyarakatnya bersifat kekeluargaan. Bideun umumnya mempunyai profesi rangkap yaitu sebagai penolong wanita yang akan dan telah melahirkan, meurajah obat aneuk-aneuk (meramu obat anak-anak), teungku ineung, pelaksana adat, dan sebagai penyelenggara upacakeperluan wanita yang telah meninggal. Dari banyak nya tugas yang dipegang, nyatalah betapa besar peranannya di dalam masyarakat nya. Ia turut sebagai penyalur nilai-nilai budaya pada generasi sesudahnya. Melalui pengajaran mengaji ia menanamkan adat sopan santun, perbuatan baik yang harus dilakukan, perbuatan buruk yang harus ditinggalkan, dan memperkenalkan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
9.      Upacara Setelah Kelahiran
            Masyarakat mengenal beberapa jenis upacara yang disertai kenduri. Setelah bayi berumur tujuh hari di adakan upacara peucicab (member rasa). Pada bibir si bayi disapukan air buah-buahan atau madu. Pemberian rasa manis ini mempunyai arti simbolis, agar supaya anak manis (bahagia, senang) hidupnya. Kemudian di atas dada si bayi diletakan hati ayam, surat yasin atau keris yang juga mempunyai arti simbolis agar si bayi mempunyai jiwa yang teguh, kuat iman dan menjadi orang yang saleh. Oleh teugku jika bayi itu laki-laki, dan teungku ineung bila perempuan, hati ayamnya itu dibalik-balik di atas dadanya supaya bila mendapat kesulitan, fikirannya cepat berputar untuk mencari jalan keluar. Biasanya pada saat ini pula bayi cuko cek (cukur rambut), tetapi dapat ditunda pada hari lain. Demikian pula geboh nan (pemberian nama) dan haqiqah (hakikah) dilaksanakan serentak. Ketiganya ini menurut hukum islam.[42] Pada waktu cuko cek, rambut dan alis mata turut dicukur, kemudian di masukkan ke dalam kelapa yang telah di hias sedemikian rupa sehingga berbentuk mangkok yang bertutup indah dan ditanam. Pada masa lalu ada yang mengirimkannya ke Mekkah kepada Syekh agar mendapat berkat.
O.    Pemeliharaan Anak dan Latihan
            Badan bayi masih sangat lemah, demikian pula semangatnya. Semangat mudah terbang bila seseorang terkejut misalnya kalau ia diganggu oleh setan atau mendengar suara keras seperti petir. Demikianlah keterangan seorang ibu yang sedang mengunyah jeurangeu (jerango), dan ceuko (cukur, kencur) di mulutnya yang kemudian akan diseumbo (disembur) pada bahagian ubun-ubun bayinya yang berumur satu bulan. Karena menurut anggapan, dari sinilah keluar (terbang) semangat. Pada lengan kanan atau pada lehernya digantungkan azimat yang telah diberi bertali sebagai tangkal setan. Untuk menghindarkan gangguan-gangguan yang mungkin dapat menyebabkan bayi sakit maka ia tidak boleh di tinggalkan sendirian. Biasanya ia digendong, diayun (dibuai) oleh ibu atau saudaranya.

1.      Mengayun, Menggendong
            Kebiasaan ibu-ibu dalam masyarakat ini ialah mengayun (membuai) dan menggendong bayinya jika akan menidurkan, diiringi nyanyian yang bersifat keagamaan, misalnya “La ila ha illallah, Muhammadarasullullah” (Tiada tuhan selain Allah, Muhammad itu Rasul Allah) dengan irama khas Aceh. Menurut keterangan salah seorang informan yang telah berusia tujuhpuluh tahun, bentuk nyanyian itu dan demikian pula irama lagunya tidak berubah dari yang pernah dinyanyikan untuk menidurkan anak-anaknya. Masyarakat ini yang terikat pada agama dan adat itu telah mendidik anak-anaknya dengan dasar keagamaan sejak dalam ayunan.
2.      Beudeung (Bedung)
            Sejak hari pertama kelahiran bayi dimandikan kemudian di bedung. Ia dibedung mulai dari kepala (sebagai topi), kemudian kedua belah tangannya. Badan dan kaki dibungkus dengan kain[43] dan diikat dengan tali yang terbuat dari kain. Bahan pembendung ija tumpee (kain pembalut tua), biasanya berupa kain sarung atau kain panjang yang dipotong menjadi empat atau lima bagian. Bahan ini telah disediakan jauh sebelum hari kelahiran. Pemakaian kain tua bukanlah ukuran status keluarga tetapi hanya adat keniasaan. Kebersihan kain kurang terpelihara, karena kurang pengertian tentang kesehatan, dan ekonomi yang rendah pula. Lamanya bayi dibedung tergantung pada keinginannya. Bila ia menangis dan meronta-ronta maka tandanya ia tidak mau dibedung lagi. Mulai saat ini ia memakai lampin (popok), yang dililitkan pada bagian bawah badan dengan kaki terbuka. Pada masyarakat ini tidak terdapat kebiasaan memakaikan celana pada bayi dan kanak-kanak sehingga mereka janggal bila disuruh bercelana. Tidak jarang pula karena dipaksa ia mau memakainya dan kemudian waktu bermain-main dibuka dan diletakkannya di sembarang tempat. Stelah mengerti alat kelamin dan merasa malu, ia akan meminta celana kepada orang tuanya. Rasa malu timbul setelah anak berumur enam atau tujuh tahun dan umumnya pada masa ini mereka masuk sekolah dan mengaji.



3.      Menyusukan, Memberi Makan, Menyapih
            Ibu-ibu yang sedang menyusui bayi suka meminum air daun-daunan yang pahit rasanya seperti daun papaya, agar air susu lebih banyak. Mereka tidak memakan makan makanan yang pedas karena khawatir bayi akan sakit perut. Bayi disusukan dengan posisi berbaring, sedangkan sang ibu dapat berbaring, duduk, berdiri atau berjalan. Susu ibu dapat digunakan sebagai alat pengaman bagi si bayi, misalnya ditempat yang ramai ia disusui agar jangan terkejut. Pernah saya melihat seorang ibu menyusukan bayinya dalam perjalanan dengan menumpang bus. Sejak naik bus ia terus menyusukan anaknya sampai turun ke tempat yang ditujunya agar bayi tidak menangis.
4.      Latihan Sopan Santun, Latihan Buang Air
            Latihan sopan santun dimulai setelah ia dapat memegang. Menerima sesuatu pemberian misalnya makanan, harus dengan jaroe get (tangan baik kanan) dan bila ia memberikan jaroe brok (tangan buruk kiri) maka makanan tidak diberikan. Demikianlah latihan ini berulang-ulang dilakukan sehingga difahaminya. Setelah dapat berbicara mulailah dilatih mengucapkan Alhamdulillah (syukur kepada Allah) sebagai tanda terimakasih bila menerima pemberian dari orang lain. Demikian pula latihan buang air kurang mendapat perhatiaan. Pada masa bayi mereka iek (buang air kecil) dan ek (buang air besar) dilampinya, setelah pandai duduk di celananya, dan sudah pandai berjalan, ia lebih banyak melakukannya sendiri. Dan untuk membersihkan ia minta tolong pada ibu atau saudaranya dengan tangis. Karena tangis adalah alat untuk mendapatkan perhatian.
P.     Perkembangan Tingkahlaku Anak
            Masyarakat ini mengenal beberapa tahap perkembangan dalam kehidupan. Seperti pindek (masa menyusu) pada umur 0-2 tahun, lhak (masa lepas menyusu = disapih) pada umur 2-4 tahun, aneuk manyak (masa kanak-kanak) pada umur 4-6 tahun, aneuk mit (cut-cut) (masa belajar = sekolah) pada umur 7-8 tahun, aneuk ka rejeuk (pubertas) pada umur 9-13 tahun, aneuk muderu (pemuda), aneuk dareu (pemudi, dara).[44]           Tingkah laku anak dinilai dari umurnya. Anak yang berumur 4-6 tahun dan bertingkah laku kurang sopan tidak mendapat teguran karena ia dianggap belum berakal.[45]
1.      Hubungan Anak Dengan Orang Tua dan Saudara-saudaranya
            Sejak  bayi dilahirkan sampai disapih hubungan dengan ibunya sangat erat, sehari-harian ia berada di bawah pengawasan ibunya. Jika ibu pergi ke sawah atau ke tempat lain ia di asuh ole saudara-saudaranya, tetapi bila telah kembali, perhatian ibu langsung ditujukan kepadanya. Rasa senang atau tidak selalu tertuju kepada ibunya. Pada masa ini anak jarang menangis lama karena bila ia menangis selalu ada usaha mendiamkannya baik dengan bujukan kata-kata, menggendong atau member hadiah.
2.      Pendidikan dan Pengajaran
            Pendidikan dan pengajaran yang merupakan media nilai-nilai budaya dengan sosialisasi akan diberikan kepada anak dan akan mengubah tingkahlakunya sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Sesuai dengan pandangan hidup masyarakat yang berdasarkan agama maka anak yang ideal bagi mereka ialah anak yang saleh dan tahu adat lembaga masyarakatnya. Sadar bahwa mereka tidak cukup mampu untuk mencapai cita-citanya dengan mengajar langsung mereka lalu mengirim anak-anaknya yang sudah sanggup mengikuti pelajaran ke meunasah bagi yang laki-laki dan kerumah teungku ineung bagi yang perempuan, masing-masing di bawa oleh ayahnya dan ibunya secara terpisah. Dalam masyarakat ini anak laki-laki dan perempuan yang menuntut ilmu agama dipisahkan.
3.      Aneuk Ka Rayeuk (Pubertas)
            Setelah anak memasuki umur 9-13 tahun mereka digolongkan dalam aneuk ka reyeuk. Pada masa ini anak laki-laki dan perempuan telah memisahkan diri karena telah menjadi adat pada masyarakat ini bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh bergaul. Juga suami isteri jarang berjalan seiring, tetapi selalu suami di depan dan isteri di belakang. Juga saudara kandung yang berbeda jenis kelamin setelah akil balig (dewasa) saling terpisah. Mereka berbicara jika perlu saja.
Q.    Masakah Perceraian di Aceh: Studi Kasus di Dua Kecamatan
            Walaupun sepasang suami isteri yang telah diresmikan perkawinannya, dikehendaki dan di doakan supaya abadi rumahtangganya, namun sering perselisihan mengancam dan bahkan kadang-kadang perceraian memutuskan hubungan mereka. Itulah sebabnya maka perceraian menjadi persoalan dalam masyarakat dan menarik perhatian banyak orang. Masalahnya tidak saja terletak pada perceraian itu sendiri, tetapi yang malah lebih penting ialah sebab-sebab terjadinya. Jenis dan jumlah sebab perceraian kelihatan berbeda antara 2 kecamatan yang diteliti, antara lain, mungkin karena situasi lingkungan, kondisi daerah atau kondisi sosial ekonominya yang berlainan. Di Mutiara terdapat 34 buah sebab perceraian, sedangkan di Jaya 32. Karena di antara sebab-sebab itu ada yang kelihatan bersamaan pengertiannya maka saya, berbeda dengan Snouck C. Hurgronje, Departemen Agama RI dan James T. Siegel, mengelompokan ke dalam 4 kategori, yaitu: ekonomi, tingkahlaku, biologi dan pihak ketiga.[46]
R.    Perceraian
            Ada tiga macam cara bercerai di Aceh, yaitu: taleuk (cerai, oleh suami), fasakh (cerai, oleh isteri) dan khulu’ (cerai dengan tebusan, oleh pihak isteri). Teleuk ialah “melepaskan ikatan perkawinan atau memutuskan hubungan suami isteri,”[47] oleh pihak suami,[48] bak dengan atau tanpa sesuatu alas an yang pantas.[49] Dalam hal ini, pihak isteri terpaksa menerima saja keputusan cerai sebab jika suami sudah mengucapkan taleuk itu, langsung atau tidak, maka perceraian menjadi syah. Tetapi secara formil saja mereka harus meminta surat pengesahan perceraian dari KUAKEC.
S.      Perbandingan Perceraian Antara Mutiara dan Jaya
            Jumlah perceraian dalam Kecamatan Mutiara kelihatan lebih tinggi daripada Kecamatan Jaya. Pada yang pertama, sesuai dengan data-data pada KUAKEC, perkawinan banding perceraian, selama 7 tahun, adalah 635 : 247 (tabel 1), sedangkan yang kedua adalah 580 : 85 (tabel 2). Jadi pada yang pertama jumlah perceraian adalah 40% dari jumlah perkawinan sedangkan pada yang kedua 14%.



T.     Sumber-sumber Perselisihan
            Setiap perceraian, umumnya, di dahului oleh perselisihan-perselisihan yang berlarut-larut yang sebagiannya, walaupun telah diusahakan cara-cara pengatasannya, meningkat kepada pertengkaran dan bahkan kadang-kadang perkelahian sehingga terpaksa diselesaikan dengan perceraian. Di antara sebab perselisihan itu ada yang berpangkal dari suami, ada yang bersumber dari isteri, ada pula yang berasal dari keduanya dan ada lagi yang datang dari luar rumahtangga mereka. Ada lagi, setelah upacara itu dilaksanakan pindahlah laki-laki kerumah mertuanya (Mutiara dan Jaya). Mulai saat itu ia sudah seharusnya bertanggung jawab terhadap isteri dan orang tuanya.[50] Karena itu diharapkan supaya ia berusaha terus, walaupun dengan cara merantau (Mutiara) atau dengan cara-cara lainnya (Mutiara dan Jaya) untuk memenuhi kewajibannya.
U.    Perceraian di Mutiara
            Dari sekian banyak pengaduan tentang perceraian yang pernah sampai ke KUAKEC Mutiara, kelihatannya, sebagian besar dimajukan oleh perempuan.[51] Kalau ada laki-laki yang menghadap maka tujuannya hanyalah sekedar mengesyahkan secara formil (meminta surat) perceraiannya dengan isterinya. Ini mudah di fahami karena pertama, isteri terpaksa bermohon untuk diceraikan atau, kalau suaminya enggan, harus melalui perkara di depan yang berwajib. Kedua, kadang-kadang suami tidak mampu member nafkah, tetapi ketika diminta cerai oleh isterinya, entah dengan alas an apa, ia tidak mau menceraikannya. Ketiga, suami telah kawin dengan perempuan lain, sehingga isterinya yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Keempat, suami sudah lama tidak pulang tanpa mengirim berita dan belanja. Kelima, isteri mempunyai rumah sendiri, sehingga segera setelah cerai masih ada harapan akan kawin lagi dengan laki-laki lain.
V.    Sebab-sebab Perceraian di Mutiara
            Dari hasil wawancara dan 154 lembar daftar pertanyaan yang saya edarkan di Mutiara ternyata bahwa di sana ada 34 sebab perceraian. Mungkin kalau wawancara dilanjutkan dan daftar pertanyaan diedarkan lagi akan terdapat pula sebab-sebab lainnya. Tetapi dapat diandaikan bahwa sebab yang akan muncul hanya akan berbeda daripada yang telah terkumpul dalam istilah atau ucapan saja, tidak dalam maksud dan pengertian. Diantara ke-34 sebab itu, karena ada yang berdekatan pengertiannya, maka sebaiknya diusahakan pengelompokannya. Menurut sumber Departemen Agama RI, yang sampai sekarang dijadikan pegangan di setiap KUAKEC, semua sebab perceraian di Indonesia dapat dikelompokan ke dalam 7 kategori, yaitu: 1. Lemah ekonomi, 2. Krisis moral, 3. Dimadu, 4. Meninggalkan kewajiban, 5. Biologis, 6. Gangguan pihak ketiga dan, 7. Politik.[52]
W.  Perceraian di Jaya
            Sama halnya seperti yang kelihatan di Mutiara, di Jaya pun pengaduan-pengaduan tentang perceraian yang sampai ke KUAKEC, sebagian besar, dimajukan oleh perempuan.[53] Alasan-alasan untuk itu juga serupa, kecuali pada yang kelima di mana terdapat perbedaan yang nyata antara dua Kecamatan.[54] Di Mutiara, isteri mempunyai rumah sendiri dan jika sudah bercerai masih ada harapan akan segera mendapat suami lain. Sedangkan di Jaya, walaupun perempuan mempunyai rumah sendiri, setelah bercerai sukar mendapat suami lagi. Apa yang ditemukan Siegel tentang pokok perselisihan suami isteri di Piddie,[55] kelihatannya kurang, jika sukar mengatakan tidak terdapat di Jaya. Didaerah ini, sebagian besar perceraian, nampaknya, tidak berpangkal pada masalah uang tetapi pada sebab-sebab lainnya yang menurut anggapan masyarakat di sana lebih penting.
X.    Sebab-sebab Perceraian di Jaya
            Dari hasil wawancara dan 118 loembar daftar pertanyaan yang saya edarkan ternyata bahwa di Jaya terdapat 32 sebab perceraian. Di antaranya ada yang kelihatan bersamaan pengertiannya. Oleh karena itu, seperti halnya dengan Mutiara, di sini pun saya usahakan pengelompokannya. Yang dijadikan pedoman di KUAKEC Jaya sampai sekarang ialah pengelompokan ke dalam 7 kategori sesuai dengan kategori Departemen Agama RI.[56] Selain dari pada sukar menerimanya untuk pengelompokan sebab-sebab perceraian di Jaya, juga kategori ke-7, politik, tidak terdengar sama sekali menjadi masalah rumahtangga di sana. Saya mengelompokannya ke dalam 4 kategori saja atas dasar konsep tertentu,[57] yaitu: ekonomi, tingkahlaku, biologis dan pihak ketiga.

Y. Pengaruh Migrasi Terhadap Kebudayaan Setempat
1. Bahasa
            Sebagai salah satu unsur kebudayaan, bahasa merupakan perlatan komunikasi terpenting dalam kehidupan sehari-hari, baik dilinkungan masyarakat atau keluarga. Karena itu, diperkirakan unsur kebudayaan ini kerapkali menerima sentuhan unsur kebudayaann lain. Namun kecenderungan orang untuk bertahan dengan bahasa sendiri tetap kuat. Di kalangan penduduk setempat, bahasa Aceh masih menjadi bahasa dominan. Sedangkan penggunaan bahasa Indonesia lebih terbatas kepada keluarga campuran, walaupun tidak seluruhnya demikian.
            Pemakaian bahasa Indonesia tampak cukup menonjol kalau mereka berbicara dengan anggota masyarakat dari kelompok etnis lain. Hanya dalam presentase yang sangat kecil terlihat mereka menggunakan bahasa Aceh. Sebaliknya, didesa terdapat responden setempat yang menggunakan bahasa pendatang. Akan tetapi, tidak ada responden setempat yang menggunakan bahasa pendatang kalau berbicara dengan sesama anggota keluarga, walaupun keluarga mereka itu terbentuk atas dasar perkawinan campuran.
            Sebagian responden yang bermukim di Baree, menyatakan mampu berbicara dengan salah satu bahasa pendatang, seperti bahasa Minangkabau, Batak atau Jawa. Sedangkan kemampuan berbahasa pada responden yang bermukim didesa lebih terbatas pada bahasa Jawa. Tempat tinggal yang saling berdekatan, dan hubungan sosial sehari-hari kiranya merupakan dua faktor penting yang memungkinkan penggunaan bahasa pendatang tersebut.
2. Ceritera Rakyat
            Kecuali bahasa, responden setempat juga mengenal beberapa jenis cerita rakyat yang berasal dari penduduk pendatang. Cerita rakyat yang amat berkesan pada mereka adalah Sampuraga (Tapanuli), Malinkundang (Minangkabau), dan Sangkuriang (Jawa Barat). Namun pengetahuan tentang cerita rakyat tersebut terbatas pada responden yang bermukim di kota. Sedangkan responden yang tinggal di desa, boleh dikatakan tidak mengenal cerita tersebut.


3. Kesenian
            Hal lain lagi yang dikenal responden setempat adalah kesenian rakyat yang berasal dari penduduk pendatang. Hampir setengah dari setengah perse responden setempat mengetahui kesenian rakyat penduduk pendatang, seperti tari piring, tari tanduk, kuda kepang, ketoprak, wayang kulit dan ludruk. Mereka juga mengetahui alat musik dari penduduk setempat sepertu sulung dan angklung. Jika dilihat dari perbedaan lokasi responden, sebagian besar yang mengetahui kebudayaan dari penduduk pendatang adalah masyarakat yang bermukim di kota, sementara yang bermukim di desa lebih sedikit.
            Ketimpangan presentase, antara responden setempat di kota dan di desa, antara lain disebabkan pada pengetahuan mereka tentang kesenian pada umumnya, termasuk kesenian daerah mereka sendiri, saling berbeda. Presentase antara responden yang tinggal di daerah perkotaan dan di pedesaan adalah lebih banyak pada yang tinggal di daerah perkotaan. Itupun terbatas pada dua jenis kesenian saja, yaitu seudati dan rapai. Keragaman pengetahuan kesenian tersebut lebih terlihat jelas pada masyarakat yang tinggal pada daerah perkotaan.
4. Upacara Adat
            Pengaruh migrasi yang lain juga ditemukan juga pada upacara adat, seperti upacara perkawinan, kelahiran, kematian, kebiasaan dalam bertani, peralatan, dan makanan. Berbagi upacara adat atau kebiasaan yang berlaku sejak dahulu. Namun, dalam hal-hal tertentu perubahan mulai juga tampak terlihat. Unsur baru yang berkembang pada upacara perkawinan, antara lain terdapat pada pakaian pengantin dan hiasan ruangan. Kalau dahulu untuk pengantin dikenakan pakaian adat Aceh, dewasa ini ada kalanya dipergunakan jenis-jenis pakaian lain, seperti jas dan sloyor. Untuk menghias ruang pengantin, penggunaan janur tampak semakin meluas.
5. Peralatan
            Unsur baru lainnya yang juga meluas dipakai di kalangan responden setempat, adalah peralatan rumahtangga, dan makanan. Kebiasaan duduk bersila di tikar sudah banyak ditinggalkan, dan dapur orang sudah memakai kompor. Jenis-jenis makanan tertentu, seperti sayur asam, sayur lodeh, sambal terasi, rendang padang, dan gado-gado, sudah tidak asing pada selera sebagian besar responden setempat.

6. Kegiatan Kemasyarakatan
            Pengikut sertaan penduduk pendatang pada upacara-upacara atau kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh responden setempat, atau sebaliknya ikut sertanya responden setempat pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh penduduk pendatang, pada dasarnya amat ditentukan oleh hubungan dekat karena tempat tinggal. Tempat tinggal yang saling berdekatan menimbulkan hubungan kerja sama di antara mereka. Di desa sample penelitian misalnya, tanah sawah yang terletak didalam satu komplek daerah persawahan member peluang bagi mereka untuk saling membantu. Bila tetangga, walaupun berlainan suku, yang mendapat kemalangan (musibah), mereka datang mengunjunginya untuk melihat atau memberikan bantuan, baik berupa bahan makanan ataupun uang. Bila ada tetangga yang meresmikan perkawinan atau melahirkan, mereka datang ikut meramaikannya. Hubungan tetangga demikian tampak lebih kentara pada responden di desa, dibandingkan dengan di kota, lebih-lebih di kalangan para wanita, Memang, ada kegiatan-kegiatan tertentu yang diselenggarakan terbatas di kalangan keluarga sendiri, atau tetangga dan kerabat dekat. Tetapi dalam kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan secara lebih luas, penduduk pendatang juga diikut sertakan.

A.    Suku Bangsa Dan Kebudayaan

1.      Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian Hidup
Sensus tahun 1971 menyebutkan, bahwa di antara penduduk daerah Aceh yang tergolong  sebagai angkatan kerja, 74, 66 persen merupakan angkatan kerja dalam hidup pertanian, 3, 31 persen angkatan kerja dalam bidang perdagangan, restoran, dan perhotelan, serta 15, 68 persen angkatan kerja dalam bidang-bidang yang lain. Ini berarti, bahwa system ekonomi dan mata pencaharian hidup penduduk Aceh, umumnya pada bidang pertanian, yaitu dalam kehidupan mereka sebagai petani dan nelayan. Jenis tanaman pertanian penduduk yang terpenting adalah padi. Tanaman lain adalah karet, kelapa, kopi, cengkeh, pala, pinang, tebu, tembakau, nilam, randu, dan lada.



2.      Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tradisional
Dilihat dari sumbernya, system pengetahuan pada masyarakat Aceh dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pengetahuan tradisional, pengetahuan yang bersumber pada ajaran Islam, dan pengetahuan yang berasal dari kebudayaan barat pengetahuan tradisional didasarkan kepada hal-hal yang bersifat supranatural, karena jenis pengetahuan ini bias dikelompokkan sebagai pengetahuan primitive. Melalui kepercayaan animism dan dinamisme pada masyarakat terbentuk konsep tentang makhluk halus yang menimbulkan kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut berwujud dalam bentuk daya tahan fisik ataupun mental secara luar biasa. Pada masyarakat Aceh, kekuatan gaib demikian lazim disebut aleumee (ilmu), dan diperoleh dengan cara meuamae (mengamalkan ilmu). Eleumuee tersebut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu eleumee donya (ilmu dunia) dan eleumee akhrat (ilmu akhirat).
3.      Sistem Religi dan Kepercayaan
Walaupun presentase tertinggi (97,00%) penduduk di daerah Aceh beragama islam, namun pemeluk agama Protestan, Katholik, Budha, dan agama lainnya juga dijumpai, terutama dikalangan orang Batak, Cina dan Manado. Bahkan di hlu sungai Singkil, Aceh Selatan, dijumpai pemeluk agama PAMBI, dianut oleh mereka yang berasal dari Dairi, Sumatera Utara. Penduduk asli  boleh dikatakan amat terlibat dengan agama Islam. Ini mungkin merupakan pengaruh logis dari kejayaan masa-masa pemerintahan kesultanan dahulu. Ketika itu Islam menempati kedudukan sebagai agama kerajaan yang dianut oleh seluruh penduduknya. Pada penghujung tahun limapuluhan abad ke-20 ini, daerah Aceh mendapat otonomi dalam arti yang lebih luas, dengan sebutan Daerah Istimewa Aceh.[58] Keistimewaannya terutama dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan adat-istiadat.
4.      Sistem Kemasyarakatan dan Kekerabatan
Dalam struktur administrasi pemerintahan di daerah Aceh dikenal beberapa jenjang pembagian,dimulai dengan tingkatan propinsi, menurun ke tingkat kabupaten/kotamadya, tingkat kecamatan, tingkat kemukiman, dan tingkat gampong (kampung) Daerah Aceh dengan sebutan lengkapnPropinsi Daerah Istimewa Aceh, merupakan suatu daerah yang meliputi 8 kabupaten, 2 kotamadya, 129 kecamatan, 594 kemukiman, dan 5.642 gampong.[59] Dengan begitu, tingkatan propinsi merupakan tingkat administrasi pemerintahan yang tertinggi, dan tingkat gampong merupakan tingkat administrasi pemerintahan yang terendah. Jumlah gampong, kemukiman dan kecamatan pada masing-masing wilayah kabupaten berbeda-beda. Kabupaten Piddie dan Aceh Utara tergolong sebagai wilayah yang terbanyak kecamtannya, masing-masing 23 buah. Tetapi jumlah kemukiman yang terdapat di Piddie lebih banyak di bandingkan dengan Aceh Utara, masing-masing 127 dan 90. Tetapi sebaliknya, jumlah gampong yang terdapat di Aceh Utara melibihi jumlah gampong yang ada di Piddie, yaitu masing-masing 1.422 dan 948.
5.      Sistem Bahasa dan Cerita Rakyat
Latar belakang pada etnis setempat dikalangan penduduk setempat menimbulkan perbedaan dalam penggunaan bahasa. Paling kurang terdapat tujuh bahasa yang digunakan dalam kalangan yang cukup luas, yaitu bahasa Aceh, Gayo, Alas, Simeulu, Tamiang, Aneuk Jamee, dan Singkil. Namun semuanya masih tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia. Sedangkan bahasa Simeulu lazim dibedakan menjadi dua jenis, bahasa Sigulai dan bahasa Defayan. Kedua-duanya disebut dengan bahasa Ulau (pulau). Bahasa Sigulai dipergunakan oleh penduduk setempat di Semeulu Barat dan Salang. Sedangkan bahasa Defayan dijumpai dikedua bahasa pulau tersebut terdapat perbedaan, baik dalam suku kata maupun kosa kata. Diliat dari bentuk suku kata, bahasa Sigulai lebih mendekati bahasa Nias. [60]
Dalam kalangan masyarakat Aceh juga dikenal bermacam cerita rakyat. Lazimnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hikayat dan haba jameun (ceritera dahulu). Hikayat adalah jenis cerita rakyat yang dikisahkan dalam bahasa puisi syair-syair. Biasanya hikayat dinikmati lewat alunan suara di pembawa hikayat, terutama di meusanah-meusanah (suara atau langgar). Sedangkan haba jameun (Gayo: kekerabatan) biasanya dikisahkan dalam bahasa prosa. Pada jaman dahulu para orang tua biasa menceritakan haba jameun pada anak-anaknya sebelum tidur.

B.     Perkembangan Kebudayaan
Kebanyakan orang beranggapan, bahwa tahun 70an abad ke-20 ini merupakan dasawarsa pembangunan bagi daerah Aceh. Lebih lebih jika yang dimaksudkan itu terbatas kepada pembangunan fisik. Selama dasawarsa ini sejumlah program pembangunan telah menyebar sampai jauh ke pelosok desa. Diantara beberapa jenis program pembangunan yang tampak popular dikalangan masyrakat desa adalah program Bimas/Inmas, SD Inpres, BUUD/KUD, Puskesmas, KB, dan Tabanas/Taskap. Selain itu, muncul pula berbagai jenis pembangunan seperti, proyek prasarana produksi, proyek prasarana perhubungan, proyek prasarana pemasaran, dan proyek prasarana sosial. Dewasa ini, juga terlihat mulai tumbuh industri dengan peralatan teknologi mutakhir.

C.    Pembinaan Kebudayaan
Sebagai suatu totalitas aneka ragam pikiran, karya, dan hasil karya manusia, kebudayaan akan bias berkembang secara terarah dan berkesinambungan, apalabila ada usaha yang sengaja untuk membinanya. Usaha pembinaan tersebut ada yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan, ada pula organisasi swasta. Dalam bidang kesinian misalnya, sampai dengan tahun 1976 terdapat enam organisasi seni lukis, 137 organisasi seni tari, 57 organisasi seni drama, dan 49 organisasi band/orkes. Kecuali itu, selama Pelita II telah dibangun sebuah Gedung Art Gallery seluas 133 meter persegi, dan sebuah Gedung Teater Terbuka di Banda Aceh. Kegiatan yang lain dalam bidang kesenian meliputi penelitian tentang jenis kesenian daerah, penyelamatan dan dokumentasi seni tradisional, pengembangan organisasi dan tenaga kesenian, apresiasi dan keterampilan seni serta pengadaan alat-alat keseniaan.
           












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aceh adalah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling barat, yang memiliki ragam budaya, kesenian, pola hidup, dan bahasa, dan lain sebagainya. Budaya yang beragam tersebut berasal dari nenek moyang terdahulu, ditambah budaya campuran, yang diadaptasi dari sejarah terdahulu yang pernah dilewati di wilayah Aceh sendiri. Aceh sempat porak-poranda ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004. Kebudayaan Aceh pun mulai berubah. Aceh dikenal dengan kota serambi mekah, karena selain mayoritas penduduknya memeluk agama islam, peraturan islam pun cukup ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi, semakin bertambahnya tahun, berkembangnya budaya, sempat terlihat adanya perubahan dalam budaya berjilbab pada kaum wanita di Aceh. Pasca-tsunami, wanita tanpa jilbab terlihat biasa saja dan tidak aneh. Berbanding terbalik ketika pra-tsunami, dimana wanita tanpa jilbab terlihat aneh di Aceh. Ditambah lagi adanya komunitas punk di Aceh, sebagai ekspresi dalam berkarya, gaya hidup, dan bersosialisasi. Komunitas punk terlihat asing bagi pemerintah kota Aceh dan warga setempat, karena dandanannya yang nyentrik, dan terkesan urakan. Itu semua bertentangan dengan budaya Aceh yang memiliki tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dalam menjalani aktivitas sehari-hari.











DAFTAR PUSTAKA


Ø  Alfian (Ed.), Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil Penelitian Dengan Metode “Grounde Research”, LP2ES, Jakarta, 1977.

Ø  Proyek Penelitian Pencatatan Kebudayaan Daerah. Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa. Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Aceh, 1978.






[1]  Sumber pokok dalam penelitian ini ialah Anzib Lamnyong. Dia lahir tahun 1892 di kampong Rukoh Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Lebih jauh mengenai sumber pokok ini dapat dibaca dalam kertas karya UU. Hamidy, “Anzib Lamnyong: gudang Karya Sastra Aceh”, Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Aceh, Darussalam Banda Aceh, 1974. Disamping itu juga dihubungi beberapa anggota masyarakat yang hamper mewakili daerah Aceh yang lain sebagai sumber pembanding dan pelengkap.
[2]  Hal ini agak berbeda dengan Hikayat Maleem Diwa, yang banyak menolong dari jalan cerita, terutama atas kadar pengaruh Hindu dan Islam yang dikandungnya.
[3]  Selain dari hikayat-hikayat Aceh, sebagian besar cerita rakyat yang dipakai sebagai pembanding diambil dari Tjerita Rakjat I, (Djakarta: Balai Pustaka, 1963).
[4]  Asal usul keluarga Baet dari keturunan Hadramaut, wawancara dengan Teungku Manyak Baet (umur 90 tahun), tanggal 13 Mei 1974.
[5]  Anthony Reid, The Contest For North Sumatra, Atjeh the Netherlands and Britain, 1858-1898, (New York: Oxford University Press, 1969), hal. 3.
[6]  Sarakata  adalah surat dokumen yang ditulis oleh sultan, yang berisi peraturan-peraturan, seperti, perpajakan, perdagangan, upacara, lihat Mukti Ali, op. cit., hal. 22-23.
[7]  Sagi arti aslinya adalah sudut, kemudian berarti wilayah administrative yang merupakan federasi dari kemukiman-kemukiman di bawah Panglima Sagi. Kesultanan Aceh mempunyai tiga sagi, yaitu Sagi XXII, Sagi XXV Mukim, Ibid., hal. 17, Cf. Anthony Reid, op. cit., hal. 4.
[8]  Snouck Hurgronje, op. cit., hal. 24-25.
[9]  Ibid., hal. 11.
[10]  Konsep-konsep pokok tentang penelitian Sejarah Revolusi, lihat Sartono Kartodirdjo, “Beberapa Masalah Teori dan Metodologi Sedjarah Indonesia,” Lembaran Sedjarah, no. 6, (Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, 1970), hal. 12, 14.
[11]  Keputrian Pesindo di Aceh sejak 1947 telah merupakan organisasi politik yang kuat dan pada 14 April 1947 menjadi organisasi wanita sosialis, lihat, Harian Semangat Merdeka, edisi Koetaradja, 15 April 1947.
[12]  Loeb, op. cit., hal. 229.
[13]  Snouck Hurgronje, op. cit., hal. 88.
[14]  Clifford Geertz, Peddlers and Princes: Social Change and Economic Modernization in Two Indonesian Towns, (Chicago, London: The University of Chicago Press, 1971), hal. 14-16. Terjemahan Indonesia, Penjaja dan Raja, (Jakarta: Gramedia, 1977).
[15]  Naksyabandiyah berasal dari kata Naksyaband yang berarti lukisan hidup yang gaib, Abubakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Bandung, CV Tjerdas: 1964), hal. 307.
[16]  Bupati Kepala Daerah Kabupaten Aceh Besar, Situasi Daerah dan Kegiatan Pelita I, (Banda Aceh: Kabupaten Aceh Besar, 1973), hal. 11.
[17]  Robert Jay, Javanese Villagers (Social Relation in Rural Modjokuto), (Cambridge, Massachussets: London, The MIT Press, 1969), hal. 262.
[18]  Syed Hussein Allatas, “Religion and Modernization in South East Asia” dalam Hansdieter Evers (Ed), Modernization in South East Asia, (London, New York, Melbourne: Oxford University Press, 1973), hal. 161.
[19]  Sartono Kartodirdjo, “Kepemimpinan dalam Sejarah Indonesia”, dalam Bulletin Yayasan Perpustakaan Nasional (Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan) No. 1 Tahun 1974, hal. 9.
[20]  Snouck Hurgronje, The Acehnese, Vol I diterjemahkan oleh A.W.S.O’Sullivan, (Leyden: E.J. Brill, 1906), hal. 64.
[21]  Ibid., hal. 75.
[22]  Sartono Kartodirdjo, op.cit., hal. 9, 14.
[23]  Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Djakarta: Dian Rakyat, 1967), hal. 196.
[24]  Hoesin Djajadiningrat, Atjehsch Nederlands Woordenbook, Jilid I, (Batavia: Landsdrukkerij, 1934), hal. 104.
[25]  Ibid., hal. 50-60.
[26]  Muhammad Husin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 55.
[27]  Kemukiman adalah gabungan beberapa buah gampong (kampong) dan memiliki sebuah mesjid. Lihat Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Manora, 1973), hal. 87-88.
[28]  Dikutip dari Sensus dan Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh, hasil kerjasama dengan Proyek penelitian Demografi  Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 1971, hal. 4.
[29]  Ibid., hal. 2.
[30]  Edwin M. Loeb, Sumatra, Its History and People, (Kuala Lumpur, Singapore, Medan: Oxford University Press/Toko Buku Deli, 1972), hal. 241.
[31]  Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 67.
[32]  Ibid.
[33]  Lihat C. Snouck Hurgronje, op. cit., hal. 372-373.
[34]  Ibid., hal. 373
[35]  Lihat H. Th. Fischer, op. cit., hal. 106.
[36]  Rumah Adat Aceh terdiri dari: 1. Seurameo keu (serambi depan), 2. Jurai, rambat (serambi tengah), 3. Seuramoe ineung (serambi untuk tidur), 4. Seuramoe likot (serambi belakang), 5. Dapu (dapur).
[37]  Lantai rumah terbuat dari batang pinang atau dari bambu yang dibelah-belah dan disusun dengan jarak 3-5 cm.
[38]  Karena pengaruh agama dan adat wanita merasa segan (malu) jika dilihat oleh suami sewaktu melahirkan. Demikian pula di Sumatra Barat, lihat Edwin, M. Loeb, op. cit., hal. 116.
[39]  Doa seulusoh ini masih digunakan oleh dukun dan bidan beranak di Sumatra Timur.
[40]  Lihat Hildred Geertz, op.cit., hal. 88.
[41]  Di Aceh Utara dikenal dengan ma blim.
[42]  Lihat Edwin M. Loeb, op.cit., hal. 242.
[43]  Cara seperti ini dilakukan juga di desa-desa Yunani. Lihat Margaret Mead dalam bukunya Cultural Patterns and Technical Change, (New York: The New American Library, 1962, hal. 78. Lihat juga Geertz, op.cit., hal. 93.
[44]  Pembahagian berdasarkan umur ini relative.
[45]  Willian M. Kephart, The Family, Society and the Individual, (Boston, New York, Atlanta, Dallas, Geneva, ill, Palo Alto: Houghton Mifflin, 1966), hal. 292-293.
[46]  Snouck C. Hurgronje dalam bukunya The Achehnese mengatakan perceraian di Aceh terjadi karena perselisihan yang berat antara suami isteri. James T. Siegel dalam bukunya The Rope of God menjelaskan sebab perceraian di Piddie, sebagian besar, bersumber dari masalah uang. Pihak Departemen Agama mengelompokkan sebab perceraian di Indonesia ke dalam 7 kategori.
[47]  Said Sabiq, Fiqhus Sunnah, Al Maktabah An Namuzajiyyah, Cairo, Jilid VIII, hal. 5. Lihat juga Abu Ishaq, Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al Firuzabazi, Asy Syirazy, Kitabu Al Muhazab, Darul Kutub Al Arabiyah Al Kubra, Cairo, Jilid II, hal. 82.
[48]  Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972), hal. 160. Lihat juga Said Sabiq, op. cit., hal. 18.
[49]  Said Sabiq, op. cit., hal. 26.
[50]  James T. Siegel, op. cit., hal. 166, 170, 177.
[51]  Ibid., hal. 175.
[52]  Diperoleh dari KUAKEC Mutiara, 1974.
[53]  Diperoleh dari KUAKEC Jaya, 1974.
[54]  Lihat artikel ini, hal. 159.
[55]  Ibid., hal. 18.
[56]  Diperoleh dari KUAKEC Jaya, 1974. Lihat Laporan ini, hal. 19.
[57]  Lihat artikel ini, hal. 159
[58]  Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.X 1/Missi/1959, tanggal 26 Mei 1959.
[59]  Universitas Syiah Kuala, 1972; Halaman 49-51.
[60]  Nani Tuloli,  1976: hal. 4.

1 komentar:

  1. http://mybloggeroperaqq.blogspot.com/2018/01/coutinho-kirim-pesan-terbuka-untuk-fans.html

    http://mybloggeroperaqq.blogspot.com/2018/01/surat-khofifah-mundur-ada-di-jokowi.html

    ♥ ♠ ♦ ♣ OPERAQQ.INFO ♥ ♠ ♦ ♣
    Kami Hadirkan Permainan Baru 100% FAIR PLAY Dari OperaQQ.org :) 1 ID Untuk 7 Games :
    - Domino99
    - BandarQ
    - Poker
    - AduQ
    - Capsa Susun
    - Bandar Poker
    - Sakong Online
    Nikmati Bonus-Bonus Menarik Yang Bisa Anda Dapatkan Di Situs Kami OperaQQ.info Situs Resmi, Aman Dan Terpercaya ^^ Keunggulan OperaQQ.org :
    - Tingkat Persentase Kemenangan Yang Besar
    - Kartu Anda Akan Lebih Bagus
    - Bonus TurnOver Atau Cashback 0.3% Di Bagikan Setiap 5 Hari
    - Bonus Referral Dan Extra Refferal Seumur Hidup
    - Minimal Deposit & Withdraw Hanya 20.000,-
    - Tidak Ada Batas Untuk Melakukan Withdraw/Penarikan Dana
    - Pelayanan Yang Ramah Dan Memuaskan
    - Dengan Server Poker-V Yang Besar Beserta Ribuan pemain Di Seluruh Indonesia,
    - Operaqq.net Pasti Selalu Ramai Selama 24 Jam Setiap Harinya.
    - Permainan Menyenangkan Dengan Dilayani Oleh CS cantik, Sopan, Dan Ramah.
    Fasilitas BANK yang di sediakan :
    - BCA
    - Mandiri
    - BNI
    - BRI
    - Danamon
    Tunggu Apa Lagi Guyss..
    Let's Join With Us At Operaqq.net ^^
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
    - BBM :D60ED5D7
    - WHATSAPP :+855 964 93 0279
    - LINE : operaqq
    Link Alternatif :
    - www.operaqq.com
    - www.operaqq.info
    - www.operaqq.org
    NB : untuk login android / iphone tidak menggunakan www lagi boss ^_^

    BalasHapus