BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aceh yang sebelumnya pernah disebut
dengan nama Daerah Istimewa Aceh dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009)
adalah provinsi paling barat di Indonesia. Daerah yang memiliki otonomi
yang diatur sendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia,
karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan
Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh.
Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan
Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku
asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut
oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku
Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu
provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain,
karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar
warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh
juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya,
Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak
dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis
merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa
budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu,
Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan
keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah
orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
Sistem kemasyarakatan suku bangsa
Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun
tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal
Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
B.
Tujuan Pembuatan Makalah
Dalam penulisan makalah ini ada
beberapa tujuan yang kami jabarkan, diantaranya adalah:
1. Sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi tugas Studi Masyarakat Indonesia
2. Dari hasil diatas kami ingin
mengetahui lebih dalam lagi tentang Aceh dan budayanya
3. Untuk membantu para mahasiswa
memahami kebudayaan Aceh
C.
Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, kami
menggunakan metode pengambilan data secara sekunder, yaitu pengambilan data secara
tidak langsung melalui informasi yang sudah ada seperti di buku.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peranan
Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh
Cerita
rakyat termasuk dalam karya sasta, hasil budaya tradisionil yang sudah cukup
lama usianya. Secara sederhana cerita rakyat merupakan cerita yang dikenal dan
diceritakan dalam kalangan masyarakat. Dibacakan dan diteruskan dari satu
generasi kepada generasi selanjutnya, sehingga cerita itu dirasakan sebagai
milik bersama. Oleh sifatnya yang demikian, maka cerita rakyat umumnya jarang
dikenal pengarangnya, serta sangat mudah berubah dari waktu ke waktu. Tetapi
karena kedudukannya yang demikian, dia telah mempunyai arti tertentu dalam
nilai sosial dan budaya masyarakat.
Masyarakat
aceh menyebut cerita rakyat itu hikayat haba
jameuen (kabar zaman). Sebagian besar cerita rakyat di daerah ini disebut
hikayat dan sebagian lagi disebut haba
jameuen. Untuk mempelajari hikayat atau haba
jameuen itu, kita harus menjelajahi kembali kehidupan sosial budaya
masyarakat tradisionil zaman silam, karena dalam zaman inilah cerita rakyat
merupakan nilai budaya yang besar artinya dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu
kita memerlukan anggota masyarakat yang bisa menjadi sumber pokok, yang bisa
memberikan keterangan kepada kita baik tentang hikayat itu sendiri maupun
tentang kehidupan masyarakat zaman itu[1].
B.
Ringkasan
Hikayat
Cerita rakyat yang pertama bernama hikayat
srang Manyang. Dalam hikayat itu
diceritakan suatu kejadian di daerah Aceh, tepatnya di Krueng Raya, Aceh Besar.
Sepasang suami istri bernazar meminta anak. Mereka kemudian memperoleh seorang
anak, diberi nama Ahmad. Kurang lebih umur si anak tiga tahun, meninggallah
ayahnya. Tinggallah si ibu dengan anaknya, hidup dalam kemiskinan tetapi berada
dalam kasih sayang. Setelah Ahmad menginjak dewasa, timbul keinginannya hendak
merantau, hendak mencoba merubah nasib. Keinginannya yang demikian
disampaikannya kepada ibunya. Mula-mula si ibu tidak bersedia melepas anaknya.
Dia kuatir siapakah kelak yang akan mengurus dia, andaikata dia ditimpa bahagia
dengan keadaan yang ada. Walau miskin, tetapi hidup dalam kasih sayang, rukun
dan damai.
Pengarang
hiakayat ini tidak dikenal masyarakat, tetapi ceritanya telah pernah dibukukan
oleh Syeh Ring Kruengraya. Di samping itu juga tidak dapat dipastikan, sejak
kapan hikayat ini dikenal secara luas. Isi cerita tidak begitu banyak memberi
latarbelakang mengenai keadaan masyarakatnya[2].
Petunjuk bahwa hikayat ini masih mewakili kepercayaan masyarakat yang berbau
Animisme atau Hindu hanya terdapat dalam masalah penjelmaan kapal yang menjadi
batu itu saja. Petunjuk lain sebagai tambahan-dari bandingan hikayat-berupa
kain anak durhaka itu menjadi lapisan tanah liat, seperti yang diabadikan oleh Cerita
Malin Kundang macam inilah orang cenderung menduga hikayat inipun
berasal dari zaman Hindu.
Menurut
hikayat, di daerah Pasei, tujuh orang putri
dari kayangan sering mandi-mandi jika datang bulan purnama. Maleem Diwa
mencuri pakaian terbang yang dimiliki oleh salah seorang putri kayangan itu.
Akibatnya, putri yang kecurian-kebetulan Putri Bungsu-tidak dapat kembali ke
kayangan. Dalam keadaan yang sulit seperti ini Putri Bungsu terpaksa menerima
lamaran Maleem Diwa. Dari perkawinan itu, mereka memperoleh seorang anak
laki-laki. Anak itu lasak-banyak tingkah-sehingga sering pula menjadi pangkal
perselisihan antara Putri Bungsu dengan mertuanya. Dengan tidak disangka-sangka
si anak mendapatkan pakaian terbang yang dicuri itu. Putri Bungsu sangat
gembira, karena segera akan dapat kembali ke kayangan.
Berdasarkan
peristiwa sosial yang digambarkan oleh hikayat, dapat kita kemukakan beberapa
nilai yang berhubungan dengan tingkahlaku sosial. Pertama, perkawinan antara
Maleem Diwa dengan Putri Bungsu merupakan perrkawinan yang kurang lazim dalam
peristiwa kehidupan sosial. Ketidaklaziman itu pertama terlihat dari peristiwa
perkenalan mereka serta dalam posisi Putri Bungsu sewaktu terjadinya peristiwa
itu. Setelah putri kayangan itu kecurian pakaiannya, dia berada dalam
kesulitan. Malah daranya dalam keadaan tidakberdaya sama sekali. Akibatnya
tawaran Maleem Diwa merupaakan “penolong” yang harus diterima, karena tidak ada
lagi pilihan lain. Jadi kendatipun dalam hatinya putri ini mungkin tidak
menyukai lamaran tersebut, tapi karena tak ada jalan lain, akhirnya diterima
juga. Ini berarti dia telah terpaksa kawin dengan Maleem Diwa. Hal ini menjadi
jelas kepada kita setelah membaca cerita rakyat yang lain, yang pada garis
besarnya tidak jauh berbeda dengan hikayat ini. Dalam bandingannya dengan Cerita
Tiga Piatu di Bali, dengan Cerita Aryo Menak, di Madura, dan Cerita
Orang Yang Memperisterikan Putri Dari Kayangan di Sulawesi, dikatakan
putri kayangan tersebut telah bertengkar dengan pemuda yang mencuri pakaiannya[3].
Dia juga telah menolak lamaran si pemuda, karena dia mempunyai firasat bahwa
tentulah pemuda ini yang telah mencelakakan dirinya. Karena tidak ada orang
lain yang dapat ditunjuk untuk memberi kesaksian, selain dari pemuda tersebut.
Di fihak lain kita melihat perjodohan Maleem Diwa dengan Putri Bungsu merupakan
perkawinan antara dua makhluk yang berbeda dunianya. Maleem Diwa merupakan
manusia dari bumi kita ini atau bumi Aceh dalam pandangan masyarakat
Aceh-sedangkan Putri Bungsu makhluk kayangan. Dengan ini hikayat memberikan
suatu lukisan perkawinan antara dua makhluk yang berbeda latarbelakang sosialnya.
Perkawinan semacam itu dapat menimbulkan konflik-konflik sosial.
Intisari dari keempat bagian hikayat jelas mengemukakan
nilai-nilai dalam masalah tingkah laku sosial. Secara sederhana dapat dilakukan,
seorang anggota masyarakat harus meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadinya. Tidak ada alasan yang dapat dipakai oleh seorang pun untuk berlepas
tangan dari kepentingan umum itu. Kepentingan umum adalah kepentingan dirinya sendiri.
Dia harus bersatu dengan masyarakat. Dia harus mempunyai tingkah laku sosial
yang sesuai dengan kepentingan bersama.
C. Sejarah Sosial
Masyarakat Pedesaan Sibreh, Aceh Besar
Batas waktu dari periode sejarah yang akan dibicarakan
dalam penelitian ini adalah masa 1945-1971, yang dibagi menjadi dua periode pokok
yaitu masa revolusi, 1945-1950, danmasasesudahrevolusi, 1950-1971. Dalam perkembangan
sejarah kontemporer di Indonesia pada umumnya di Aceh pada khususnya, jelas bahwa
periode tersebut penuh dengan peristiwa-peristiwa penting. Tidak lama sesudah Proklamasi
Kemerdekaan terjadi peristiwa Cumbok, awal 1946, yang merupakan pergolakan
sosial antara rakyat yang dipimpin oleh uleebalang dan rakyat yang dipimpin oleh
ulama di daerah kabupaten Aceh Pidie.
Pada bulan September 1953 di Aceh muncul gerakan Darul
Islam yang dipimpin oleh Teungku Mohammad Daud Beureueh. Gerakan ini timbul
antara lain sebagai pengaruh dari gerakan Darul Islam di Jawa Barat yang
dipimpin oleh Kartosuwirjo pada tahun 1949.
Peristiwa Cumbok dangerakan Darul
Islam di Aceh mempengaruhi perkembangan politik di sana. Dalam perkembangan
berikutnya terjadi pemberontakan komunis tahun 1965 dan pemilihan umum 1971. Kedua
kejadian ini banyak membawa perubahan perkembangan politik di Aceh sesudah tahun
1971.
Dengan batasan waktu tersebut di atas maka persoalan-persoalan
yang akan dibicarakan, disusun sebagai berikut. Pertama, perubahan sosial di
dalam masyarakat selama revolusi, 1945-1950. Dalam hubungan ini akan diuraikan terlebih
dahulu struktur sosial masyarakat pedesaan Sibreh sebelum revolusi, pada masa itu
masih merupakan pemerintahan Uleebalang VII Mukim Baet. Padauraian yang kedua,
persoalannya berkisar pada aliran-aliran agama islam. Pembahasannya akan meliputi
pertumbuhannya, ciri-ciri organisasinya dan kepemimpinannya. Uraian ini dimaksudkan
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan sosial di dalam masyarakat setelah
revolusi. Persoalan yang ketiga, membahas pertumbuhan politik di pedesaan selama
periode tersebut di atas, antara lain melalui uraian mengenai hubungan antara perkembangan
perkembangan politik dan pertumbuhan sosial masa revolusi, terutama dalam hubungannya
dengan perkembangan politik dan aliran-aliran Islam yang ada.
D. Struktur Sosial
Masyarakat Desa Abad ke-19
1.
Klas-klas Sosial
di Dalam Birokrasi Pemerintahan
Sekurang-kurangnya sejak pertengahan abad ke-19 Sibreh
telah merupakan tempat penting dari pemerintahan Uleebalang VII Mukim Baet.[4] Struktur
sosial dalam masyarakat pada waktu itu dicerminkan oleh suatu pengaruh dari struktur
birokrasi pemerintahan dan system sosial ikatan territorial desa. Dengan demikian
pengelompokan klas-klas sosial di dalam masyarakat dapat dibahas melalui garis-garis
vertical dan horizontal.
Di aceh besar uleebalang merupakan figure politik yang
diberi sejumlah kemukiman oleh sultan[5].
Berdasarkan Sarakata[6]
uleebalang mempunyai hak-hak memungut pajak dan mengatur perdagangan. Pada masa
pemerintahan kesultanan, secara vertical uleebalang VII mukim baet termasuk wilayah
administrative pemerintahan Sagi XXII Mukim[7]
dan berada di bawah kekuasaan panglima polem.
Dalam bidang pemerintahan uleebalang mempunyai staf pegawai
untuk urusan-urusan pemerintahan umum dan keagamaan.Jabatan-jabatan ituialah sebagai
berikut, waki (wakil uleebalang) yang bertugas membantu administrasi, keerani
uleebalang (semacam kepala kantor atau sebagai juru tulis), upaih
uleebalang (polisi ulee balang), pesuruhuleebalang (petugas yang
menyampaikan perintah uleebalang kepada para imeum mukim). Urusan
agama dan pengadilan diserahkan kepada staf ulama, seorang diantaranya diangkat
menjadi kepalanya dengan jabatan kali uleebalang, sebagai identitasnya
ia menggunakan sebutan tambahan teung kuchik.
2.
Klas-klas sosial
dalam ikatan territorial
Dilihat dari pola konsentrik dapat disebutkan bahwa
system sosial masyarakat merupakan klas-klas sosial yang terikat oleh ikatan keluarga
dan ikatan territorial. Pola sosialnya mengikuti jalur horizontal dalam memenuhi
tujuan bersama di bidang-bidang sosial, ekonomi dan agama. Pengelompokan sosial
dilihat dari mata pencahariannya dapat dibedakan menjadi tiga golongan besar. Pertama,
golongan ureueng meutani (petani),mereka ini dapat dibagi kedalam strata
sosial yang lebih luas lagi berdasar jenisa ktivitasnya.Kedua, golongan ureung
dagang (pedagang) dan ketiga, golongan utoh (tukang). Apabila kita
mengikuti pembagian masyarakat pedesaan VII Mukim Baet dari Snouck Hurgronje,[8] mereka
ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan ureueng tunong (orang
yang tinggal di pegunungan dan sering disebut ureueng duson (orang
desa) dan golongan ureueng baroh (orang yang tinggal di dataran rendah, mereka termasuk
orang kota).
Di dalam ikatan territorial terdapat klas special yang
dikategorikan sebagai ulama. Status seorang ulama ditentukan oleh tiga unsure yaitu pertama, kepergiannya dari gampong ke dayah
(pengertian yang umum disebut pesantren); kedua, rantauannya dari dayah yang satu ke dayah
yang lain dan ketiga, pengetahuan agama yang dimilikinya. Dalam hubungan ini
Siegel mengukur status seorang ulama hanya dari segi kepergiannya dari desa ke dayah.[9]
Dengan ukuran tersebut di atas diperoleh suatu tingkatan ulama yang ditandai oleh
pemakaian sebutan tambahan.Seorang ulama besar berhak memakai sebutan teungkuchik,
seorang ulama menengah memakai sebutan teungku dibalai dan seorang ulama rendah
memakai sebutan teungku.
Rupanya seorang didalam usahanya mendapatkan sebutan teungku
chik memerlukan proses waktu yang cukup lama.
Kita ambil contoh. Sejak permulaan Perang Aceh hingga tahun 1930 di dalam
wilayah VII Mukim Baet hanya terdapat beberapa ulama dengan sebutan teungku
chik, yaitu Teugnku Chik di Lamkrak (Dayah Lamkrak), Teungku Chik
Lambirah (Dayah Lambirah) dan Teungku Chik di Lamjabat (Dayah Jeurla).
E.
Perubahan
Sosial Masyarakat Pedesaan Selana Revolusi
Pada dasarnya para sejarawan akan
sependapat bahwa revolusi adalah masa krisis sosial dan politik dengan
intensitas yang tinggi. Krisis disebabkan karena perasaan tidak aman dan penuh kegelisahan
yang langsung menyangkut soal kelangsungan hidup.[10]
suatu hal yang sangat penting adalah seberapa jauh nilai-nilai revolusi
tersebut mempunyai pengaruh terhadap perubahan sosial di dalam masyarakat.
Dalam hubungan dengan persoalan itu maka pada bagian ini akan diuraikan
perubahan sosial di dalam masyarakat pedesaan Sibreh selama revolusi,
1945-1950.
Inti solidaritas sosial daripada semua kelaskaran tersebut tercermin dalam
pembagian tugas yang efektif. Tugas-tugas itu ialah mengurus jaringan hubungan
organisasi antar desa dan kota. Para wanita yang menjadi anggota Pesindo
juga mempunyai tugas yang jelas.[11]
Semangat kemerdekaan masyarakat pedesaan Sibreh juga tercermin dalam pengunaan
symbol-simbol dan partisipasi pada pemerintahan local yang bercorak nasional. Konsep
tradisionil dari ikatan vertical retak, status keluarga uleebalagn kini tidak
lebih dan tidak kurang sebagai salah satu dari berbagai kelompok sosial yang
ada dalam masyarakat, berbeda dengan status mereka sebelumnya sebagai orang
utama[12]
dan bangsawan.[13]
F. Gerakan
Faham Pembaharuan dan Perubahan Sosial
Dalam menguraikan gerakan faham pembaharuan gagasan
agama di dalam masyarakat pedesaan Sibreh, dirasa perlu dijelaskan pengertian
penggunaan istilah faham di dalam karangan ini. Dalam hubungannya dengan persoalan
yang akan dibahas istilah faham di sini diartikan dengan
pengertian aliran,[14]
yaitu suatu gagasan agama yang hidup di dalam masyarakat yang mempunyai
cirri-ciri yang dapat membedakannya dengan faham yang lain. Didalam masyarakat
Sibreh terdapat aliran maju dan aliran kuno atau aliran
tua, yang sebenarnya merupakan istilah lain dari pada faham
maju dan faham juno. Di dalam membicarakan gerakan faham pembaharuan,
dirasa perlu menyinggung sedikit tentang aliran tarekat. Dalam hubungan ini
tarekat dapat dipandang sebagai gerakan kontra terhadap faham pembaharuan dalam
islam, dan oleh karena itu sebagai bandingan mungkin akan dapat lebih
memperjelas pengertian tentang faham itu. Selanjutnya, ia juga akan dapat
member gambaran yang lebih luas tentang Masyarakat Sibreh.
Sebuah tarekat yang hingga kini masih hidup adalah
Tarekat Naksyabandiyah.[15]
Tarekat ini berlokasi di Dayah Blangpreh yang terletak di Lamkrak. Dayah ini
dikenal dengan nama Dayah Teungku Rani. Teungku Rani adalah seorang ulama yang
memimpin Dayah Blangpreh dan Tarekat Naksyabandiyah tersebut diatas. Beberapa
hal yang menarik untuk diketahui dalam kehidupan tarekat di sini adalah
segi-segi ajarannya, keanggotaannya, hubungan sosial mereka dan peranan
sosialnya di dalam masyarakat.
G. Perubahan
Politik Pedesaan 1945-1971
Tingkat awal dari pertumbuhan politik pedesaan Sibreh nampaknya banyak
dipengaruhi oleh organisasi PUSA yang dibentuk tahun 1940 dan
dibawah pimpinan Teungku Haji Hamzah. Dalam pimpinan PUSA tampak bahwa elite
reformis tahun 1930-an memainkan peranan penting, sesudah Proklamasi
Kemerdekaan 1945, Teungku Haji Hamzah, Teungku Yusuf Lamlheu, Teungku Moh. Amin
Aloe dan Ibrahim Muda Husein (semuanya dari PUSA dan pemuda PUSA)
mendirikan partai Masyumi pada bulan Maret 1946. Dilihat dari asal kepemimpinan
dalam Masyumi dapat dikemukakan bahwa mereka dapat dikelompokan
menjadi kelompok elite reformis tahun 1930-an dan kelompok modernis PUSA 1940. Dalam
hal ini rupanya terdapat perbedaan unsure-unsur sosial pendukung Masyumi
pada masa revolusi. Di Jawa pendukung nya terdiri dari unsure-unsur: kelompok sosial
agama (intelektuil didikan Barat), kelompok modernis dan kelompok ortodoks
radikal (kyai radikal). Disini tampak bahwa kelompok ortodoks radikal di
Aceh tidak masuk dalam unsure-unsur pendukung Masyumi, mungkin kelompok
ini cenderung kepada PSII (Partai Serekat Islam
Indonesia).
H. Kepemimpinan
dalam Masyarakat Pedesaan Montasik, Aceh Besar
Didalam
masyarakat pedesaan yang tergabung dalam wilayah ministratif Kecamatan terdapat
pertemuan antara unsure administrasi pusat yang relative modern dengan unsure
administrasi masyarakat pedesaan yang tradisionil. Pemimpin dari kedua unsure
ini, yakni pemimpin yang mempunyai kekuasaan atas dasar jalur kekuasaan formil
dalam pemerintahan, mempunyai latar belakang asal-usul yang berbeda. Pemimpin
dari administrasipusat adalah pemimpin yang ditempatkan dari atas dengan
ketentuan legitimasi dari atas pula yang relative lebih modern. Pemimpin ini
yaitu camat, selanjutnya disebut pemimpin formil. Sedang pemimpin
dari unsure masyarakat pedesaan menjelma dalam bentuk tradisi gempong dan tradisi
mukim. Pada mulanya mereka dilahirkan oleh tradisi masyarakat pedesaan,
tetapi kemudian disyahkan oleh administrasi pusat sebagai jalur terbawah dari
kekuasaannya. Pemimpin semacam itu disebut pemimpin formil tradisionil. Wilayah
Kecamatan Montasik luasnya 196 kilometer persegi, terpakai untuk perkampungan
dan perkarangan seluas 40 kilometer persegi, sawah (hamper seluruhnya sawah
tadah hujan) 40 kilometer persegi, perladangan 51 kilometer persegi, padang
rumput 25 kilometer persegi serta Kehutanan 40 kilometer persegi.[16]
Tidak
mengherankan jika dalam masyarakat pedesaan ini, uang telah menentukan status
seseorang dalam masyarakat di samping pemilikan tanah yang merupakan unsure
dasar masyarakat pedesaan pertanian. Dari unsure tanah dan uang ini, lahir
penghargaan terhadap orang-orang dalam masyarakat atas dasar kekayaan. Rupanya
hal ini sama seperti di daerah-daerah lain seperti Jawa[17]
atau ditempat-tempat lainnya di Asia Tenggara.[18]
Atas dasar kekayaan diketahui adanya stratifikasi sosial yang terdiri dari
golongan kaya (ureueng kaya), golongan cukup (ureueng sep pajoh) dan
golongan miskin (ureueng gasin). Struktur sosial semacam ini adalah struktur
yang diterima masyarakat sebagai kodrat dari Allah.[19]
I. Asal-usul
dan Macam-macam Kepemimpinan
Dalam masyarakat pedesaan yang tergabung dalam wilayah administrative
kecamatan, seperti telah diutarakan dimuka, terdapat pertemuan antara unsure
administrasi pusat yang relative modern dengan unsure administrasi masyarakat
pedesaan yang tradisionil. Unsure administrasi pusat yang dimaksudkan ialah
Departemen Dalam Negeri melalui sebuah instansi yang disebut Kantor Camat
dengan beberapa dinasnya seperti pertanian, kehewanan, pendidikan masyarakat,
keagamaan, pajak dan pembangunan masyarakat desa. Unsure administrasi ini
dipimpin oleh camat, yang dalam hubungan ini disebut pemimpin formil. Pada
unsur administrasi masyarakat pedesaan yang tradisionil terdapat dua tingkat
masing-masing tradisi mukim dan tradisi gampong. Gampong
adalah masyarakat hokum terkecil dengan dasar ikatan territorial, yang dipimpin
oleh keuchik[20]
untuk urusan umum dan imeum meunasah untuk urusan
keagamaan. Untuk melaksanakan pekerjaannya keuchik mengangkat dewan orang tua (tuha
peut) yang bijaksana, berpengalaman, sebagai dewan yang memberikan
nasehat dan pertimbangan.[21]
Sehubungan
dengan asal-usul kepemimpinan ini perlu diketengahkan latar belakang yang mempengaruhi
keadaan kepemimpinan sekarang ini, dimana golongan ulama POESA atau bekas-bekas
tokoh DI/TII atau sekarang pemimpin politik “di belakang layar” dari Parmusi di
daerah itu, kuat sekali pengaruhnya dalam masyarakat. Salah satu cirri
kepemimpinan pada masa lampau ialah terpusatnya kekuasaan pada tangan uleebalang
sebagai pemimpin formil. Pemimpin-pemimpin yang ada di bawah nya seperti teuku
imeum, kepala mukim sekarang, dan keuchik meminjam kekuasaan uleebalang
dalam rangka melaksanakan pengaruhnya ke dalam masyarakat. Ciri lainnya, bahwa
proses kepemimpinan berlangsung secara turun temurun khususnya untuk uleebalang
dan teuku
imeum yang ditunjuk dari golongan bangsawan seketurunan. Terjadinya
pergantian kepemimpinan ini disebabkan karena dihayatinya nilai-nilai
demokratis akibat perang kemerdekaan di satu pihak dan di lain pihak karena
golongan ulama adalah golongan yang paling dekat dengan rakyat atau massa
petani dan lebih banyak mempunyai persamaan identitas dengan massa petani.[22]
Pergantian ini terjadi pula untuk pemimpin formil tradisionil, kepala
mukim dan keuchik, kecuali satu dua orang yang dapat diterima oleh
golongan ulama POESA.
J. Pengendalian
Sosial di Aceh Besar
Dalam masyarakat manapun senantiasa terjadi ketegangan-ketegangan yang
mungkin disebabkan karena adanya kebutuhan yang berbeda antara individu dengan
individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok dan
sebagainya. Pertentangan dan ketegangan itu mungkin pula disebabkan karena
adanya watak, perangai tingkah laku
serta berbagai sebab lainnya. Hal-hal yang demikian tentu saja membutuhkan
pengendalian, kalau tidak, pasti akan terjadi kekacaubalauan dan malapetaka.
Berbagai macam cara yang mengendalikan ketegangan-ketegangan dalam masyarakat
atau mencegah terjadinya kemungkinan yang tidak diinginkan, disebut system
pengendalian sosila atai social control.[23]
Jadi, pengertian pengendalian sosial dari segi sosiologis adalah amat luas,
karena merupakan suatu proses dan system yang mungkin bersifat mendidik,
mengajak ataupun mungkin memaksa anggota-anggota masyarakat agar mau mentaati
norma-norma dalam masyarakatnya. Dengan demikian ia akan memperkokoh struktur
dan menjaga integritas masyarakat tersebut secara keseluruhan. Pada umumnya
pengendalian sosial dengan berpedoman pada berbagai norma itu dilaksanakan
serta dikembangkan oleh lembaga-lembaga sosial seperti lembaga keluarga.
Lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan sebagainya. Aceh Besar, yang oleh
orang aceh sendiri disebut Aceh Rayeuk, adalah salah satu dari
sepuluh kabupaten dan kotamdya yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh
dan terletak di bahagian paling ujung Pulau Sumatera. Di bawah pemerintahan
kabupaten sebagai daerah otonom terdapat wilayah pemerintahan administrative
kecamatan dan seterusnya terdapat mukim dan gampong (kampong) sebagai
kesatuan-kesatuan masyarakat hokum yang asli. Mukim, berasal dari bahasa Arab
yang berarti tempat tinggal.[24]
K. Norma-norma
Dalam Masyarakat
Cirri utama suatu masyarakat manusia ialah suatu kebudayaan sebagai
hasil berbagai karya, rasa dan cipta manusia selaku makhluk berakal, baik untuk
melindungi dirinya sendiri dari keganasan alam maupun dalam rangka
menaklukannya. Ataupun untuk menyelenggarakan hubungan hidup bermasyarakat
secara tertib dan utuh. Salah satu hasil karya, rasa dan cipta untuk
menyelenggarakan kehidupan yang tertib dan utuh itu, ialah lahirnya nilai-nilai
yang berwujud norma-norma yang berisikan ketentuan-ketentuan bagaimana
seharusnya tindakan anggota-anggota masyarakat itu dalam kehidupan bermasyarakat.
Norma-norma untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat yang tertib bukan
hanya terdiri dari hasil karya, rasa dan cipta manusia saja seperti norma-norma
adat dan hokum, akan tetapi juga berada di luar kehendak manusia itu sendiri,
yaitu norma-norma agama yang berasal dari Tuhan yang mahakuasa.
Adat
sitiadat senantiasa tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan masyarakat yang
nyata, cara berpikir dan [andangan hidup yang secara keseluruhan merupakan
kebudayaan dari masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat di mana istiadat itu
hidup dan berkembang. Adat istiadat suatu tempat merupakan norma-norma yang
telah berlaku sepanjang masa dan telah diwariskan secara turun temurun sehingga
merupakan sesuatu yang harus dipatuhi dalam menyelenggarakan kepentingan
bersama. Norma-norma tersebut berlaku oleh tekanan-tekanan masyarakat
pendukungnya dan pejabat-pejabat adat.[25]
Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa ada istiadat dapat saja berubah
sewaktu waktu dengan timbulnya peristiwa-peristiwa tertentu ataupun
kebutuhan-kebutuhan baru yang memerlukan penyelesaian dan penyesuaian secara
baru pula. Jika suatu keadaan dan kebutuhan tertentu timbul dan masyarakat
mengakui keadaan dan cara penyelsaian itu, maka tersusunlah menggantikan
norma-norma adat istiadat yang lama.
L. Lembaga-lembaga
Yang Menaklukan Pengendalian Sosial
1.
Lembaga
Keluarga
Beberapa
aspek pengendalian sosial dari lembaga keluarga antara lain dapat kita saksikan
dari system-sistem yang telah berkembang dalam lembaga tersebut. Pemberian
rumah kepada anak perempuan sebagai rumah peunulang (rumah pemberian)
yang telah merupakan adat dan tetap bertahan sampai sekarang, dilihat dari segi
pengendalian sosial mempunyai akibat yang sangat positif, yaitu kuatnya
kedudukan si isteri dalam rumah tangga. Selaku pemilik rumah, isteri di Aceh
Besar disebut peurumah, yang berasal dari kata po rumoh, artinya yang
empunya rumah. Dalam keadaan yang demikian suami tidak dapat sewenang-wenang
menghardik dan mencoba mengusir isteri dari rumah kepunyaan sendiri, sehingga
tercegahlah terjadi perceraian oleh sebab-sebab yang amat kecil. Apabila
seorang anak telah dewasa atau telah berumah tangga, maka lazim pula bagi pihak
orang tua untuk memisahkan sebagian hartanya, baik barang tetap maupun
bergerak, untuk kepentingan anak yang telah dewasa atau yang telah berumah
tangga. Peristiwa dan upacara pemisahan itu biasanya dilakukan di hadapan
keuchik, teungku meunasah, ahli family dan orang-orang tua gampong dan disebut
upacara pumeukleh,[26]
artinya memisahkan. Telah merupakan adat pula bahwa harta yang telah dipisahkan
itu dapat dicabut kembali oleh orang tua yang memberikannya, dengan
alasan-alasan tertentu seperti kalau anak menjadi durhaka, tidak bertindak
sopan atau melakukan hal-hal yang memalukan orang tuanya.
2.
Lembaga
Perekonomian
Masyarakat
Aceh Besar yang masih berorientasi pada pola ekonomi agraris tradisionil, dalam
beberapa hal mengenai system perekonomiannya, masih punya hubungan langsung
dengan system pengendalian sosial. Dalam system mawah (bagi hasil)
umpamanya, factor kejujuran dan kerajinan sangat menentukan untuk mendapat
kepercayaan masyarakat, terutama para pemilik alat-alat produksi, seperti
pemilik tanah, ternak dan uang. Seseorang yang di desanya terkenal hana
amanah (tidak dapat dipercaya), cepat sekali menjadi bahan pembicaraan
umum di meunasah-meunasah, warung-warung, sawah dan sebagainya.
3.
Lembaga
Keagamaan
Lembaga
keagamaan biasanya merupakan berbagai susunan pola-pola kepercayaan dan tingkah
laku yang bersangkutan dengan hubungan antara manusia dengan alam gaib. Tugas
utama dari agama ialah memberi petunjuk dan orientasi kea rah itu. Orientasi di
atas mengambil bentuk usaha memohon pertolongan dan mendapat perlindungan dari
tuhan, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, menyelenggarakan dakwah, member
kedudukan yang terhormat kepada pemuka-pemuka agama dan sebagainya. Masyarakat
Aceh Besar memandang ulama yang benar-benar saleh dan bersih dari kekotoran
duniawi sebagai warasat ul ambiya (pewaris para nabi). Oleh karenanya dalam
membayar zakat, umpamanya, masyarakat lebih cenderung menyerahkan pada ulama
tersebut daripada ke lembaga-lembaga resmi yang dipentuk oleh pemerintah.
Disamping itu, dapat pula kita saksikan tidak sedikit kasus tentang
penyelesaian persengketaan, kegaduhan dalam rumahtangga yang dapat diselesaikan
hanya dengan adanya fatwa dari seorang ulama. melalui kasus yang dikemukakan di
bawah ini dapat kita fahami betapa berperannya seorang ulama di suatu tempat.
4.
Lembaga
Pemerintahan
Lembaga
pemerintahan adalah semua lembaga yang ikut serta dalam proses pelaksanaan
administrasi Negara, seperti pemeliharaan ketertiban umum, peradilan dan
lain-lain. Cirri khas lembaga pemerintahan yang membedakannya dari
lembaga-lembaga lain ialah bahwa lembaga pemerintahan merupakan organisasi yang
disusun berdasarkan pranata hokum, sehingga cukup mempunyai kewibawaan dan
kekuasaan yang dilimpahkan oleh Negara kepadanya.
M. Kelahiran
dan Pengasuhan Anak di Pedesaan Aceh Besar
Daerah penelitian adalah dua buah kemukiman[27]
yaitu Tungkob dan Lam Ara yang termasuk dalam kecamatan Darussalam dan
kecamatan Darul Imarah di Kabupaten Aceh Besar. Luas tanah Tungkob 13 kilometer
persegi, dan jumlah penduduk 3.113.[28]
luas areal tanah Lam Ara 8,5 kilometer ppersegi, dengan jumlah penduduk 4.979.[29] kedua kemukiman ini terletak di sebelah timur
laut dan barat daya ibu kota propinsi Banda Aceh, masing-masing sejauh 8
kilometer dan 4 kilometer. Jalur penghubung dengan kota hanya satu jurusan dan
kondisi jalan kurang baik. Oleh karena kedua daerah ini tidak mempunyai arti
ekonomi maka keadaannya tidaklah ramai dan bus pengangkutan jarang sampai ke
tempat ini. Pada kiri kanan jalan raya terdapat persawahan penduduk yang diolah
secara alam. Irigasi belum ada. Jalur penghubung antara satu gampong
(kampung) dengan gampong lain yang ada di dalam mukim ialah lorong-lorong dan
pinggir-pinggir pematang sawah.
N. Adat
Istiadat Pada Masa Hamil dan Kelahiran
Anak merupakan kebanggaan keluarga, banyak anak banyak rezeki.
Pembahasan jumlah anak kurang disetujui karena dianggap bertentangan dengan
agama. Karena kurang penjelasan, sikap ini mereka dengar dari mulut ke mulut.
Tetapi jika ada informasi jelas yang dapat dicernah oleh akalnya sikap itu akan
berubah. Tampaknya ada keluhan-keluhan keluarga yang mempunyai warga yang besar
tentang sulitnya mencari makan, apalagi menyekolahkan anak. Juga peran adat
yang hamper mengisi lingkaran hidup individu, dari mana hamper setiap langkah
memasuki fase baru dalam kehidupan anak, selalu diberkahi dengan upacara yang
memerlukan biaya pula.
1.
Keinginan
Memperoleh Anak
Bagi keluarga yang setelah menikah tiga atau lima tahun belum juga
memperoleh anak, ada rasa cemas terutama dari pihak isteri, karena khawatir
kalau suami akan menikah lagi. Mereka berusaha meminta pertolongan dukun dan
bantuan arwah-arwah orang suci.[30]
Yang sering dikunjungi ialah makam Syiah Kuala di Banda Aceh. Dukun memberikan
pertolongan dengan mengurut bahagian perut, dengan minyak kelapa yang telah
diasap kemenyan dan diberi mantera. Pengurutan biasanya dilakukan tiga kali
berturut-turut selama tiga hari. Golongan terpelajar meminta pertolongan
dokter. Sebahagian masyarakat kota melakukan keduanya karena kurang yakin jika
hanya ke dokter saja. Golongan ini yang sebenarnya masih berada dalam fase
transisi mereka, telah mulai mengikuti arus kota tetapi belum dapat melepaskan
diri dari kebiasaan lama. Sikap ini menunjukkan bahwa kepercayaan magis dan
belum hilang.
2.
Keguguran
anak yang lahir karena kurang bulan dianggap kena gangguan roh jahat,
seperti boerong (Pontianak, kuntilanak). Menurut kepercayaan, boerong
ini berasal dari roh wanita yang mati karena meumukah (berzina).[31]
Yang terkenal dan ditakuti ialah boerong yang bernama Nek Rabi,
berasal dari kampong Tanjung, mukim Pagar Aye, dan Po cut Siti yang kuburannya
ada di mukim Tungkob.[32]
Kedua wanita ini dibunuh oleh suami gelap, karena mengandung dan roh mereka
menjadi boerong. Walaupun kepercayaan ini telah mulai berkurang tetapi masih ada yang datang menziarahi
kuburannya melepaskan nazar. Boerong suka mengganggu wanita hamil
dan yang baru melahirkan. Menurut orang Aceh suara boerong itu meu’i’i
(berbunyi nyaring), tetapi yang berbahaya ialah bila ia masuk dengan
diam-diam ke dalam tubuh wanita yang telah kemasukan boerong ini tidak sadar.
Orang yang dapat dianggap dapat menyambut dan mengusirnya ialah dukun. Sebelum
diadakan pengobatan, dukun bertanya dulu, siapa yang datang dan apa
keinginannya. Ia memperkenalkan dirinya dengan menyebut namanya dan meminta
makanan yang enak-enak. Permintaan dikabulkan dan oleh dukun ia diminta pergi
dan jangan mengganggu dengan perjanjian bahwa rumahnya (kuburannya) akan
diziarahi. Setelah sembuh kaoy (nazar, janji) si sakit
ditepati oleh keluarga.
3.
Adat
Istiadat Pada Masa Hamil, Pantangan, Tangkal
Masyarakat
mengenal beberapa upacara adat pada masa hamil seperti boh kayee (membawa
buah-buahan), jak me bu (membawa nasi), manoe tujoeh buleun (mandi tujuh
bulan). Upacara ini terutama untuk aneuk phon (anak pertama), tetapi
bagi keluarga mampu upacara ini diadakan juga pada kehamilan berikutnya.
4.
Pantangan
Pantangan
ini perlu mendapat perhatian karena bila dilanggar akan mengakibatkan bayi
sukar lahir atau cacat. Untuk menghindari bahaya, wanita hamil dilarang ba’ulee
reunyeuen (duduk di kepala tangga), agar tidak dapat kesukaran pada
waktu melahirkan, dan dilarang melihat monyet, agar anak lahir tidak akan
serupa monyet.[33]
Ada pula larangan keluar di senja hari, karena pada waktu ini setan, boerong
berkeliaran, dan pantang memasak kue sepit, karena dapat mengakibatkan bibir
anak akan sumbing. Tabu hamil juga berlaku untuk si bapak. Ia dilarang memukul
binatang atau berpergian di malam hari. Jika terpaksa pulang malam ia tidak
boleh langsung naik ke rumah tetapi harus berhenti sebentar di luar atau di meunasah.[34]
Ada pula yang harus mengelilingi rumah tiga kali atau memutar tumit kaki kanan
di atas tanah tujuh kali. Adanya pembatasan tingkah laku si bapak menunjukkan
bahwa antara bapak dan anak terdapat hubungan mistis, karena tingkah laku bapak
akan mempengaruhi anaknya.[35]
Pantangan-pantangan ini sebenarnya mempunyai nilai kesehatan, akan tetapi
karena rendahnya daya fikir, akibat kurang nya ilmu pengetahuan maka mereka
lebih banyak mengikuti saja tingkahlaku orangtuanya yang telah diwariskan pula
dari nenek moyangnya.
5.
Tangkai
(Tangkal)
Karena
ada kepercayaan bahwa wanita hamil suka diganggu oleh roh jahat atau makhluk
halus yang menyebabkan ia berada dalam bahaya, maka dicari usaha mencegahnya
yaitu benda-benda atau ayat suci yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Untuk
dipakai tangkai atau azimat.
6.
Adat
Kebiasaan Melahirkan
Setelah
keliatan tanda-tanda bayi akan lahir bideun dipanggil. Bideun
yang memperoleh keahlian warisan dari ibu dan neneknya, mempunyai pengetahuan
magis dan ilmu kedukunan. Alat yang perlu digunakan dipersiapkan; benang, teumen
(pisau bambu), kunyit dan sirih selengkapnya. Dua yang tersebut terakhir
disediakan oleh yang berkepentingan.
Seorang
wanita biasa melahirkan di seuramo likot (serambi belakang)[36]
dengan memperhatikan bentuk rumah. Wanita yang akan melahirkan berbaring diatas
lantai yang di alas dengan tikar, alat pemegang lantai rumah,[37]
atau leher dari si pemangku. Yang di perkenankan hadir hanyalah yang berfungsi
menolong. Suami dengan keluarga lainnya menanti di jurai dan di rambat.[38] Bideun
memulai melakukan tugasnya dengan membaca mantera dari bahasa Arab dan
diucapkan pelan-pelan. Jika bayi meularat (sukar lahir), bideun
menggunakan ilmu kedukunan yang
sangat rahasia. Jika dapat, suami dipersilakan untuk membaca doa seulusoh
ke dalam air pada sebuah mangkok yang kemudian di minumkan pada si sakit.[39]
Sebagai usaha selanjutnya jika bayi belum juga lahir, bideun menganjurkan pada
si sakit agar meminta maaf pada suami, mungkin ia ada membuat kesalahan,
sehingga mengganggu kelahiran. Pemeah lon (maafkan saya).[40]
Sebagai tanda keihlasan suami melangkahi isterinya tiga kali dari kiri ke kanan
dengan mengucapkan bah that saket jak laju u lua (walaupun sakit lekaslah keluar).
Kemudian suami menghembus kening isterinya tujuh kali dengan niat pakriban
bade ngon keu lahe ( bagaimana derasnya badai begitulah cepatnya engkau
lahir). Tingkah laku suami menjadi symbol pembuka pintu sedangkan hembusan
nafas merupakan symbol pendorong. Dengan demikian tingkahlaku simbolis ini
mempunyai kekuatan magis yang dianggap dapat menolong mempercepat kelahiran.
7.
Pengobatan
Setelah
anak selesai di bersihkan, bideun membersihkan ibunya pula.
Seluruh badan dibersihkan dan yang terakhir disiram dengan ie boh kruet (air jeruk
purut), agar tidak dimasuki roh jahat dan untuk juga menghilangkan bau amis
(hanyir). Setelah tugas ini selesai, bideun datang memandikan bayi dan ibunya
serta mengurut keduanya pada hari ketiga, kelima dan ketujuh.
8.
Bideun[41]
Panggilan
bideun
bergantung pada bagaimana ia dipanggil sehari-hari oleh keluarganya misalnya, nyak
Wa, nyak Muh. Dari panggilan ini terlihat bahwa hubungannya dengan
warga masyarakatnya bersifat kekeluargaan. Bideun umumnya mempunyai profesi
rangkap yaitu sebagai penolong wanita yang akan dan telah melahirkan, meurajah
obat aneuk-aneuk (meramu obat anak-anak), teungku ineung, pelaksana
adat, dan sebagai penyelenggara upacakeperluan wanita yang telah meninggal.
Dari banyak nya tugas yang dipegang, nyatalah betapa besar peranannya di dalam
masyarakat nya. Ia turut sebagai penyalur nilai-nilai budaya pada generasi
sesudahnya. Melalui pengajaran mengaji ia menanamkan adat sopan santun,
perbuatan baik yang harus dilakukan, perbuatan buruk yang harus ditinggalkan,
dan memperkenalkan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
9.
Upacara
Setelah Kelahiran
Masyarakat
mengenal beberapa jenis upacara yang disertai kenduri. Setelah bayi berumur
tujuh hari di adakan upacara peucicab (member rasa). Pada bibir
si bayi disapukan air buah-buahan atau madu. Pemberian rasa manis ini mempunyai
arti simbolis, agar supaya anak manis (bahagia, senang) hidupnya. Kemudian di
atas dada si bayi diletakan hati ayam, surat yasin atau keris yang juga
mempunyai arti simbolis agar si bayi mempunyai jiwa yang teguh, kuat iman dan
menjadi orang yang saleh. Oleh teugku jika bayi itu laki-laki, dan teungku
ineung bila perempuan, hati ayamnya itu dibalik-balik di atas dadanya
supaya bila mendapat kesulitan, fikirannya cepat berputar untuk mencari jalan
keluar. Biasanya pada saat ini pula bayi cuko cek (cukur rambut), tetapi
dapat ditunda pada hari lain. Demikian pula geboh nan (pemberian
nama) dan haqiqah (hakikah) dilaksanakan serentak. Ketiganya ini menurut
hukum islam.[42]
Pada waktu cuko cek, rambut dan alis mata turut dicukur, kemudian di
masukkan ke dalam kelapa yang telah di hias sedemikian rupa sehingga berbentuk
mangkok yang bertutup indah dan ditanam. Pada masa lalu ada yang mengirimkannya
ke Mekkah kepada Syekh agar mendapat berkat.
O. Pemeliharaan
Anak dan Latihan
Badan bayi masih sangat lemah, demikian pula semangatnya. Semangat mudah
terbang bila seseorang terkejut misalnya kalau ia diganggu oleh setan atau
mendengar suara keras seperti petir. Demikianlah keterangan seorang ibu yang
sedang mengunyah jeurangeu (jerango), dan ceuko (cukur, kencur) di mulutnya
yang kemudian akan diseumbo (disembur) pada bahagian ubun-ubun bayinya yang berumur
satu bulan. Karena menurut anggapan, dari sinilah keluar (terbang) semangat. Pada
lengan kanan atau pada lehernya digantungkan azimat yang telah diberi bertali
sebagai tangkal setan. Untuk menghindarkan gangguan-gangguan yang mungkin dapat
menyebabkan bayi sakit maka ia tidak boleh di tinggalkan sendirian. Biasanya ia
digendong, diayun (dibuai) oleh ibu atau saudaranya.
1.
Mengayun,
Menggendong
Kebiasaan
ibu-ibu dalam masyarakat ini ialah mengayun (membuai) dan menggendong bayinya
jika akan menidurkan, diiringi nyanyian yang bersifat keagamaan, misalnya “La
ila ha illallah, Muhammadarasullullah” (Tiada tuhan selain Allah, Muhammad
itu Rasul Allah) dengan irama khas Aceh. Menurut keterangan salah seorang
informan yang telah berusia tujuhpuluh tahun, bentuk nyanyian itu dan demikian
pula irama lagunya tidak berubah dari yang pernah dinyanyikan untuk menidurkan
anak-anaknya. Masyarakat ini yang terikat pada agama dan adat itu telah
mendidik anak-anaknya dengan dasar keagamaan sejak dalam ayunan.
2.
Beudeung
(Bedung)
Sejak
hari pertama kelahiran bayi dimandikan kemudian di bedung. Ia dibedung mulai
dari kepala (sebagai topi), kemudian kedua belah tangannya. Badan dan kaki
dibungkus dengan kain[43]
dan diikat dengan tali yang terbuat dari kain. Bahan pembendung ija
tumpee (kain pembalut tua), biasanya berupa kain sarung atau kain
panjang yang dipotong menjadi empat atau lima bagian. Bahan ini telah
disediakan jauh sebelum hari kelahiran. Pemakaian kain tua bukanlah ukuran
status keluarga tetapi hanya adat keniasaan. Kebersihan kain kurang
terpelihara, karena kurang pengertian tentang kesehatan, dan ekonomi yang
rendah pula. Lamanya bayi dibedung tergantung pada keinginannya. Bila ia
menangis dan meronta-ronta maka tandanya ia tidak mau dibedung lagi. Mulai saat
ini ia memakai lampin (popok), yang dililitkan pada bagian bawah badan dengan
kaki terbuka. Pada masyarakat ini tidak terdapat kebiasaan memakaikan celana
pada bayi dan kanak-kanak sehingga mereka janggal bila disuruh bercelana. Tidak
jarang pula karena dipaksa ia mau memakainya dan kemudian waktu bermain-main
dibuka dan diletakkannya di sembarang tempat. Stelah mengerti alat kelamin dan
merasa malu, ia akan meminta celana kepada orang tuanya. Rasa malu timbul
setelah anak berumur enam atau tujuh tahun dan umumnya pada masa ini mereka
masuk sekolah dan mengaji.
3.
Menyusukan,
Memberi Makan, Menyapih
Ibu-ibu yang sedang menyusui bayi suka meminum air
daun-daunan yang pahit rasanya seperti daun papaya, agar air susu lebih banyak.
Mereka tidak memakan makan makanan yang pedas karena khawatir bayi akan sakit
perut. Bayi disusukan dengan posisi berbaring, sedangkan sang ibu dapat
berbaring, duduk, berdiri atau berjalan. Susu ibu dapat digunakan sebagai alat
pengaman bagi si bayi, misalnya ditempat yang ramai ia disusui agar jangan
terkejut. Pernah saya melihat seorang ibu menyusukan bayinya dalam perjalanan
dengan menumpang bus. Sejak naik bus ia terus menyusukan anaknya sampai turun
ke tempat yang ditujunya agar bayi tidak menangis.
4.
Latihan
Sopan Santun, Latihan Buang Air
Latihan sopan santun dimulai setelah ia dapat
memegang. Menerima sesuatu pemberian misalnya makanan, harus dengan jaroe
get (tangan baik kanan) dan bila ia memberikan jaroe brok (tangan buruk
kiri) maka makanan tidak diberikan. Demikianlah latihan ini berulang-ulang
dilakukan sehingga difahaminya. Setelah dapat berbicara mulailah dilatih
mengucapkan Alhamdulillah (syukur kepada Allah) sebagai tanda terimakasih bila
menerima pemberian dari orang lain. Demikian pula latihan buang air kurang
mendapat perhatiaan. Pada masa bayi mereka iek (buang air kecil) dan ek
(buang air besar) dilampinya, setelah pandai duduk di celananya, dan sudah
pandai berjalan, ia lebih banyak melakukannya sendiri. Dan untuk membersihkan
ia minta tolong pada ibu atau saudaranya dengan tangis. Karena tangis adalah
alat untuk mendapatkan perhatian.
P. Perkembangan
Tingkahlaku Anak
Masyarakat ini mengenal beberapa tahap perkembangan dalam kehidupan.
Seperti pindek (masa menyusu) pada umur 0-2 tahun, lhak (masa lepas menyusu
= disapih) pada umur 2-4 tahun, aneuk manyak (masa kanak-kanak) pada
umur 4-6 tahun, aneuk mit (cut-cut) (masa belajar = sekolah)
pada umur 7-8 tahun, aneuk ka rejeuk (pubertas) pada umur
9-13 tahun, aneuk muderu (pemuda), aneuk dareu (pemudi, dara).[44] Tingkah laku anak dinilai dari
umurnya. Anak yang berumur 4-6 tahun dan bertingkah laku kurang sopan tidak
mendapat teguran karena ia dianggap belum berakal.[45]
1.
Hubungan
Anak Dengan Orang Tua dan Saudara-saudaranya
Sejak bayi
dilahirkan sampai disapih hubungan dengan ibunya sangat erat, sehari-harian ia
berada di bawah pengawasan ibunya. Jika ibu pergi ke sawah atau ke tempat lain
ia di asuh ole saudara-saudaranya, tetapi bila telah kembali, perhatian ibu
langsung ditujukan kepadanya. Rasa senang atau tidak selalu tertuju kepada
ibunya. Pada masa ini anak jarang menangis lama karena bila ia menangis selalu
ada usaha mendiamkannya baik dengan bujukan kata-kata, menggendong atau member
hadiah.
2.
Pendidikan
dan Pengajaran
Pendidikan
dan pengajaran yang merupakan media nilai-nilai budaya dengan sosialisasi akan
diberikan kepada anak dan akan mengubah tingkahlakunya sesuai dengan keinginan
masyarakatnya. Sesuai dengan pandangan hidup masyarakat yang berdasarkan agama
maka anak yang ideal bagi mereka ialah anak yang saleh dan tahu adat lembaga
masyarakatnya. Sadar bahwa mereka tidak cukup mampu untuk mencapai cita-citanya
dengan mengajar langsung mereka lalu mengirim anak-anaknya yang sudah sanggup
mengikuti pelajaran ke meunasah bagi yang laki-laki dan
kerumah teungku ineung bagi yang perempuan, masing-masing di bawa oleh
ayahnya dan ibunya secara terpisah. Dalam masyarakat ini anak laki-laki dan
perempuan yang menuntut ilmu agama dipisahkan.
3.
Aneuk Ka Rayeuk
(Pubertas)
Setelah anak memasuki umur 9-13 tahun mereka
digolongkan dalam aneuk ka reyeuk. Pada masa ini anak laki-laki dan perempuan
telah memisahkan diri karena telah menjadi adat pada masyarakat ini bahwa
laki-laki dan perempuan tidak boleh bergaul. Juga suami isteri jarang berjalan
seiring, tetapi selalu suami di depan dan isteri di belakang. Juga saudara
kandung yang berbeda jenis kelamin setelah akil balig (dewasa) saling terpisah.
Mereka berbicara jika perlu saja.
Q. Masakah
Perceraian di Aceh: Studi Kasus di Dua Kecamatan
Walaupun sepasang suami isteri yang telah diresmikan perkawinannya,
dikehendaki dan di doakan supaya abadi rumahtangganya, namun sering
perselisihan mengancam dan bahkan kadang-kadang perceraian memutuskan hubungan
mereka. Itulah sebabnya maka perceraian menjadi persoalan dalam masyarakat dan
menarik perhatian banyak orang. Masalahnya tidak saja terletak pada perceraian
itu sendiri, tetapi yang malah lebih penting ialah sebab-sebab terjadinya.
Jenis dan jumlah sebab perceraian kelihatan berbeda antara 2 kecamatan yang
diteliti, antara lain, mungkin karena situasi lingkungan, kondisi daerah atau
kondisi sosial ekonominya yang berlainan. Di Mutiara terdapat 34 buah sebab
perceraian, sedangkan di Jaya 32. Karena di antara sebab-sebab itu ada yang
kelihatan bersamaan pengertiannya maka saya, berbeda dengan Snouck C.
Hurgronje, Departemen Agama RI dan James T. Siegel, mengelompokan ke dalam 4
kategori, yaitu: ekonomi, tingkahlaku, biologi dan pihak ketiga.[46]
R. Perceraian
Ada tiga macam cara bercerai di Aceh, yaitu: taleuk (cerai, oleh
suami), fasakh (cerai, oleh isteri) dan khulu’ (cerai dengan
tebusan, oleh pihak isteri). Teleuk ialah “melepaskan ikatan
perkawinan atau memutuskan hubungan suami isteri,”[47]
oleh pihak suami,[48]
bak dengan atau tanpa sesuatu alas an yang pantas.[49] Dalam
hal ini, pihak isteri terpaksa menerima saja keputusan cerai sebab jika suami
sudah mengucapkan taleuk itu, langsung atau tidak, maka perceraian menjadi syah.
Tetapi secara formil saja mereka harus meminta surat pengesahan perceraian dari
KUAKEC.
S. Perbandingan
Perceraian Antara Mutiara dan Jaya
Jumlah
perceraian dalam Kecamatan Mutiara kelihatan lebih tinggi daripada Kecamatan
Jaya. Pada yang pertama, sesuai dengan data-data pada KUAKEC, perkawinan
banding perceraian, selama 7 tahun, adalah 635 : 247 (tabel 1), sedangkan yang
kedua adalah 580 : 85 (tabel 2). Jadi pada yang pertama jumlah perceraian
adalah 40% dari jumlah perkawinan sedangkan pada yang kedua 14%.
T. Sumber-sumber
Perselisihan
Setiap
perceraian, umumnya, di dahului oleh perselisihan-perselisihan yang
berlarut-larut yang sebagiannya, walaupun telah diusahakan cara-cara
pengatasannya, meningkat kepada pertengkaran dan bahkan kadang-kadang
perkelahian sehingga terpaksa diselesaikan dengan perceraian. Di antara sebab
perselisihan itu ada yang berpangkal dari suami, ada yang bersumber dari
isteri, ada pula yang berasal dari keduanya dan ada lagi yang datang dari luar
rumahtangga mereka. Ada lagi, setelah upacara itu dilaksanakan pindahlah
laki-laki kerumah mertuanya (Mutiara dan Jaya). Mulai saat itu ia sudah
seharusnya bertanggung jawab terhadap isteri dan orang tuanya.[50]
Karena itu diharapkan supaya ia berusaha terus, walaupun dengan cara merantau
(Mutiara) atau dengan cara-cara lainnya (Mutiara dan Jaya) untuk memenuhi
kewajibannya.
U. Perceraian
di Mutiara
Dari
sekian banyak pengaduan tentang perceraian yang pernah sampai ke KUAKEC
Mutiara, kelihatannya, sebagian besar dimajukan oleh perempuan.[51]
Kalau ada laki-laki yang menghadap maka tujuannya hanyalah sekedar mengesyahkan
secara formil (meminta surat) perceraiannya dengan isterinya. Ini mudah di
fahami karena pertama, isteri terpaksa bermohon untuk diceraikan atau, kalau
suaminya enggan, harus melalui perkara di depan yang berwajib. Kedua,
kadang-kadang suami tidak mampu member nafkah, tetapi ketika diminta cerai oleh
isterinya, entah dengan alas an apa, ia tidak mau menceraikannya. Ketiga, suami
telah kawin dengan perempuan lain, sehingga isterinya yang sebelumnya kurang
mendapat perhatian. Keempat, suami sudah lama tidak pulang tanpa mengirim
berita dan belanja. Kelima, isteri mempunyai rumah sendiri, sehingga segera
setelah cerai masih ada harapan akan kawin lagi dengan laki-laki lain.
V. Sebab-sebab
Perceraian di Mutiara
Dari hasil wawancara dan 154 lembar daftar pertanyaan yang saya edarkan
di Mutiara ternyata bahwa di sana ada 34 sebab perceraian. Mungkin kalau
wawancara dilanjutkan dan daftar pertanyaan diedarkan lagi akan terdapat pula
sebab-sebab lainnya. Tetapi dapat diandaikan bahwa sebab yang akan muncul hanya
akan berbeda daripada yang telah terkumpul dalam istilah atau ucapan saja,
tidak dalam maksud dan pengertian. Diantara ke-34 sebab itu, karena ada yang
berdekatan pengertiannya, maka sebaiknya diusahakan pengelompokannya. Menurut
sumber Departemen Agama RI, yang sampai sekarang dijadikan pegangan di setiap
KUAKEC, semua sebab perceraian di Indonesia dapat dikelompokan ke dalam 7
kategori, yaitu: 1. Lemah ekonomi, 2. Krisis moral, 3. Dimadu, 4. Meninggalkan
kewajiban, 5. Biologis, 6. Gangguan pihak ketiga dan, 7. Politik.[52]
W. Perceraian
di Jaya
Sama halnya seperti yang kelihatan di Mutiara, di Jaya pun
pengaduan-pengaduan tentang perceraian yang sampai ke KUAKEC, sebagian besar,
dimajukan oleh perempuan.[53]
Alasan-alasan untuk itu juga serupa, kecuali pada yang kelima di mana terdapat
perbedaan yang nyata antara dua Kecamatan.[54]
Di Mutiara, isteri mempunyai rumah sendiri dan jika sudah bercerai masih ada
harapan akan segera mendapat suami lain. Sedangkan di Jaya, walaupun perempuan
mempunyai rumah sendiri, setelah bercerai sukar mendapat suami lagi. Apa yang
ditemukan Siegel tentang pokok perselisihan suami isteri di Piddie,[55]
kelihatannya kurang, jika sukar mengatakan tidak terdapat di Jaya. Didaerah
ini, sebagian besar perceraian, nampaknya, tidak berpangkal pada masalah uang
tetapi pada sebab-sebab lainnya yang menurut anggapan masyarakat di sana lebih
penting.
X. Sebab-sebab
Perceraian di Jaya
Dari hasil wawancara dan 118 loembar daftar pertanyaan yang saya edarkan
ternyata bahwa di Jaya terdapat 32 sebab perceraian. Di antaranya ada yang
kelihatan bersamaan pengertiannya. Oleh karena itu, seperti halnya dengan
Mutiara, di sini pun saya usahakan pengelompokannya. Yang dijadikan pedoman di
KUAKEC Jaya sampai sekarang ialah pengelompokan ke dalam 7 kategori sesuai
dengan kategori Departemen Agama RI.[56]
Selain dari pada sukar menerimanya untuk pengelompokan sebab-sebab perceraian
di Jaya, juga kategori ke-7, politik, tidak terdengar sama sekali menjadi
masalah rumahtangga di sana. Saya mengelompokannya ke dalam 4 kategori saja
atas dasar konsep tertentu,[57]
yaitu: ekonomi, tingkahlaku, biologis dan pihak ketiga.
Y. Pengaruh Migrasi
Terhadap Kebudayaan Setempat
1.
Bahasa
Sebagai salah satu unsur kebudayaan,
bahasa merupakan perlatan komunikasi terpenting dalam kehidupan sehari-hari,
baik dilinkungan masyarakat atau keluarga. Karena itu, diperkirakan unsur
kebudayaan ini kerapkali menerima sentuhan unsur kebudayaann lain. Namun
kecenderungan orang untuk bertahan dengan bahasa sendiri tetap kuat. Di
kalangan penduduk setempat, bahasa Aceh masih menjadi bahasa dominan. Sedangkan
penggunaan bahasa Indonesia lebih terbatas kepada keluarga campuran, walaupun tidak
seluruhnya demikian.
Pemakaian bahasa Indonesia tampak
cukup menonjol kalau mereka berbicara dengan anggota masyarakat dari kelompok
etnis lain. Hanya dalam presentase yang sangat kecil terlihat mereka
menggunakan bahasa Aceh. Sebaliknya, didesa terdapat responden setempat yang
menggunakan bahasa pendatang. Akan tetapi, tidak ada responden setempat yang
menggunakan bahasa pendatang kalau berbicara dengan sesama anggota keluarga,
walaupun keluarga mereka itu terbentuk atas dasar perkawinan campuran.
Sebagian responden yang bermukim di
Baree, menyatakan mampu berbicara dengan salah satu bahasa pendatang, seperti
bahasa Minangkabau, Batak atau Jawa. Sedangkan kemampuan berbahasa pada
responden yang bermukim didesa lebih terbatas pada bahasa Jawa. Tempat tinggal
yang saling berdekatan, dan hubungan sosial sehari-hari kiranya merupakan dua
faktor penting yang memungkinkan penggunaan bahasa pendatang tersebut.
2.
Ceritera Rakyat
Kecuali bahasa, responden setempat
juga mengenal beberapa jenis cerita rakyat yang berasal dari penduduk
pendatang. Cerita rakyat yang amat berkesan pada mereka adalah Sampuraga
(Tapanuli), Malinkundang (Minangkabau), dan Sangkuriang (Jawa Barat). Namun
pengetahuan tentang cerita rakyat tersebut terbatas pada responden yang
bermukim di kota. Sedangkan responden yang tinggal di desa, boleh dikatakan
tidak mengenal cerita tersebut.
3.
Kesenian
Hal lain lagi yang
dikenal responden setempat adalah kesenian rakyat yang berasal dari penduduk
pendatang. Hampir setengah dari setengah perse responden setempat mengetahui
kesenian rakyat penduduk pendatang, seperti tari piring, tari tanduk, kuda
kepang, ketoprak, wayang kulit dan ludruk. Mereka juga mengetahui alat musik
dari penduduk setempat sepertu sulung dan angklung. Jika dilihat dari perbedaan
lokasi responden, sebagian besar yang mengetahui kebudayaan dari penduduk
pendatang adalah masyarakat yang bermukim di kota, sementara yang bermukim di
desa lebih sedikit.
Ketimpangan presentase, antara
responden setempat di kota dan di desa, antara lain disebabkan pada pengetahuan
mereka tentang kesenian pada umumnya, termasuk kesenian daerah mereka sendiri,
saling berbeda. Presentase antara responden yang tinggal di daerah perkotaan
dan di pedesaan adalah lebih banyak pada yang tinggal di daerah perkotaan.
Itupun terbatas pada dua jenis kesenian saja, yaitu seudati dan rapai. Keragaman pengetahuan kesenian tersebut lebih
terlihat jelas pada masyarakat yang tinggal pada daerah perkotaan.
4.
Upacara Adat
Pengaruh migrasi yang
lain juga ditemukan juga pada upacara adat, seperti upacara perkawinan,
kelahiran, kematian, kebiasaan dalam bertani, peralatan, dan makanan. Berbagi
upacara adat atau kebiasaan yang berlaku sejak dahulu. Namun, dalam hal-hal
tertentu perubahan mulai juga tampak terlihat. Unsur baru yang berkembang pada
upacara perkawinan, antara lain terdapat pada pakaian pengantin dan hiasan
ruangan. Kalau dahulu untuk pengantin dikenakan pakaian adat Aceh, dewasa ini
ada kalanya dipergunakan jenis-jenis pakaian lain, seperti jas dan sloyor. Untuk
menghias ruang pengantin, penggunaan janur
tampak semakin meluas.
5.
Peralatan
Unsur baru lainnya yang juga meluas
dipakai di kalangan responden setempat, adalah peralatan rumahtangga, dan
makanan. Kebiasaan duduk bersila di tikar sudah banyak ditinggalkan, dan dapur
orang sudah memakai kompor. Jenis-jenis makanan tertentu, seperti sayur asam,
sayur lodeh, sambal terasi, rendang padang, dan gado-gado, sudah tidak asing
pada selera sebagian besar responden setempat.
6.
Kegiatan Kemasyarakatan
Pengikut sertaan
penduduk pendatang pada upacara-upacara atau kegiatan-kegiatan tertentu yang
dilakukan oleh responden setempat, atau sebaliknya ikut sertanya responden
setempat pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh penduduk pendatang,
pada dasarnya amat ditentukan oleh hubungan dekat karena tempat tinggal. Tempat
tinggal yang saling berdekatan menimbulkan hubungan kerja sama di antara
mereka. Di desa sample penelitian misalnya, tanah sawah yang terletak didalam
satu komplek daerah persawahan member peluang bagi mereka untuk saling
membantu. Bila tetangga, walaupun berlainan suku, yang mendapat kemalangan
(musibah), mereka datang mengunjunginya untuk melihat atau memberikan bantuan,
baik berupa bahan makanan ataupun uang. Bila ada tetangga yang meresmikan perkawinan
atau melahirkan, mereka datang ikut meramaikannya. Hubungan tetangga demikian
tampak lebih kentara pada responden di desa, dibandingkan dengan di kota,
lebih-lebih di kalangan para wanita, Memang, ada kegiatan-kegiatan tertentu
yang diselenggarakan terbatas di kalangan keluarga sendiri, atau tetangga dan
kerabat dekat. Tetapi dalam kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan secara
lebih luas, penduduk pendatang juga diikut sertakan.
A.
Suku
Bangsa Dan Kebudayaan
1.
Sistem Ekonomi dan Mata
Pencaharian Hidup
Sensus
tahun 1971 menyebutkan, bahwa di antara penduduk daerah Aceh yang tergolong sebagai
angkatan kerja, 74, 66 persen merupakan angkatan kerja dalam hidup pertanian,
3, 31 persen angkatan kerja dalam bidang perdagangan, restoran, dan perhotelan,
serta 15, 68 persen angkatan kerja dalam bidang-bidang yang lain. Ini berarti,
bahwa system ekonomi dan mata pencaharian hidup penduduk Aceh, umumnya pada
bidang pertanian, yaitu dalam kehidupan mereka sebagai petani dan nelayan.
Jenis tanaman pertanian penduduk yang terpenting adalah padi. Tanaman lain
adalah karet, kelapa, kopi, cengkeh, pala, pinang, tebu, tembakau, nilam,
randu, dan lada.
2.
Sistem Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Tradisional
Dilihat
dari sumbernya, system pengetahuan pada masyarakat Aceh dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu pengetahuan tradisional, pengetahuan yang bersumber pada ajaran
Islam, dan pengetahuan yang berasal dari kebudayaan barat pengetahuan
tradisional didasarkan kepada hal-hal yang bersifat supranatural, karena jenis
pengetahuan ini bias dikelompokkan sebagai pengetahuan primitive. Melalui
kepercayaan animism dan dinamisme pada masyarakat terbentuk konsep tentang
makhluk halus yang menimbulkan kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut berwujud
dalam bentuk daya tahan fisik ataupun mental secara luar biasa. Pada masyarakat
Aceh, kekuatan gaib demikian lazim disebut aleumee
(ilmu), dan diperoleh dengan cara meuamae
(mengamalkan ilmu). Eleumuee tersebut
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu eleumee
donya (ilmu dunia) dan eleumee akhrat
(ilmu akhirat).
3.
Sistem Religi dan
Kepercayaan
Walaupun
presentase tertinggi (97,00%) penduduk di daerah Aceh beragama islam, namun
pemeluk agama Protestan, Katholik, Budha, dan agama lainnya juga dijumpai,
terutama dikalangan orang Batak, Cina dan Manado. Bahkan di hlu sungai Singkil,
Aceh Selatan, dijumpai pemeluk agama PAMBI, dianut oleh mereka yang berasal
dari Dairi, Sumatera Utara. Penduduk asli
boleh dikatakan amat terlibat dengan agama Islam. Ini mungkin merupakan
pengaruh logis dari kejayaan masa-masa pemerintahan kesultanan dahulu. Ketika
itu Islam menempati kedudukan sebagai agama kerajaan yang dianut oleh seluruh
penduduknya. Pada penghujung tahun limapuluhan abad ke-20 ini, daerah Aceh
mendapat otonomi dalam arti yang lebih luas, dengan sebutan Daerah Istimewa
Aceh.[58]
Keistimewaannya terutama dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan adat-istiadat.
4.
Sistem Kemasyarakatan
dan Kekerabatan
Dalam
struktur administrasi pemerintahan di daerah Aceh dikenal beberapa jenjang
pembagian,dimulai dengan tingkatan propinsi, menurun ke tingkat
kabupaten/kotamadya, tingkat kecamatan, tingkat kemukiman, dan tingkat gampong (kampung) Daerah Aceh dengan
sebutan lengkapnPropinsi Daerah Istimewa Aceh, merupakan suatu daerah yang
meliputi 8 kabupaten, 2 kotamadya, 129 kecamatan, 594 kemukiman, dan 5.642 gampong.[59] Dengan begitu, tingkatan propinsi merupakan tingkat
administrasi pemerintahan yang tertinggi, dan tingkat gampong merupakan tingkat administrasi pemerintahan yang terendah.
Jumlah gampong, kemukiman dan
kecamatan pada masing-masing wilayah kabupaten berbeda-beda. Kabupaten Piddie
dan Aceh Utara tergolong sebagai wilayah yang terbanyak kecamtannya,
masing-masing 23 buah. Tetapi jumlah kemukiman yang terdapat di Piddie lebih
banyak di bandingkan dengan Aceh Utara, masing-masing 127 dan 90. Tetapi
sebaliknya, jumlah gampong yang
terdapat di Aceh Utara melibihi jumlah gampong
yang ada di Piddie, yaitu masing-masing 1.422 dan 948.
5.
Sistem
Bahasa dan Cerita Rakyat
Latar belakang pada etnis setempat dikalangan penduduk
setempat menimbulkan perbedaan dalam penggunaan bahasa. Paling kurang terdapat
tujuh bahasa yang digunakan dalam kalangan yang cukup luas, yaitu bahasa Aceh,
Gayo, Alas, Simeulu, Tamiang, Aneuk Jamee, dan Singkil. Namun semuanya masih
tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia. Sedangkan bahasa Simeulu lazim
dibedakan menjadi dua jenis, bahasa Sigulai dan bahasa Defayan. Kedua-duanya
disebut dengan bahasa Ulau (pulau). Bahasa Sigulai dipergunakan oleh penduduk
setempat di Semeulu Barat dan Salang. Sedangkan bahasa Defayan dijumpai dikedua
bahasa pulau tersebut terdapat perbedaan, baik dalam suku kata maupun kosa
kata. Diliat dari bentuk suku kata, bahasa Sigulai lebih mendekati bahasa Nias.
[60]
Dalam
kalangan masyarakat Aceh juga dikenal bermacam cerita rakyat. Lazimnya
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hikayat dan haba jameun (ceritera dahulu). Hikayat adalah jenis cerita rakyat
yang dikisahkan dalam bahasa puisi syair-syair. Biasanya hikayat dinikmati
lewat alunan suara di pembawa hikayat, terutama di meusanah-meusanah (suara atau langgar). Sedangkan haba jameun (Gayo: kekerabatan) biasanya
dikisahkan dalam bahasa prosa. Pada jaman dahulu para orang tua biasa
menceritakan haba jameun pada anak-anaknya
sebelum tidur.
B.
Perkembangan Kebudayaan
Kebanyakan
orang beranggapan, bahwa tahun 70an abad ke-20 ini merupakan dasawarsa
pembangunan bagi daerah Aceh. Lebih lebih jika yang dimaksudkan itu terbatas
kepada pembangunan fisik. Selama dasawarsa ini sejumlah program pembangunan
telah menyebar sampai jauh ke pelosok desa. Diantara beberapa jenis program
pembangunan yang tampak popular dikalangan masyrakat desa adalah program
Bimas/Inmas, SD Inpres, BUUD/KUD, Puskesmas, KB, dan Tabanas/Taskap. Selain
itu, muncul pula berbagai jenis pembangunan seperti, proyek prasarana produksi,
proyek prasarana perhubungan, proyek prasarana pemasaran, dan proyek prasarana
sosial. Dewasa ini, juga terlihat mulai tumbuh industri dengan peralatan
teknologi mutakhir.
C. Pembinaan
Kebudayaan
Sebagai suatu totalitas aneka ragam pikiran, karya,
dan hasil karya manusia, kebudayaan akan bias berkembang secara terarah dan
berkesinambungan, apalabila ada usaha yang sengaja untuk membinanya. Usaha
pembinaan tersebut ada yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan, ada pula
organisasi swasta. Dalam bidang kesinian misalnya, sampai dengan tahun 1976
terdapat enam organisasi seni lukis, 137 organisasi seni tari, 57 organisasi
seni drama, dan 49 organisasi band/orkes. Kecuali itu, selama Pelita II telah dibangun
sebuah Gedung Art Gallery seluas 133
meter persegi, dan sebuah Gedung Teater Terbuka di Banda Aceh. Kegiatan yang
lain dalam bidang kesenian meliputi penelitian tentang jenis kesenian daerah,
penyelamatan dan dokumentasi seni tradisional, pengembangan organisasi dan
tenaga kesenian, apresiasi dan keterampilan seni serta pengadaan alat-alat
keseniaan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Aceh adalah salah satu bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia paling barat, yang memiliki ragam budaya,
kesenian, pola hidup, dan bahasa, dan lain sebagainya. Budaya yang beragam
tersebut berasal dari nenek moyang terdahulu, ditambah budaya campuran, yang
diadaptasi dari sejarah terdahulu yang pernah dilewati di wilayah Aceh sendiri.
Aceh sempat porak-poranda ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004.
Kebudayaan Aceh pun mulai berubah. Aceh dikenal dengan kota serambi mekah,
karena selain mayoritas penduduknya memeluk agama islam, peraturan islam pun
cukup ketat, dan selalu ditegakkan. Tapi, semakin bertambahnya tahun,
berkembangnya budaya, sempat terlihat adanya perubahan dalam budaya berjilbab
pada kaum wanita di Aceh. Pasca-tsunami, wanita tanpa jilbab terlihat biasa
saja dan tidak aneh. Berbanding terbalik ketika pra-tsunami, dimana wanita
tanpa jilbab terlihat aneh di Aceh. Ditambah lagi adanya komunitas punk di
Aceh, sebagai ekspresi dalam berkarya, gaya hidup, dan bersosialisasi.
Komunitas punk terlihat asing bagi pemerintah kota Aceh dan warga setempat,
karena dandanannya yang nyentrik, dan terkesan urakan. Itu semua bertentangan
dengan budaya Aceh yang memiliki tingkat kedisiplinan yang cukup tinggi dalam
menjalani aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Alfian
(Ed.), Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat
Aceh: Hasil Penelitian Dengan Metode “Grounde Research”, LP2ES, Jakarta,
1977.
Ø Proyek
Penelitian Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Propinsi
Daerah Istimewa. Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Aceh, 1978.
[1] Sumber
pokok dalam penelitian ini ialah Anzib Lamnyong. Dia lahir tahun 1892 di
kampong Rukoh Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Lebih jauh mengenai sumber
pokok ini dapat dibaca dalam kertas karya UU. Hamidy, “Anzib Lamnyong: gudang
Karya Sastra Aceh”, Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Aceh, Darussalam
Banda Aceh, 1974. Disamping itu juga dihubungi beberapa anggota masyarakat yang
hamper mewakili daerah Aceh yang lain sebagai sumber pembanding dan pelengkap.
[2] Hal ini agak berbeda dengan Hikayat
Maleem Diwa, yang banyak menolong dari jalan cerita, terutama atas
kadar pengaruh Hindu dan Islam yang dikandungnya.
[3] Selain dari hikayat-hikayat Aceh, sebagian
besar cerita rakyat yang dipakai sebagai pembanding diambil dari Tjerita
Rakjat I, (Djakarta: Balai
Pustaka, 1963).
[4] Asal usul keluarga Baet dari keturunan
Hadramaut, wawancara dengan Teungku Manyak Baet (umur 90 tahun), tanggal 13 Mei
1974.
[5] Anthony Reid, The Contest For North Sumatra, Atjeh the Netherlands and Britain,
1858-1898, (New York: Oxford University Press, 1969), hal. 3.
[6] Sarakata
adalah surat dokumen yang ditulis oleh sultan,
yang berisi peraturan-peraturan, seperti, perpajakan, perdagangan, upacara,
lihat Mukti Ali, op. cit., hal. 22-23.
[7] Sagi arti aslinya adalah sudut, kemudian berarti
wilayah administrative yang merupakan federasi dari kemukiman-kemukiman di
bawah Panglima Sagi. Kesultanan Aceh mempunyai tiga sagi, yaitu Sagi
XXII, Sagi XXV Mukim, Ibid., hal. 17, Cf. Anthony Reid, op.
cit., hal. 4.
[10] Konsep-konsep pokok tentang penelitian Sejarah
Revolusi, lihat Sartono Kartodirdjo, “Beberapa Masalah Teori dan Metodologi
Sedjarah Indonesia,” Lembaran Sedjarah, no. 6,
(Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, 1970), hal. 12, 14.
[11] Keputrian
Pesindo
di Aceh sejak 1947 telah merupakan organisasi politik yang kuat dan pada 14
April 1947 menjadi organisasi wanita sosialis, lihat, Harian Semangat Merdeka,
edisi Koetaradja, 15 April 1947.
[14] Clifford Geertz, Peddlers and Princes: Social
Change and Economic Modernization in Two Indonesian Towns, (Chicago,
London: The University of Chicago Press, 1971), hal. 14-16. Terjemahan
Indonesia, Penjaja dan Raja, (Jakarta: Gramedia, 1977).
[15] Naksyabandiyah
berasal dari kata Naksyaband yang berarti lukisan hidup yang gaib, Abubakar
Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Bandung, CV Tjerdas: 1964), hal. 307.
[16] Bupati Kepala Daerah Kabupaten Aceh Besar, Situasi
Daerah dan Kegiatan Pelita I, (Banda Aceh: Kabupaten Aceh Besar, 1973),
hal. 11.
[17] Robert
Jay, Javanese
Villagers (Social Relation in Rural Modjokuto), (Cambridge,
Massachussets: London, The MIT Press, 1969), hal. 262.
[18] Syed
Hussein Allatas, “Religion and Modernization in South East Asia” dalam
Hansdieter Evers (Ed), Modernization in South East Asia,
(London, New York, Melbourne: Oxford University Press, 1973), hal. 161.
[19] Sartono
Kartodirdjo, “Kepemimpinan dalam Sejarah Indonesia”, dalam Bulletin Yayasan Perpustakaan
Nasional (Berita Ilmu-ilmu Sosial dan Kebudayaan) No. 1 Tahun 1974,
hal. 9.
[20] Snouck Hurgronje, The Acehnese, Vol I
diterjemahkan oleh A.W.S.O’Sullivan, (Leyden: E.J. Brill, 1906), hal. 64.
[24] Hoesin
Djajadiningrat, Atjehsch Nederlands Woordenbook, Jilid I, (Batavia:
Landsdrukkerij, 1934), hal. 104.
[26] Muhammad Husin, Adat Atjeh, (Banda Aceh:
Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 55.
[27] Kemukiman adalah gabungan beberapa buah gampong
(kampong) dan memiliki sebuah mesjid. Lihat Zakaria Ahmad, Sekitar
Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Manora, 1973), hal. 87-88.
[28] Dikutip dari Sensus dan Statistik Propinsi
Daerah Istimewa Aceh, hasil kerjasama dengan Proyek penelitian
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas
Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 1971, hal. 4.
[30] Edwin M. Loeb, Sumatra, Its History and People,
(Kuala Lumpur, Singapore, Medan: Oxford University Press/Toko Buku Deli, 1972),
hal. 241.
[31] Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Atjeh:
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 67.
[36] Rumah
Adat Aceh terdiri dari: 1. Seurameo keu (serambi depan), 2. Jurai,
rambat (serambi tengah), 3. Seuramoe ineung (serambi untuk
tidur), 4. Seuramoe likot (serambi belakang), 5. Dapu (dapur).
[37] Lantai rumah terbuat dari batang pinang atau
dari bambu yang dibelah-belah dan disusun dengan jarak 3-5 cm.
[38] Karena pengaruh agama dan adat wanita merasa
segan (malu) jika dilihat oleh suami sewaktu melahirkan. Demikian pula di
Sumatra Barat, lihat Edwin, M. Loeb, op. cit., hal. 116.
[43] Cara seperti ini dilakukan juga di desa-desa
Yunani. Lihat Margaret Mead dalam bukunya Cultural Patterns and Technical Change,
(New York: The New American Library, 1962, hal. 78. Lihat juga Geertz, op.cit.,
hal. 93.
[45] Willian M. Kephart, The Family, Society and the
Individual, (Boston, New York, Atlanta, Dallas, Geneva, ill, Palo Alto:
Houghton Mifflin, 1966), hal. 292-293.
[46] Snouck C. Hurgronje dalam bukunya The
Achehnese mengatakan perceraian di Aceh terjadi karena perselisihan
yang berat antara suami isteri. James T. Siegel dalam bukunya The
Rope of God menjelaskan sebab perceraian di Piddie, sebagian besar,
bersumber dari masalah uang. Pihak Departemen Agama mengelompokkan sebab
perceraian di Indonesia ke dalam 7 kategori.
[47] Said Sabiq, Fiqhus Sunnah, Al
Maktabah An Namuzajiyyah, Cairo, Jilid VIII, hal. 5. Lihat juga Abu Ishaq,
Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al Firuzabazi, Asy Syirazy, Kitabu Al Muhazab, Darul
Kutub Al Arabiyah Al Kubra, Cairo, Jilid II, hal. 82.
[48] Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia,
(Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972), hal.
160. Lihat juga Said Sabiq, op. cit., hal. 18.
http://mybloggeroperaqq.blogspot.com/2018/01/coutinho-kirim-pesan-terbuka-untuk-fans.html
BalasHapushttp://mybloggeroperaqq.blogspot.com/2018/01/surat-khofifah-mundur-ada-di-jokowi.html
♥ ♠ ♦ ♣ OPERAQQ.INFO ♥ ♠ ♦ ♣
Kami Hadirkan Permainan Baru 100% FAIR PLAY Dari OperaQQ.org :) 1 ID Untuk 7 Games :
- Domino99
- BandarQ
- Poker
- AduQ
- Capsa Susun
- Bandar Poker
- Sakong Online
Nikmati Bonus-Bonus Menarik Yang Bisa Anda Dapatkan Di Situs Kami OperaQQ.info Situs Resmi, Aman Dan Terpercaya ^^ Keunggulan OperaQQ.org :
- Tingkat Persentase Kemenangan Yang Besar
- Kartu Anda Akan Lebih Bagus
- Bonus TurnOver Atau Cashback 0.3% Di Bagikan Setiap 5 Hari
- Bonus Referral Dan Extra Refferal Seumur Hidup
- Minimal Deposit & Withdraw Hanya 20.000,-
- Tidak Ada Batas Untuk Melakukan Withdraw/Penarikan Dana
- Pelayanan Yang Ramah Dan Memuaskan
- Dengan Server Poker-V Yang Besar Beserta Ribuan pemain Di Seluruh Indonesia,
- Operaqq.net Pasti Selalu Ramai Selama 24 Jam Setiap Harinya.
- Permainan Menyenangkan Dengan Dilayani Oleh CS cantik, Sopan, Dan Ramah.
Fasilitas BANK yang di sediakan :
- BCA
- Mandiri
- BNI
- BRI
- Danamon
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At Operaqq.net ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM :D60ED5D7
- WHATSAPP :+855 964 93 0279
- LINE : operaqq
Link Alternatif :
- www.operaqq.com
- www.operaqq.info
- www.operaqq.org
NB : untuk login android / iphone tidak menggunakan www lagi boss ^_^